Paradigma ilmu Hukum Profetik. docx

Paradigma (ilmu) Hukum Profetik
Istilah Hukum Positif, yang kemudian populer sebagai hukum yang berlaku pada
masa sekarang dan untuk sebuah wilayah hukum tertentu, acapkali dituduh terpengaruh
Positivisme Ilmu yang berjaya pada beberapa abad yang lalu.Dengan mendasarkan kepada
paradigm sains Cartesian-Newtonian, positivisme mewarnai langgam keilmuan beberapa
abad yang lalu. Termasuk Ilmu Hukum yang ikut terpengaruh.
Namun, dengan Runtuhnya sains modern yang memunculkan teori kuantum modern,
kemudian munculnya Teori Relatviitas dan teori chaos, membuat pergesaran dalam
perjalanan ilmu pengetahuan. Teori diatas dipercayai sebagai penyangga Postomdernisme
yang disebut sebagai antitesa dari Modernisme.1 Dengan munculnya Postmodernisme,
mungkinkah ia melahirkanilmuhukum yang “khas” Postmodern. Sepertipadamasa Modern
yang melahirkan Positivisme Ilmu. Lalu apa yang dimaksud dengan Ilmu Hukum Profetik,
mungkinkah istilah ini merupakan derivasi dari Pemikiran Ilmu Ilmu Profetik yang sedang
gencar diteliti.
Mengenal(ilmu) Hukum Modern
Istilah Positivisme pertama kali dipergunakan oleh Saint Simon (1760-1825) dari
Perancis sebagai metode sekaligus merupakan perkembangan aras pemikiran Filsafat.
Positivime kemudian digunakan oleh empat orang juris senior yang ditunjuk Napoleon untuk
mereformasi Hukum Perancis, agar tak lagi tampil dengan wajah “sok moralis” dan serba
metafisis. Positivisme lahir dari huru hara pada masa Revolusi Borjuis Perancis yang
menghasilkan para Aristokrat dan Gereja sebagai musuh utama.

Gereja yang sebelumnya, memegang kendali atas produksi keilmuan, pada akhirnya
ditentang dan hasil tafsirnya mulai dipertanyakan para saintis. Pengetahuan yang sebelumnya
bercirikan dogmatis, liturgis, dan msitis, pada akhirnya disingkirkan oleh kemajuan
pengetahuan tentang alam yang memberikan jaminan kepastian dan dapat diprediksikan.
Pada akhirnya, Eksekusi Galileo, menandakan permusuhan Gereja dengan para saintis,
membuat sifat ilmu bergeser, yang awalnya teosentris kemudian berubah bersifat
antroposentris.2
Melalui Augusto Comte, yang sering disebut sebagai bapak Positivism, ia
menyerukan gerakan pendekatan yang murni ilmiah kepada sejarah dan masyarakat. Ia
menyebut istilah ini sebagai sistem Positivisme, yang memercayai sebuah sistem
pengetahuan bertumpu kepada pengetahuan pasti yang berasal dari fakta-fakta yang diamati
sehingga dapat diverifikasi secara empiris.3

1
Sungguhpun
begitu,
isitilah
Postmodernisme
cenderung
terbuka

lebar
untukdidefinisiakan ulang. Hal ini disebakan, ia memayungi berbagai arus pemikiran
yang antara satu sama lain yang tidak saling berkaitan. Bambang Sugiharto, 1996,
Postomdernisme; tantangan bagi filsafat, Jogjakarta: Pustaka Filsafat, hlm 16.
2Absori dkk, 2015, Paradigma Hukum Profetik; kritik terhadap asumsi asumsi dasar Ilmu
Hukum Non-Sistematik, Jogja: Genta Publishing, hlm 76.
3Marvin Perry, 2013, Sejarah Peradaban Barat, Jogjakrta: Kreasi Wacana, hlm 138.

Comte ingin menegaskan bahwa setiap pengetahuan tidak boleh melebihi fakta,
memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan sebagai objek yang harus dilepaskan
dari segala macam prakonsepsi metafisis dan subjektif sifatnya. Positivisme menolak
pertanggungjawaban pengetahuan yang berasal dari luar batas empiris dan hukum hukum
ilmu pengetahuan. Positivisme secara tidak langsung, terbawa oleh arus ilmu empiris, yang
dimotori oleh Francis Bacon.4
Logika empirik ini pada awalnya berasal dari Metode penemuan Ilmiah pada ilmu
alam yang menemukan kejayaanya pada kemajuan teknologi. Kemajuan ilmu ilmu alam yang
mencoba meninggalkan pendekatan Teokratis dan moralis, coba ditawarkan kepada ilmu ilmu
sosial, termasuk terhadap Ilmu Hukum. Melalui Kongres Wina pada tahun 1928, para
ilmuwan sepakat menyusun satu metode ilmu pengetahuan, yaitu Metode Imiah-saintifik,
penemuan tentang kebenaran haruslah melalui metode yang dipertanggung jawabkan atas

