Hak Asasi Manusia Antara Kepentingan Bar

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012

Hak Asasi Manusia: Antara Kepentingan Barat, Tuntutan
Kemanusiaan, Misi Agama-Agama dan
Persoalan Relativitas Budaya
Andik Wahyun Muqoyyidin1
1

Dosen Fakultas Agama Islam UNIPDU Jombang
Email : wahyun_justandik@yahoo.co.uk

ABSTRACT
This paper would like to parse the question of Human Rights, especially in terms
of Western interests, the demands of humanity, the mission of the religions and
issues of cultural relativity, including how the Islamic view of human rights. One
source of difficulty in supporting the implementation effort and attention to human
rights in the Islamic world, as well as increased awareness in society such as
Indonesia, the perception is often not quite right about the gap between universal
values and social patterns of the local culture. This issue has sparked thoughts of
how Islam can accept or not the idea of HAM / UDHR (Universal Declaration of
Human Rights). As with other developing countries, in Indonesia, and among

Muslim thinkers, particularly those not-found liberal view that the concept of
human rights is a Western-made, with the connotation of a continuation of
colonialism and imperialism. In view of the rhetoric that comes to life, human
rights is a Western concept of secularism that is equal to, if not atheism. In regard
to the debate Islam and the Universal Declaration, this issue appears to say that
human rights is un-Islamic. Some Muslim countries to criticize a few grains of the
Universal Declaration mainly deals with issues of civil rights and political, as
well as religious freedom issues, especially regarding the rights of religious
conversion (from Islam to another religion), and the issue of equality of men and
women, all of which are fully guaranteed by the UDHR. Series based on the
rejection of the UDHR UDHR was a product of secularism, while Islam is a
religion of revelation. UDHR is considered unsuitable, as identified by Western
interests, Christians, and the practice of Western countries themselves are
sometimes a double-standard in the application of the Universal Declaration. We
will discuss this issue as a rejection based on differences in the views above.
Tulisan ini ingin mengurai persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama dalam
kaitan antara kepentingan Barat, tuntutan kemanusiaan, misi agama-agama dan
persoalan relativitas budaya, termasuk di dalamnya bagaimana Islam melihat
HAM tersebut. Salah satu sumber kesulitan dalam usaha menunjang pelaksanaan
dan perhatian kepada HAM di dunia Islam, serta peningkatan kesadarannya

dalam masyarakat seperti Indonesia, ialah persepsi yang sering kurang tepat
tentang kesenjangan antara nilai-nilai universal dan pola-pola sosial budaya
lokal. Isu ini telah memicu pikiran bagaimana Islam bisa menerima atau tidak

96

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
gagasan HAM/DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Sama halnya
dengan negara-negara berkembang lainnya, di Indonesia—dan kalangan pemikir
muslim, terutama yang bukan liberal—banyak ditemukan pandangan bahwa
konsep tentang HAM adalah buatan Barat, dengan konotasi sebagai kelanjutan
kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah
pandangan hidup, HAM yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan
sekularisme, jika bukan ateisme. Dalam kaitan dengan debat Islam dan DUHAM,
isu ini muncul dengan mengatakan bahwa HAM itu tidak islami. Beberapa
negara muslim mengeritik beberapa butir DUHAM terutama berkaitan dengan
persoalan hak-hak sipil dan politik, juga masalah kebebasan beragama, terutama
menyangkut hak berpindah agama (dari Islam ke agama lain), dan masalah
kesetaraan laki-laki dan perempuan, yang semuanya memang dijamin penuh oleh
DUHAM. Serangkaian penolakan terhadap DUHAM didasarkan bahwa DUHAM

itu produk sekularisme, sementara Islam adalah agama wahyu. DUHAM
dianggap tidak cocok, karena diidentifikasikan dengan kepentingan Barat,
Kristen, dan praktik negara-negara Barat sendiri yang kadangkala berstandarganda dalam penerapan DUHAM itu. Kita akan membahas permasalahan ini
sebagai penolakan yang didasarkan atas perbedaan pandangan-pandangan di
atas.
Key words: Human Rights, Western interests, humanitarian, religious mission,
cultural relativity

Pendahuluan
Untuk berterus terang, masalah-masalah hak-hak asasi manusia semakin
lama semakin menjemukan untuk diperbincangkan di negara-negara sedang
berkembang. Kenyataan yang ada secara sinis menunjuk kepada hal-hal tidak
menggembirakan yang berlangsung di mana-mana di seluruh dunia. Kegairahan
pemerintahan Presiden Carter untuk membuat promosi hak-hak asasi manusia
sebagai salah satu tulang-punggung politik luar negerinya kini ternyata telah
mengendor. Sebagian karena upaya sistematisasi sebuah kebijaksanaan menyeluruh
yang menyangkut hak-hak asasi manusia membutuhkan pengendapan pemikiran
dan penyederhanaan permasalahan itu sendiri (guna memungkinkan penyusunan
yang lebih mantap bobotnya, tetapi lebih jauh jangkauannya), seperti tampak dalam
upaya merumuskan kriteria yang lebih matang lagi guna meletakkan negara-negara

di seluruh dunia dalam kategori “pemenuhan hak-hak asasi manusia” yang lebih
97

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
realistis dan lebih terasa dampaknya, kenyataan pahit dalam hubungan
internasional memaksakan kesulitan-kesulitan luar biasa untuk tetap taat asas
(konsisten) pada kehendak semula. Dalam waktu hanya beberapa tahun saja
“perjuangan” hak-hak asasi manusia yang dicanangkan Carter itu sudah jarang
terdengar lagi gemanya. Secara ironis kita dihadapkan kepada perkembangan yang
mencengangkan, segera setelah Carter mundur dan kebijaksanaan semula untuk
menyudahi kehadiran berarti pasukan-pasukan Amerika Serikat di jazirah Korea,
sebuah keputusan yang berarti pukulan berat bagi aspirasi perjuangan hak-hak asasi
manusia di sana. Park Cung Hee terbunuh dan bentuk pemerintahan yang lebih
longgar mulai berkembang di Korea Selatan; sedangkan karena pembelaannya
kepada masa lampau bekas Syah Iran yang penuh penindasan, kini Carter
dihadapkan kepada dua hal yang saling bertentangan, yaitu tidak berdayanya
Amerika Serikat menangani masalah penyanderaan warganya di Teheran, dan
kenyataan bahwa dakwaan (claim) para mahasiswa Iran akan penggunaan para
diplomat sebagai mata-mata negara lain (sebuah pelanggaran kedaulatan di
samping pelanggaran hak-hak asasi manusia) bangsa Iran untuk tidak dimatamatai, katakanlah semacam freedom from being spied on memiliki validitasnya

