Stereotip Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Konteks Masalah
Masyarakat majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari
berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan
gesekan yang dapat menyebabkan terjadinya konflik antar kelompok. Konflik
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) adalah salah satu pemicu konflik
yang paling efektif dalah kehidupan masyarakat majemuk, karena hal tersebut
dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Konflik biasanya terjadi ketika antara
satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak dapat saling memahami budaya
masing-masing dan merasa bahwa budaya yang ia miliki lebih unggul dibanding
dengan budaya lain (etnosentrisme).
Sifat masyarakat Indonesia yang heterogen atau multikultur ini sangat
rentan terhadap kemungkinan terjadinya berbagai konflik antarbudaya. Dengan
kata lain dapat dikatakan faktor perbedaan budaya, sangat berpotensi
menimbulkan
kesalahpahaman,
pertentangan,
perselisihan,
pertikaian,
peperangan, bahkan tidak mustahil juga menjadi pemicu dan pemegang peranan
penting bagi munculnya konflik antar budaya tersebut. Konflik kelompok tertentu
dalam masyarakat majemuk memberikan gambaran bahwa terdapat kegagalan
dalam hubungan dan komunikasi antarbudayanya.
Dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok berdasarkan identitas
kultural akan sulit mencapai keterpaduan sosial. Sebab, masing-masing kelompok
berada dalam lingkup pergaulan yang eksklusif sehingga relatif tidak intensif
dalam melakukan komunikasi (antarbudaya) yang efektif. Komunikasi yang
sebelumnya dimaksudkan untuk mengurangi kesalahpahaman budaya (cultural
misunderstanding), justru cenderung berbalik menjadi penghindaran komunikasi
(communication avoidance) diantara kebudayaan yang berbeda tersebut
(Rahardjo 2005: 2).
Kebudayaan
yang dimiliki
oleh suku,
etnis,
dan agama turut
mempengaruhi gaya komunikasi sehingga perbedaan budaya dapat menjadi
sebuah rintangan dalam berinteraksi satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan
Cangara dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi, terdapat
Universitas Sumatera Utara
2
rintangan budaya yang menjadi gangguan dalam berkomunikasi dimana rintangan
budaya yang dimaksud adalah rintangan yang terjadi disebabkan adanya
perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam interaksi komunikasi (Cangara, 2008: 156).
Stereotip-stereotip terhadap suku, etnis dan agama tertentu merupakan
hambatan dalam membangun sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif.
Menurut Samovar & Porter stereotip adalah suatu persepsi atau kepercayaan yang
dianut mengenai individu atau kelompok berdasarkan pendapat dan sikap yang
lebih dahulu terbentuk (Mulyana, 2010: 218).
Walter Lippman dalam bukunya Public Opinion (1922) secara ilmiah
merumuskan dan menggambarkan stereotip sebagai “Pictures in our heads” atau
gambaran-gambaran yang ada di kepala. Yang memiliki makna bahwa kita tidak
melihat dulu lalu mendefinisikan, tetapi mendefinisikan dulu kemudian baru
melihat. Kita diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan
kebanyakan hal sebelum mengalaminya.
Secara sederhana stereotip merupakan salah satu mekanisme penyederhana
untuk mengendalikan lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya
terlalu luas, terlalu majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali
dengan langsung. Sedangkan stereotip etnis adalah kepercayaan yang dianut
bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat-sifat khas
dari berbagai golongan etnis, termasuk golongan etnis mereka sendiri.
Stereotip itu sendiri terbentuk oleh kategori sosial yang merupakan upaya
individu untuk memahami lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, ketika
individu menghadapi sekian banyak orang di sekitarnya, individu akan mencari
persamaan-persamaan antara sejumlah orang tertentu dan mengelompokkan
mereka ke dalam satu kategori. Namun pada praktiknya, kategori sosial ini justru
mempengaruhi cara pandang seseorang yang sudah dimasukkan kedalam
kelompok tersebut. Akibatnya timbul kesalahan-kesalahan dalam melakukan
persepsi sosial karena seluruh individu dalam kategori sosial tertentu mempunyai
sifat-sifat dari kelompoknya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa
stereotip dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip
dapat menimbulkan penilaian negatif antar suku dan etnis.
