Hubungan Usia Awal Pemberian Makanan Padat dengan Kejadian Penyakit Atopik pada Anak Usia 6 – 7 Tahun di SD N 200107 Kota Padangsidimpuan

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Atopik
2.1.1. Defenisi Penyakit Atopik
Atopi adalah kecenderungan untuk menghasilkan imunoglobulin E (IgE)
sebagai respon terhadap paparan alergen atau peningkatan reaktivitas terhadap
alergen pada seseorang dengan predisposisi genetic ( Greer et al., 2008). Alergen
adalah antigen yang bereaksi secara spesifik dengan antibodi IgE. Alergen yang
paling banyak mencetus respon IgE adalah protein dengan berat molekul 10-70
kDA (Leung, 2007).
Atopi berasal dari kata atopos yang dalam bahasa Yunani berarti tidak
biasa. Istilah atopi ini pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923) yaitu istilah
yang dipakai untuk menyatakan suatu keadaan hipersensitivitas yang berbeda atau
tidak biasa dengan hipersensitivitas pada orang normal karena adanya predisposisi
genetik (Subowo, 2010).
2.1.2. Patogenesis Penyakit Atopik
Penyakit atopik adalah penyakit yang ditandai dengan adanya atopi pada
seseorang atau keluarga yaitu kecenderungan untuk mengasilkan antibodi
immunoglobulin E (IgE) yang merespon terhadap alergen (Greer et al., 2008).

Sehingga penyakit atopik termasuk reaksi hipersensitivitas I (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2010).
Alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel
dendrit, sel langerhans, monosit, dan makrofag dan akan disajikan pada sel T
dengan bantuan Mayor Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Sel T terdiri
atas sel CD4+, sel CD8+, sel T naif, dan sel T regulatory (Sel Treg) / Th3. Sel T
naif adalah sel T yang berperan sebagai respon imun primer pada fase sensitisasi
alergi. Sel T naif ini merupakan sel limfosit matang yang belum berdiferensiasi
dan belum pernah terpajan dengan antigen yang akan dibawa oleh darah dari
timus ke limfoid perifer. Sel naif yang terpajan dengan antigen akan berkembang

Universitas Sumatera Utara

5

menjadi sel Tho. Sel Tho akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan sel Th2. Sel Th2
merupakan sel T yang paling berperan dalam reaksi alergi. Sel Th2 akan
melepaskan sitokin seperti IL 4 dan IL 13, sehingga mengaktivasi sel B menjadi
sel plasma yang akan menghasilkan IgE. IgE akan berikatan dengan sel mast dan
sel basofil melalui reseptor FcƩR1. Antibodi IgE ini memiliki sifat khusus yaitu

kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel mast dan basofil. Satu sel
mast/basofil dapat mengikat setengah juta molekul antibodi IgE. Sehingga pada
paparan alergen kedua atau fase aktivasi, alergen yang berikatan dengan IgE pada
sel mast dan basofil, menyebabkan terjadinya perubahan segera pada membran sel
mast/basofil/degranulasi sel mast. Sehingga sel mast akan mengeluarkan mediator
– mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), protease, substansi
kemotaktik eosinofil, substansi kemotaktik netrofil dan prostaglandin (PGD2).
Mediator – mediator ini akan menyebabkan efek seperti dilatasi pembuluh darah
setempat, penarikan eosinofil dan netrofil menuju tempat yang reaktif,
peningkatan permeabilitas kapiler, hilangnya cairan ke dalam jaringan dan
kontraksi sel otot polos. Ini merupakan fase efektor (Guyton dan Hall, 2007 ;
Leung, 2007 ; Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
Selain itu, sel Treg / sel Th3 juga berperan dalam penyakit atopik karena
sel Treg / sel Th3 dapat menghambat pembentukan sel Th1 dan sel Th2 yang
berperan

dalam

terjadinya


inflamasi

melalui

pembentukan

cluster

of

differentiation 4 (CD4+), cluster of differentiation 25 (CD25+), sitokin yang
bersifat imunosuppresor seperti IL-10 dan transforming growth factor (TGF-β1).
Sel CD4+ dan sel CD25+ akan melepaskan gen FOXP3. Sehingga jika ada mutasi
pada gen FOXP3 ini akan membuat sistem imun menjadi tidak teratur, level
serum IgE akan meningkat, dan terjadi alergi makanan (Leung, 2007).
2.1.3. Prevalensi Penyakit Atopik
Menurut WHO (2003) hampir 20% penduduk dunia menderita penyakit
atopik seperti asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik. Penyakit asma
diperkirakan terjadi pada 150 juta orang di dunia dan 80% diantaranya terjadi
pada anak – anak. Sedangkan prevalensi penyakit atopik di Asia sangat bervariasi


