00 Model Multi Pilar Bank Dunia dan Mode

Meneropong Program Pensiun Indonesia
Oleh: Budi Hananto

1. Pendahuluan
Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan
sosial yang diselenggarakan negara untuk menjamin agar setiap
warga negaranya dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang
layak, termasuk didalamnya perlindungan terhadap kemungkinan
terjadinya risiko-risiko sosial. Namun menurut Vladimir Rys, mantan
Sekretaris Jenderal Internasional Social Security Assosiation (ISSA),
tidak ada definisi tentang jaminan sosial yang bisa di terima dan
diterapkan secara umum. (Rys, 2011).
Rys mengungkapkan bahwa penjelasan pengertian jaminan
sosial yang paling sering digunakan adalah seluruh rangkaian langkah
wajib yang dilakukan oleh masyarakat untuk melindungi mereka dan
keluarga mereka dari segala akibat yang muncul karena gangguan
tak terhindarkan, atau karena berkurangnya penghasilan yang
mereka butuhkan utnuk mempertahankan taraf hidup yang layak.
Sedangakan keterlibatan negara dalam jaminan sosial adalah
mengupayakan sebuah sistem yang dapat menjamin setiap individu
dalam masyarakat mendapatkan pemenuhan atas kebutuhan hidup

yang layak.
Sistem jaminan sosial di Indonesia sebenarnya telah
diperkenalkan sejak tahun 1947 melalui UU No.33 Tahun 1947
tentang Kecelakaan Kerja dan UU No.34 Tahun 1947 tentang
Kecelakaan Perang. Pada tahun 1964, melalui Keputusan Menteri
Perburuhan No.5 Tahun 1964 lahirlah Yayasan Dana Jaminan Sosial
(YDJS) yang berfungsi sebagai badan penyelenggara jaminan sosial
pada saat itu yang membayarkan ganti rugi kepada buruh dan
keluarganya yang terkena risiko kerja. Penyelenggaraan skema
jaminan sosial lainnya seperti pesiun yang dikelola oleh PT Taspen
(persero) dan kesehatan yang dikelola PT Askes (persero) baru diatur
kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara terpisah dan ditujukan
hanya untuk segmen yang terbatas.
Saat ini Indonesia melakukan reformasi sistem jaminan
sosialnya dengan dikeluarkannnya Undang undang No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undangundang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS). SJSN akan mulai beroperasi mulai 1 Januari 2014

diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang menjalankan program
Jaminan Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang menjalankan

program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari
Tua dan Jaminan Pensiun. Khusus untuk Jaminan Pensiun, baru akan
mulai beroperasi pada 1 Juli 2015. Cakupan perlindungan sosial UU
SJSN adalah seluruh penduduk Indonesia termasuk pekerja sektor
formal maupun informal melalui lima program perlindungan di atas.
Secara umum reformasi jaminan sosial di negara-negara
berkembang dimulai sejak akhir abad 20, hanya negara-negara
Amerika Latin seperti Peru, Mexico, Argentina, Bolivia, Salvador,
Uruguay dan Columbia yang memulainya lebih awal. Di Indonesia
sendiri tuntutan reformasi jaminan sosial muncul setelah krisis
ekonomi yang melanda pada tahun 1997-1998. Pada aras lain, Bank
Dunia telah menerbitkan dua literature penting berkenaan dengan
model program pensiun yang digunakan sebagai rujukan dalam
melakukan reformasi jaminan sosial oleh banyak negara. Buku
pertama berjudul “Averting The Old Age Crisis” diterbitkan tahun
1994 yang menawarkan dan merekomendasikan model pensiun multi
pilar kepada seluruh negara di dunia. Buku kedua diterbitkan tahun
2005 berjudul “Old-age Income Support in the 21st Century: an
international perspective on pension reform system and reform”.
Buku ini merevisi dan melengkapi model pensiun multi pilar. Buku ini