Universitas Sumatera Utara
3
Keberhasilan komunikasi antarbudaya sangat diperlukan bagi masyarakat
yang mendiami kota-kota besar di Indonesia. Tingginya tingkat perpindahan
penduduk dari desa ke kota, ketergantungan ekonomi dan mobilitas antar negara
menjadikan Medan sebagai kota yang didiami berbagai latar belakang budaya
yang berbeda. Kesalapahaman antarbudaya yang ditimbulkan oleh stereotip bisa
saja terjadi dalam hidup bermasyarakat di kota-kota besar jika anggota masyarakat
tidak dapat memahami satu sama lain mengenai budaya kelompok lain.
Kota Medan merupakan salah satu kota besar yang saat ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat dari berbagai aspek. Terletak dibagian barat
Indonesia yang sekaligus merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota
Medan sejak zaman dahulu telah menjadi kota perdagangan serta pendidikan yang
memiliki peranan penting di Pulau Sumatera. Selain didiami oleh beberapa
masyarakat Etnis Pribumi dari berbagai suku, ada pula perantau dari berbagai
daerah datang ke Kota Medan, entah itu untuk berdagang, bekerja, maupun
belajar. Hal ini merupakan bukti bahwa Medan adalah sebuah kota besar dan
sekaligus menandakan bahwa Kota Medan adalah kota multikultur.
Sampai saat ini Kota Medan masih menjadi primadona bagi masyarakat
lokal maupun mancanegara. Sebagai pusat ekonomi, hiburan dan pendidikan,
tentunya hal tersebut menjadi daya tarik bagi kelompok masyarakat yang bukan
berasal dari Medan untuk menetap. Tak heran jika Kota Medan memiliki
masyarakat dengan latar belakang etnis, suku dan agama yang berbeda. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya perkampungan etnis atau suku tertentu yang ada di
Medan salah satunya ialah Kampung Madras (dulunya disebut Kampung Keling)
dimana terdapat etnis Pribumi, India dan Tionghoa yang menempati daerah itu.
Etnis Pribumi sendiri merupakan kelompok etnis yang mempunyai daerah
mereka sendiri. Masyarakat Indonesia terbagi dalam dua golongan besar yaitu
golongan Etnis Pribumi dan Etnis Pendatang (Eropa, India, Cina, dsb). Golongan
Pribumi dapat didefinisikan sebagai golongan mayarakat yang berasal dari seluruh
suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik
Indonesia. (Damayanti, 2011: 27). Berdasarkan pengertian mengenai etnis
Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah
Universitas Sumatera Utara
4
kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di
Kota Medan.
Istilah “keling” di Sumatera Utara digunakan untuk menyebut orang India
yang identik dengan kulit gelap, khususnya masyarakat Tamil dan julukan ini
cenderung memiliki konotasi negatif. Padahal sebenarnya istilah kata “keling” ini
digunakan untuk orang Jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga di Jawa Tengah.
Namun orang Belanda membuat kesalahan pengucapan kata Kalingga sehingga
menjadi kata keling. Hal ini juga berdampak pada penyebutan nama daerah yang
sampai saat ini merupakan salah satu pusat kebudayaan dan pengembangan Etnis
Tamil yaitu Kampung Keling. (Sinar, 2001: 2).
Salah satu hal yang membuat kawasan Kampung Madras dikenal hingga
ke mancanegara adalah karena harmonisasi dan toleransi diantara beberapa etnis
yang tinggal di daerah tersebut dan juga dikarenakan banyaknya mayoritas Etnis
India Tamil yang sejak dahulu kala telah bermukim disana. Etnis India Tamil
sendiri merupakan salah satu suku yang berasal dari India.
