Pengaruh Stereotip Dang Jolma Oleh Masyarakat Terhadap Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Dengan Etnis Nias Di Kelurahan Pasir Bidang Chapter III V

24

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Metode Penelitian

Metode atau dalam bahasa Inggris method berasal dari bahasa Yunani yaitu
methodos yang berarti rangkaian yang sistematis dan yang merujuk kepada tata
cara yang sudah dibina berdasarkan rencana yang pasti, mapan dan logis pula
(Effendy, 2003: 56). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Metode
korelasi merupakan metode yang memiliki sifat kausal antara dua variabel atau
lebih. Penelitian kasual ingin menjelaskan pengaruh perubahan nilai dalam suatu
variabel menyebabkan perubahan nilai dalam variabel lain atau melihat pengaruh
perubahan nilai nilai alam suatu variabel disebabkan oleh perubahan nilai dalam
variabel lain (Silalahi, 2009:33).
Penelitian korelasi atau korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui
hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya

untuk mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi variabel
(Fraenkel dan Wallen 2008:328). Adanya hubungan dan tingkat variabel ini
penting karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan
dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. Jenis penelitian ini
biasanya melibatkan ukuran statistik/tingkat hubungan yang disebt dengan
korelasi (Mc. Millan Dan Schumacher, dalam Syamsuddin dan Vismaia 2009:25).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
terdapat pengaruh stereotip dang jolma oleh masyarakat (Non Nias) Pasir Bidang
terhadap efektifitas komunikasi antarbudaya dengan masyarakat etnis Nias di
Kelurahan Pasir Bidang.

3.2

Deskripsi Lokasi Penelitian

3.2.1

Kabupaten Tapanuli Tengah

Tapanuli Tengah adalah salah satu dari 33 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Utara dan merupakan wilayah kabupaten yang mempunyai penduduk yang
bervariasi suku bangsa, meliputi Batak, Nias, Minang, Jawa, Madura, Bugis,

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

25

Tionghoa Indonesia, Dayak, Minahasa, Bali, Aceh, Melayu, Sunda, bahkan Suku
Arab, Yaman, dan sebagainya. Kabupaten Tapanuli Tengah berada pada posisi
koordinat 1°11`00`` - 2°22`0`` LU dan 98°12` BT dengan luas wilayah 6.194,98
km² meliputi 2.194,98 km² luas daratan dan 4.000 km² luas laut. Sebagian besar
wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah berada di Pulau Sumatera dan
sebagian lagi merupakan 31 (tiga puluh satu) pulau-pulau kecil, dengan pulau
yang terbesar adalah Pulau Mursala dengan luas kurang lebih 8.000 Ha.
Asal mula Kabupaten Tapanuli Tengah berawal dari penunjukan Z.A Glr Sutan
Komala Pontas sebagai Pemimpin Distrik Sibolga yang selanjutnya sebagai
Demang dan menjadi penanggungjawab pelaksana roda pemerintahan di Tapanuli
Tengah pada tanggal 24 Agustus 1945. Pada saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing
adalah mantan Wakil Residen Tapanuli menjadi Residen Tapanuli berkedudukan

di Tarutung. Pada tanggal 15 Oktober 1945, Gubernur Sumatera Utara Mr. T.
Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah otonom setingkat di
wilayahnya pada pemerintahan daerah kepada masing-masing residen. Saat itu,
Gubernur Tapanuli Sumatera Timur dengan keputusan Nomor 1 Tahun 1946
mengangkat dan mengukuhkan Z.A. Glr Sutan Komala Pontas sebagai
Bupati/Kepala Luhak Tapanuli Tengah. Sesuai keputusan Gubernur Sumatera
Timur tanggal 17 mei 1946. Kota Sibolga dijadikan sebagai Administratif yang
dipimpin oleh seorang walikota dan pada saat itu dirangkap oleh Bupati
Kabupaten Sibolga (Tapanuli Tengah) yaitu Z.A Glr Sutan Komala Pontas. Pada
tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk kecamatan untuk menggantikan
Sistem Pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada masa Pemerintahan Belanda.
Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai daerah otonom dipertegas oleh Pemerintah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri dari 20 (dua puluh) Kecamatan, 30 (tiga
puluh) Kelurahan, dan 147 (seratus empat puluh tujuh) desa.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


26

3.2.2

Kelurahan Pasir Bidang
Kelurahan Pasir Bidang adalah salah satu kelurahan (dari 4 kelurahan)

yang terdapat di Kecamatan Sarudik yang merupakan hasil pemekaran dari
Kecamatan Pandan dengan ibukotanya Sarudik sesuai dengan Perda Nomor 35
Tahun 2007. Secara geografi, Kelurahan Pasir Bidang terletak di wilayah Kota
Sibolga (Kecamatan Sibolga Selatan). Lebih tepatnya, Kelurahan Pasir Bidang
berdampingan langsung dengan Kelurahan Pondok Batu dan beberapa kelurahan
Kota Sibolga, yaitu Kelurahan Aek Muara Pinang dan Aek Habil.
Penduduk di kelurahan Pasir Bidang cukup heterogen, ada suku Batak, Nias,
Melayu, Minang, dan Jawa. Penduduk Kelurahan Pasir Bidang sebagian besar
beretnis suku Batak dan beragama Kristen. Dari data yang diperoleh dari Kantor
Kelurahan Pasir Bidang, penduduknya kebanyakan suku Batak, dengan
perkembangan daerah dan munculnya pembangunan-pembangunan perumahan,
suku-suku lainnya mulai memukimkan tempat ini.
Pekerjaan penduduk di daerah ini beragam. Ada yang nelayan, petani, buruh,

wiraswasta, guru, dan sebagainya. Tidak adanya perbedaan mencolok dalam hal
ekonomi pada penduduk di daerah ini. Mengenai agama, masyarakat memiliki
prinsip kebebasan beragama. Hal ini selain agar terciptanya kerukunan di
masyarakat, juga karena berkesesuaian dari visi misi Kabupaten Tapanuli Tengah
tentang hukum dan HAM serta proses demokrasi yang aman dan damai. Dengan
adanya perbedaan agama tersebut, setiap penduduk berusaha saling menghargai
dan menghormati antar agama, dan bertenggang rasa satu sama lainnya. Sehingga
menciptakan hubungan yang harmonis dengan agama lainnya.
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat (tidak beretnis suku Nias/non Nias)
Kelurahan Pasir Bidang yang merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di
Kabupaten Tapanuli Tengah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dari data
yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Pasir Bidang, bahwa Penduduk di
kelurahan Pasir Bidang cukup heterogen. Tidak hanya dilihat dari ragam suku,
masyarakat Kelurahan Pasir Bidang juga memiliki ragam profesi (pekerjaan) dan
agama. Mayoritas masyarakatnya beretnis suku bangsa Batak dan beragama
Kristen. Alasan pemilihan lokasi penelitian ialah karena masyarakat yang
heterogen dan adanya suku pendatang yakni suku Nias. Dalam keseharian

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


27

masyarakat, berkembang stereotip “Dang Jolma” yang ditujukan kepada
masyarakat suku Nias yang ada di Kelurahan Pasir Bidang. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana pengaruh stereotip tersebut terhadap
efektivitas komunikasi antarbudaya. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 19
Maret 2017 hingga 26 Maret 2017.