juga menjadi bahan diskusi yang sangat popular diantara para
akademisi.
Dari lima program perlindungan dalam UU SJSN, tulisan ini hanya
akan memfokuskan pada dua program “purnabakti” yakni program
pensiun dan program jaminan hari tua. Pada tulisan ini akan
melakukan review terhadap latar belakang dan pengembangan
jaminan pensiun dan jaminan hari tua di Indonesia dan
menggambarkan sistem jaminan hari tua dan jaminan pensiun yang
akan dijalankan. Pada bagian lainnya akan membahas “Model Bank
Dunia” dan model yang diterapkan dalam UU SJSN.
2. Urgensi Program Pensiun dan Jaminan Hari Tua
Seperti umumnya terjadi di negara-negara berkembang,
Indonesia juga menghadapi masalah pertumbuhan penduduk dan
perubahan struktur demografi. Berdasarkan hasil sensus pendududk
tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
Indonesia sedang mengalami bonus demografi, yang artinya populasi
penduduk usia produktif lebih banyak populasi penduduk usia tidak

produktif. Sehingga angka rasio ketergantungan Indonesia adalah 51,
3%, artinya 100 orang usia produktif menanggung 51 orang usia tidak

produktif.
Bonus demografi ini diperkirakan akan mencapai
puncaknya antara tahun 2020 sampai 2030 dan berakhir pada tahun
2045. Tanda-tanda berakhirnya bonus demografi adalah populasi
akan menua, proporsi populasi usia tidak produktif dibanding populasi
penduduk usia produktif dan anak-anak akan semakin tinggi.

Sumber: BPS 2010

Masalah ageing population terutama akan berpengaruh pada
program jaminan hari tua dan program pensiun, karenanya dalam
rancangannya perhitungan keseimbangan finansial antara kontribusi
dan manfaatnya menjadi sangat penting agar dapat memenuhi
kewajibannya dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu fungsi
dari sistem jaminan sosial adalah redistribusi pendapatan antar
kelompok, maka secara langsung sistem jaminan sosial akan
dipengaruhi oleh komposisi populasi masyarakat yang dilayaninya.
Menurut Bank Dunia, situasi di negara berkembang seperti
Indonesia akan lebih serius, alasannya adalah pertama 60% populasi
lanjut usia berada di negara berkembang dan akan mencapai 80%

pada tahun 2050, dan kedua karena negara berkembang memiliki
karakter yaitu populasi penduduk menjadi tua sebelum menjadi kaya
(World Bank, 2005).
3. Definisi-definisi
Sistem pay-as-you-go (PAYG) adalah sebuah sistem jaminan
sosial di mana manfaat jaminan sosial tidak diambil dari sebuah dana
yang telah disediakan di masa lampau, sehingga manfaat jaminan
sosial untuk para pensiunan yang ada sekarang, plus biaya

administrasi, diambil dari iuran para pekerja yang bekerja sekarang
(ILO,2003). Sistem partially funded pay-as-you-go adalah sebuah
sistem yang dibiayai sebagian di muka untuk membayar kewajiban
pensiun para pensiunan di masa depan dan pada saat ini sistem ini
tidak membayarkan pensiun kepada mereka. Setelah sistem ini
menjadi dewasa, barulah dana ini bisa membayarkan kewajiban
pensiun dan dapat kembali sebagai sebuah sistem pay-as-you-go
yang sebenarnya. (Arifianto, 2004).
Program manfaat pasti adalah sebuah program pensiun di mana
pekerja mendapat jaminan akan mendapat suatu manfaat tertentu
pada saat mereka pensiun, biasanya berdasarkan atas lama bekerja,