sendiri.
Yang lebih ironis lagi, hanya dalam beberapa tahun saja penguasa-penguasa
represif dengan cepat mampu mengembangkan perlawanan terhadap asumsiasumsi yang melandasi kebijaksanaan hak-hak asasi manusia yang dilancarkan
Carter. Secara pasti Ferdinand Marcos naik ke mimbar sebuah forum internasional
di bidang hak-hak asasi manusia dan menyuarakan “aspirasi” keadilan ekonomi
dalam skala internasional sebagai prasyarat bagi tercapainya perlakuan
berperikeadilan bagi warga negara secara perseorangan. Dengan lantang seorang
menteri luar negeri sebuah negara berkembang mengajukan klaim negerinya
sebagai wadah perjuangan kemanusiaan: “walaupun ada penangkapan sementara
tahanan politik di tempat kami, tetapi pemerintah kami dengan gigih
memperjuangkan terwujudnya Orde Ekonomi Internasional Baru sebagai kerangka
umum perjuangan kemanusiaan.” Seolah-olah pencanangan hak-hak asasi manusia
98

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
sebagai bagian politik luar negeri Amerika Serikat justru menjadi vaksinasi anti
hak-hak asasi manusia, di mana diberikan dalam dosis kecil, ia akan melawan
penyakitnya.
Gambaran sekilas yang mengecilkan hati ini adalah apa yang tampak di
permukaan dari sebuah proses besar yang tengah berlangsung dalam perjuangan

hak-hak asasi manusia di seluruh dunia. Proses penetapan kembali tujuan, sasaran
dan garapan perjuangan itu sendiri, dan dalam kapasitas lain yang lebih bersifat
melengkapi (complementary), menetapkan landasan-landasan yang lebih kokoh
baginya. Mungkin yang paling jauh dapat disepakati saat ini adalah perlunya
menciptakan

kesadaran

massif

di

kalangan

rakyat

negara-negara

yang


berpemerintahan totaliter dan semi-totaliter akan hak-hak mereka fundamental
sebagai manusia. Hanya dari sudut pandangan seperti inilah baru dapat dimengerti
kegunaan perjuangan mahasiswa di satu-dua negara berkembang untuk
menumbangkan rezim militer setempat dan pembelaan para pejuang hak-hak asasi
manusia untuk membela mereka di muka sidang pengadilan dalam selimut
“bantuan hukum”. Secara politis, tindakan para pembela mahasiswa itu hanya akan
membawa kepada semakin ketatnya cara kerja aparat keamanan atas kerugian
masyarakat secara umum; di pihak lain hanya akan menghasilkan pahlawanpahlawan sensasional kecil yang memprodusir pembelaan pleidoi berjudul hebathebat sebagai “sumbangan literatur” perjuangan hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Secara kultural, ia adalah bagian inherent dari proses penciptaan kesadaran yang
dimaksudkan di atas, jadi memiliki validitasnya sendiri.
Tidak heranlah jika dalam proses pencarian bentuk menetap bagi
perjuangan hak-hak asasi manusia itu sendiri lalu diajukan sejumlah pertanyaan
mendasar oleh berbagai kalangan yang merasakan keterlibatan kepada pembelaan
perikeadilan. Pertanyaan-pertanyaan itu ada yang meresahkan, karena menghancurleburkan beberapa asumsi dasar yang selama ini dianut. Tulisan ini bermaksud
untuk menghadapkan diri kita kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam
mencari asumsi-asumsi dasar yang baru, yang nantinya dapat dikembangkan ke
dalam sebuah konsep yang lebih bulat dan utuh.
99

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012

Pengertian HAM
Dimulai dengan dua dokumen revolusioner dari Amerika dan Prancis,
penerimaan umum terhadap HAM menghasilkan kesepakatan luas tentang
pandangan-pandangan fundamental tentang HAM. Berikut beberapa pengertian
dasar HAM:
1.

Jika suatu hak asasi diteguhkan sebagai HAM dan bukannya hak sipil, maka
dipahami sebagai suatu hal yang bersifat universal, sesuatu yang berlaku untuk
seluruh umat manusia di mana pun juga;

2.

Hak-hak asasi dipahami sebagai mewakili tuntutan-tuntutan pribadi dan
kelompok untuk ambil bagian dalam kekuasaan politik dan ekonomi;

3.

Disepakati bahwa hak-hak asasi tidak selamanya bersifat mutlak: hak-hak itu
dapat dibatasi atau dikekang demi kepentingan umum atau untuk melindungi

hak-hak pihak-pihak lain;

4.

HAM bukanlah alat untuk melindungi semua keinginan pribadi;

5.

Pengertian tentang hak-hak asasi sering mengandung arti kemestian adanya
kewajiban-kewajiban yang terkait1.
Thomas Jefferson mengemukakan bahwa kewaspadaan terus menerus

adalah harga bagi kebebasan. Karena itu, para warga akan dapat mempertahankan
kebebasannya jika masing-masing melaksanakan kewajiban untuk mencegah
kegiatan politik, keagamaan, dan sosial yang mungkin akan mengekang hak-hak
mereka sendiri dan hak-hak orang lain.
Bill of Rights Amerika disusun berdasarkan ilham dari Magna Carta, Bill
of Rights Inggris, dan Declaration of Rights Virginia. Dokumen hak-hak asasi itu
memuat ketentuan: (1) kebebasan agama, bicara, pers, dan rapat umum (public
assembly); (2) hak memanggul senjata; (3) larangan menempatkan tentara di

rumah tangga pada masa damai; (4) kebebasan dari pemeriksaan dan
perampasan tak beralasan; (5) pengadilan hanya dilakukan setelah tuntutan dari
1

Budhy Munawar-Rachman, “HAM dan persoalan relativitas budaya”, dalam Islam, Negara
dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h.
476.