3.3

Populasi dan Sampel

3.3.1

Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,

benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa sebagai
sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam penilaian (Nawawi, 1995:

141).
Dalam metode penelitian, kata populasi amat populer untuk menyebutkan
serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh
karenanya, populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang
dapat terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala,
peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapat menjadi
sumber penelitian (Burngin, 2004: 109). Pada penelitian ini populasi
penelitiannya adalah jumlah keseluruhan masyarakat Kelurahan Pasir Bidang
yang berjumlah 4964 orang atau 1203 KK (Kartu Keluarga).

3.3.2

Sampel

Sampel adalah sekelompok yang terseleksi dari populasi besar dan sampel
hendaknya mewakili populasi (Bulaeng, 2004:131). Untuk mencapai generalisasi
yang baik, maka disamping tata cara penarikan kesimpulan, bobot sampel juga
harus diperhatikan dan dipertanggungjawabkan, dengan demikian sampel adalah
wakil semua unit srata dan sebagainya yang ada di dalam populasi (Bungin,
2001:104). Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunankan rumus Taro

Yamane dengan presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90% yaitu :

Keterangan:
= Sampel
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

28

N

= Populasi
= Presisi (digunakan 10% atau 0,1)

1

= Angka konstan

Sehingga didapatkan hasil:


Maka, jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 98 orang di Kelurahan Pasir
Bidang.

3.4

Teknik Penarikan Sampel

Teknik penarikan sampel menjelaskan seperangkat prosedur untuk pemilihan
sampel dari populasi tersebut didapat yang dijadikan sebagai sampel. Adapun
teknik penarikan sampel yang dipakai peneliti yaitu Purposive Sampling, adalah
teknik penentuan sampel yang dilakukan dengan mengambil orang-orang yang
terpilih oleh peneliti yang memiliki ciri-ciri khusus yang dimiliki sampel itu.
Mereka dipilih karena dipercaya mewakili populasi tertentu (Silalahi, 272).
Adapun ciri-ciri sampel penelitian adalah sebagai berikut:
a. Merupakan masyarakat Pasir Bidang (non Suku Nias)
b. Pernah mendengar dan paham dengan istilah stereotip “Dang Jolma”
c. Usia responden 17 tahun keatas
d. Jumlah responden dalam satu keluarga maksimal satu orang (ibu, bapak,
atau anak)


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

29

3.5

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat didefinisikan sebagai satu proses mendapatkan data
empiris melalui responden dengan menggunakan metode tertentu (Silalahi
2009 : 280). Metode yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah
metode untuk mendapatkan data primer. Data primer adalah data yang langsung
diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian berada atau objek
penelitian (Bungin 2011:132). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
melalui cara sebagai berikut:
1. Field Research atau Penelitian lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan cara terjun langsung kelapangan
terhadap objek yang telah dipilih yaitu, dengan cara mengedarkan kuesioner
dan melakukan wawancara. Kuesioner itu merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pertanyaan
tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono 2008 : 142). Wawancara
adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu
(Esterberg dalam Sugiyono 2011:317-321)
2. Library Research atau Studi Kepustakaan
Penelitian kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti dengan menelaah teori-teori, pendapat-pendapat, serta pokokpokok pikiran yang terdapat dalam media cetak, khususnya buku-buku yang
menunjang dan relevan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

3.6

Teknik Analisis Data

Setelah data didapat, data tersebut dianalisis. Adapun teknik analisis data yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Analisis Tabel Tunggal
Analisi tabel tunggal merupakan suatu analisis yang dilakukan dengan membagibagikan variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar
frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa data yang
terdiri dari dua kolom, yaitu sejumlah frekuensi dan kolom presentase untuk
setiap kategori (Singarimbun, 2008:273).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

30

2. Analisis Tabel Silang
Analisis tabel silang merupakan teknik yang digunakan untuk menganalisis dan
mengetahui variabel yang satu memiliki hubungan dengan variabel yang lainnya,
sehingga dapat diketahui apakah variabel tersebut positif atau negatif
(Singarimbun, 2008:273).
3. Uji Hipotesis
Uji Hipotesis adalah pengujian data statistik untuk mengetahui apakah data
hipotesis yang diajukan dapat diterima atau tidak. Untuk mengukur tingkat
hubungan antara dua variabel. Penelitian ini menggunakan rumus koefisien tata
genjang (Rank Order Correlation Coeficient) oleh Spearmen atau Spearmen
Rho Koefisien. Spearmen Rho Koefisien menunjukan hubungan antara variabel X
dan variabel Y yang tidak diketahui sebaran datanya. Untuk menguji hubungan
antara kedua variabel yang dikorelasikan, digunakan koefisien korelasi tata
genjang (Rank Order Coorelation Coeficient) oleh Spearmen. Uji hipotesis
menggunakan korelasi Spearmen Rank karena jenis data yang dikorelasikan
karena adanya jenjang dari kedua variabel tidak harus membentuk distribusi
normal. Jadi korelasi Spearmen Rank bekerja dengan data ordinal atau berjenjang
atau ranking.

Keterangan :
:Koefisien Korelatif Spearmen
:Jumlah Sampling
:Menunjukan perbedaan tiap rank
Untuk menguji signifikan apakah masing-masing variabel berpengaruh dengan
menggunakan rumus:

Keterangan:



:Nilai Terhitung
:Nilai Koefisien Korelasi
:Jumlah Sampel

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

31

Jika

>

, maka hubungannya signifikan (

<

, maka hubungannya tidak signifikan (

diterima dan

ditolak)
Jika

diterima dan

ditolak)
Selanjutnya untuk melihat tinggi rendahnya korelasi (derajat hubungan)
digunakan

Skala Guildford

atau

korefisien

asosiasi,

sebagai

berikut

(Kriyantono, 2009 : 169):
0

= Tidak ada hubungan

< 0,20

= Hubungan rendah sekali

0,20 – 0,40

= Hubungan rendah tapi pasti

0,41 – 0,70

= Hubungan yang cukup berarti

0,71 – 0,91

= Hubungan yang tinggi

> 0,91

= Hubungan yang sangat tinggi

1

= Hubungan yang sempurna

Berdasarkan nilai rho (

), untuk mengetahui pengaruh variabel X terhadap

variabel Y, maka dilakukan uji determinasi (Kriyanto, 2006:169). Pada penelitian
ini, uji determinasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh stereotip
“dang jolma” oleh masyarakat Kelurahan Pasir Bidang terhadap efektivitas
komunikasi antarbudaya dengan masyarakat Suku Nias.
D=