Universitas Sumatera Utara

6

yaitu asma 29,1% dan rinitis alergi 45%. Penyakit atopik ini paling banyak terjadi
di negara yang berpenghasilan rendah dan sedang (Pawankar et al., 2012). Di
Indonesia penyandang asma merupakan penyebab kesakitan terbanyak setelah
infeksi (Zulfikar, 2011). Prevalensi asma di Indonesia sebesar 4,5%, khususnya di
Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 2,4%. (RISKESDAS, 2013).
Penelitian prevalensi penyakit atopik (asma, rinitis alergi, dan dermatitis
atopik) pada umumnya menggunakan kuesioner International Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC) yang telah diuji coba di 156 pusat di 56
negara di dunia yang dibagi dalam 2 kelompok usia yaitu kelompok usia 6/7 tahun
dan 13/14 tahun. Di Indonesia prevalensi asma dengan gejala mengi (wheezing)
dalam 12 bulan terakhir pada kelompok usia 6/7 tahun adalah 4,1 – 32,1%
sedangkan pada kelompok 13/14 tahun adalah 2,1 – 4,4%. Prevalensi rinitis
dengan gejala mata berair dan gatal adalah 0,8 – 14,9% pada kelompok usia 6/7
tahun sedangkan pada kelompok usia 13/14 tahun adalah 1,4 – 39,7%. Prevalensi
dermatitis atopik pada kelompok usia 6/7 tahun yaitu 2 – 16% dan 1 – 17% pada

kelompok usia 13/14 tahun (ISAAC, 2000).
2.1.4. Jenis Penyakit Atopik
2.1.4.1. Dermatitis Atopik
A. Defenisi
Dermatitis atopik yang sering disebut dengan ekzema merupakan penyakit
inflamasi pada kulit yang bersifat kronik yang ditandai dengan adanya pruritus
yang hebat, eritema, papula, vesikel, krusta, dan skuama yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak,. Dermatitis atopik didasari adanya faktor herediter
dan lingkungan (IDAI, 2010). Pada anak yang mengalami dermatitis atopik
terdapat peningkatan kadar IgE di dalam serum dan adanya riwayat rinitis alergi
atau asma pada keluarga dan penderita (Kariosentono, 2007). Anak – anak yang
menderita dermatitis atopik akan menderita asma, rinitis atau keduanya
dikemudian hari yang dikenal dengan istilah allergic march (IDAI, 2010).
Menurut Berke et al. kira-kira 30% anak dengan dermatitis atopik mengalami

Universitas Sumatera Utara

7

asma di kemudian hari. Dan berdasarkan survey di Amerika pada tahun 2007, kira

– kira 17,8 juta orang mengalami dermatitis atopik.
B. Patogenesis
Pada dermatitis atopik akut IL-4, IL-5, dan IL-13 tinggi, sedangkan pada
dermatitis atopik kronis IL-4 dan IL-13 rendah tetapi, IL-5, IL-12, INFϒ, dan
GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor) lebih tinggi
dibandingkan pada dermatitis atopik akut (IDAI, 2010).
Pada kulit penderita dermatitis atopik mengandung sel langerhans (LC) yang
memiliki afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing dan IgE melalui reseptor
FcƩRI pada permukaan membrannya dan juga melepaskan berbagai sitokin.
Apabila ada alergen masuk maka akan disajikan ke limfosit Th2 sehingga Th2
melepaskan IL-4, IL-5, IL-6,dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip
dengan ECF-A (eosinophil chemotactic factor) sehingga menarik eosinofil ke
daerah peradangan dan akan mengeluarkan granul protein yang akan
mengakibatkan kerusakan jaringan. Karena melibatkan sel limfosit T dan
diperantarai oleh IgE, maka lesi dermatitis atopik ini disebut sebagai IgEmediated delayed type hypersensitivity (Kariosentono, 2007 ; IDAI, 2010).
Faktor non imunologis pada dermatitis atopik adalah faktor genetik seperti
kerusakan pada barier kulit (epidermal) juga dapat menyebabkan dermatitis
atopik. Akibat kerusakan barier kulit ini, alergen, mikroorganisme, zat iritan dapat
mudah masuk ke kulit. Sehingga merangsang respon inflamasi seperti pelepasan
sitokin, sel limfosit T, dan sel yang lain. Adanya reaksi inflamasi ini