100

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
grand jury; (6) larangan terhadap petaka ganda (double jeopardy); (7) larangan
terhadap pemaksaan para saksi untuk memberi saksi terhadap diri mereka sendiri;
(8) tidak boleh ada hukuman kecuali dengan proses hukum yang seharusnya; (9)
tidak boleh ada penyitaan harta tanpa konpensasi yang adil; (10) hak pengadilan
umum yang cepat dalam suatu negara (bagian) di mana pelanggaran hukum
terjadi; (11) pengadilan oleh juri dalam perkara sipil yang melebihi nilai 20 dolar
dan setelah pembuktian oleh juri adalah final; (12) tebusan yang berlebihan dan
hukuman yang kejam dan tidak biasa adalah terlarang; (13) penyebutan hak-hak
seseorang tidak berarti boleh melanggar atau mengingkari hak-hak lain yang

dimiliki orang lain; (14) kekuasaan yang tidak diserahkan atau ditegah dari
pemerintah federal tetap dipertahankan oleh negara bagian atau rakyat.
Berikut kutipan pidato Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika
Serikat di depan Kongres pada 1941, beberapa tahun sebelum PBB menetapkan
DUHAM: “ Di masa depan, yang kami usahakan untuk menjaminnya, kami
mengharapkan suatu dunia yang didasarkan pada empat kebebasan dasar
manusiawi. Yang pertama adalah kebebasan berbicara dan berekspresi—dimana
pun di dunia. Kedua adalah kebebasan setiap orang untuk beribadah kepada Tuhan
dengan caranya sendiri—di mana pun di dunia. Yang ketiga adalah kebebasan dari
kekurangan—yang, kalau diterjemahkan dalam peristilahan dunia, berarti
pengertian-pengertian ekonomi yang akan menjamin setiap bangsa suatu kehidupan
yang sehat di masa damai bagi penduduknya di mana pun di dunia. Keempat adalah
kebebasan dari rasa takut—yang kalau diterjemahkan dalam peristilahan dunia
berarti pengurangan persenjataan di seluruh dunia sampai ke tahap dan dengan cara
yang begitu seksama sehingga tak ada bangsa yang akan berada dalam posisi untuk
melakukan suatu tindakan agresi fisik terhadap tetangga mana pun—di mana saja
di dunia. Ini bukan gambaran seribu tahun lagi. Ini merupakan suatu dasar tegas
bagi jenis pencapaian dunia dalam zaman kita dan generasi kita sendiri…”
Sebelum DUHAM pada tahun 1948, bangsa-bangsa di dunia biasanya
memandang bahwa persoalan hak-hak asasi termasuk ke dalam batas jurisdiksi
masing-masing. Tetapi DUHAM itu telah meletakkan standar untuk semua.
101

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
Dengan sebuah mukadimah dan 30 bab, DUHAM merupakan kompendium tentang
seluruh hak sipil dan politik yang diambil dari berbagai sistem konstitusional dan
legal yang lalu.
Di samping mengemukakan kembali ketentuan-ketentuan dalam Bill of
Rights Amerika, DUHAM juga memuat ketentuan-ketentuan seperti: (1) hak nikah,
(2) kebebasan untuk meninggalkan negeri sendiri dan kembali kepadanya, (3) hak
perlindungan (asylum) dari penganiayaan, (4) hak ambil bagian dalam
pemerintahan, (5) hak memperoleh keamanan sosial, (6) hak bekerja, (7) hak atas
gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama, (8) hak untuk istirahat dan keluangan
(leisure), (9) hak memperoleh tingkat hidup yang memadai, (10) hak anak-anak,
(11) hak pendidikan, (12) hak ambil bagian dalam kegiatan budaya masyarakat,
dan (13) hak atas ketertiban sosial dan internasional 2.
Sekalipun bukanlah sebuah perjanjian (treaty)—sehingga tidak punya
kekuatan hukum dalam suatu masyarakat, namun DUHAM telah digunakan oleh
berbagai pemerintahan dan badan-badan internasional untuk menilai seberapa jauh
HAM diperhatikan di seluruh dunia. Di antara badan internasional yang bisa dicatat
di sini adalah Human Rights Watch, yang berkantor pusat di Amerika Serikat.
Human Rights Watch adalah sebuah LSM yang sangat penting,
memfokuskan diri pada perlindungan hak-hak asasi manusia. Dimulai 1978 dengan
didirikannya Helsinki Watch, yang memantau ketaatan negara-negara Eropa,
Amerika Serikat, dan Kanada, pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah
disepakati dalam persetujuan Helsinki. Sekarang Human Rights Watch mempunyai
5

divisi

di

Afrika,

Amerika,

Asia

dan

Timur

Tengah,

ditambah

penandatanganHelsinki Watch. Mereka melakukan 5 proyek pengawasan atas
perdagangan senjata, hak-hak anak-anak, kebebasan berekspresi, keadaan-keadaan
penjara, dan hak-hak kaum perempuan. Sekarang Human Rights Watch
mempunyai kantor-kantor utama di New York City, Washington D.C., Los Angeles,
London, Brussel, Moskow, Dushanbe, Hongkong, dan Rio de Janeiro. Organisasi
ini menerbitkan Human Rights Watch World Report, setiap Januari yang berisi
2

Ibid., h. 479

102

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
uraian mengenai perkembangan pelaksanaan HAM di 70 negara. Selain itu juga
diterbitkan berbagai laporan yang mengetengahkan masalah khusus HAM,
terutama dalam pencarian fakta pelaksanaan HAM di seluruh dunia.
Pokok Masalah: Antara “Timur” dan “Kepentingan Barat”
Kita mungkin segera mengasosiasikan pandangan-pandangan di atas
dengan kelompok yang berorientasi primordial tertentu, baik dalam kategori
kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun dalam kategori keagamaan.
Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian bahwa kelompok tertentu memang
pada dasarnya tidak dapat menerima ide tentang HAM, karena pandangan hidup
mereka memang secara intern tidak mendukung.
Nurcholish Madjid3 misalnya dalam pembahasan mengenai masalah ini
sering mencontohkan Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, yang
mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide tentang HAM adalah tidak urgen untuk
bangsa-bangsa

Asia.