. 100%

Keterangan:
D

: kekuatan determinan (kekuatan prediksi)
: korelasi Spearman

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

32

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Proses Penelitian di Lapangan

Peneliti telah menerima konfirmasi persetujuan dari kantor Lurah Pasir Bidang
bernomor 070/097/KPB/2016 terkait izin penelitian, setelah sebelumnya peneliti
telah

mengirimkan

surat

permohonan

izin

penelitian

bernomor

1150/UN5.2.1.9.1/PPM/2017 di kantor kelurahan Pasir Bidang, Kabupaten
Tapanuli Tengah. Populasi yang telah ditentukan peneliti sebelumnya adalah
sebanyak 4964 orang atau 1203 kartu keluarga. Peneliti menggunakan rumus Taro
Yamane dengan presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%. Dari rumus
tersebut didapatkan bahwa jumlah sampel adalah 98 orang yang sesuai dengan
kriteria penelitian.
Peneliti tiba di Kabupaten Tapanuli Tengah pada tanggal 18 Maret 2017 dan
mulai menyebarkan angket kepada responden pada tanggal 19 Maret - 26 Maret
2017 di kelurahan Pasir Bidang. Peneliti menggunakan metode wawancara
tertutup (angket/kuisioner) dan wawancara terbuka dalam pengumpulan informasi
dari informan (responden). Pada umumnya responden tidak mengalami kesulitan
di dalam proses pengisian kuesioner yang berjumlah 30 pertanyaan, hal itu
dikarenakan responden sebagian besar menerima penjelasan langsung dari
peneliti. Peneliti selalu mendampingi dan melakukan komunikasi dua arah untuk
mengurangi kesalahpahaman responden terkait angket yang ingin diisi. Selama 7
hari, peneliti telah berhasil mengumpulkan 98 kuisioner, dimana informan yang
dapat dikatakan responden haruslah memenuhi ciri-ciri sampel, diantaranya;
merupakan masyarakat Pasir Bidang (non Suku Nias), pernah mendengar dan
paham dengan istilah stereotip “Dang Jolma”, usia responden 17 tahun keatas,
dan jumlah responden dalam satu keluarga maksimal satu orang (ibu, bapak, atau
anak).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

33

4.2

Proses Pengolahan Data

Setelah peneliti selesai mengumpulkan data dari 98 responden, peneliti
melanjutkan dengan proses pengolahan data, dimana tahapan yang dilakukan oleh
peneliti adalah sebagai berikut;
1. Penomoran Kuesioner
Setelah menentukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi dari responden,
peneliti memberi nomor pada setiap kuesioner sebagai pengenal, yaitu dari nomor
01-98.
2. Editing
Peneliti melakukan editing pada jawaban-jawaban yang diberikan responden.
Editing ini dilakukan untuk memperjelas jawaban yang meragukan sehingga
menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan anjuran pengisian kuesioner, seperti
terjadinya kesalahan pengisian data dalam kode yang telah disediakan
3. Coding
Peneliti melakukan pemindahan jawaban-jawaban responden ke dalam kode yang
telah disediakan dalam bentuk angka (score), sehingga memudahkan peneliti
dalam mengisi Fortran Cobol
4. Inventarisasi Variabel
Inventarisasi Variabel adalah data mentah yang diperoleh dan dimasukkan ke
dalam lembar Fortran Cobol (FC) sehingga memuat seluruh data dalam satu
kesatuan.
5. Tabulasi Data
Variabel responden yang sudah melalui pengkodean dan inventarisasi variabel
dipindahkan ke dalam kerangka tabel. Namun sebelumnya, data dianalisis terlebih
dahulu menggunakan tabel tunggal dan tabel silang dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS versi 24.0. Data kemudian disajikan dalam bentuk
kerangka tabel, dimana jumlah tabel adalah sebanyak jumlah pertanyaan dari
kuesioner. Data dirinci melalui kategori, frekuensi, dan persentase. Selanjutnya
untuk memperjelas isi tabel, data dianalisis melalui deskripsi teks.

6. Pengujian hipotesis

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

34

Tahap pengujian data statistik untuk mengetahui apakah data yang ditemukan
menolak atau menerima hipotesa penelitian yang diajukan. Untuk mengukur
tingkat hubungan di antara dua variabel, maka peneliti menggunakan rumus
koefisien tata genjang (Rank Order Correlation Coefficient) oleh Spearman atau
Spearman Rho Koefisien.

4.3

Analisis Tabel Tunggal

`

Analisis tabel tunggal adalah suatu analisa yang dilakukan dengan

membagi-bagi variabel ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar
frekuensi. Tabel tunggal merupakan awal dalam menganalisa kolom yang terdiri
dari sejumlah frekuensi dan persentase untuk setiap kategori. Analisis tabel
tunggal pada bagian ini akan melihat tentang seberapa besar gambaran umum
mengenai kondisi karakteristik responden, stereotip Dang Jolma (Variabel X),
dan efektivitas komunikasi antarbudaya (Variabel Y). Pembahasan mengenai data
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut;

4.3.1

Karakteristik Responden

Karakteristik responden adalah gambaran tentang responden penelitian ini.
Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, asal suku, dan agama.

Tabel 4.1
Jenis Kelamin Responden

Uraian

Frekuensi

Persentase

Laki-laki

43

43,9

Perempuan

55

56,1

Total

98

100

Sumber: JK/FC.3

Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah masyarakat kelurahan
Pasir Bidang yang menjadi responden pada penelitian ini lebih banyak berjenis
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

35

kelamin perempuan, yaitu sebanyak 55 orang (56,1%), sedangkan yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 43 orang (43,9%). Peneliti meyakini bahwa hasil
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Dinamika penelitian di lapangan
menjadi salah satu faktor pendukung uraian tabel di atas. Dinamika penelitian
yang dimaksud adalah keterikatan waktu dan sub lokasi pada waktu peneliti
mengumpulkan data di lapangan. Diantaranya; peneliti sering terjun langsung ke
rumah masing-masing masyarakat kelurahan Pasir Bidang. Artinya pada waktu
pengumpulan data, peneliti lebih banyak bertemu dengan responden berjenis
kelamin perempuan bilang dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Kemudian,
peneliti sering turun langsung ke pasar Inpres Aek Habil Parambunan, dimana
sebagian masyarakat kelurahan Pasir Bidang berada di pasar tersebut untuk
bekerja. Selama berada di pasar, peneliti selalu bertemu dengan responden yang
berjenis kelamin perempuan. Sedangkan untuk responden laki-laki, peneliti lebih
sering bertemu di kedai kopi (lapo tuak). Pun demikian, faktor jam kerja juga
dapat mempengaruhi hal tersebut, namun tidak signifikan. Laki-laki lebih jarang
ditemui peneliti bila dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut berkaitan erat
dengan pekerjaan laki-laki yang umumnya bekerja di luar rumah, seperti nelayan,
petani, buruh dan lain-lain.
Tabel 4.2
Pendidikan