umur, dan jumlah gaji terakhir atau rata-rata gaji mereka.
Pembayaran manfaat yang dijanjikan dengan segala risiko yang ada
pada program ini menjadi tanggungan perusahaan dan/atau
pemerintah. Lawan dari program ini adalah program iuran pasti, yaitu
sebuah program pensiun di mana hanya jumlah iuran program dan
rumus perhitungan manfaat yang telah ditentukan sebelumnya.
Manfaat program berkaitan langsung dari jumlah iuran yang
dibayarkan ke masing-masing rekening investasi, ditambah dengan
hasil investasi rekening tersebut (Arifianto, 2004).
4. Model Bank Dunia
Bank Dunia melalui bukunya yang berjudul “Averting The Old
Age Crisis” (1994) dan “Old-age Income Support in the 21st Century:
an international perspective on pension reform system and reform
(2005), menawarkan dan merekomendasikan model pensiun multi
pilar kepada seluruh negara di dunia. Dalam buku pertama, Bank
Dunia menganjurkan pemerintah untuk mengganti skema yang ada
dengan sistem tiga pilar yang memisahkan aspek tabungan,
redistribusi dan asuransi sosial dan pengelolaannya dilaksanakan oleh
lembaga yang berbeda dan menekankan pengelolaan oleh pihak
swasta. Berikut tiga pilar menurut Bank Dunia:

1. Sistem kepesertaan wajib yang dibiayai oleh pajak yang
dikelola oleh pemerintah. Memberikan jaminan perlindungan
pensiun dalam jumlah yang minimum.
2. Sistem kepesertaan wajib yang dibiayai oleh tabungan wajib
yang dikelola swasta. Memberikan jaminan perlindungan
pensiun dan jaminan hari tua pribadi.
3. Sistem kepesertaan sukarela yang dibiayai secara pribadi
yang
dikelola
oleh
swasta.
Memberikan
manfaat
perlindungan pension dan jaminan hari tua yang lebih baik
yang tentu saja dengan pembiayaan yang lebih besar.

Sistem
tiga
pilar
seperti

di
atas
bertujuan
untuk
mendiversifikasi risiko yang akan dihadapi peserta, pekerja dan
pemberi kerja dapat memilih program pensiun sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan mereka masing-masing dan menekankan
peranan swasta dalam pengelolaan program jaminan sosial.
Kemudian tahun 2005, Bank Dunia merevisi dan melengkapi
sistem tiga pilar tersebut menjadi sitem multi pilar yang lebih
fleksibel sebagai respon terhadap kebutuhan dan kondisi yang
berbeda dari setiap negara. Berikut multi pilar menurut Bank Dunia:
1. Non contributory “zero pillar”: Sosial pensiun yang dibiayai
dan dikelola oleh pemerintah untuk pengentasan kemiskinan
dan memberikan perlindungan minimal bagi penduduk usia
lajut.
2. A mandatory “first pillar”: Pembiayaan melalui tabungan
wajib untuk perlindungan pensiun dengan manfaat pasti
yang bisanya menggunakan sistem pay-as-you-go (PYAG)
3. A mandatory “second pillar”: Pembiayaan melaui tabungan

wajib untuk jaminan hari tua dengan iuran pasti.
4. A voluntary “third pillar”: Pilar ini memungkinkan bentuk
perlindungan yang bervariasi dalam pembiayaan maupun
pemberian manfaat hari tua dan pensiun
5. A non financial “fourh pillar”: Memberikan perlindungan
informal, bantuan financial maupun non-finansial, termasuk
akses terhadap kesehatan dan perumahan.
5. Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua dalam UU SJSN
5.1. Jaminan Pensiun
Prorgam Jaminan Pensiun dalam UU SJSN merupakan sebuah
program asuransi sosial tabungan wajib yang diselengarakan oleh
pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan manfaat pasti,
yang tujuannya untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak
pada saat peserta kehilangan atau berkutang penghasilannya karena
memasuki usia pensiun atau mengalami catat total tetap.
Program yang merujuk pada pilar pertama seperti yang dajurkan oleh
Bank Dunia ini, pada awal penyelenggaraannya akan meggunakan

sistem partially funded pay-as-you-go. Program ini akan dimulai tahun
2015 dan selama 15 tahun ke depan hanya akan mengumpulkan

iuran dana pensiun saja, tetapi belum membayarkan manfaat pensiun
kepada para pensiunan. Setelah 15 tahun barulah program ini akan
dirubah menjadi fully funded pay-as-you-go. Manfaat pensiun akan