Yang

urgen

ialah

pembangunan

dan

peningkatan

kesejahteraan hidup rakyat. Dan ia telah membuktikan pembangunan Singapura
yang makmur, walaupun dengan politik yang tidak terbuka, dan cenderung
otoritarian.
Lee Kuan Yew terdengar ingin mengetengahkan apa yang ia sebut sebagai
“nilai-nilai Asia” (Asian values) sebagai lebih relevan untuk kemajuan kawasan ini,
yakni kawasan Lembah Pasifik Barat (Asia Tenggara dan Timur). Dan Singapura,
juga negara-negara industri baru lainnya yang oleh pers Barat biasa disebut dengan
“naga-naga kecil” (little dragons), atau “macan-macan Asia” dapat ditampilkan
sebagai telah mereka capai dalam bidang ekonomi. Kemudian dalam tahun-tahun
yang lalu, Dr Mahathir Muhamad, pemimpin-pemimpin dari RRC, juga sering
terdengar mengajukan argumen yang sama. Anehnya, sikap dan pandangan serupa

3

Dr. Nurcholish Madjid (1939-2005) adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan
budayawan Indonesia. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar,
Jombang, Jawa Timur. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri kajian Islam Paramadina yang
kemudian menjadi Universitas Paramadina Mulya.

103

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
itu sering memperoleh dukungan dari tokoh yang dianggap mempunyai wewenang,
seperti mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger.
Dalam suatu pembahasan di Pusat Studi Islam Paramadina mengenai HAM,
dalam rangka memperingati 50 tahun usia PBB, Nurcholish Madjid mengajukan
pertanyaan, jika sekian banyak yang amat terhormat dan berprestasi tinggi
menyuarakan hal-hal yang senada, maka apakah hal itu tidak berarti terdapat unsurunsur yang benar dalam pernyataan mereka itu? Dapatkah pernyataan itu
dikesampingkan begitu saja sebagai tidak punya dasar dan hanya merupakan cara
untuk menutupi suatu kenyataan yang sebenarnya, seperti perlindungan dan
pertahanan diri bagi praktik-praktik pemerintahan mereka yang otoriter, tiranik,
dan mengekang pelaksanaan HAM?
Penilaian yang sarat prasangka memang telah umum dibuat orang. Dan jika
kita mencoba mengesampingkan prasangka, kemudian secara empatik berusaha
memahami tokoh-tokoh itu, maka barangkali sikap-sikap tersebut merupakan
contoh paling nyata dari adanya kesenjangan antara ide-ide universal tentang
tuntutan kemanusiaan dengan kenyataan-kenyataan sosial-kultural yang bersifat
regional atau lokal. Mengkaitkan dengan penolakan Islam atas DUHAM, maka
rumusan persoalannya menjadi: Pertama, DUHAM menjadi problematis jika
syariat dan sumber-sumber yang membentuknya tidak dipahami secara historis dan
bersifat sosio-kultural, melainkan dianggap bersifat independen dari kondisi
historis dan sosio-kultural yang menyertai kelahiran syariat Islam. Kedua,
DUHAM menjadi problematis jika syariat Islam dipandang sebagai hukum Ilahi
yang absolut, yang diobjektivasi dan kemudian dipromosikan sebagai hukum yang
mengikat masyarakat, basis hukum negara Islam—bukan sebagai aturan atau nilainilai moral yang terbatas pada masyarakat yang mempercayainya.
Maka kembali kepada pertanyaan Nurcholish Madjid di atas, sebenarnya
pernyataan yang lebih prinsipil bukanlah memang ada ide universal tentang
manusia dan kemanusiaan (yang ada pada para pembela DUHAM, jadi sebaliknya
dari para pendukung segi lokal dan kultural), tetapi sejauh mana kebenaran klaim
universal konsep-konsep “modern” tersebut yang kenyataannya diproduksi di
104

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
kalangan negara-negara Barat. Menarik tentang hal itu ada pertanyaan sangat
penting dari Nurcholish Madjid—yang dalam buku Munawir Sjadzali, Ijtihad
Kemanusiaan akan dibahas berkaitan dengan universalitas kemanusiaan, berkaitan
dengan cara membaca syariat Islam:
Pertama, apakah Barat memang dengan sendirinya universal, sehingga
setiap produk sosial-kulturalnya dengan sendirinya berlaku untuk semua tempat
dan waktu?
Kedua, apakah Barat itu sedemikian uniknya, sehingga apa pun yang
terdapat

di

sana,

khususnya

segi-segi

keunggulan,

dan

perkembangan

kemajuannya, tidak dapat ditiru atau diterapkan di tempat lain? 4
Kaum sofinis (chauvinist) Timur akan menjawab “tidak” kepada pertanyaan
pertama, sambil menegaskan bahwa produk-produk sosial-kultural di Barat bersifat
khas lingkungan sosial-kulturalnya, jadi benar-benar bersifat “Barat” semata tanpa
dengan sendirinya berlaku untuk lingkungan sosial-kultural lain, khususnya
“Timur”. Argumen ini dipakai oleh pemikir Muslim yang menolak DUHAM.
Tetapi persoalan menjadi rumit karena jika pertanyaan kedua dijawab “tidak” maka
semua gejala modern dalam banyak segi kehidupan bangsa-bangsa bukan-Barat
menjadi tidak punya pijakan atau tidak sah, seperti berbagai bentuk pengaturan
sosial-politik dalam bentuk lembaga-lembaga konstitusi, parlemen, pemilihan
umum, sistem pengadilan, dan seterusnya (dan masalah inilah yang tidak
terpecahkan ketika beberapa negara Islam menerapkan syariat Islam, karena
rupanya syariat Islam tidak pernah memadai untuk menjalankan sistem politik
modern). Dan yang paling mencolok ialah, tentu saja, ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Lebih jauh, tentu terdengar aneh bahwa kaum chauvinist Barat juga akan
menjawab “tidak” kepada pertanyaan pertama dan “ya” kepada pertanyaan kedua.
Suatu jawaban yang menegaskan keunikan Barat sehingga, seperti tergambarkan
dalam ungkapan Rudyard Kipling yang terkenal, “Barat adalah Barat dan Timur
adalah Timur, dan saudara kembar itu tidak akan bertemu.”
4