Uraian

Frekuensi

Persentase

Perguruan Tinggi

29

29,6

SMA/SMK

50

51,0

SMP

14

14,3

SD

5

5,1

Tidak Tamat SD

0

0

Tidak Sekolah

0

0

Total

98

100

Sumber : PD/FC.4
Pada tabel 4.2 telah disajikan komposisi tingkat pendidikan responden sebagai
bagian dari sampel masyarakat kelurahan Pasir Bidang. Berdasarkan tabel tersebut

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

36

dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang
sudah tergolong tinggi jika dibandingkan dengan standarisasi tingkat pendidikan
yang digunakan di Indonesia saat ini, yaitu wajib belajar sembilan tahun atau
setara dengan sekolah menengah pertama (SMP).
Adapun data menunjukkan, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan
SMA/SMK, yaitu sebanyak 50 orang (51,0%). Hal ini peneliti yakini berkaitan
erat dengan syarat yang ditetapkan oleh peneliti untuk dapat dijadikan sampel,
yaitu masyarakat yang paham terhadap stereotip “dang jolma”. Peneliti meyakini,
bahwa tingkat pemahaman stereotip “dang jolma” dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan responden. Kemudian syarat lainnya adalah usia masyarakat yang
mengharuskan minimal 17 tahun untuk dapat dijadikan sebagai responden.
Sementara itu, tidak terdapat responden yang memiliki batas tingkat pendidikan
tidak sekolah dan tidak tamat SD. Sama halnya dengan yang di atas, bahwa syarat
responden menjadi penyebab utama hal tersebut terjadi. Tingkat pemahaman
stereotip “dang jolma” dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat dan
syarat usia minimal. Semakin tinggi pendidikan responden, maka sterotip “dang
jolma” semakin dipahami. Umumnya masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan SD hingga SMP adalah masyarakat yang berumur 17 tahun ke bawah.
Peneliti meyakini bahwa hal tersebut menjadi dasar masyarakat tidak pernah
mendengar dan paham terhadap stereotip “dang jolma”. Namun, tidak menutup
kemungkinan bahwa tidak sedikit masyarakat yang juga berumur 17 tahun ke atas
berpendidikan setingkat SD dan SMP, bahkan tidak sekolah.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

37

Tabel 4.3
Pekerjaan

Uraian

Frekuensi

Persentase

Pelajar/Mahasiswa

10

10,2

Nelayan

11

11,2

Wiraswasta

30

30,6

Petani

4

4,1

Guru

2

2,0

Lainnya

41

41,8

Total

98

100

Sumber : PK/FC.5
Sebelumnya peneliti telah menentukan kategori lainnya dalam uraian karakteristik
pekerjaan adalah untuk masyarakat yang memiliki pekerjaan selain yang telah
dijabarkan di atas. Berdasarkan data responden yang telah peneliti kumpulkan,
sebagian besar responden menempatkan dirinya pada pekerjaan lainnya. Kategori
lainnya tersebut tidak dapat menjelaskan umumnya pekerjaan responden, hal itu
dikarenakan kategori lainnya memiliki rincian pekerjaan lebih dari satu pekerjaan.
Peneliti menetapkan kategori tersebut adalah untuk menjabarkan beberapa jenis
pekerjaan yang dianggap kurang berdampak besar dalam penelitian ini. Adapun
responden yang memilih kategori lainnya tercatak pada tabel 4.3 adalah sebanyak
41 orang (41,8%), diantaranya; pengangguran, pegawai, buruh, karyawan, dokter,
peternak dan lain sebagainya.
Namun sebenarnya, wiraswasta adalah jenis pekerjaan yang umumnya dimiliki
responden. Data tersebut diperoleh dari beberapa faktor, diantarnya; proses waktu
dan lokasi pengumpulan data peneliti sewaktu turun lapangan menyebarkan
angket kepada responden. Pertama, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
peneliti sering turun ke pasar Inpres Aek Habil untuk mendapatkan narasumber
yang memenuhi syarat responden. Alasan peneliti memilih pasar Inpres sebagai
salah satu lokasi pengumpulan data ialah karena sebagian besar masyarakat
kelurahan Pasir Bidang beraktivitas di pasar Inpres Aek Habil, baik pihak penjual
maupun pembeli. Hal itu juga diperkuat bahwa pasar Inpres Aek Habil hanya

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

38

berjarak kurang lebih 100 meter dari kelurahan Pasir Bidang. Peneliti juga
meyakini bahwa pasar Inpres sering menjadi lokasi pertemuan masyarakat untuk
melakukan proses komunikasi ataupun berinteraksi. Berangkat dari beberapa
alasan tersebut, peneliti memilih opsi pasar Inpres sebagai salah satu lokasi
pengumpulan data. Berdasarkan data yang diperoleh, responden sebagian besar
bekerja sebagai wiraswasta, yaitu sebanyak 30 orang (30,6%). Banyaknya
responden memiliki pekerjaan dibidang wiraswasta selama peneliti menyebarkan
angket adalah bukan suatu kebetulan. Selain faktor keterikatan seringnya peneliti
mengunjungi pasar Inpres Aek Habil, peneliti juga melakukan pengumpulan data
atau penyebaran kuisioner langsung terjun ke rumah-rumah warga. Pada saat
peneliti menyebarkan angket, peneliti sering bertemu responden yang memiliki
pekerjaan wiraswasta di rumah masing-masing warga, diantaranya; kedai kopi
(lapo tuak), penjual sembako, tukang jahit, tokoh perabot rumah tangga, tokoh
alat bangunan, penjual air mineral (galon), dan lain sebagainya.
Pada tabel yang sama dapat diketahui bahwa sebanyak 2% atau 2 orang
responden memiliki pekerjaan sebagai guru. Jumlah tersebut didasarkan pada
dinamika penelitian di lapangan. Umumnya peneliti melakukan penelitian pada
pagi hingga siang hari sementara pada saat itu guru sedang melakukan aktivitas
mengajar di sekolah.