diberikan kepada peserta yang telah memenuhi masa iur 15 tahun,
apabila telah mencapai usia pensiun sebelum masa iur 15 tahun
maka peserta berhak mendapatkan seluruh akumulasi iurannya
ditambah hasil pengembangannya.
Peserta program jaminan pensiun adalah pekerja yang telah
membayar iuran dan manfaat pensiun ini akan dibayarkan kepada
peseta dengan kondisi sebagia berikut:
1. Pensiun hari tua, diterima setelah pensiun sampai meninggal
dunia.
2. Pensiun cacat, diterima peserta cacat akibat kecelakaan atau
akibat penyakit sampai dengan meninggal dunia
3. Pensiun janda/duda, diterima janda/duda ahli waris peserta
sampai meninggal dunia atau menikah lagi
4. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai usia
23 tahun, bekerta atau menikah.
5. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta

lajang sampai batas waktu tertentu.

5.1. Jaminan Hari Tua
Program Jaminan Hari Tua dalam UU SJSN adalah program
asuransi sosial tabungan wajib yang diselenggarakan oleh pemerintah
melalui BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan iuran pasti dengan tujuan
menjamin peserta mendapatkan uang tunai apabila memasuki masa
pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Peserta
jaminan sosial adalah peserta yang membayar iuran.
Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai yang dibayarkan
sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia
atau mengalai cacat total tetap. Besarnya manfaat yang diterima
adalah seluruh akumulasi iuran ang telah disetorkan ditambah hasil
pengembangan. Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat
diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan
minimal 10 tahun. Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya
berhak menerima manfaat jaminan hari tua.
Program ini merujuk pada pilar ke dua dari model multi pilar
yang ditawarkan Bank Dunia.
6. Sejumlah Pertentangan Konsep

Dari perspektif Bank Dunia, penerapan program pension di
Indonesia telah mengikuti model multi pilar Bank Dunia, yakni pilar
pertama melalui Jaminan Pensiun dengan manfaat pasti dan pilar ke
dua melalui Jaminan Hari Tua dengan iuran pasti. Kedua program ini
harus dilihat sebagai satu kesatuan dalam perlindungan hari tua,
program jaminan pension memberikan jaminan penghasilan bulanan
seumur hidup, dan jaminan hari tua memberikan liquiditas saat
pension dengan membayarkan manfaatnya secara sekaligus.
Namun pemilihan sistem PAYG yang dikelola oleh pemerintah
melalui BPJS Ketenagakerjaan dianggap sebagai pembuatan kebijakan
yang terlalu optimis berkaitan dengan demografi dan keadaan makro
ekonomi di Indonesia pada masa yang akan datang. Program ini
dikhawatirkan akan mengalami kekurangan pendanaan, semestinya
pemerintah mengunakan asumsi yang konservatif untu memastiakn
keberlanjutan program ini dari sisi keuangan. (World Bank, 2012)
Sistem PAYG dianggap terlalu rentan untuk digunakan di
masyarakat yang menuju ageing population. Jika manfaat program
terlalu besar maka tingkat iuran juga akan tinggi, sehinga hal ini akan
menimbulkan sejumlah persoalan dan penolakan terhadap sistem ini,
diantaranya adalah:
- Pengusaha yang tidak mampu membayarkan iuran tenaga
kerjanya, akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan
menggantinya dengan modal.
- Pengusaha akan mengkompensasikan tingginya iuran proram
pensiun dengan menaikkan harga produknya, dan ini tentu
akan berpengaruh pada daya saing produk dan jasa Indonesia
dengan negara lainnya.
- Tingginya tingat iuran dari upah akan langsung mengurangi
penghasilan tenaga kerja sehingga selanjutnya mungkin
meraka akan menuntut upah yang lebih tinggi.
- Biaya tenaga kerja merupakan penentu penting investasi asing
langsung, sehinga akan mengurangi minat investasi
- Nilai manfaat program yang besar dapat menyisihkan program
pensiun swasta da produk asuransi swasta lainnya.
Pada aras lainnya, International Labor Organization (ILO)
meragukan asumsi dari pengelolaan oleh pihak swasta: “skema
pendanaan tidak menawarkan perlindungan ekstra terhadap populasi
usia lanjut; skema swasta tidak selalu lebih murah dari asuransi
publik,
dan
mereka
tidak
selalu
lebih
efisien
dalam
menginvenstasikan uang kontributornya ” (Gillion et al., 2000).
Lebih lanjut ada Stiglitz yang merupakan staff ahli dan peneliti
dari Bank Dunia, juga mempunyai sikap skeptis terhadap model tiga
pilar yang ditawarkan Bank Dunia. Dia menekankan bahwa Bank
Dunia mengutamakan pengelolaan swasta, faktanya ide dari
managemen swasta tidak masuk akal pada negara-negara yang