Ibid., h. 468

105

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
Maka mengambil contoh debat DUHAM di Dunia Islam, tanggapan dengan
argumen seperti kaum chauvinist Timur (yang Islam), al-Burudi, wakil Saudi
Arabia dalam perdebatan sebelum pengesahan DUHAM menegaskan bahwa pola
budaya yang dominan di Barat seringkali bertentangan dengan pola budaya yang
dominan di negara Timur. Ia juga menegaskan bahwa istilah “martabat dan hakhak” dalam pasal pertama DUHAM bersifat subjektif, karena setiap negara akan
mempunyai penafsirannya sendiri.
Maka menarik bahwa pandangan Saudi Arabia itu, makin dipertegas pada
15 Juni 1970, ketika pemerintah Saudi Arabia menerbitkan memorandum mengenai
HAM dalam Islam, dan aplikasinya di negara tersebut. Dan isinya berbeda dengan
DUHAM yang berisi formula moral, memorandum tersebut lebih banyak berisi
preskripsi dan perintah yang pasti. Dan di antaranya dikemukakan persoalan
larangan pernikahan antara perempuan muslim dan laki-laki non-muslim, dan
pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan politeis (musyrik), dimana
pandangan ini bertentangan dengan pasal 16 DUHAM. Alasan memorandum itu
adalah demi mempertahankan keluarga dari kehancuran. Hal kedua yang mencolok
dari memorandum itu adalah larangan bagi seorang muslim untuk pindah agama
(bertentangan dengan pasal 18 DUHAM). Bolehnya pindah agama dalam HAM
dianggap sebagai cara yang dapat menimbulkan kekacauan agama di muka bumi.
Melihat perkembangan kemanusiaan di Barat, dan bagaimana respons dari
sebagian umat Islam atas perkembangan tersebut, Munawir Sjadzali memberi
komentar: Perkembangan di negara-negara Barat yang dulu tertinggal oleh Dunia
Islam itu sekarang ini sangat pesat dan berada jauh di depan negara-negara Islam.
Munawir menegaskan, hal tersebut karena negara-negara Barat terus mencari
dengan memanfaatkan akal budi yang merupakan pemberian Tuhan yang paling
utama kepada umat manusia. Sementara itu pengembangan intelektual dalam dunia
Islam boleh dikatakan sudah sejak lama berhenti. Para pemikir Muslim sekarang
tampak “jera untuk berani berpikir”. Akibatnya, kata beliau, Islam yang dulu di
tangan Nabi merupakan ajaran yang revolusioner, sekarang mewakili aliran yang
terbelakang. Malah beliau menyebut “out-dated”.
106

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
Maka berkaitan dengan pikiran mengenai kemanusiaan, Munawir Sjadzali
menyimpulkan jika pemikiran Islam seperti ini (misalnya seperti yang
dikemukakan dalam penolakan terhadap DUHAM di atas, sebagaimana paparan
Budhy Munawar Rachman), tidak dapat diharapkan mampu memberi sumbangan
kepada peradaban dunia di zaman dimana kita hidup sekarang ini. Bahkan lebih
dari itu, Islam juga terancam tidak dapat ikut berbicara mengenai peradaban
mutakhir. Dalam buku Ijtihad Kemanusiaan, berkaitan dengan HAM Munawir
mendekonstruksi pandangan-pandangan yang bertentangan dengan HAM dalam
kasus-kasus kedudukan perempuan, dan kedudukan warga non-Muslim.
Suatu Kemungkinan Permulaan: Penyadaran Dimensi Historis Ide-ide dan
Perjuangan tentang Hak-hak Asasi
Setiap kali kita menyebut hak-hak asasi manusia, dengan sendirinya
rujukan paling baku kita ialah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dari
PBB. Ini wajar, dan merupakan keharusan, karena kita adalah anggota PBB,
dengan akibat bahwa kita menerima dokumen yang memuat wawasan
fundamentalnya itu. Namun perlu ditambahkan untuk diingat bahwa Deklarasi
Universal itu hanyalah suatu titik, mungkin titik yang sangat akhir, dari perjalanan
perjuangan umat manusia untuk menemukan jati dirinya dan untuk menghormati
serta melindungi jati diri itu. Deklarasi Universal adalah suatu “hasil bersih” atau
“hasil akhir” proses pertumbuhan yang panjang, yang telah ditempuh umat manusia
dengan susah payah. Ini harus diketahui, diakui dan disadari bersama 5.
Adalah mustahil mengingkari bahwa nilai-nilai nasional yang kemudian
dirumuskan sebagai Pancasila itu merupakan bagian dari hasil interaksi terbuka
budaya bangsa kita dengan budaya-budaya bangsa lain. Dan juga mustahil
mengingkari bahwa sebagian dari interaksi itu terjadi dengan hasil-hasil pemikiran
kemanusiaan yang paling modern atau mutakhir, semisal Deklarasi Universal tadi,
bahkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat buah pikiran seorang humanis
5

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 207.