Tabel 4.4
Asal Suku
Uraian

Frekuensi

Persentase

Batak

89

90,8

Nias

-

-

Melayu

2

2,0

Minang

2

2,0

Jawa

4

4,1

Lainnya

1

1,0

Total

98

100

Sumber : AS/FC.6

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

39

Pada tabel 4.4 telah disajikan komposisi suku responden sebagai bagian dari
sampel masyarakat kelurahan Pasir Bidang. Berdasarkan tabel tersebut dapat
diketahui bahwa mayoritas responden beretnis suku Batak, yaitu sebanyak 89
orang (90,8%). Banyaknya responden beretnis Suku Batak dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Salah satunya adalah asal kata stereotip “dang jolma” itu sendiri.
Kata “dang jolma” secara harfiah atau etimologi berasal dari Bahasa Batak Toba,
yaitu “ndang”=tidak dan “jolma”=manusia. Kesamaan bahasa menjadi faktor
utama mengapa stereotip “dang jolma” lebih populer di masyarakat suku Batak.
Sementara berdasarkan tabel yang sama, jumlah antara responden beretnis
Melayu, Minang, Jawa dan yang lainnya tercatat tidak berbeda jauh atau hanya
berkisar 1-4% saja. Peneliti meyakini bahwa hasil tersebut didasari dari
penyebaran penduduk setiap suku berbeda-beda. Secara umum, suku Batak
mendominasi di Kabupaten Tapanuli Tengah, namun berbanding terbalik dengan
masyarakat suku Jawa, Melayu, Minang, dan lainnya. Hal itu dikarenakan suku
Jawa, Melayu, Minang, dan lainnya adalah suku pendatang dan suku Batak adalah
salah satu suku asli Kabupaten Tapanuli Tengah. Kemudian perlunya adaptasi
yang cukup lama agar stereotip “dang jolma” dapat eksis bagi etnis pendatang.
Sehingga wajar saja masyarakat pendatang cukup sedikit menjadi responden
peneliti, dikarenakan responden yang diinginkan peneliti haruslah memenuhi
syarat, dalam hal ini terkait pemahaman “dang jolma”.
Tabel 4.5
Agama

Uraian

Frekuensi

Persentase

Islam

14

14,3

Protestan

67

68,4

Katolik

16

16,3

Hindu

0

0

Budha

1

1,0

Khonghucu

0

0

Total

98

100

Sumber: AG/FC.7

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

40

Pada tabel 4.5 juga telah disajikan komposisi agama responden sebagai bagian
dari sampel masyarakat kelurahan Pasir Bidang. Berdasarkan tabel tersebut dapat
diketahui bahwa mayoritas responden beragama Kristen, yaitu sebanyak 83 orang
(84,7%). Jumlah tersebut berasal dari Agama Protestan dan Katolik. Latar
belakang responden menjadi dasar acuan peneliti untuk menjelaskan mengapa
responden umumnya beragama Kristen. Jika merujuk pada tabel sebelumnya,
dikatakan bahwa responden umumnya beretnis suku Batak dan kita ketahui bahwa
sebagian besar etnis Batak adalah beragama Kristen. Pada akhirnya, peneliti selalu
memilih masyarakat yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai responden.
Sementara itu pada tabel yang sama, tidak terdapat responden yang beragama
Hindu dan Konghucu. Hal itu bukan berarti dapat menjelaskan bahwa kelurahan
Pasir Bidang tidak memiliki masyarakat yang beragama Hindu dan Konghucu.
Hasil tersebut didasarkan pada dinamika penelitian di lapangan. Selama
pengumpulan data, peneliti tidak pernah bertemu narasumber yang memenuhi
syarat responden yang juga beragama Hindu ataupun Konghucu. Selebihnya,
responden yang beragam Islam adalah masyarakat yang memiliki latar belakang
suku yang sejak lama sudah dipandang umumnya beragama Islam, yaitu suku
Melayu, Jawa, Minang, dan juga suku Batak Mandailing.

4.3.2

Variabel Bebas (Stereotip Dang Jolma)

Pada bagian ini peneliti akan menyajikan data mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan Stereotip Dang Jolma yang dioperasionalkan menjadi beberapa
bagian, yaitu Pengetahuan, Kepercayaan, dan Harapan. Data selengkapnya
mengenai variabel bebas ini disajikan pada tabel, mulai dari tabel 4.6 sampai
dengan tabel 4.11

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

41

4.3.2.1 Pengetahuan
Tabel 4.6
Mendengar stereotip “Dang Jolma"
Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Pernah

-

-

Tidak Sering/Jarang

18

18,4

Sering

78

79,6

Sangat Sering

2

2,0

Total

98

100

Sumber : P.8/FC.8
Adapun berkaitan dengan judul skripsi, pertanyaan ini bertujuan untuk mengukur
indikator operasional vaiabel X yaitu pengetahuan. Berdasarkan tabel 4.6 di atas
dapat dilihat bahwa umumnya responden sering mendengar stereotip “dang
jolma”, yaitu sebanyak 80 orang (81,6%). Banyaknya jumlah responden yang
mengatakan sering mendengar stereotip “dang jolma” didasari dari pengaruh
peneliti yang selalu memilih narasumber yang memenuhi syarat responden. Syarat
responden yang dimaksud adalah pernah mendengar dan paham terhadap istilah
stereotip “dang jolma” yang dilabelkan kepada etnis suku Nias. Maka jelas bahwa
atas dasar tersebut, peneliti memutuskan tidak masukkan responden yang memilih
kategori tidak pernah mendengar stereotip “dang jolma”.
Tabel 4.7
Mengerti stereotip “Dang Jolma”
Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Mengerti

-

-

Kurang Mengerti

5

5,1

Mengerti

93

94,9

Sangat Mengerti

0

0

Total

98

100

Sumber : P.9/FC.9

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

42

Berdasarkan tabel 4.7, sebagian besar responden mengerti stereotip “dang jolma”.
Tercatat, sebanyak 93 orang (94,9%) yang mengerti tentang pelabelan istilah
“dang jolma” kepada etnis Nias. Jika dirujuk pada tabel karakteristik terkait
pendidikan responden, dikatakan bahwa umumnya responden memiliki tingkat
pendidikan yang sudah tergolong tinggi jika dibandingkan dengan standarisasi
tingkat pendidikan yang digunakan di Indonesia saat ini, yaitu wajib belajar
sembilan tahun atau setara dengan sekolah menengah pertama (SMP). Peneliti
meyakini bahwa tingkat pendidikan selalu sejalan dengan tingkat pengetahuan.
Maka wajar saja sebagian besar responden mengerti istilah “dang jolma”, hal itu
terkait banyaknya responden berpendidikan tinggi di kelurahan Pasir Bidang.
Pada tabel yang sama, dituliskan bahwa tidak terdapat responden yang memilih
opsi “tidak mengerti” terkait istilah “dang jolma” yang dilabelkan pada etnis Nias
di kelurahan Pasir Bidang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
narasumber yang dapat dikatakan responden adalah narasumber yang memenuhi
syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh peneliti. Narasumber yang
mengerti dan paham terhadap stereotip “dang jolma” berkemungkinan besar
dapat dikatakan responden, karena telah memenuhi salah satu syarat responden.
Atas dasar tersebut, peneliti meyakini bahwa umumnya responden mengerti
stereotip “dang jolma” dan wajar saja tabel tidak mencatat responden yang
memilih opsi “tidak mengerti” terhadap stereotip “dang jolma”.
Hasil yang sama juga tercatat pada responden yang memilih opsi “sangat
mengerti”. Tercatat, bahwa tidak ada responden yang memilih “sangat mengerti”
terhadap stereotip “dang jolma” yang dilabelkan pada etnis Nias. Peneliti
meyakini bahwa hasil ini hanya dapat dijelaskan melalui penjelasan hasil tabel
selanjutnya terkait tabel kepercayaan responden (tabel 2.9 dan tabel 4.10).