capital market-nya tidak berkembang dan ketidakmampuan
masyarakat memahami capital market dengan baik. Stiglitz
menambahkan bahwa akun perseorangan (individual account) yang
dikelola oleh swasta tidak dapat menyediakan asuransi yang cukup
dan menghindari risiko besar seperti inflasi. (Stiglizt, 2004).1
Berseberangan dengan pemikiran Bank Dunia, ILO juga
menganggap masalah demografik terlalu dibesar-besarkan oleh Bank
Dunia. Menurut ILO desakan untuk melakukan reformasi pada
umumnya datang karena konteks globalisasi, termasuk karena
kemiskinan, masalah jangkauan asuransi (coverage problem) dan
kesulitan keuangan. Alih-alih, menyerahkan program pensiun pada
pihak swasta seperti yang ditawarkan Bank Dunia, ILO lebih
menekankan pada stabilitas dan reabilitas dari skema asuransi publik
(ILO, 2004).
Secara lebih keras Vladimir Rys mengatakan bahwa Bank Dunia
merupakan kaki tangan kaum neoliberal yang mencoba melakukan
transisi besar untuk menuju sebuah dunia tanpa jaminan sosial. Teori
klasik tidak pernah sejalan dengan konsep jaminan sosial, primsip
solidaritas sosial yang mendasari seluruh filosofisnya tidak bisa
ditampung dalam sebuah doktrin yang didasarkan pada pemenuhan
kepentingan diri dan memperbesar keuntungan (Rys, 2011)
7. Tantangan dan Problem
7.1. Sektor Informal
Program Jaminan Pensiun menurut UU SJSN hanya ditujukan
untuk pekerja penerima upah atau sektor formal saja, sedangkan
bukan penerima upah atau sektor informal tidak bisa mengikuti
program ini. Padahal kebutuhan pekerja sebenarnya sama saja,
mereka memerlukan jaminan penghasilan ketika memasuki usia tidak
produktif. Hal ini cukup mengherankan mengingat pada kenyataanya
bahwa tenaga kerja pada sektor informal justru lebih banyak
dibandingkan dengan sektor formal. Mengingat perubahan struktur
demografi Indonesia yang menunjukkan jumlah usia produktif yang
terus meningkat, dan jika pemerintah gagal menyediakan lapangan
kerja yang cukup besar, maka akan semakin banyak tenaga kerja
masuk ke dalam sector informal.
Dari pengalaman penerapan jaminan sosial untuk tenaga kerja
informal yang dilakukan oleh PT Jamsostek (persero) memang
terdapat beberapa kesulitan untuk menerapkan program ini pada
sector informal, yakni faktor administrasi dan faktor ekonomi. Dari
faktor administrasi adalah kesulitan untuk mengukur penghasilan
sesungguhnya dari tenaga kerja informal, pendaftaran dan
pencatatan, pemungutan iuran dan kepatuhan.2 Untuk menentukan
penghasilan, hal itu bisa diatasi dengan membuat tabel upah sebagai
indikator penghasilan, dan persoalan pendaftaran dan pencatatan
sebenarnya kurang tepat dijadikan faktor alasan penghambat