kebenaran empiris.5
Positivismeadalah anak kandung dari epistemologi Modern yang dirintis olehh
Descartes-newton atau dikenal sebagai Cartesian Newtonian, naman ini dinisbatkan kepada
dua ilmuwan terkenal abad pertengahan, Rene Descartes (1596-1650) dan Sir Isssac Newton
( 1642-1762). Metode Universal Descartes dan Universalisme abad pencerahan pada masa
Immanuel Kant mengkritsal menjadi unified science kaum positivis.
Dari Rene Descartes, kita mengenal ungkapan Cogito Ergo Sum (Aku berfikir, maka
aku ada), yang sebenarnya merupakan sebuah metode kesangsian (metode keraguan) dalam
mencapai kebenaran. Descartes, kemudian tertarik untuk mematematisasi alam, yang
berujung pandangan bahwa alam semesta adalah mesin raksasa, yang disusun dari hukum
sebab –akibat.6
Upaya Mematematikasi Alam, mencapai puncaknya di tangan Jenius Sir Issac
Newton. Dalam Principia, ia menentukan pemahamam tentang tatanan alam tidak hanya
terjadi dalam ranah sains, tetapi berlangsung pula dalam aras sosial kebudayaan. Newton,
dianggap mensintesakan, pemikiran para pendahulunya. Ia memadukan mimpi visioner
Descartes dan Empirisme Bacon agar dapat ditramsformasi dalam kehidupan nyata melalui
peletakan dasar-dasar mekanika.7
4Absori, Op Cit, hlm 79. Comte kemudian memberikan definis tentang Istilah “Positif”,
sebagai tanda pensifatan sesuatu yang nyata, bukan sebuah penafsiran yang sifatnya
khayal. Sementara Harun Hadiwijoyono menyebut positivisme berasal dari kata “positif”

yang berarti diketahui, yang faktual dan positif. Segala uraian dan persoalan diluar fakta
atau kenyataan dikesampingkan. Amsal Bachtiar dalam Idzan Fautanu, 2012, Filsafat
Ilmu, Jakarta; Referensi, hlm
5Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma dalam Kajian Kajian Sosial dan
Hukum, Malang: Setara Press, hlm 106.
6Husain Heriyanto, 2003, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains, dan kehidupan
menurut Shadra dan Whitehead, Bandung: Teraju, hlm 34.
7Ibid, hlm 40. Soetandyo (2013) berpendapat bahwa pandangan mekanistik terhadap
alam semesta pada Paradigma Cartesian Newtonian, diilhami dari Pandangan kaum
Galilean, yang mengkritik pandangan Aristotelian yang beranggapan keteraturan Alam
semesta, terjadi bukan karena hukum sebab akibat, namun karena ada sebuah kekuatan
pencipta, sebuah penggerak yang tidak bergerak (Unmoved Mover).

Sebagai pengikut Cartesian, Newton mereduksi semua fenomena fisik menjadi gerak
partikel benda, yang disebabkan oleh kekuatan tarik menarik, yaitu kekuatan gravitasi.
Pengaruh kekuatan ini pada partikel atau objek benda lain digambarkan secara matematis
oleh persamaan gerak Newton yang menjadi dasar mekanika klasik. Newton diduga
terpengaruh teori gravitasinya, ia mendapat inspirasi dari sebuah apel yang jatuh ditarik ke
arah bumi. Kemudian dia menggunakan metode matematikanya untuk merumuskan hukum
gerak yang pasti bagi semua benda di bawah pengaruh gravitasi.8

Husain Heriyanto kemudian meringkas asumsi dasar 9 Paradigam Cartesian
Newtonian, yaitu, a) Subjektivisme –antroposentrik, b) dualisme, c) Mekanistikdeterministik, d) Reduksionistik-atomistik, e) instrumentalisme , dan f) Materialismesaintisme.10 Asumsi Asumsi inilah yang kemudian menjadi dalil penyangga Sains Modern,
yang pada akhirnya berkembang pula kedalam ranah ilmu sosial, termasuk ilmu Hukum.
Sebagai contoh, asumsi mekanistik-deterministikyang berpadu dengan asumsi
reduksionis atomistik, telah melahirkan pandangan bahwa Alam semesta adalah sebuah mesin
raksasa, yang telah mati dan bergerak statis. Ia kemudian direduksir, untuk dibersihkan dari
nilai nilai estetis dan etis, dimiskinkan dari nilai simbolik dan kualitatif. Alam menjadi entitas
yang bebas nilai, dan tunduk kepada hukum hukum logis.
Hal serupa bisa dijumpai dalam Pure Theory of Law dari kelsen, yang mencoba
memurnikan hukum dari anasir anasir non yuridik, semisal Ekonomi, Politik, maupun agama.
Secara ringkas, Kelsen berupaya melakukan “purify” (pemurnian) terhadap tiga hal, yaitu : a)
Pemurnian terhadap objek teori hukum, b) pemurnian tujuan dan ruang lingkup teori, dan c)
pemurnian terhadap metodologi teori hukum.11
Implementasi Teori Hukum Murni menjadikan Hukum lepas dari aras moral dan nilai
nilai Agama. Misal Putusan vonis penjara terhadap nenek tua pencuri buah kakao adalah
benar sesuai logika hukum, karena tindakanya memenuhi unsur unsur pidana, meskipun
nurani kita berontak, untuk mengatakan tidak. Fenomena ini menunjukan hukum tidak
memberi ruang kepada moralitasmaupunnilaimetafisis, yang dianggapnya sebagai unsur non
yuridis.
Infiltrasi Positivisme terhadap Ilmu Hukum, tidak hanya terilhami dari Saintism