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

43

Tabel 4.8
Memahami stereotip “Dang Jolma”
Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Memahami

0

0

Kurang Memahami 16

16,3

Memahami

82

83,7

Sangat Memahami

0

0

Total

98

100

Sumber : P.10/FC.10
Uraian tabel 4.8 diatas dapat dikatakan hampir menyerupai uraian tabel
sebelumnya. Peneliti telah menetapkan 3 soal/angket untuk dijadikan sebagai
tolak ukur salah satu indikator variabel x, yaitu pengetahuan responden terhadap
istilah “dang jolma” yang dilabelkan pada etnis Nias. Ketiga angket tersebut
yaitu; mendengar, mengerti, dan memahami istilah “dang jolma”.
Berdasarkan tabel 4.8, sebagian besar responden memahami stereotip “dang
jolma”. Tercatat, sebanyak 82 orang (83,7%) yang memahami tentang pelabelan
istilah “dang jolma” kepada etnis Nias. Jika tabel sebelumnya menguraikan
tingkat pengertian responden terhadap stereotip “dang jolma”, maka pada tabel
ini menguraikan tingkat pemahaman responden terkait istilah tersebut. Tingkat
pengertian responden yang dimaksud adalah hanya sekedar pengetahuannya
terkait pengertian secara umum, sedangkan tingkat pemahaman responden lebih
kepada pemahaman secara mendalam terkait pengetahuan responden tentang
istilah “dang jolma”.
Jika dirujuk pada tabel karakteristik terkait pendidikan responden, dikatakan
bahwa umumnya responden memiliki tingkat pendidikan yang sudah tergolong
tinggi jika dibandingkan dengan standarisasi tingkat pendidikan yang digunakan
di Indonesia saat ini, yaitu wajib belajar sembilan tahun atau setara dengan
sekolah menengah pertama (SMP). Peneliti meyakini bahwa tingkat pendidikan
selalu sejalan dengan tingkat pemahaman. Maka wajar saja sebagian besar
responden memahami istilah “dang jolma”, hal itu terkait banyaknya responden
berpendidikan tinggi di kelurahan Pasir Bidang.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

44

Pada tabel yang sama, dituliskan bahwa tidak terdapat responden yang memilih
opsi “tidak memahami” terkait istilah “dang jolma” yang dilabelkan pada etnis
Nias di kelurahan Pasir Bidang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
narasumber yang dapat dikatakan responden adalah narasumber yang memenuhi
syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh peneliti. Narasumber yang
mengerti dan paham terhadap stereotip “dang jolma” berkemungkinan besar
dapat dikatakan responden, karena telah memenuhi salah satu syarat responden.
Atas dasar tersebut, peneliti meyakini bahwa umumnya responden memahami
stereotip “dang jolma” dan wajar saja tabel tidak mencatat responden yang
memilih opsi “tidak memahami” terhadap stereotip “dang jolma”.
Hasil yang sama juga tercatat pada responden yang memilih opsi “sangat
memahami”. Tercatat, bahwa tidak ada responden yang memilih “sangat
memahami” terhadap stereotip “dang jolma” yang dilabelkan pada etnis Nias.
Peneliti meyakini bahwa hasil ini (tingkat pengertian dan tingkat pemahaman)
hanya dapat dijelaskan melalui penjelasan hasil tabel selanjutnya terkait tabel
kepercayaan responden (tabel 2.9 dan tabel 4.10).

4.3.2.2 Kepercayaan
Tabel 4.9
Alasan Faktor Budaya

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Meyakini

7

7,1

Kurang Meyakini

27

27,6

Meyakini

64

65,3

Sangat Meyakini

0

0

Total

98

100

Sumber : P.11/FC.11
Banyak faktor mengapa stereotip “dang jolma” dapat popular di kelurahan Pasir
Bidang. Peneliti membaginya dari dua sudut pandang untuk mengukur salah satu
indikator variabel x (kepercayaan) terkait istilah “dang jolma” yang dilabelkan
pada etnis Nias di kelurahan Pasir Bidang, diantaranya adalah tingkat kepercayaan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

45

responden terkait faktor budaya dan pendidikan sebagai alasan pelabelan istilah
“dang jolma” kepada etnis Nias.
Pada tabel 4.9 telah disajikan komposisi tingkat keyakinan responden terkait
faktor budaya sebagai alasan pelabelan istilah “dang jolma” kepada etnis Nias.
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas responden meyakini
faktor budaya etnis Nias sebagai alasan penyebutan istilah “dang jolma”.
Tercatat, 64 orang (65,3%) yang meyakini faktor budaya sebagai alasan
penyebutan istilah “dang jolma” kepada etnis Nias. Hasil ini didasari dari
pengetahuan masyarakat kelurahan Pasir Bidang terkait budaya etnis Nias.
Beredar isu di kalangan masyarakat kelurahan Pasir Bidang, dimana dikatakan
budaya etnis Nias bertentangan dengan norma-norma budaya setempat. Seperti
halnya budaya pernikahan etnis Nias, responden sebagian besar mengatakan
bahwa adanya kebiasaan seorang menantu (istri) berkewajiban melayani mertua
pihak laki-laki, dalam hal ini berhubungan intim. Terkait hal ini, peneliti akan
lebih menjelaskan secara detail di soal/angket nomor terakhir terkait opini
masyakarat yang terbangun di kelurahan Pasir Bidang mengenai alasan
penyebutan istilah “dang jolma” ditujukan kepada etnis Nias.
Alasan mengapa stereotip itu begitu mudah menyebar adalah karena manusia
memiliki kebutuhan psikologis untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan
suatu hal. Ketika pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai
kelompok sosial manusia berjalan seirama, maka dapat dikatakan stereotip sedang
berlangsung di kelompok tersebut. Peneliti mengaitkan dasar tersebut sebagai
alasan munculnya hasil dari tabel tersebut. Tercatat pada tabel sebelumnya, bahwa
pengetahuan responden umumnya mengerti dan paham mengenai istilah “dang
jolma”. Hal itu juga seirama dengan tingkat keyakinan responden terkait faktor
budaya sebagai alasan penyebutan istilah “dang jolma”. Namun pada tabel 4.9,
tidak ada responden yang memilih opsi “sangat meyakini” faktor budaya sebagai
alasan penyebutan istilah “dang jolma” kepada etnis Nias. Selama proses
pengumpulan data, peneliti sering mendapati alasan responden yang sama terkait
mengapa responden tidak memilih opsi sangat meyakini dan lebih memilih
meyakini. Hal tersebut didasari dari tidak adanya klarifikasi resmi dari pihakpihak tertentu terkait kebenaran isu yang tersebar di masyarakat kelurahan Pasir

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

46

Bidang mengenai budaya pernikahan etnis Nias, seperti pihak pemerintah, ketua
adat etnis Nias, ataupun akademisi.