ditengah teknologi informasi yang semakin cangging dan meluas
pemanfaatannya. Namun persoalan pemungutan iuran dan
kepatuhan ini merupakan kendala terbesarnya, hal ini berkaitan juga
dengan faktor ekonomi.
Secara ekonomi masyarakat, tingkat pendapatan upah para
pekerja informal relatif rendah dan mereka perlu uang tunai untuk
kebutuhan konsumsi sehari-hari. Mereka harus mempertahankan
keseharian mereka dan tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
menabung bagi hari tua mereka. Para pekerja sektor informal
terutama pekerja musiman biasanya relatif masih muda dan sangat
fleksibel, mereka selalu berpikir bahwa masa pensiun mereka masih
jauh.
7.2. Jumlah Kepesertaan dan Penegakan Hukum
Jumlah kepesertaan dalam program jaminan sosial merupakan
tantangan yang cukup berat jika kita melihat dari tingkat iuran dari
upah dari keseluruhan program, karena seluruh program
kepesertaannya bersifat wajib. Peraturan Pemerintah yang mengatur
besaran iuran samai tulisan ini di buat memang belum diterbitkan.
Maka dalam tulisan ini saya menggunakan asumsi bahwa tingkat
iuran yang harus dibayarkan untuk keseluruhan program jaminan
sosial sesuai dengan undang-undang sebelumnya dan draft usulan
Peraturan Pemerintah mengenai iuran, yakni:
- Jaminan Kesehatan
:
4,5%
dari
upah
(lajang
dan
berkeluarga iuran sama)
- Jaminan Kecelakaan Kerja : 0,24% dari upah (dengan kategori
risiko paling rendah)
- Jaminan Kematian
: 0,3% dari upah
- Jaminan Hari Tua
: 5,7 % dari upah
- Jaminan Pensun
: 6 % dari upah
Total
: 16,74 % dari upah
Dengan tingkat iuran dari upah yang lebih tinggi dari
sebelumnya yakni sekitar 12,7% maka dapat dipastikan akan ada
penolakan atau paling tidak penghindaran dari perusahaan untuk
mendaftarkan tenaga kerjanya ke dalam program jaminan sosial.
Sebagai gambaran, sampai dengan Juni 2013 jumlah peserta
Jamsostek sector formal mencapai 29,6 juta tenaga kerja, jumlah
tersebut sangat kecil disbanding potensinya yang mencapai 41 juta
untuk tenaga formal dan 69 juta untuk tenaga informal.2
Rendahnya jumlah kepesertaan dalam program Jamsostek ini
dikarenakan lemahnya law enforcement dari aparat pemerintah yang
terkait dengan bidang ketenagakerjaan maupun aparat penegak
hukum lainnya, selain dari sosialisasi yang kurang gencar.
Di pihak lain, kurangnya kesadaran untuk mengikuti program
jaminan sosial sangat umum terjadi pada tenaga kerja dan pemberi