semata. Namun karena adanya persamaan tahapan epistemologi antara Positivisme Comtean
8Anton F Susanto, 2010, Paradigma Ilmu Hukum Non-Sistematik; Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing: Jogjakarta, hlm 48.
9Asumsi Dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu
pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya), yang tidak dipertanykan lagi
kebenarananya atau sudah diterima kebenaranya.Ahimsa menyebut Asumsi Dasar
biasanya sengaja tidak ditampilkan, dan tersembunyi sebagaimana pondasi sebuah
bangunan. Basis Asumsi merupakan unsur terpenting dari Unsur yang membentuk
paradigma lainya. Heddi Shri Ahimsa, Paradigma Profetik; mungkinkah, perlukah?,
makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011” diselenggarakan oleh Sekolah
Pascasarjana UGM. Di Yogayakarta 2011.
10Husain Heriyanto, hlm 83.
11Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2015, Paradigma Rasional dalam Ilmu
Hukum,Basis Epistemologi Pure Theory of Law Hans Kelsen, Jogjakrta: Genta Publishing,
hal 3.

dan Hukum Kodrat (salah satu Madzab Hukum). Perjalanan mencari kebenaran melalui tiga
tahapan ala Comte,12 dialami pula dalam sejarah perjalanan pencarian kebenaran dalam
Hukum. Terutama terkait antara antinomi antara matra manusia dan tuhan, sebagai primasi
pembentuk norma hukum.

Absori dengan runtut menceritakan awal perkembangan Hukum Kodrat. Pandangan
pertama, diawali gagasan kehadiran kuasa tuhan yang diwakilkan kepada Gereja, sehingga
membentuk prinsip Teokrasi Mutlak, implimentasinya adalah kekuasaan raja haruslah tunduk
kepada gereja. Gagasan ini bisa ditemukan pada paradigma hukum kodrat Thomas Aquinas.
Namun pada era John Sallisbury, kesewenang wenangan raja terhadap rakyat, membuat
Hukum Kodrat lebih terejawantahkan kedalam kekuasaan gereja dan raja yang duduk
berdampingan. Bahkan bisa dibilang saling melengkapi.13
Selanjutnya muncul Dante Aligheri dan Pierre Dubois, menganggap kekuasaan Tuhan
telah terwakilkan dalam diri manusia atau raja, bahkan mereka dapat melakukan membuat
keputusan Politik, tanpa campur tangan gereja. Pada akhirnya, munculah Marcilius Padua dan
William Occam. Mereka juga menuntut partisipasi rakyat, baik dalam menjalankan
kekuasaan maupun keputusan politis lainya. Kekuasaan Gereja yang sebelumnya menjadi
penasihat kerajaan, kehilangan fungsinya, digantikan oleh setumpuk peraturan yang dibentuk
dari sebuah keputusan Politis.14
Tahap Positif dalam Logika comte, menyebutkan bahan kebenaran dihasilkan dari
observasi dan rasio, dan mencoba menetapkan relasi relasi dalam Ilmu Hukum Modern,
sebagai sebuah kebenaran yang sifatnya dogmatik.
Progressif atau Profetik (?)
Implementasi Hukum Positiv dengan mengggunakan Asumi Modern, pada akhirnya
melahirkan praktik hukum yang nir keadilan. Berangkat dari Epistemologi yang serupa