Tabel 4.10
Alasan Faktor Pendidikan

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Meyakini

25

25,5

Kurang Meyakini

41

41,8

Meyakini

32

32,7

Sangat Meyakini

0

0

Total

98

100

Sumber : P.12/FC.12
Selanjutnya, pada tabel 4.10 telah disajikan komposisi tingkat keyakinan
responden terkait faktor pendidikan sebagai alasan pelabelan istilah “dang jolma”
kepada etnis Nias. Berdasarkan tabel tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian
besar responden kurang meyakini faktor pendidikan etnis Nias sebagai alasan
penyebutan istilah “dang jolma”. Tercatat, sebanyak 41 orang (41,8%) kurang
meyakini faktor pendidikan sebagai alasan penyebutan istilah “dang jolma”.
Bahkan, jika digabung dengan responden yang memilih opsi tidak meyakini,
maka jelas umumnya responden tidak setuju dengan pernyataan yang mengatakan
bahwa faktor pendidikan sebagai alasan penyebutan istilah “dang jolma” kepada
etnis Nias. Dasar itu juga diperkuat dengan hasil tabel yang mencatat bahwa tidak
satupun responden yang memilih opsi sangat meyakini terkait faktor pendidikan
sebagai alasan penyebutan istilah “dang jolma”. Peneliti juga menambahkan,
bahwa sering sekali responden memberikan umpan balik tidak setuju terkait
angket ini yang disertai alasan. Dikatakan bahwa responden mengakui dan sering
menemui masyarakat suku Nias di lingkungan kelurahan Pasir Bidang yang
berpendidikan (sekolah) bahkan juga juara di sekolahan.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

47

4.3.2.3 Harapan
Tabel 4.11
Berdasarkan Definisi Kata
Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Meyakini

20

20,4

Kurang Meyakini

13

13,3

Meyakini

65

66,3

Sangat Meyakini

0

0

Total

98

100

Sumber : P.13/FC.13
Harapan adalah indikator ketiga yang peneliti tetapkan sebagai variabel
operasional variabel bebas (stereotip “dang jolma”). Berdasarkan tabel 4.11
diatas, umumnya responden (sebanyak 65 orang atau 66,3%) meyakini bahwa
istilah ”dang jolma” berkesesuaian dengan definisi kata.
Stereotip

merupakan

susunan

kognitif

yang

mengandung

pengetahuan,

kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial manusia (dalam
Samovar, 2010: 203). Ketika ketiga hal itu berjalan seirama, maka stereotip
sedang terjadi di daerah kelurahan Pasir Bidang. Namun masyarakat kelurahan
Pasir Bidang tidak sepenuhnya meyakini bahwa berdasarkan definisi kata, etnis
Nias memang layak dilabelkan stereotip ”dang jolma”. Hal itu dibuktikan melalui
tabel diatas, yang mencatat bahwa responden tidak satupun sangat meyakini
bahwa definisi kata berkesesuaian dengan stereotip “dang jolma” yang dilabelkan
pada etnis Nias. Tidak adanya sebuah klarifikasi atas kebenaran isu “dang jolma”
yang dilabelkan kepada etnis Nias menjadi sebuah alasan yang sering diucapkan
responden ketika tidak memilih opsi sangat meyakini terkait angket tabel 4.11.

4.3.3

Variabel Terikat (Efektivitas Komunikasi Antarbudaya)
Selanjutnya pada bagian ini, peneliti akan menyajikan data mengenai

sesuatu yang berhubungan terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya di
masyarakat Kelurahan Pasir Bidang yang dioperasionalkan menjadi beberapa
bagian, yaitu pemahaman, kesenangan, pengaruh sikap, hubungan, dan tindakan.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

48

Variabel kepuasan disini adalah efektivitas komunikasi antarbudaya. Hasil
selengkapnya disajikan pada tabel 4.12 sampai dengan tabel 4.27

4.3.3.1 Pemahaman
Tabel 4.12
Tingkat Mengetahui Budaya Etnis Nias
Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Tahu

12

12,2

Kurang Tahu

72

73,5

Tahu

14

14,3

Sangat Tahu

0

0

Total

98

100

Sumber : P.14/FC.14
Peneliti menetapkan 5 indikator sebagai penyusun variabel terikat efektivitas
komunikasi antarbudaya. Salah satunya adalah pemahaman. Untuk mengukur
pemahaman, peneliti menetapkan tiga angket sebagai indikator penentu tingkat
pemahaman. Salah satunya adalah tingkat pengetahuan responden terhadap
budaya etnis Nias.
Berdasarkan tabel 4.12, umumnya (72 orang atau 73,5%) kurang mengetahui
budaya etnis Nias. Jika dirujuk pada tabel sebelumnya, yaitu tabel 4.4, dijelaskan
bahwa sebagian besar responden bersuku Batak. Hal itu berhubungan dengan
uraian tabel 4.12 yang menyatakan bahwa sebagian besar responden kurang
mengetahui budaya etnis Nias. Masyarakat yang beretnis suku tertentu akan lebih
mengetahui budaya etnis sendiri dan cenderung kurang mengetahui budaya etnis
lainnya. Demikian juga terjadi pada masyarakat etnis Batak, akan lebih
mengetahui budaya etnis Batak dan cenderung kurang mengetahui budaya etnis
non Batak. Maka wajar saja pada tabel diatas, tidak satupun responden yang
benar-benar sangat mengetahui budaya etnis Nias.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

49

Tabel 4.13
Tingkat Mengerti Budaya Etnis Nias

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Mengerti

15

15,3

Kurang Mengerti

82

83,7

Mengerti

1

1,0

Sangat Mengerti

0

0

Total

98

100

Sumber : P.15/FC.15
Selanjutnya, peneliti mengukur tingkat mengerti masyarakat tentang budaya etnis
Nias itu sendiri. Tidak beda jauh dengan tabel sebelumnya, berdasarkan tabel
4.13, umumnya kurang mengerti budaya etnis Nias. Jika dirujuk pada tabel
sebelumnya, yaitu tabel 4.4 dan 4.12 dijelaskan bahwa sebagian besar responden
bersuku Batak dan kurang mengetahui budaya etnis Nias. Peneliti menilai bahwa
uraian tabal sebelumnya memiliki hubungan yang erat dengan tabel 4.13. Dalam
hal ini, ketika responden sebagian besar kurang mengetahui budaya etnis Nias,
maka responden juga akan kurang mengerti budaya etnis Nias.