Menurut sejarahnya, mereka adalah pendatang yang pada awalnya bekerja
sebagai kuli di perkebunan Deli. Mereka pertama kali dibawa masuk ke Indonesia
oleh pemerintah Belanda pada abad ke 19, mereka umumnya dibawa sebagai
pekerja pada sejumlah perkebunan di Kota Medan. Etnis Tamil yang masuk ke
Indonesia kebanyakan dipekerjakan di perusahaan perkebunan Belanda yang
bernama Deli Maatschappij atau dalam bahasa indonesia dikenal dengan
Tembakau Deli. Sebagian besar dari mereka berasal dari India bagian selatan,
namun tidak sedikit pula yang berasal dari India bagian utara (Sinar, 2001: 1).
Etnis Tamil tidak hanya tersebar di Sumatera Utara, tetapi juga mereka
banyak menetap di Jakarta dan di Sigli, Aceh. Kebanyakan dari masyarakat Tamil
beragama Hindu, namun tidak sedikit pula yang beragama Islam dan Kristen.
Sebagian besar Etnis Tamil yang ada di Medan bermukim di kawasan kampung
Madras. Kawasan yang terletak di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia ini
dihuni oleh beberapa etnis dengan kultur yang berbeda. Hal ini membuat proses
interaksi komunikasi antar budaya berlangsung secara inklusif dan intens diantara
beberapa budaya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5
Adanya pemikiran etnosentrisme, stereotip dan prasangka negatif yang
masih berkembang sampai saat ini dapat menjadi potensi pemicu terjadinya
konflik antar kelompok etnis dan suku di Kota Medan. Stereotip dan prasangka
merupakan konsep yang saling terkait dan lazimnya terjadi bersama-sama.
Seseorang yang mempunyai stereotip terhadap suatu kelompok juga cenderung
mempunyai prasangka mengenai kelompok tersebut. Patut dicatat bahwa baik
stereotip ataupun prasangka, keduanya merupakan sesuatu yang dipelajari. Kedua
hal tersebut juga mempunyai hubungan erat dan saling berpengaruh terhadap
keberlangsungan interaksi komunikasi antar budaya.
Berkembangnya stereotip (negatif) bisa menjadi potensi yang menghambat
dalam komunikasi antarbudaya Etnis Pribumi dengan Etnis India Tamil maupun
dengan suku lainnya khususnya ketika mereka berada dalam satu ruang lingkup
masyarakat yang sama. Stereotip tersebut bisa saja menjadi penilaian negatif
antara kedua etnis sehingga dikawatirkan akan mengarah pada sikap dan perilaku
negatif diantara kedua etnis tersebut.
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan tentang bagaimana dampak
stereotip terhadap keberlangsungan interaksi komunikasi antar budaya antara
Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil, maka penulis tertarik untuk mengetahui dan
melihat apa saja sterotip yang berkembang diantara Etnis Pribumi dan Etnis India
Tamil dalam konteks interaksi komunikasi antar budaya diantara kedua budaya
tersebut.
1.2
Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat dirumuskan bahwa fokus masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana Stereotip Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil di Kel. Madras
Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan?”
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui stereotip yang berkembang pada Etnis Pribumi dan
Etnis India Tamil di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota
Medan.
Universitas Sumatera Utara
6
b. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk stereotip pada Etnis
Pribumi dan Etnis India Tamil di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan
Polonia, Kota Medan.
c. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mendukung
terjalinnya
hubungan harmonis antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil di Kel.
Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan sampai saat ini.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
memperkaya pengetahuan maupun sebagai referensi dalam bidang
Ilmu Komunikasi khususnya bagi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU.
b. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana penerapan ilmu
pengetahuan pada bidang kajian komunikasi antarbudaya yang selama
ini telah dipelajari peneliti selama menjadi mahasiswa Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP USU.
c. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
bagaimana stereotip yang berkembang pada Etnis Pribumi dan Etnis
India Tamil di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan
sehingga dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan
disintegrasi sosial diantara kedua etnis tersebut. Serta penelitian
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
bagi
pihak-pihak
yang
membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Konteks Masalah
Masyarakat majemuk yang hidup bersama dalam satu wilayah terdiri dari
berbagai latar belakang budaya yang berbeda tentunya sangat rentan dengan
gesekan yang dapat menyebabkan terjadinya konflik antar kelompok. Konflik
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) adalah salah satu pemicu konflik
yang paling efektif dalah kehidupan masyarakat majemuk, karena hal tersebut
dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Konflik biasanya terjadi ketika antara
satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak dapat saling memahami budaya
masing-masing dan merasa bahwa budaya yang ia miliki lebih unggul dibanding
dengan budaya lain (etnosentrisme).