kerja. Mengapa sejumlah tenaga kerja dan pemberi kerja menolak
berpartisipasi pada sistem pensiun dasar ini? Dari sisi pemberi kerja,
mereka tidak medaftarkan tenaga kerja dan menolak pastisipasi
untuk menghindari besarnya iuran bagi tenaga kerjanya. Dari sisi
tenaga kerja, sejumlah tenaga kerja tidak menyadari pentingnya
menjadi peserta jaminan sosial. Biasanya mereka lebih memilih untuk
mendapatkan uang tunai secara langsung. Terutama tenaga kerja
dengan upah yang rendah akan menolak menjadi peserta jaminan
sosial karena adanya pemotongan upah untuk iuran jamian sosial.
Pengurangan jumlah upah tiap bulannya dianggap menjadi beban
bagi mereka.
8. Usulan
8.2. Memberi Perhatian Lebih Pada Sektor Informal
Melihat kondisi pada sector informal di atas, sangatlah penting
bagi Pemerintah untuk memberikan porsi perhatian yang lebih pada
sector ini. Dalam UU SJSN tidak secara jelas memberikan perhatian
pada sector informal. Beban iuran yang akan ditanggung tenaga kerja
sector informal sama dengan tenaga kerja sector formal, padahal
pada sector formal beban iuran ditanggung bersama antara tenaga
kerja dan pengusaha. Semestinya iuran untuk sector informal lebih
rendah, atau alternative lainnya adalah pemerintah memberikan
subidi kepada tenaga kerja sector informal. Selain itu, jumlah tenaga
kerja informal yang jauh lebih besar dibanding sector formal
menjadikan perluasan jangkauan SJSN kepada sector ini menjadi hal
yang mendesak.
8.2. Sosialisasi Program Secara Maksimal
Keterlibatan masyarakat secala langsung dalam pelaksanaan
SJSN adalah hal yang pasti, melalui kepesertaan dan iuran yang
ditarik dari masyarakat. Karenanya sosialisasi program–program SJSN
perlu disosialisasikan seluas-luasnya kepada masyarakat. Pemerintah
dalam hal ini BPJS sampai saat ini tampaknya belum melakukannya
padahal pelaksanaan SJSN sudah akan dimulai 1 Januari 2014 dan
peluncuran program jaminan pensiun pada 1 Juli 2015.
Pemerintah seharusnya menginformasikan seluruh sisi dari SJSN
terutama program jaminan pensiun, mengingat ini merupakan
program baru yang diselenggarakan BPJS bagi tenaga kerja di
Indonesia, terutama pada sektor informal. Pendidikan dan kebijakan
akan informasi ini dapat membantu masyarakat untuk menyadari
pentingnya berpartisipasi dalam SJSN untuk kepentingan jangka
panjang, sehingga dapat meminimalkan perilaku dan pemikiran
masyarakat yang orientasinya jangka pendek. Banyak perusahaan
memilih kesejahteraan jangka pendek bagi tenaga kerjanya, seperti
pinjaman perumahan, tunjangan transportasi, pendidikan anak dan
sebagainya,
sementara
itu
tenaga
kerja
juga
cenderung

menginginkan dan memilih program yang memberikan keuntungan
langsung.

8.3. Penegakan Hukum
Lemahnya penindakan terhadap pelanggaran yang berkaitan
dengan jaminan sosial selama ini telah mengakibatkan rendahnya
partisipasi perusahaan dan tenaga kerja dalam perlindungan jaminan
sosial. Pelanggaran ini terutama dilakukan oleh perusahaan atau
pemberi kerja yang tidak mendaftarkan tenaga kerjanya, melaporkan
upah tidak sesuai dengan yang diterima tenaga kerja bahkan lebih
rendah dari upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Melihat hal itu, sangat disayangkan UU SJSN dan UU BPJS hanya
memberikan sanksi administratife dan tidak memberikan sanksi yang
berat dengan rumusan yang mendetil terhadap pelanggaran
ketentuan-ketentuan ini. Selain itu, kewenangan BPJS yang diatur
dalam UU BPJS dirasakan masih terlalu lemah kerna hanya sebatas
pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan, seangkan kewenangan
untuk menindak hanya sebatas teguran tertulis dan denda.
Diharapkan BPJS mengatur sanksi administratif denda yang cukup
memberatkan pelanggarnya, dan yang berkaitan dengan pelayanan
public yang akan diatur melaui Peraturan Pemerintah dapat
memberikan sanksi yang memiliki pengaruh cukup signifikan seperti
pencabutan ijin usaha.
9. Simpulan
Sistem jaminan pensiun manapun seharusnya berfungsi secara
berkelanjutan sebagai tabungan, redistribusi dan instrumen asuransi.
Menabung berarti mengumpulkan pendapatan selama seseorang
dalam masa produktif. Tenaga kerja mengumpulkan uang dalam masa
hidup mereka untuk masa tua mereka ketika pendapatan mereka
menurun atau tidak ada sama sekali. Redistribusi berkaitan dengan
pertukaran pendapatan hidup seseorang dengan yang lainnya, karena
bila tenaga kerja dengan pendapatan rendah menabung cukup besar
untuk masa tuanya, mereka akan terlepas dari garis kemiskinan yang
mereka lalui dalam masa muda. Asuransi melibatkan perlindungan
terhadap
kemungkinan
resesi
atau
investasi
buruk
yang
menghabiskan tabungan. (World Bank, 1994).
Sistem jaminan sosial seharusnya juga dapat menjangkau
semua orang dari semua tingkatan ekonomi, termasuk sector
informal. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang konsep jaminan
sosial memerlukan upaya-upaya yang lebih serius untuk melakukan
sosalisasi dan penegakan hukum.