Tabel 4.14
Tingkat Memahami Budaya Etnis Nias

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Memahami

17

17,3

Kurang Memahami 81

82,7

Memahami

0

0

Sangat Memahami

0

0

Total

98

100

Sumber : P.16/FC.16
Terakhir, peneliti menetapkan tingkat pemahaman budaya etnis Nias menjadi
tolak ukur untuk menentukan variabel operasional terikat pertama, yakni
pemahaman. Demikian juga terjadi pada tabel 4.14. Dimana umumnya responden

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

50

kurang memahami budaya etnis Nias, tercatat 81 responden (82,7%) menyatakan
kurang memahami budaya etnis Nias.
Berdasarkan definisi kata, antara mengetahui, mengerti dan memahami
merupakan hal berbeda namun saling berhubungan. Peneliti menetapkan ketiga
hal tersebut sebagai indikator untuk mengukur tingkat pemahaman responden
terhadap budaya etnis Nias.

Memahami berarti mengetahui dan mengerti.

Namun, mengetahui belum tentu mengerti dan memahami. Tingkatan pertanyaan
tersebut dilakukan peneliti untuk mengukur derajat pengetahuan responden terkait
stereoti dang jolma yang ditujukan kepada etnis Nias. Sedikitnya responden
memahami budaya etnis Nias didasari pada perbedaan latar belakang suku
sebagian besar responden dengan etnis Nias.

4.3.3.2 Kesenangan
Tabel 4.15
Tingkat Sering Menyapa Etnis Nias

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Pernah

0

0

Tidak Sering/Jarang

19

19,4

Sering

77

78,6

Sangat Sering

2

2,0

Total

98

100

Sumber : P.17/FC.17
Variabel operasional selanjutnya, adalah kesenangan. Peneliti menetapkan tiga
soal/angket untuk mengukur tingkat kesenangan. Pertama adalah seberapa sering
masyarakat kelurahan Pasir Bidang menyapa etnis Nias. Pada tabel 4.15 telah
disajikan tingkat seringnya responden menyapa etnis Nias. Berdasarkan tabel
tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden sering menyapa etnis
Nias, tercatat 78,6% yang menyatakan sering menyapa etnis Nias. Jika dirujuk
pada tabel 4.3 yaitu komposisi pekerjaan responden, diuraikan bahwa sebagian
besar responden memiliki pekerjaan yang berkaitan erat dengan dunia interaksi
sosial. Artinya, sangat memungkinkan proses interaksi terjadi dalam dunia

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

51

pekerjaan responden, dalam hal ini terkait keterikatan pekerjaan dengan ruang
publik. Tercatat, bahwa wiraswasta, nelayan, dan mahasiswa/pelajar adalah
komposisi pekerjaan responden tertinggi. Maka atas dasar tersebut, sebagian besar
responden sering menyapa etnis Nias.

Tabel 4.16
Perasaan Menyapa Etnis Nias

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Senang

2

2,0

Kurang Senang

6

6,1

Senang

90

91,8

Sangat Senang

0

0

Total

98

100

Sumber : P.18/FC.18
Kedua adalah tingkat perasaan ketika responden menyapa etnis Nias. Pada tabel
4.16, sebagian besar responden atau tercatat sebanyak 90 orang atau 91,8%
menyatakan senang ketika menyapa etnis Nias. Pada tabel sebelumnya yaitu tabel
4.4, dijelaskan bahwa sebagian besar responden adalah masyarakat etnis Batak.
Budaya etnis Batak cenderung berbicara langsung (berterus terang) dan lugas
tanpa basa-basi (dalam Lubis, 2014:130). Bahkan tidak heran kalau terdapat
singkatan BTL (Batak Tembak Langsung). Gaya berkomunikasi seperti ini lebih
dikenal dengan istilah Low Culture Context (LCC). Peneliti mendasari hal
tersebut berkesesuaian (berbanding lurus) antara tabel sebelumnya yaitu tabel 4.15
dengan tabel 4.16 yang menyatakan bahwa sebagian besar responden sering
menyapa dan juga merasa senang terhadap etnis Nias. Artinya, gaya
berkomunikasi konteks rendah dalam hal ini reaksi terhadap sesuatu selalu tampak
(tidak samar-samar), tidak suka basa-basi, terbuka, jelas dan eksplisit. Maksudnya
tidak ada pertentangan antara komunikasi nonverbal dengan komunikasi verbal
seperti yang biasa dilakukan oleh gaya komunikasi konteks tinggi. Pernyataan
tersebut juga diperkuat pada dinamika penelitian di lapangan. Responden secara

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

52

tidak sengaja sering menyertakan alasan perasaannya ketika menyapa etnis Nias,
“kalau tidak senang, untuk apa saya menyapa?”.
Tabel 4.17
Tingkat Sering Bercanda Dengan Etnis Nias

Uraian

Frekuensi

Persentase

Tidak Pernah

2

2,0

Tidak Sering/Jarang

39

39,8

Sering

57

58,2

Sangat Sering

0

0

Total

98

100

Sumber : P.19/FC.19
Bagian terakhir indikator kesenangan yang ditetapkan peneliti adalah tingkat
seringnya bercanda responden dengan etnis Nias. Dari Tabel 4.17, sebanyak 57
responden (58,2%) menyatakan sering bercanda dengann etnis Nias, disusul 39
responden (39,8%) yang menyatakan tidak sering/jarang bercanda dengan etnis
Nias. Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa aktivitas ekonomi responden sangat
mendukung terjadinya interaksi langsung (komunikasi dua arah) antara kedua bela
pihak. Maka tidak menutup kemungkinan bahkan sangat memungkinkan bahwa
responden akan lebih sering bercanda bila dibandingkan dengan responden yang
tidak berhubungan dengan ruang publik. Semakin intensnya sebuah hubungan
komunikasi, mendorong semakin eratnya keharmonisan hubungan di masyarakat.

4.3.3.3 Sikap
Tabel 4.18
Tingkat Kesetujuan Memberikan Pertolongan Kepada Etnis Nias

Uraian

Frekuensi

Persentase

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

53

Tidak Setuju

0

0

Kurang Setuju

7

7,1

Setuju

89

90,8

Sangat Setuju

2

2,0

Total

98

100

Sumber : P.20/FC.20
Variabel operasional ketiga, adalah sikap. Ada 4 soal angket yang peneliti
tetapkan untuk mengukur sikap. Pertama adalah tingkat kesetujuan ketika
responden memberikan pertolongan kepada etnis Nias. Berdasarkan tabel 4.18,
diketahui bahwa sebanyak 89 orang atau 90,8% menyatakan setuju memberikan
pertolongan kepada etnis Nias. Berdasarkan kajian tabel 4.3, Etnis Nias yang
diberikan pertolongan umumnya merupakan orang-orang y