107

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
besar, Thomas Jefferson. Lebih dari itu, jika kita percaya kepada Bung Karno,
salah seorang tokoh paling instrumental bagi perumusan resmi Pancasila, nilai-nilai
dasar negara itu juga merupakan hasil interaksi terbuka budaya kita dengan
Manifesto Komunis, sekalipun interaksi itu berlangsung kritis dan tidak sekedar
menerima “nilai permukaan” dokumen warisan Karl Marx itu. Namun interaksi itu
jelas ikut memberi “flavour” kepada ide-ide tentang keadilan sosial seperti yang
dirumuskan pada sila terakhir Pancasila.
Dengan menyadari sejarah panjang kemanusiaan sejagad dan dinamika
interaksi terbuka bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain itu kita juga menyadari
bahwa ide-ide tentang hak-hak asasi bukanlah hal yang muncul begitu saja tanpa
ongkos perjuangan dan pengorbanan yang amat mahal. Maka kita tidak dapat
menyikapinya sebagai sesuatu yang bernilai “terima jadi” untuk kita, sehingga kita
menjadi cenderung untuk meremehkan persoalannya dan menganggap ringan
implikasinya. Bersama dengan umat manusia sejagad, kita harus menghayati
sejarah pertumbuhan konsep-konsep hak-hak asasi itu, dan merasakan denyut
jantung sejarah itu dengan mencamkan irama turun naik dan jatuh bangunnya
bangsa-bangsa

dan

rakyat-rakyat

yang

memperjuangkannya.

Sila

“Perikemanusiaan yang adil dan beradab” bisa dipahami dimensi keluasan dan
kedalamannya hanya jika telaah di bawah sorotan semangat kemanusiaan universal
itu.
Berdasarkan hal-hal di atas itu, salah satu kemungkinan yang dapat
ditempuh dalam usaha menanamkan dan meluaskan pengertian dan penghayatan
akan hak-hak asasi manusia ialah menanamkan kesadaran tentang sejarah panjang
dan penuh onak duri tumbuhnya ide-ide tentang nilai-nilai kemanusiaan itu pada
berbagai bangsa di dunia. Oleh karena hak-hak asasi manusia sesungguhnya
merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang paling intrinsik, maka sejarah
pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan menegakkannya sekaligus
menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan itu sendiri semenjak dikenalnya
peradaban. Ini dapat dilihat dari misi ajaran agama-agama 6. Dalam agama-agama
6

Ibid., h. 208

108

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam), misalnya, salah satu persoalan kemanusiaan
yang paling dini diungkapkan melalui penuturan tentang peristiwa pembunuhan
yang menyangkut dua anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qabil (Cain) dan Habil
(Abel). Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini (oleh Qabil terhadap
Habil) menghasilkan dekrit Tuhan, “Bahwa barangsiapa membunuh suatu jiwa
tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi,
maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menolong
hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya. 7”
Salah satu kewajiban seorang Muslim ialah pergi haji, berziarah ke tempattempat suci yang menjadi “monumen-monumen” Tuhan (sya’a’ir-u l-Lah) di
Makkah dan sekitarnya. Ini adalah ibadat yang sebagian besar merupakan tindakan
menapak tilas pengalaman ruhani tiga manusia: Nabi Ibrahim, Hajar (istrinya) dan
Nabi Isma’il (putranya) dalam merintis ditegakkannya nilai-nilai kemanusiaan
universal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam mewariskan dan
melestarikan upacara-upacara suci itu, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa
akhirnya, inti ibadah haji ialah berdiam (wukuf) kurang lebih seharian di padang
Arafat. Berkenaan dengan ini terkenal sekali sabda Nabi, “al-hajj ‘Arafah”—Haji
ialah Arafat. Hanya sayang, kebanyakan umat Islam yang menjalankan ibadah haji
tidak memahami mengapa Nabi membuat penegasan serupa itu. Dengan penegasan
beliau itu, Nabi sebenarnya hendak meminta perhatian kaum Muslim kepada isi
pidato beliau pada waktu di Arafat dalam satu-satunya kesempatan beliau berhaji.
Dalam pidato itulah Nabi menegaskan tugas suci beliau untuk menyeru umat
manusia kepada jalan Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati hak-hak suci
sesama manusia, lelaki dan perempuan. Dalam pidato itu antara lain Nabi saw.
menegaskan: “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah
suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)-mu ini, dalam bulanmu (bulan suci
Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci) ini.” Dan sesekali di celah-celah
pidatonya itu dari atas mimbar Nabi bertanya kepada lautan manusia yang hadir:
“Bukankah aku telah sampaikan (pesan-pesan) ini?” Dan semuanya menjawab:
7

Lihat QS. al-Maidah/5:27-32; juga Kitab Kejadian 4.1-16.

109

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
“Benar! Engkau telah sampaikan.” Lalu Nabi berpesan agar yang hadir
menyampaikan isi pidato beliau itu kepada yang tidak hadir.
Pidato di Arafat itu, yang menurut Nabi sendiri merupakan inti ibadah haji,
jelas-jelas merupakan pidato tentang nilai-nilai kemanusiaan, yang sebagian di
antaranya sekarang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia. Pidato itu sendiri
umumnya disebut sebagai “Pidato Perpisahan”, karena tidak lama setelah itu,
selang tiga bulan, Nabi wafat. Tetapi sesungguhnya menjelang wafat itu beliau
banyak meninggalkan pesan tentang prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus
dijaga, sejalan dengan ajaran Kitab Suci bahwa setiap pribadi (individu) manusia
harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai
kemanusiaan sejagad (universal). Salah satu pidato beliau memuat pesan yang amat
penting tentang hak-hak asasi budak dan kaum buruh: “Wahai manusia, ingatlah
Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah!
Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu
(budak, buruh, dan lain-lain). Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan
berilah pakaian seperti yang kamu kenakan! Janganlah mereka kamu bebani
dengan beban yang mereka tidak mampu memikulnya, sebab mereka adalah
daging, darah dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah, bahwa orang yang bertindak
zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu di Hari Kiamat, dan Allah
adalah Hakim mereka”8.
Paham kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama itu dipercayai,
dihayati dan diamalkan sebagai bagian penting dari religiusitas masyarakat.
Pandangan yang sangat tinggi dan hormat kepada harkat dan martabat manusia itu
melalui beberapa saluran juga menular di Eropa dan tumbuh serta berkembang di
sana. Salah seorang yang paling mula-mula mengetengahkan paham kemanusiaan
ini di Eropa pada zaman Renaissance, ialah Giovanni Pico della Mirandola.
Sejak masa Giovanni itu perbincangan dan perjuangan sekitar hak-hak asasi
manusia serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya terus berkembang di Barat,
8

Kitab Khutab al-Rasul (Pidato-pidato Rasul), hasil kompilasi Muhammad al-Khathib, Kairo:
Dar al-Fadlilah, 1317 H., h. 313.