dengan Positivisme Ilmu, Hukum direduksir menjadi mesin yang dibersihkan dari norma dan
nilai nilai keilahian. Sebagai Mesin, yang tidak mengenal kebaikan dan keburukan, Hukum
menjadi kaku, danserba hitam putih dalam memandang realitas.
Kegagalan Hukum Modern dalam sejarah perjalananya, telah melahirkan banyak
kritik. Diantaranya Hukum Porgressif, yang digagas Satjipto Rahardjo. Hukum Progressif
12Ketiga zaman yang dimaksud oleh Comte adalah :
a. Zaman Teologis, manusia percaya pada zaman belakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gejala gerak tersebut.
Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki kuasa dan kehendak
seperti manusia, tetapi orang bahkan percaya mereka berada pada tingkatan
yang lebih tinggi daripada makhlu-makhluk insani yang biasa.
b. Zaman Metafisis, kuasa kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip abstrak seperti misalnya, “kodrat” dan “penyebab”. Metafisika
dijunjung tinggi pada masa ini
c. Akhirnya dalam zaman positif tidak lagi diusahakan untukmencari penyebabpenyebab yang terdapat di belakang fakta fakta yang disajikan kepadanya. Absori
dkk, Op Cit, hlm79
13Ibid, hlm 83
14Ibid, hlm 86

menjadi tawaran alternatif, dari penegakan hukum yang beku, dan berjalan lamban, sertatidak

menghasilkan suatu keadilan yang hakiki.
HukumProgressifmengkampanyekanpenegakan hukum yang keluardarijalurbiasanya,
agar hukumkemudianberpihakkepada keadilan. Hal ini tidak lepas dari asumsi, bahwa hukum
pada dasarnya diabdikan kepada manusia, bukan sebaliknya. Satjipto mengkritik penegakan
Hukum melihatnya teks perundangan saja.
Selama ini Hukum dianggap ketinggalan dengan realitas dan perkembangan zaman,
dengan demikian Hukum sebagai ide dalam wilayah abstrak selalu dideterminasi oleh
realitas.Denganselalutertitnggaldarikenyataan,
memanghukumharuslahmengikutiperkembangankenyataan.
NamunlogikadalamHukum, menunjukansebaliknya. Hukum sebagai wilayah Ide
selalu memandang “realitas” yang tersusun dalam teks perundangan semata. Sehingga dalam
aras penegakan hukum, realitas harus ditundukan dengan “realitas” dalam norma peraturan
perundangan.
Hukum Progessif menggunakan pendekatan dekonstruksi dengan metode pembalikan
hierarkis (The Riversal of hierarchi), norma hukum yang selama ini disimbolkan kepada
birokrasi negara yang kaku dan tidak responsif terhadap peruabahan dalam masyarakat,
ditempatkan di belakang masyarakat yang dinamis sebagai perlambang dari realitas. Hal ini
diimplikasikan, kepentingan masyarakat hendaknya didahulukan daripada kepentingan
negara.15
Kelahiran Hukum Progressif oleh Satjipto Rahardjo, kemudian dikembangkan oleh

salah satu muridnya, Anton F Susanto dengan disertasinya berjudul, yaitu Ilmu Hukum NonSistematik; Fondasi filsafat pengetahuan Ilmu Hukum di Indonesia. Paradigma Ilmu Hukum
Non-Sistematik, menggunakan metode hermeneutik sebagai sebagai pendekatan filsafat,
menurut Anton, kemunculan Hermeneutik Modern tekait dengan penolakan / perlawana
terhadap positivisme.16
Anton menggunakan pemikiran Charles Sampord tentang bangunan Hukum yang
bersifat chaos, yang digunakan sebagai penggambaran realitas hukum yang selalu bersifat
cair (melee) dan dinamik. Sebab, hukum bukanlah sebuah realitas yang mekanistik dan
simplifistik.17
Teori Chaos termasuk dalam teori yang baru, dan berkembang sekitar 70-80an, dan
termasuk sedikit ahli hukum yang mengkajinya. Buku karangan Sampord yang berjudul
Theory Disorder of Law A Critique of Legal Theory menurut Satjipto Rahardjo menolak ide
keteraturan dalam Hukum Positif, sebagaimana yang dipegang oleh kaum positivistik.
15Firman Mutaqo, meretas jalan bagi pembangunan melalui pemahaman tehadap
peranan madzab Hukum Positivis dan non Positivis dalam kehidupan berhukum di
Indonesia dalam Satjipto Rahadjo, 2007, Membedah Hukum Progressif, Jakarta: Kompas,
hlm 191
16Anton F Susanto, Op Cit, hlm 27-28.
17Ibid, hlm 31

Sebaliknya, teori Chaos secara konsisten membaca Hukum sebagai sesuatu yang tidak