Sifat masyarakat Indonesia yang heterogen atau multikultur ini sangat
rentan terhadap kemungkinan terjadinya berbagai konflik antarbudaya. Dengan
kata lain dapat dikatakan faktor perbedaan budaya, sangat berpotensi
menimbulkan
kesalahpahaman,
pertentangan,
perselisihan,
pertikaian,
peperangan, bahkan tidak mustahil juga menjadi pemicu dan pemegang peranan
penting bagi munculnya konflik antar budaya tersebut. Konflik kelompok tertentu
dalam masyarakat majemuk memberikan gambaran bahwa terdapat kegagalan
dalam hubungan dan komunikasi antarbudayanya.
Dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok berdasarkan identitas
kultural akan sulit mencapai keterpaduan sosial. Sebab, masing-masing kelompok
berada dalam lingkup pergaulan yang eksklusif sehingga relatif tidak intensif
dalam melakukan komunikasi (antarbudaya) yang efektif. Komunikasi yang
sebelumnya dimaksudkan untuk mengurangi kesalahpahaman budaya (cultural
misunderstanding), justru cenderung berbalik menjadi penghindaran komunikasi
(communication avoidance) diantara kebudayaan yang berbeda tersebut
(Rahardjo 2005: 2).
Kebudayaan
yang dimiliki
oleh suku,
etnis,
dan agama turut
mempengaruhi gaya komunikasi sehingga perbedaan budaya dapat menjadi
sebuah rintangan dalam berinteraksi satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan
Cangara dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi, terdapat
Universitas Sumatera Utara
2
rintangan budaya yang menjadi gangguan dalam berkomunikasi dimana rintangan
budaya yang dimaksud adalah rintangan yang terjadi disebabkan adanya
perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam interaksi komunikasi (Cangara, 2008: 156).
Stereotip-stereotip terhadap suku, etnis dan agama tertentu merupakan
hambatan dalam membangun sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif.
Menurut Samovar & Porter stereotip adalah suatu persepsi atau kepercayaan yang
dianut mengenai individu atau kelompok berdasarkan pendapat dan sikap yang
lebih dahulu terbentuk (Mulyana, 2010: 218).
Walter Lippman dalam bukunya Public Opinion (1922) secara ilmiah
merumuskan dan menggambarkan stereotip sebagai “Pictures in our heads” atau
gambaran-gambaran yang ada di kepala. Yang memiliki makna bahwa kita tidak
melihat dulu lalu mendefinisikan, tetapi mendefinisikan dulu kemudian baru
melihat. Kita diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan
kebanyakan hal sebelum mengalaminya.
Secara sederhana stereotip merupakan salah satu mekanisme penyederhana
untuk mengendalikan lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya
terlalu luas, terlalu majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali
dengan langsung. Sedangkan stereotip etnis adalah kepercayaan yang dianut
bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat-sifat khas
dari berbagai golongan etnis, termasuk golongan etnis mereka sendiri.
Stereotip itu sendiri terbentuk oleh kategori sosial yang merupakan upaya
individu untuk memahami lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, ketika
individu menghadapi sekian banyak orang di sekitarnya, individu akan mencari
persamaan-persamaan antara sejumlah orang tertentu dan mengelompokkan
mereka ke dalam satu kategori. Namun pada praktiknya, kategori sosial ini justru
mempengaruhi cara pandang seseorang yang sudah dimasukkan kedalam
kelompok tersebut. Akibatnya timbul kesalahan-kesalahan dalam melakukan
persepsi sosial karena seluruh individu dalam kategori sosial tertentu mempunyai
sifat-sifat dari kelompoknya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa
stereotip dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip
dapat menimbulkan penilaian negatif antar suku dan etnis.