110

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
sampai akhirnya memuncak dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
PBB pada Desember tahun 1948. Deklarasi itu, ditambah dengan berbagai
instrumen lainnya yang datang susul-menyusul telah memperkaya umat manusia
tentang hak-hak asasi, dan menjadi bahan rujukan yang tidak mungkin diabaikan.
Seperti telah disinggung, kita pun tentu saja berpegang kepada dokumen-dokumen
internasional itu.
Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Relativitas
Sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai
pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan
HAM. Hampir semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi
memiliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Hal demikian kerap
kali disebut dengan istilah wacana universalitas dan lokalitas atau partikularitas
HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara
atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip
HAM universal. Kekhususan tersebut bisa saja bersumber pada kekhasan nilai
budaya, agama, dan tradisi setempat. Misalnya, hidup serumah tanpa ikatan nikah
(kumpul kebo) atau berciuman di muka umum dalam perspektif HAM
diperbolehkan, tetapi dalam perspektif budaya lokal suatu negara keduanya
dipandang sebagai praktik yang mengganggu adat kesusilaan setempat bahkan bisa
dikenakan sanksi hukum. Hal serupa dapat dianalogikan pada masalah prinsip
kebebasan beragama bagi setiap orang yang dijamin oleh HAM. Namun, prinsip
universal kebebasan berkeyakinan ini sering kali digugurkan oleh pandangan
keyakinan suatu komunitas agama yang mengajarkan untuk menyebarkan dan
mengamalkan ajaran agamanya kepada keluarga dan anggota kelompoknya sebagai
bagian dari pelaksanaan ajaran agama yang diyakininya.
Perdebatan antara universalitas dan partikular HAM tercermin dalam dua
teori yang saling berlawanan: teori relativisme kultural dan teori universalitas

111

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
HAM9. Teori relativisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan
budaya bersifat partikular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak
yang universal, semua tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada.
Hak-hak dasar bisa diabaikan atau disesuaikan dengan praktik-praktik sosial. Oleh
karenanya, ketika berbenturan dengan nilai-nilai lokal, maka HAM harus
dikontekstualisasikan, sehingga nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik
dan hanya berlaku khusus pada suatu negara, tidak pada negara lain.
Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM
cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat.
Hak asasi, sebagaimana ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai produk
politik Barat, sehingga tak bisa diterapkan secara universal. Keengganan untuk
menerapkan DUHAM secara menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan
terhadap pluralitas dengan dasar bahwa kemerdekaan pertama-tama berarti
kemerdekaan untuk berbeda, sehingga penyeragaman HAM dipandang sebagai
perampasan kemerdekaan itu sendiri.
Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada
teori radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan
berarti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman historis
dan sistem nilai tidak meniscayakan HAM dipahami secara berbeda dan diterapkan
secara berbeda pula dari satu kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini
semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa
dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu
negara. Kelompok ini menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai
HAM, bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta
dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan
sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap
nilai-nilai HAM berlaku secara universal.

9

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak ed., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi,
Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2009), h. 122.

112

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
Mencari Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia
Sejumlah pertanyaan diajukan dengan sejumlah validitas landasan ideologis
dan hak-hak asasi manusia, yang diterima selama ini di kalangan negara-negara
yang mempraktikkannya,10 katakanlah negara-negara industrial kapitalistis yang
sudah maju di dunia pertama. Aswab Mahasin 11 mempertanyakan kebenaran
pengambilan oper begitu saja landasan yang ada selama ini, dan dengan sendirinya
bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan. Benarkah anggapan selama ini, bahwa
penafsiran liberalistis dari hak-hak asasi manusia itu sendiri memang menjadi
kebutuhan nyata rakyat negara-negara berkembang? Ternyata tidak, karena
kebutuhan nyata mereka adalah penemuan identitas diri melalui serangkaian upaya
sosial-ekonomis untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri. Atau dengan
kata lain, harapan terletak pada dukungan kepada kelas menengah yang lemah
untuk mengembangkan diri dan menumbuhkan kekuatan mereka dari bawah.
Perjuangan hak-hak asasi manusia baru ada arti pentingnya, jika didukung oleh
aspirasi mereka yang membutuhkan perlindungan hak-hak praktis mereka dari
jarahan kekuasaan negara. Mereka yang tidak punya apa-apa lagi untuk
dipertahankan, karena hidup dalam siklus kultur kemiskinan yang tidak pernah
berhenti, sudah tentu tidak merasakan keperluan akan perlindungan tersebut.
Kalau pada Mahasin, perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki konotasi
sosial-ekonomis, hal lain juga dapat disaingi dari pendapat-pendapat lain yang
berkembang di berbagai negara. Henry Shue, misalnya, mengemukakan apa yang
dinamakannya sebagai hak memperoleh kehidupan wajar (right of subsistence)
sebagai kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali 12. Hanya saja, kalau
Mahasin memberikan rumusan yang lebih diarahkan kepada penciptaan kelompok
tertentu di masyarakat, betapa besar sekalipun kelompok itu sendiri. Shue lebih
memusatkan perhatian kepada pengembangan diri manusia sebagai perorangan
10

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), h. 356.
11
Aswab Mahasin, “Human Rights and Social Stratification”, Prisma, edisi Inggris, no. 13.
12
Henry Shue, Fondations For A Balanced U.S. Policy on Human Rights, Working Paper on
Human Rights And Foreign Policy, Center For Philosophy And Public Policy, 1977.