.

1. Secara lebih mendetil Stiglitz dan rekannya Orzag membongkar
mitos-mitos makro ekonomi, mikro ekonomi dan politik ekonomi
yang seringkali dimunculkan oleh model multi pilar Bank Dunia
melalui tulisannya “Rethinking Pension Reform: Ten Myths about
Social Security System” (1999)
2. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER24/EM/VI/2006 tentang Panduan Pelaksanaan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja yang Bekerja di Luar
Hubungan Kerja Resmi. Peraturan ini menyediakan panduan
pelaksana peraturan jaminan sosial untuk diterapkan pada tenaga
kerja yang bekerja di luar hubungan industrial. Peraturan
didasarkan pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Tenaga Kerja.
3. Sumber dari http://kabarbisnis.com/read/2839757

Daftar Pustaka
Arifianto, A. (2004), Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia:
Sebuah Analisis Atas Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional
(RUU Jamsosnas). Jakarta: Lembaga Penelitian Semeru.
Bank Dunia. (2012), Rancangan dan Pembiayaan Manfaat
Ketenagakerjaan SJSN, dalam: Catatan Kebijakan SJSN, Edisi 2, Juli
2012
Dewan Jaminan Sosial Nasional (2010) ‘Sistem Jaminan Sosial’
Accessed 12 May 2012
Ervik, Rune (2005), the Batter of future pensiuns.Global accounting
tools, international organizations and pensiun reforms. Dalam:
Global Social Policy

Gillion, C. (2000). The Development and Reform of Social Security
Pensiuns: The Approach of the International Labor Office.
International Social Security Review
Gillion, Colin et al.(eds.) (2000): Social security pensiuns.
Development and reform, ILO, Geneva
International Labor Organization.(2003) Social Security and Coverage
for All: Restructuring the Social SecurityScheme in Indonesia –
Issues and Options, Jakarta: International Labor Organization.
Orszag Peter R. & Stiglitz Joseph E. (1999), Rethinking Pensiun
Reform: Ten Myths about Social Security Systems, the World Bank,
Washington, D.C.
Orszag, P. and Stiglitz, J. (2001). Rethinking pension reform: Ten Myths
about Social Security Systems. Dalam: Holzman, R. and Stiglitz, J.
eds. New ideas about old age security. Towards sustainable
pension systems in the 21st century, Washington D.C., World
Bank.
Purwoko, B. (1996) ‘Indonesian social security in transition: An
empirical analysis’, International Social Security Review
Shihab, Ahmad Nizar. (2012). Jalan Panjang Mewujudkan Sistem
Jaminan Sosial Nasional, Pansus RUU BPJS, Jakarta
Rys, Vladimir (2011). Merumuskan Ulang Jaminan Sosial, PT Pustaka
Alvabet, Jakarta
Tim SJSN (2004), ‘Naskah Akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional’
(Academic Paper, National Social Security Sistem)
The World Bank.(1994), Averting the Old Age Crisis. Oxford: Oxford
UP.
The World Bank.(2005), Old-age income support in 21st Century: an
international perspective on pension reform system and reform.
Washington DC.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial
Wisnu, Dinna.(2012). Politik Sistem Jaminan Sosial, PT Gramedia,
Jakarta.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2