beraturan.18
Anton memercayai keruntuhan Paradigma Cartesian-Newtonian, yang otomatis
diikuti ilmu Hukum Modern yangakan bergeser kepada paradigma Hukum Nonsistemik.
Dengan mengutip apa yang dimaksud dengan Kuhn (1997) sebagai perkembangan ilmu
pengetahuan, teori chaos masih dianggap sebagai anomali dalam perkembangan ilmu hukum
yang kemudian akan bergerak menuju ke arahnormal.19
Pembacaan cair/ chaos dapat memberikan alternatif terhadap analisa hukum, yaitu
desain analisis yang lebih terbuka, sehingga dimungkinkan dikembangkan pendekatan yang
lebih utuh, namun tetap memberikan pluralistas.20Sampord menggunakan istilah Legal
Meleeuntuk menjelaskan Fenomena hukum yang chaos, istilah ini berasal dari social melee,
yang berarti Hukum itu kompleks dan cair, cenderung bersifat asimetris dan berasal dari
masyarkat yang kompleks dan cair pula.21
Fenomena Chaos pada awalnya ditemukan oleh Edwared Lorentz, seorang ahli
metereologi dan prakiraan cuaca. Melalui temuanya berupa prakiraan cuaca yang non
prediktif dan cenderung random, ia mengemukakan bahwasanya alam adalah nondeterminsitik. Ia mengkritik asumsi cartesian-newtonian yang mengganggap alam semesta
adalah suatu mesin raksasa yang bergerak teratur.22
Pembacaan cair terhadap Hukum, didasarkan pada pembacaan kontemporer terhadap
Hukum itu sendiri yang cukup positivistik. Pembacaan ini tidak memberikan ruang dialog
kepada pembacaan alternatif. Mengutip Ali Harb, pembacaan yang cenderung Positivistik
mengakibatkan penafsiran hukum yang lebih berorientasi kepada penafsiran yang kaku dan
memaksakan bentuk bentuknya.23
Anton menawarkan dekonstruksi terhadap pembacaaan Pancasila. Dengan
Dekonstruksi, diperolehlah identitas yang plural, pembiasan arti serta keberagaman makna.
Anton sendiri menuliskan mencabut dan mengeliminir makna sakralitas pancasila. Sebab,
dengan pembacaan secara harfiah dan tekstualis, hal ini mengurangi keberagaman makna
yang terkandung di belakang teks.24
Melalui Dekonstruksi, Pancasila bisa ditafsirkan dalam beragam makna. Pemahaman
ini tidak lepas dari Legal Melee yang menghasilkan posisi asimetris secara radikal antara
teks, penafsir, dan realitas. Dalam usaha penafsiran teks Hukum, tidak ada otoritas yang
dianggap paling shahihhasiltafsirnya. Karenasemuaentitasdalamteks (teks, penafisr, dan
realitas) tidak berada dalam posisi determinan satu sama lain, namun dalam posisi sejajar.
18Satijpto Rahardjo dalam Anton, ibid hlm 98
19Anton F Susanto, Ilmu Hukum, Op Cit, hlm 100
20Anton F Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum; Eksplorasi Teks dan model pembacaan,
(Jogjakarta: Genta Publishing), hlm 44.
21Anton F Susanto, Ilmu Hukum, Op Cit, hlm 106
22Kelik Wardiono, Chaos Teory : Sebuah ancangan dalam memahami Hukum, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 15, No. 2 Sepetember 2012.
23Anton F Susanto, Dekonstruksi Hukum, Op Cit, hlm 49
24Anton F Susanto, Ilmu Hukum, Op Cit, hlm 302

Dengan posisi yang relative sejajar, keadilan tidak hanya diterjemahkan melalui
proses peradilan yang formal, namun proses diluar peradilan pun dianggap bisa menghasilkan
nilai nilai keadilan. Keadilan menjadi berhamburan karena menjadi kehendak setiap penafsir,
entah penegak hukum, maupun masyarakat luas.
Hal ini menuai kritik dari Absori, yang menyatakan bahwa dalil dalil penyangga yang
digunakan Anton adalah dalil penyangga Postmodern yang mendasarkan kepada relativisme.
Dengan jalan demikian, pembacaan suatu teks akan berhamburan ke segala penjuru arah.
Seharusnya penafsiran tetaplah dipandu wahyu, pelimpahan tuhan dan praanggapan
metafisik.25
Munculnya teori chaos bersamaan dengan munculnya teori kuantum modern, yang
mengubah pandangan manusia modern yang dulunya beranggapan bahwa sesuatu (alam)
bersifat jelas dan pasti kemudian mengalami dekonstruksi,baik dalam tataran fisik, realitas,
maupun simbolik. Pemikiran yang kritis (bahkan memberontak) atas pemikiran Modernisme
diaktegorikan sebagai pemikira postmodernisme.
Disisilain, terjadi keruntuhan terhadap paradigma Cartesian-Newtonian, yang dimulai
dari munculnya teori relativitas oleh Albert Enstein. Einstein memandang waktu sebaga
sesuatu yang absolut, namun kedudukanya sama dengan ruang yang relatif. Artinya besaran
waktu bergantung kepada acuan atau konteks, dengan demikian penulisan yang tepat adalah
ruang-waktu, bukan raung dan waktu.26
Tentunya hal ini menggoyahkan kemapanan asumsi kosmologi Cartesian-Newtonian,
yang menagnut dualism, yang membagi dua hal tersebut secara tegas. Namun tantangan
terbesar Cartesian-Newtonian justru datang dari Teori Kuantum, atau Interpretasi
Kopenhagen yang dirumuskan oleh Niels Bohr, Heisenberg, dan Max Born yang didukung
oleh de broglie dam Paul Dirac.
Salah satu prinsip dalam Teori Kuantum adalah prinsip ketidakpastian. Prinsip ini
menyatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengetahui dengan pasti kondisi suatu
sistem kuantum, sehingga kita tidak dapat memprediksi perangai sistem tersebut. Hal ini jauh
berbeda dengan mekanika klasik Cartesian-Newtonian yang memandang alam semesta
bersifat prediktif, karena tidak lebih dari sebuah seonggok benda mati. Artinya, Teori
Kuantum, benar benar menjungkirbalikan asumsi Cartesian-Newtonian.27
Dari hal inilah, Anton memercayai keruntuhan paradigma sains cartesian-newtonian,
yang kemudian beranjak kepada Teori Relativitas dan mekanika kuantum berimbas kepada
paradigma Hukum, yang berawal dari peralihan normatif, menuju positif, kemudian menjadi
non sistemik.