Universitas Sumatera Utara
3
Keberhasilan komunikasi antarbudaya sangat diperlukan bagi masyarakat
yang mendiami kota-kota besar di Indonesia. Tingginya tingkat perpindahan
penduduk dari desa ke kota, ketergantungan ekonomi dan mobilitas antar negara
menjadikan Medan sebagai kota yang didiami berbagai latar belakang budaya
yang berbeda. Kesalapahaman antarbudaya yang ditimbulkan oleh stereotip bisa
saja terjadi dalam hidup bermasyarakat di kota-kota besar jika anggota masyarakat
tidak dapat memahami satu sama lain mengenai budaya kelompok lain.
Kota Medan merupakan salah satu kota besar yang saat ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat dari berbagai aspek. Terletak dibagian barat
Indonesia yang sekaligus merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota
Medan sejak zaman dahulu telah menjadi kota perdagangan serta pendidikan yang
memiliki peranan penting di Pulau Sumatera. Selain didiami oleh beberapa
masyarakat Etnis Pribumi dari berbagai suku, ada pula perantau dari berbagai
daerah datang ke Kota Medan, entah itu untuk berdagang, bekerja, maupun
belajar. Hal ini merupakan bukti bahwa Medan adalah sebuah kota besar dan
sekaligus menandakan bahwa Kota Medan adalah kota multikultur.
Sampai saat ini Kota Medan masih menjadi primadona bagi masyarakat
lokal maupun mancanegara. Sebagai pusat ekonomi, hiburan dan pendidikan,
tentunya hal tersebut menjadi daya tarik bagi kelompok masyarakat yang bukan
berasal dari Medan untuk menetap. Tak heran jika Kota Medan memiliki
masyarakat dengan latar belakang etnis, suku dan agama yang berbeda. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya perkampungan etnis atau suku tertentu yang ada di
Medan salah satunya ialah Kampung Madras (dulunya disebut Kampung Keling)
dimana terdapat etnis Pribumi, India dan Tionghoa yang menempati daerah itu.
Etnis Pribumi sendiri merupakan kelompok etnis yang mempunyai daerah
mereka sendiri. Masyarakat Indonesia terbagi dalam dua golongan besar yaitu
golongan Etnis Pribumi dan Etnis Pendatang (Eropa, India, Cina, dsb). Golongan
Pribumi dapat didefinisikan sebagai golongan mayarakat yang berasal dari seluruh
suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik
Indonesia. (Damayanti, 2011: 27). Berdasarkan pengertian mengenai etnis
Pribumi di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Pribumi di kota Medan adalah
Universitas Sumatera Utara
4
kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di
Kota Medan.
Istilah “keling” di Sumatera Utara digunakan untuk menyebut orang India
yang identik dengan kulit gelap, khususnya masyarakat Tamil dan julukan ini
cenderung memiliki konotasi negatif. Padahal sebenarnya istilah kata “keling” ini
digunakan untuk orang Jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga di Jawa Tengah.
Namun orang Belanda membuat kesalahan pengucapan kata Kalingga sehingga
menjadi kata keling. Hal ini juga berdampak pada penyebutan nama daerah yang
sampai saat ini merupakan salah satu pusat kebudayaan dan pengembangan Etnis
Tamil yaitu Kampung Keling. (Sinar, 2001: 2).
Salah satu hal yang membuat kawasan Kampung Madras dikenal hingga
ke mancanegara adalah karena harmonisasi dan toleransi diantara beberapa etnis
yang tinggal di daerah tersebut dan juga dikarenakan banyaknya mayoritas Etnis
India Tamil yang sejak dahulu kala telah bermukim disana. Etnis India Tamil
sendiri merupakan salah satu suku yang berasal dari India.