menimbulkan rasa gatal, sehingga apabila digaruk akan membuat barier kulit
semakin rusak. Penyebab kerusakan epidermal kulit ini yaitu menurunnya jumlah
lipid seramid (ceramide lipid), tidak seimbanganya enzim protease, dan mutasi
pada gen filagrin (FLG). Gen filagrin berfungsi untuk mengumpulkan filament
keratin dan menutupi bagian terluar sel kulit (Tom, 2012).

Universitas Sumatera Utara

8

C. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala klinis dermatitis atopik muncul sebelum usia 6 bulan dan
jarang terjadi sebelum usia 8 minggu. Gejala dermatitis atopik dapat sembuh
tetapi dapat juga menetap atau memberat hingga usia dewasa (IDAI, 2010).
Akibat adanya rasa gatal yang hebat, maka anak akan menggaruk siang dan
malam sehingga timbul bekas garukan (scratch mark) dan juga timbul kelainan
sekunder. Kelainan sekunder pada fase akut seperti vesikel, lesi yang basah
(weeping), dan erupsi krusta. Pada fase subakut, kulit menjadi kering, bersisik,
papul eritem, dan adanya plak. Sedangkan pada fase kronik, akibat garukan yang
berulang-ulang akan menyebabkan adanya likenifikasi (Kariosentono, 2007).

Awitan gejala dermatitis atopik timbul berdasarkan usia yaitu pada usia bayi
(bentuk infantil), anak, dan dewasa.
-

Bentuk infantil
Bentuk infantil berlangsung sampai usia 2 tahun. Lesinya ditandai dengan
adanya vesikel, papula, krusta akibat digaruk, dan terkadang ada infeksi
sekunder seperti jamur dan bakteri. Bayi akan merasa gelisah dan rewel pada
waktu tidur akibat adanya rasa gatal. Pada bayi yang lebih muda daerah
predileksinya terutama di muka, sedangkan pada bayi yang sudah bisa
merangkak kelainannya pada ekstensor.

-

Bentuk anak
Bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil. Ditandai dengan lesi
yang bersifat kronik seperti kulit menjadi kering (xerosis). Daerah
predileksinya terutama di lipat siku, lipat paha, tangan, kaki, dan periorbita.

-


Bentuk dewasa
Bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun dan lesinya sudah
bersifat kronik seperti likenifikasi dan skuamasi. Predileksinya terutama di
daerah lipatan – lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan ekstremitas.

Universitas Sumatera Utara

9

D. Diagnosis
Ada beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik seperti
kriteria Hanifin dan Rajka, kriteria Williams, kriteria UK Working Party,
SCORAD (the scoring of atopic dermatitis) dan EASI (the eczema area and
severity index). Tetapi, kriteria yang paling sering digunakan adalah kriteria
Hanifin dan Rajka karena relatif praktis (Ardhie, 2004). Pada kriteria ini,
diagnosis dermatitis atopik ditegakkan jika dijumpai setidaknya 3 kriteria mayor
dan 3 kriteria minor, sebagai berikut :