25Praanggapan Metafisik adalah istilah yang digunakan Mehdi Gholsani berupa pandangan dunia tertentu,
untuk menuntun dalam Lompatan Epistemologi. Lompatan Epistemologi ini dimaksudkan sebagai upaya
menemukan kebedaraan Tuhan dengan metode sains. MainunSyamsudin, 2012, Integrasi Multidimensi; Agama
&Sains, Jogjakarta: Divapress, hlm 308.
26Husain Heryanto, Op Cit, hlm 91
27Husain Heryanto, Op Cit, hlm 98

Terlebih dengan kehadiran dekonstruksi, hukum non sistematik masih terbawa arus
Cartesian yang mengedepankan keragu raguan sebagai metode menemukan kebenaran.
Dalam Dekonstruksi, mendekati suatu teks maka kita haruslah skeptis dan maksud penulis
teks tidak perlu diutamakan, yang ada hanyalah kesempatan untuk menafsirkan atau
mengomentari teks tanpa ada batasan. Ciri ini kemudian lekat dengan Postomodern, yang
memiliki doktrin relativisme dan nihilisme.28
Peran Wahyu yang nihil dalam perkembangan Ilmumodern, nyatanyatetap berlanjut
pada era postmodern. Pada Masa Modern, kelahiran metode Ilmiah meninggalkan wahyu
sebagai sumber ilmu bersifat dogmatis, subjektif, dan metafisis. Sedang pada masa
Postmodern, meskipun mengangakat hal yang sifatnya irrasional (emosi, perasaaan, intuisi,
spekulasi), moral, maupun spiritual, namun hanya didudukan sebatas sejajar dengan produk
manusia lainya, bukan sebagai otoritas (dari tuhan) dalam ilmu pengetahuan.
Padahal, Hamid mencatat, perkembangan ilmu dalam Islam justru dikembangkan dari
istilah kunci dalam wahyu. Yang kemudian ditafsirkan ke dalam berbagai bidang kehidupan
dan berakumasi menjadi peradaban yang kokoh. Beliau mencatat Ashab As Suffahsebagai
komunitas Intelektual pertama dalam Islam. Dengan mengakji Ayat Qur’an dan Hadist nabi,
Ashab As Suffah melahirkan ilmuwan Hadist yang cerdas, semacam Abu hurairah, Salman Al
Farisi, maupun Abdullah ibn Mas’ud.29
Posisi wahyu amat penting dalam pengembangan ilmu Pengetahuan. Reduksi peran
wahyu dalam periode Hukum Modern maupun Postmodern yang melahirkan paradigma ilmu
hukum nonsistematik, coba diatasi Ilmu Hukum Profetik yang menempatkan wahyu sebagai
sumber Ilmu Pengetahuan.30
Padadasarnya, Ilmu Hukum Profetik berawal dari Ilmu Sosial Profetik yang digagas
oleh Kuntowijoyo. Ilmu Sosial Profetik bermaksud tidak sekedar mengubah demi perubahan,
namun mengubah berdasarkan suatu cita cita profetik. Citacitainiterkandungdalam Qs Ali
Imran 104, kemudian diderivasi menjadi humanisasi, liberasi dan transendensi, yang menjadi
unsur dari Ilmu Sosial Profetik itu sendiri.31
Ilmu Sosial Profetik kembali menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan,
caranya dengan melakukan reorientasi Epistemologi terhadap mode of thougt (cara berfikir)
dan mode of inquiry (caramenyadari) yang kemudian mengahasilkan mode of knowing (cara
mengetahui).32
Wahyu merupakan pengetahuan apriori yang menempati posisi sebagai pembentuk
realitas, memberikan pedoman dalam berfikir sebagai salah satu pembentuk tindakan muslim.