113

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
melalui pemenuhan hak hidup yang sedemikian itu. Arah taktis dari kedua strategi
yang bersamaan ini lalu menjadi berbeda satu dari yang lain. Pada Mahasin,
kelompok ekonomis dari kelas menengah ini harus dikembangkan dari bawah,
berarti pada waktunya nanti akan berhadapan secara diametral dengan kekuasaan
(kalau masih ada) yang mengurangi atau meniadakan hak-haknya atas
perlindungan dari perampasan hak-hak milik dan akibat-akaibat lain yang timbul
dari perampasan hak milik itu. Pada Shue, beban menyelenggarakan hak atas
kehidupan yang wajar pada dasarnya tidak menghadapkan rakyat kepada
pemerintah yang mau memenuhi hak itu sendiri, sehingga watak konfrontatif lalu
menjadi langka dari hak tersebut. Kalau Mahasin menganggap penciptaan kelas
menengah yang kuat sebagai bagian dari perjuangan hak-hak asasi manusia,
katakanlah sebagai titik tolaknya, maka pada Shue perjuangan tersebut justru
terpusat pada watak sosial-ekonomisnya itu sendiri.
Dalam bentuknya yang lain, pendekatan sosial-ekonomis tersebut juga
digunakan dalam klaim perjuangan hak-hak asasi manusia dari perjuangan
menciptakan Orde Ekonomi Internasional Baru. Dengan penuh kemarahan Walter
Lacquer13 menyerang impotensi lembaga-lembaga internasional yang menangani
masalah hak-hak asasi manusia. Setelah PBB berhasil menegakkan prinsip
universalitas masalah hak-hak manusia, secepat itu pula universalitas itu dikebiri
dengan menghentikan kemungkinan campur tangan PBB dalam urusan dalam
negeri anggota-anggotanya. Ini membuat mustahil penerimaan protes mereka yang
kehilangan hak-hak mereka oleh PBB, dan secara efektif mematikan prinsip
universalitas yang sudah diterima itu. Komisi hak-hak asasi manusia lalu hanya
menjadi forum lelucon yang tidak lucu, di mana tampak jelas impotensi PBB di
hadapan dunia secara keseluruhan. Hak-hak kelompok minoritas agama, etnis dan
bahasa tidak pernah disepakati, dan dengan sendirinya tidak tertampung, dalam
klausul-klausul Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang diprodusir PBB.
Menghadap kemarahan seperti itu, berbagai lembaga dalam lingkungan
PBB berusaha mencari jawaban pada “pemecahan universal” yang berukuran
13

Walter Lacquer, The Issue of Human Rights, Comentary, vol. 63 no. 5, May 1977.

114

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
makro tetapi diterapkan pada warga negara secara perorangan. Mulai dari hak-hak
akan kebutuhan dasar (basic needs) yang dirumuskan organisasi perburuhan
internasional hingga kepada hak atas makanan (right of food) yang dicanangkan
FAO, melalui sederetan hak lain seperti hak atas pelayanan utama (basic service) di
bidang nutrisi bagi anak-anak yang diselenggarakan Unicef, kesemua jawaban PBB
itu merangkum pendekatan sosial-ekonomis yang langsung ditujukan kepada
kebutuhan warga negara secara perorangan. Dikaitkan kepada pendekatan
perorangan dalam skala makro ini adalah upaya untuk mencapai kesepakatan
tentang Orde Ekonomi Internasional Baru dalam UNCTAD 14, sebagai upaya
pengikat yang menjamin terlaksananya pendekatan perorangan tersebut dengan
baik. Ini tercermin antara lain dalam berbagai perhitungan yang dikemukakan
untuk mendukung argumentasi bagi penciptaan orde tersebut, seperti perhitungan
Bank Dunia bahwa pemindahan 2% pendapatan kelas atas di negara-negara
berkembang ke kelas 40% terbawah (the bottom 40%) dalam jangka 25 tahun akan
memungkinkan tercapainya pemberantasan kemiskinan di seluruh dunia.
Pemindahan kekayaan seperti itu dapat dilakukan hanya dalam konteks struktur
perekonomian internasional yang lebih adil.
Kesimpulan
Dalam konteks humanisme yang dipahami sebagai orientasi dasar ke arah
kepentingan dan kesejahteraan seluruh bangsa manusia, maka Islam sebagai
“Agama

Kemanusiaan”

mempunyai

spirit-religius

yang

relevan

untuk

dikembangkan, sejalan dengan kesadaran baru HAM dewasa ini.

DAFTAR PUSTAKA

14

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) adalah organisasi
internasional yang didirikan pada tahun 1969. UNCTAD adalah organ utama Majelis Umum
PBB dalam menangani isu perdagangan, investasi dan pembangunan. Selengkapnya buka
http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_PBB_mengenai_Perdagangan_dan_Pembangunan

115

tadzkirah Vol. 8 Th. 8, September 2012
Lacquer, W. 1977. The issue of human rights. Comentary. Vol.63 no. 5, May 1977.
Madjid, N. 1995. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia. Paramadina. Jakarta.
Mahasin, A. t.t. Human rights and social stratification. Prisma. No. 13, edisi
Inggris.
Rachman, B.M. 2005. HAM dan persoalan relativitas budaya, dalam Islam,
Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer.
Paramadina. Jakarta.
Shue, H. 1977. Policy on human rights, working paper on human rights and foreign
policy. Fondations For A Balanced U.S. Center For Philosophy And Public
Policy.
Ubaedillah, A., Rozak, A. 2009. Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. ICCE UIN
Jakarta. Jakarta.
Wahid, A. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan. The Wahid Institute. Jakarta.
Wikimedia Indonesia. Konferensi PBB mengenai perdagangan dan pembangunan,
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_PBB_mengenai_Perdagangan_dan_
Pembangunan diakses tanggal 11 Februari 2012.

116