Kriteria Mayor


Kriteria Minor

1. Pruritus

1. Xerosis

2. Morfologi dan distribusi lesi

2. Ikhtiosis / keratosis pilaris
3. Hiperlinearitas palmaris

yang khas
3. Dermatitis

kronik

dan

kambuhan

4. Riwayat atopik di keluarga atau
pada diri sendiri

4. Reaktivasi uji kulit tipe 1
5. Peningkatan serum IgE
6. Kecenderungan
infeksi

kulit

mendapat
(S.aureus

dan

H.simplex)
7. Dermatitis tangan dan kaki
8. Eksim aerola mammae
9. Konjungtivitas
10. Dennie Morgan fold
11. Keratokonus anterior / katarak
suprakapsular
12. Orbital darkening
13. Facial pallor/erythema
14. Ptiriasis alba
15. Lipatan leher depan
16. Gatal bila berkeringat
17. Intoleransi terhadap wool dan
pelarut lemak

Universitas Sumatera Utara

10

18. Aksentuasi perifolikularis
19. Intoleransi makanan
20. Dipengaruhi faktor lingkungan
dan emosional
21. White dermographism
Sumber : Ardhie (2004)
Tabel 2.1. Kriteria Hanifin dan Rajka

Berdasarkan penelitian sistematik review tahun 2008, U.K working Party’s
Diagnostic Criteria merupakan kriteria dermatitis atopik yang paling valid.
Kriteria sederhana ini memiliki sensitivitas dan spesivisitas 95% - 97%.
Kriterianya adalah adanya rasa gatal dan diikuti setidaknya 3 kejadian seperti
adanya riwayat asma atau rinitis alergi, adanya lesi pada lipatan, kulit kering, dan
onset lesinya terjadi sebelum usia 2 tahun (Berke et al., 2012).
2.1.4.2. Rinitis Alergi
A. Defenisi
Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung yang ditandai
dengan bersin, iritasi konjungtiva, hidung tersumbat, berair, dan gatal. . Rinitis
alergi yang paling banyak adalah yang bersifat kronik, mempengaruhi 10 – 20%
anak – anak di dunia, dan prevalensinya terus meningkat dalam dua dekade
terakhir ini. Pada penderita rinitis alergi, reaksi inflamasi tidak hanya pada
mukosa hidung (lokal) saja, tetapi pada saluran nafas bawah juga terlibat. Itulah
sebabnya rinitis alergi dan asma dapat terjadi bersama (Small dan Kim, 2011 ;
Leung dan Milgrom, 2007 ; Moed et al., 2013).
B. Patogenesis
Ada banyak faktor yang dapat mencetus terjadinya rintis alergi seperti pajanan
udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, dan bubuk deterjen. Selain itu
makanan alergen ingestan merupakan alergen penyebab tersering pada anak.
Ketika mukosa hidung terpapar dengan alergen ada banyak sel inflamasi yang
terlibat, seperti sel mast, sel T CD4+, sel B, makrofag, dan eosinofil. Reaksi

Universitas Sumatera Utara

11

inflamasi pada hidung lebih sering terjadi karena hidung berfungsi sebagai
penyaring partikel dan alergen hirup yang pertama dan melindungi saluran
pernafasan bagian bawah. Infiltrasi sel T ke mukosa hidung, kemudian
berdiferensiasi menjadi sel Th2. Sel Th2 akan melepaskan sitokin – sitokin yaitu
IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan merangsang sel plasma melepaskan IgE.
IgE akan merangsang pelepasan mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrin.
Mediator inflamasi ini akan menyebabkan dilatasi arteriol, meningkatnya
permeabilitas vaskular, gatal, rinore (hidung berair), dan kontraksi otot polos.
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator dan sitokin
yang dilepaskan pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat juga akan merangsang sel
imunitas seluler yaitu 4 – 8 jam kemudian, ini merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat yang akan membuat hidung tersumbat (IDAI, 2010 ; Small dan Kim,
2011).
C. Manifestasi Klinis
Onset rinitis alergi pada anak yaitu diatas usia 4-5 tahun dan biasanya
meningkat pada usia dewasa 10 – 15%. Berdasarkan IDAI 2010, Gejala klinis
rinitis alergi sesuai dengan patogenesisnya seperti :
-

Rasa gatal pada hidung dan mata.

-

Bersin dan hidung tersumbat dapat secara bilateral, unilateral, atau bergantian
sehingga penciuman dapat terganggu dan suara menjadi sengau.

-

Sekret hidung dapat keluar dari hidung atau tertelan (post nasal drip).

-

Bernafas dari mulut terutama pada malam hari sehingga tenggorokan menjadi
kering, mengorok, tidur terganggu sehingga pada siang hari menjadi lelah.

-

Pada keadaan kronik, bentuk wajah anak menjadi kronis yaitu dibawah mata
ada warna gelap (dark circle / shiners) dan bengkak. Terdapat adenoid face
dikarenakan hidung tersumbat yang berat sehingga mulut selalu terbuka.
Kemudian terdapat allergic solute karena sering menggosok hidung yang
terasa gatal.

Universitas Sumatera Utara

12

Berdasarkan waktu, gejala rinitis alergi dibagi menjadi seasonal (musiman)
dan perenial. Rinitis alergi musiman menunjukkan gejala rinitis yang dipicu oleh
alergen serbuk sari, spora lumut, selama musim semi, musim panas, dan musim
gugur. Sedangkan rinitis alergi perenial menunjukkan gejala hayfever sepanjang
tahun yang dipicu oleh alergen rumah seperti debu rumah tangga, kecoa, bulu
binatang, dan spora lumut (Harsono et al., 2007). Tetapi tidak semua orang bisa
dimasukkan dalam klasifikasi ini. Sehingga rinitis alergi sekarang diklasifikasikan
berdasarkan lamanya gejala (intermiten / persisten) dan keparahan gejala (ringan,
sedang, berat) (Small dan Kim, 2011).
Gejala rinitis alergi berdasarakan lamanya gejala dibagi menjadi intermiten
dan persisten. Rinitis alergi intermiten yaitu terjadi hilang timbul dan berlangsung
< 4 hari dalam seminggu atau < 4 minggu. Sedangkan rintis alergi persisten terjadi
selama > 4 hari dalam seminggu atau > 4 minggu atau berlanjut sampai bertahun –
tahun (IDAI, 2010 ; Small dan Kim, 2011).
Gejala rintis alergi berdasarkan keparahannya dibagi ringan, sedang, dan berat.
Pada gejala yang ringan penderita dapat tidur dengan normal dan aktivitas seperti
sekolah dan kerja baik. Biasanya gejala ringan adalah gejala yang intermitten.
Pada gejala yang sedang atau berat sudah mengganggu tidur dan aktivitas sehari –
hari (Small dan Kim, 2011).
D. Diagnosa
Diagnosa rinitis alergi berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesa didapatkan adanya riwayat atopik
seperti rinitis alergi, dermatitis atopik, dan asma dalam keluarga merupakan faktor
predisposisi rinitis alergi yang terpenting pada anak. Selain itu adanya gejala
rinitis yang berulang, seperti bersin, hidung berair, rasa gatal pada hidung, dan
hidung tersumbat. Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda pada muka seperti
allergic shiner, allergic face, adanya edema, gatal pada konjungtiva. Pemeriksaan
laboratorium dapat mendukung diagnosis yaitu peningkatan IgE, antibody spesifik
IgE, dan tes kulit positif. Selain itu pada pemeriksaan sekret hidung didapatkan

Universitas Sumatera Utara

13

peningkatan eosinofil >3% kecuali pada saat infeksi sekunder karena sel neutrofil
sekunder yang akan meningkat ( Leung dan Milgrom, 2007 ; IDAI, 2010).
2.1.4.3. Asma
A. Defenisi
Asma merupakan suatu gangguan inflamasi pada saluran pernafasan yang
bersifat kronis dan banyak melibatkan sel – sel inflamasi seperti sel mast,
eosinofil, limfosit T, sel dendrit, makrofag, dan netrofil. Reaksi inflamasi kronis
ini berhubungan dengan hiperaktivitas jalan nafas sehingga menyebabkan episode
mengi (wheezing) yang berulang, sesak, rasa dada tertekan, dan batuk terutama
pada waktu malam atau dini hari (GINA, 2012).
Berdasarkan ISAAC prevalensi mengi pada usia 13/14 tahun di Indonesia
adalah 2,1 – 4,4%. Sedangkan pada kelompok usia 6/7 tahun adalah 4,1 – 32,1%.
B. Patogenesis
Asma merupakan gangguan inflamasi pada saluran nafas yang banyak
melibatkan sel – sel inflamasi dan mediator inflamasi. Hiperaktivitas bronkus
merupakan dasar terjadinya asma. Hiperaktivitas bronkus yaitu peningkatan
respon bronkus terhadap berbagai rangsangan seperti alergen, udara dingin,
latihan fisik, zat-zat kimia sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas
(IDAI, 2010). Mekanisme terjadinya hiperresponsif pada saluran nafas adalah
karena meningkatnya kontraksi pada otot polos saluran nafas, penebalan dinding
saluran nafas, dan tersensitisasi saraf sensorik sehingga bronkokonstriksi (GINA,
2012).
Proses inflamasi pada sluran nafas dapat terjadi secara imunologik maupun
secara non imunologik. Secara imunologis yaitu, akibat pajanan alergen akan
menyebabkan terjadinya respon inflamasi seperti respon inflamasi cepat dan
respon inflamasi lambat.
-

Respon inflamasi cepat
Terjadi < 10 – 20 menit setelah pajanan alergen dan berlangsung 1 – 2 jam.
Akibat alergen yang terikat dengan IgE pada sel mast, maka akan terjadi

Universitas Sumatera Utara

14

degranulasi sel mast yang akan melepaskan mediator seperti histamine, ECF,
NCF, dll sehingga akibatnya adalah terjadi spasme otot polos bronkus,
inflamasi, edema, hipersekresi, dan jumlah eosinofil dan netrofil akan
meningkat akibat pelepasan ECF dan NCF.
-

Respon inflamasi lambat
Terjadi kurang lebih 4 – 8 jam setelah pajanan alergen, berlangsung selama 12
– 48 jam. Respon ini terjadi karena aktivasi eosinofil, leukotrien,
prostaglandin, bradikinin, dan serotonin.

Sedangkan jalur non imunologisnya adalah akibat pajanan asap rokok
sehingga epitel saluran nafas rusak. Epitel saluran nafas yang rusak akan
melepaskan sitokin, kemokin, mediator lipid (IDAI, 2010).
C. Manifestasi Klinis dan Faktor Pencetus
Kebanyakan gejala asma adalah mengi. Gejala lain adalah nafas pendek, dada
terasa tertekan atau nyeri, batuk kronik, ada gangguan tidur karena batuk dan
mengi. Berdasarkan GINA 2012, Gejala asma dapat dicetuskan oleh beberapa
faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan obesitas dan sex.
1. Faktor genetik
Pada patogensesis asma banyak gen yang terlibat. Dimana gen ini akan fokus
pada 4 area utama seperti untuk produksi antibodi IgE, membuat saluran nafas
menjadi hiperresponsif, melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin,
growth factor, dan sel Th2. Adanya peningkatan level total serum IgE sehingga
membuat hiperresponsif pada saluran nafas yaitu pada kromosom 5q.
2.

Faktor lingkungan
Terdiri dari faktor alergen, infeksi, asap rokok, dan polusi udara. Ada 2 faktor

alergen yang dapat menyebabkan asma seperti (IDAI,2010) :
-

Alergen makanan yaitu sering ditemukan pada masa bayi dan anak yang
masih muda yaitu < 3 tahun. Biasanya alergi pada susu sapi, telur, dan
kedelai. Sedangkan pada anak yang lebih besar makanan penyebab alergi
seperti ikan, kerang dan kacang tanah.

Universitas Sumatera Utara

15

-

Alergen hirup yaitu tungau debu rumah, bulu binatang peliharaan seperti bulu
kucing dan bulu anjing, dan serbuk sari yang biasanya di negara 4 musim.

3. Sex
Prevalensi asma pada usia yang lebih muda, laki-laki lebih banyak
dibandingkan pada perempuan. Sedangkan pada usia dewasa lebih banyak pada
perempuan daripada laki-laki. Dikarenakan ukuran paru pada anak laki-laki lebih
kecil daripada anak perempuan pada waktu lahir, tapi setelah dewasa
kebalikannya.

D. Diagnosa
Berdasarkan anamnesis, didapatkan adanya gejala asma seperti, episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, batuk yang kronik. Gejala akan
memburuk pada malam hari. Selain itu, adanya riwayat keluarga atau orang tua
yang memiliki penyakit atopik seperti rinitis alergi, dermatitis atopik, dan alergi
makanan dapat mendukung diagnosis asma. Pada pemeriksaan fisik dada biasanya
normal tetapi pada pemeriksaan auskultasi di dengar adanya wheezing. Selain itu,
pada pemeriksaan auskultasi akan terdengar penurunan suara nafas pada lapangan
paru terutama pada lobus posterior kanan bawah akibat obstruksi saluran nafas
dan terdengar adanya ronki dan crackle

dikarenakan produksi mukus yang

berlebihan dan eksudat inflamasi pada saluran pernafasan. Pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan spirometri yang digunakan untuk mengukur aliran udara
(airflow) dan volume paru dapat mendukung diagnosa asma dan menentukan
tingkat keparahannya (Leung,2007 ; IDAI,2010 ; GINA,2012).
2.2. Makanan Padat
Makanan padat dapat diartikan dengan makanan yang tidak dapat diminum
atau makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti nasi, sayuran, buah-buahan,
daging, keju, telur, ikan, kacang, coklat (Sariachvili et al., 2010 ; Inoue dan Binns,
2014).

Universitas Sumatera Utara

16

2.2.1. Waktu Pemberian Makanan Padat
Kebutuhan zat gizi anak bertambah seiring dengan meningkatnya usia
bayi. Sedangkan sejak usia 6 bulan Air Susu Ibu (ASI) tidak mampu memenuhi
kebutuhan energi dan zat gizi pada bayi sehingga bayi memerlukan makanan
tambahan (Maryunani, 2010).
WHO dan UNICEF merekomendasikan pemberian makanan tambahan
atau makanan padat dimulai pada usia 6 bulan. Sedangkan berdasarkan American
Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2008, pemberian makanan padat harus
dimulai pada usia 4 – 6 bulan. Pemberian makanan padat terlalu dini adalah jika
sebelum usia 12 minggu dan pemberian makanan padat terlalu lama adalah jika
lebih dari 26 minggu bisa menyebabkan masalah kesehatan (Przyrembel, 2012).
Namun sekitar 40% semua bayi telah mendapatkan makanan tambahan atau
makanan padat sebelum usia 4 bulan (Clayton et al., 2013).
2.2.2. Jenis Makanan Padat
Makanan pertama yang diberikan pada usia bayi 6 bulan adalah makanan
lumat yaitu makanan yang dimasak atau yang disajikan secara lumat dan
merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan padat. Contoh makanan
lumat adalah bubur tepung, bubur beras (encer), nasi atau pisang yang dilumatkan,
sayuran yang dilumatkan dan lauk-pauk yang dilumatkan. Diberikan 2 kali sehari
namun seiring pertambahan umur diberikan 4-5 kali dalam 1 piring kecil sehari.
Kemudian makanan lembek diberikan sebagai peralihan dari makanan lumat ke
makanan keluarga. Diberikan pada bayi berusia 7-12 bulan sebanyak 1 kali hingga
4-5 kali 1 piring sedang. Contoh makanan lembek adalah bubur beras (padat), nasi
lembek, tempe, tahu dan sayuran. Setelah itu makanan keluarga dapat diberikan.
Makanan keluarga adalah makanan yang dikonsumsi keluarga seperti makanan
pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah (Maryunani, 2010).
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makanan Padat Terlalu Dini
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Clayton et al. (2013), 40,4%
ibu memberikan makanan padat pada bayinya sebelum berusia 4 bulan.
Karakteristik ibu yang memberikan makanan padat terlalu dini ini adalah ibu yang

Universitas Sumatera Utara

17

berusia muda, yang tidak menikah, tingkat pendidikan ibu yang rendah, dan
pendapatan yang rendah. Ada beberapa alasan ibu memberikan makanan padat
terlalu dini yaitu sekitar 88,9% ibu menganggap kalau anaknya sudah cukup besar
untuk makan makanan padat, 71,4% karena bayinya terlihat lapar setiap hari,
66,8% karena anaknya ingin memakan apa yang dimakan ibunya. Selain itu, ibu
juga mengatakan kalau ibu ingin menambahkan makanan kepada anaknya selain
ASI / susu formula, ibu juga mengatakan kalau anaknya terlihat lapar, dan untuk
membantu anaknya tidur.
2.3. Hubungan Usia Awal Pemberian Makanan Padat dengan Penyakit
Atopik
Pemberian makanan padat terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit
atopik pada anak. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menjelaskan
bahwa pemberian makanan padat kurang dari 4 bulan dapat meningkatkan resiko
penyakit atopik, seperti ekzema karena sistem saluran cerna yang imatur. Sistem
saluran cerna yang imatur yaitu enzim ptyalin yang masih sedikit, pH lambung
yang belum sempurna dan tight junction usus yang masih longgar. Akibatnya
akan terbentuk makanan dalam bentuk besar (makromolekul). Makromolekul ini
akan mudah masuk melalui saluran cerna dan dapat melewati barier mokosa
sehingga dipresentasikan sel mast. Sehingga pemberian makanan padat harus
ditunda hingga usia 4 bulan, karena sistem saraf dan saluran cerna telah terjadi
maturasi (Sicherer dan Sampson,2004 ; IDAI,2010 ; Sariachvili et al., 2010 ;
Clayton et al., 2013).
Selain itu, produksi ASI yang kurang juga dapat meningkatkan resiko
penyakit atopik pada anak. Karena pemberian makanan padat yang terlalu dini,
akan membuat bayi kenyang sehingga frekuensi menyusui akan menurun
akibatnya produksi ASI akan menurun. Produksi ASI yang menurun
mengakibatkan antibodi IgA juga menurun. Antibodi IgA pada saluran cerna ini
merupakan antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen (yang memicu
terjadinya inflamasi) dan mencegah terjadinya penempelan bakteri/virus ke epitel
dan dapat mencegah timbulnya alergi makanan karena menghambat masuknya

Universitas Sumatera Utara

18

antigen ingestan melalui mukosa. Namun antibodi IgA matur pada usia 4 tahun.
Sehingga yang menjadi barier terhadap patogen atau yang memberikan imunisasi
pasif bagi neonatus dan bayi adalah IgA sekretorik dari ASI (Baratawidjaja dan
Rengganis,2010 ; IDAI,2010).
Hal sebaliknya didapatkan pada beberapa penelitian yang menyatakan
pemberian makanan padat terlalu dini dapat menurunkan resiko penyakit atopik
seperti ekzema, asma, dan rinitis alergi pada anak dengan predisposisi genetik.
Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang terbaru yang menjelaskan bahwa
resiko penyakit atopik pada anak dapat diturunkan melalui pemberian makanan
padat yang lebih awal, dikarenakan adanya mekanisme toleransi oral atau
toleransi melalui jalur sel T. Mekanisme toleransi oral terjadi jika mendapat
makanan protein terlalu dini yaitu sebelum usia 4 bulan (Sariachvili et al., 2010 ;
Joseph et al., 2011 ; Leo et al., 2012 ; Nwaru et al., 2013). Toleransi oral adalah
mekanisme yang mencegah terjadinya sensitisasi pada sistem imun saluran cerna
akibat terpajan dengan protein eksternal. Toleransi yang terjadi pada sel T dapat
melalui mekanisme anergi dan pembentukan sel Treg. Anergi ialah menurunnya
fungsi sel T. Anergi klon sel T terhadap antigen protein dapat terjadi melalui
pemberian oral. Pemberian oral merupakan salah satu faktor yang meningkatkan
terjadinya toleransi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Selain itu yang berperan
dalam terjadinya toleransi oral adalah teraktivasinya sel Treg/sel Th3 dalam
peyer’s patch ketika antigen masuk ke dalam saluran cerna. Sehingga sel Treg/sel
Th3 akan melepaskan IL-4, IL-10, dan TGF-β. TGF-β ini akan mencegah
proliferasi limfosit dan merangsang sel B untuk menghasilkan IgA (IDAI, 2010).

Universitas Sumatera Utara