28Hamid Fahmi Zarkasyi, 2013, Misykat; refleksi tentang westernisasi, liberalisasi, dan
Islam, Jakarta: Insists, hlm 208-210.
29Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam dengan Ilmu Pengetahuan,
Makalah tidak dipublikasikan, hlm 5-6,
30Absori, Ibid, hlm 374.
31Ibid, hlm 288.
32Ibid, hlm 289.

Dengan demikian, wahyu diharapkan mnjadi unsur konstitutif paradigma islam dalam
memenuhi misi profetiknya, yakni membangun peradaban / rahmat bagi sekalian Alam.33
Kunto sendiri, membagi dua bagian dalam Qur’an yan berupa ideal
thype yang berisi konsep konsep abstrak, doktrin etik, maupun aturan
aturan legal, yang berfungsi memberikan pemahaman yang komprehensif
mengenai ajaran-ajaran Islam. Sedang pada bagin kedua berupa arche
type, yang berisi kisah kisah sejarah, yang harus bisa ditangkap pesan
pesan moralnya.34
Melalui metode sintetik analitik, Kuntowijoyo hendak merumuskan Paradigma AlQur’an dengan tujuan membangun persepktif tentang realitas berbasis wahyu. Melalui
metode sintesis, ayat ayat yang berisi kisah kisah, ditarik pesan moralnya untuk membangun
subjektivikasi terhadap ajaran ajaran keagamaan. Dalam hal ini kisah kisah dimaksudkan
untuk membentuk kepribadian islam melalui Hikmah (perenungan).35
Dikhwatirkan terlalu subjektif, Kunto menawarkan pendekatan analitik sebagai jalan
mengkonstuksi wahyu yang normatif untuk dioperasionalkan kedalam konsep yang objektif
dan empiris. Dalam hal ini Alqur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk konstruk yang
terotitis.36
Pembentukan teori ini penting, diakrenakan ummat sudah sampai maqam periode
ilmu, setelah sebelumnya Islam berada dalam Periode mitos dan Periode Ideologis. Pada
periode mitos yang ditandai dengan catra berfikir pra logis, bersifat lokal dengan latar
belakang agraris. dan kepemimpinan kharismatis. Musuh mereka adalah pemerintah kolonial,
dengan mengandalkan kharisma tokoh dan strategi pemberontakan. Periode ini usai dengan
lahirnya SI sebagai kelahiran periode ideologi.37
Periode Ideologi yang ditandai dengan cara berfikir non logis, persatuan nasional
yang tersentral, dan kepemimpinan intlektual. Namun, kekalahan SI dalam merebut simpati
massa dengan PKI, pembubaran Masyumi, sampai munculnya ideoligisasi Pancasila, tidak
membuat perjuangan Ummat telah usai. Justru hal ini dianggap Kunto sebagai blessing in
disguisse (berkah yang tersembunyi), dengan masuknya Ummat kepada periode ilmu. Dalam
periode Ilmu inilah Kunto menawarkan jalan objektivikasi. 38
Objektivikasi
33Ibid, hlm 300
34Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam; interpretasiuntukaksi, Bandung: Mizan, hlm 328-329
35Ali Sariati memandang Hikmah adalah semacam Pengetahuan tentang petunjuk yang
benar. ia sejenis pengetahuan dan wawasan yang luar biasa tajamnya, yang disampaikan
kepada manusia melalui Rasulullah. Ia adalah Nur yang memancar dalam diri
Muhammad SAW, yang tidak bisa dibaca dengan cara yang lazim, karena menurut
Sariati. Allah hanya akan menyalakan Cahaya (Nur), kepada setiap orang yang
dikehendakinya. Ali Sariati, 2003,Menjadi Manusia Haji; panduan memahami makna
sosial dan fisafat aksi di balik ritus-ritus Haji, Jogjakarta: Mujadalah, hlm 121.
36Absori, Op Cit, hlm 330
37Kuntowijoyo, 2001, Muslim tanpa masjid, esai-esai dalam bingkai StrukturalismeTransendental, Bandung: Mizan, hlm 306.
38Ibid, hlm 306

Setelah Wahyu menjadi unsur terpenting dalam Ilmu Sosial Profetik. Lalu dengna
jalan apakah dan bagaimanakah, Ilmu Hukum Profetik diterjemahkan dalam ranah operasioal
hukum. Apakah dengan dinyatakanya Wahyu sebagai sumber ilmu, dengan sendirinya ia akan
menjadi sebuah Sumber Hukum. Bagaimana kemudian, Wahyu yang disebut Kunto bersifat
kosntitutif bisa diterima oleh masyarakat yang plural.
Dalam hal ini, Kunto menawarkan metode objektivikasi. Objektivikasi adalah
penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif, objektifikasi adalah
konkretisasi dari keyakinan internal, suatu perbuatan disebut objektif adalah jika perbuatan
itu sekalipun dilakukan non muslim tidak dianggap lagi perbuatan yang beragama,namun
sesuatu yang natural,meskipun dari sisi muslim tetap menganggapnya perbuatanyang
berhubungan dengan keagamaan, termasuk amal.39
Objektivikasi dimaksudkan untuk menghindarkan Sekularisasi dan dominasi secara
bersamaan. Sekularisasi terjadi akibat adanya interpretasi subjektif yang menganggap bahwa
semua peristiwa terjadi apabila ada konsekuensi logis dari gejala objektif. Penerimaan nilai
nilai oleh pemeluk agama lain, dibutuhkan untuk menghindarkan dominasi ummat atas
pemeluk agama lain. Hal ini dilakukan dengan jalan Objektvikasi.
Dalam pembentukan norma Hukum, Objektivikasi tetap menganggap wahyu sebagai
sumber hukum. Namun dia harus disepakati terdahulu menjadi sumber hukum negara, yaitu
hukum positif. Dengan demikian, syariat islam tidak langsung menjadi hukum negara, namun
terlebih dahulu melalui proses objektivikasi.40
Kunto menawarkan jalan Radikalisasi Pancasila.41Kunto menganggap Pancasila
adalah salah satu objektivikasi dari umat Islam. Sebagai sejarawan, ia melihat jejak rekam
Pancasila yang awalnya dipandang dengan pendekatan mitos. Di masa berikutnya, Pancasila
lebih dipandang dengan pendekatan Ideologi, seperti yang terjadi pada praktik perpolitikan
Orde Baru. Dan, Titik temu anatara keduanya adalah, perlunya pendekatan Ilmiah terhadap
Pancasila maupun Islam.42
Kunto kemudian menderivasikan kelima Sila menjadi, pertama
Pluralisme Postif, kedua, kebebasan yang beradab, ketiga, demokrasi
budaya, keempat, negara objektif , dan kelima¸ nasionalisme sosiologis.
Dari Pluralisme Positif, kebebasan yang beradab, dan demokrasi budaya
lahirlah keadilan hukum yang bersifat intersubjektif. Hukum dirumuskan
dan berlaku kepada masing masing kelompok.43
Islam mengahrgai setiap perbedaan, dengan mengutip Kunto, Absori
melihat masuknya Islam di Nusantara yang cukup elastis. Ia
39Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, hlm 66
40Ibid, hlm 69.
41Radikalisasi dalam hal ini dimaksudkan sebagai Revolusi gagasan. Radikalisasi berarti
membuat Pancasila tegar, efektif, dan jadi petunjuk bagaimana negara ini diorganisir.
Kuntowijoyo dalam Absori, Ibid, hlm 310.
42Ibid, hlm 90.
43Ibid, halm 319

mencontohkan beberapa masjid pertama dengan bentuk arstiektur lokal.
Berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur barat
atau candi Budha dengan ciri stupanya.44
Bahkan Arif Wibowo melihat Islam sebagai pembentuk peradaban
Jawa. Hal ini bisa dilihat keberadaan pendidikan pesantren yang
menyebabkan islamisasi jawa secara besar besaran. Kedatangan
Orientalisme yang mengkaji sejarah jawa secara sepotong, menjadikan
Jawa kembali disimbolkan kepada watak elitis Hindu dan Budha, dan
menutup peran dari Islam yang justru lebih merakyat.45
Wujud keadilan hukum dari pluralisme positif ialah bersifat
intersubjektif. Artinya
setiap kelompok dengan langgam hukumnya
diterapkan terhadap kelompoknya sendiri. Bagi ummat Islam berlaku
Syariat Islam, begitupun Hukum Kristen untuk pemeluk Kristen, dan
seterusnya. Termasuk terhadap kelompok kelompok adat, berlaku pula
hukum mereka untuk mereka sendiri.
Terhadap perkara yang muncul antar kelompok suku maupun
agama. Maka diperlukanlah Objektivikasi melalui musywarah. Apabila
diterima secara luas oleh masyarakat, maka dapat diberlakukan secara
luas. Keadilan semacam demikian, hampir bergerak dalam domain
intersubjektif dan interobjektif, kemudian kembali kepada keadilan
intersubjektif. Hal inilah yang menjadi tujuan dari Hukum Profetik.46
Keadilan semacam inilah dapat ditegakan dengan partisapasi aktif
tokoh adat, pemuka agama, maupun keluarga korban. Mereka perlu
dilibatkan dalam keputusan hukum, disamping saksi ahli. Mereka
dilibatkan sebagai wujud eksplore terhadap kesepakatan antar golongan,
maupun terhadap hukum hukum yang diterapkan secara internal untuk
berkembang.

44Loc Cit.
45www.pspi-solo.com, Arif Wibowo, Peran Islam dalam memberadabkan jawa, 24
September 2015, diakses pada 29 Februari 2016.
46Absori, Ibid, hal 321.