Menurut sejarahnya, mereka adalah pendatang yang pada awalnya bekerja
sebagai kuli di perkebunan Deli. Mereka pertama kali dibawa masuk ke Indonesia
oleh pemerintah Belanda pada abad ke 19, mereka umumnya dibawa sebagai
pekerja pada sejumlah perkebunan di Kota Medan. Etnis Tamil yang masuk ke
Indonesia kebanyakan dipekerjakan di perusahaan perkebunan Belanda yang
bernama Deli Maatschappij atau dalam bahasa indonesia dikenal dengan
Tembakau Deli. Sebagian besar dari mereka berasal dari India bagian selatan,
namun tidak sedikit pula yang berasal dari India bagian utara (Sinar, 2001: 1).
Etnis Tamil tidak hanya tersebar di Sumatera Utara, tetapi juga mereka
banyak menetap di Jakarta dan di Sigli, Aceh. Kebanyakan dari masyarakat Tamil
beragama Hindu, namun tidak sedikit pula yang beragama Islam dan Kristen.
Sebagian besar Etnis Tamil yang ada di Medan bermukim di kawasan kampung
Madras. Kawasan yang terletak di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia ini
dihuni oleh beberapa etnis dengan kultur yang berbeda. Hal ini membuat proses
interaksi komunikasi antar budaya berlangsung secara inklusif dan intens diantara
beberapa budaya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5
Adanya pemikiran etnosentrisme, stereotip dan prasangka negatif yang
masih berkembang sampai saat ini dapat menjadi potensi pemicu terjadinya
konflik antar kelompok etnis dan suku di Kota Medan. Stereotip dan prasangka
merupakan konsep yang saling terkait dan lazimnya terjadi bersama-sama.
Seseorang yang mempunyai stereotip terhadap suatu kelompok juga cenderung
mempunyai prasangka mengenai kelompok tersebut. Patut dicatat bahwa baik
stereotip ataupun prasangka, keduanya merupakan sesuatu yang dipelajari. Kedua
hal tersebut juga mempunyai hubungan erat dan saling berpengaruh terhadap
keberlangsungan interaksi komunikasi antar budaya.
Berkembangnya stereotip (negatif) bisa menjadi potensi yang menghambat
dalam komunikasi antarbudaya Etnis Pribumi dengan Etnis India Tamil maupun
dengan suku lainnya khususnya ketika mereka berada dalam satu ruang lingkup
masyarakat yang sama. Stereotip tersebut bisa saja menjadi penilaian negatif
antara kedua etnis sehingga dikawatirkan akan mengarah pada sikap dan perilaku
negatif diantara kedua etnis tersebut.
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan tentang bagaimana dampak
stereotip terhadap keberlangsungan interaksi komunikasi antar budaya antara
Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil, maka penulis tertarik untuk mengetahui dan
melihat apa saja sterotip yang berkembang diantara Etnis Pribumi dan Etnis India
Tamil dalam konteks interaksi komunikasi antar budaya diantara kedua budaya
tersebut.
1.2
Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat dirumuskan bahwa fokus masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana Stereotip Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil di Kel. Madras
Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan?”
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui stereotip yang berkembang pada Etnis Pribumi dan
Etnis India Tamil di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota
Medan.
Universitas Sumatera Utara
6
b. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk stereotip pada Etnis
Pribumi dan Etnis India Tamil di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan
Polonia, Kota Medan.
c. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mendukung
terjalinnya
hubungan harmonis antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil di Kel.
Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan sampai saat ini.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
memperkaya pengetahuan maupun sebagai referensi dalam bidang
Ilmu Komunikasi khususnya bagi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU.
b. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana penerapan ilmu
pengetahuan pada bidang kajian komunikasi antarbudaya yang selama
ini telah dipelajari peneliti selama menjadi mahasiswa Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP USU.
c. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
bagaimana stereotip yang berkembang pada Etnis Pribumi dan Etnis
India Tamil di Kel. Madras Hulu, Kec. Medan Polonia, Kota Medan
sehingga dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan
disintegrasi sosial diantara kedua etnis tersebut. Serta penelitian
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
bagi
pihak-pihak
yang
membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara