Putusan Hakim tentang Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika (Studi Putusan Nomor : 35 PID 2012 PT.TK)

BAB II
REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA
SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN
A. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika
1.

Pengaturan Hukum Tentang Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika
Saat ini Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 huruf e dikemukakan bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang
dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh
jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan
generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut. 43 Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Apabila dikaitkan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya, hukum

itu diberlakukan dalam bentuk undang-undang yang kemudian hari dalam penerapannya banyak
terdapat kendala, yang juga bersumber dari undang-undang dan politik hukum pemberlakuan
undang-undang. Beberapa ahli tersebut berpendapat bahwa politik hukum itu sendiri berbeda
dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli hukum lainnya, sama halnya dengan pendapat ahli
43

Lihat UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bagian menimbang (e).

Universitas Sumatera Utara

hukum tentang apa itu hukum, pastilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu
dengan yang lainya. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut, Satjipto Rahardjo
mengemukakan bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak
bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada
posisi yang lemah, 44 itulah pendapat Sutjipto Raharjo tentang politik dan hukum, bahwa menurut
Sutjipto Raharjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan dengan politik, sehingga politik akan
selalu menang bila dihadapkan dengan hukum. Konsekuensinya adalah bahwa apabila hukum itu
adalah undang-undang, maka undang-undang yang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma
politiknya, dibandingkan dengan manfaat undang-undang tersebut bagi tercapainya keadilan dan
kemakmuran rakyat.

Rouscoe Pound menyatakan tentang “law as a too of sosial engineering” sebagai
keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi
kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Pendapat Rouscoe Pound ini benbanding terbalik
dengan pendapat Sutjipto Raharjo yang menyatakan bahwa hukumlah yang lebih berperan dalam
gerak langkah masyarakat kedepan. Apabila dikaitkan dengan undang-undang maka undangundang yang dibuat di dewan perwakilan rakyat haruslah benar-benar selayaknya dapat
memobilisasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Apabila dihubungkan lagi dengan pendapat
Van Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya
masyarakat, ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan
politiknya. Van Savaiqni berpendapat bahwa hukum dan politik bukan tidak bisa di satukan satu
dengan yang lainnya, namun keduanya harus saling menyeimbangi satu dengan yang lainnya. 45

44
45

http://ilmu hukum. umsb.ac.id, diakses tanggal 1 Maret 2013.
Loc.cit

Universitas Sumatera Utara


Dilihat dari pandangan beberapa ahli ini dihubungkan dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah UU Narkotika yang disahkan pada 14 September 2009
merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah
menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak
pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif,
serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada
UU No. 35 tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang terdahulu, adalah pada penekanan
pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan
BNN yang sangat besar.
Kalau kita lihat sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini, ada tersirat
bahwa Undang-Undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita
cermati tentang perubahan-perubahan subtansi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 antara lain pada: 46
1. Hal Pembatasan Penyimpanan
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun,
namun hanya diperbolehkan terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu
pengetahuan. Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan
apapun.


46

http://my.opera.com/Kurniawanwp97/blog/2010/07/12/mengkitisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009tentang-narkotika-dengan-undang diakses pada tanggal 1 Maret 2013.

Universitas Sumatera Utara

2. Hal Rehabilitasi dan Pengobatan
Pada Undang-Undang terdahulu, pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa
narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi
dengan bukti yang sah. Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan atas
kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan. Para pecandu mempunyai kewajiban
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dimana para pecandu narkotika diwajibkan untuk
melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang
tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah
ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.
3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang diemban Badan Narkotika Nasional
(BNN)
Porsi besar bagi BNN 47 diberikan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 untuk
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekursor narkotika

merupakan salah satunya. Selain itu BNN juga dapat memantau, mengarahkan dan
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan
narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Selain dari pada itu, BNN diberi
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran
narkotika, dan prekursor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan

47

http://id.wilkipedia.org/wiki/Badan-Narkotika-Nasional diakses pada tanggal 1 Maret 2013 “Badan
Narkotika Nasional (disingkat BNN) adalah sebuah lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) Indonesia yang
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap psikotropika, precursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada presiden melalui koordinasi Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar hukum BNN sebagai LPNK adalah Peraturan Presiden Nomor 23
Tahun 2010. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.

Universitas Sumatera Utara

penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3 x 24 jam ditambah

penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam pemberantasan narkotika.
Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, maka di dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan48
(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy) dan teknik penyerahan yang
diawasi (controlled delevery) serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
4. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika
Kata “dapat” pada pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 digunakan
untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah
untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan
Selain Polri , BNN dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
narkotika. Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut.

48

Lihat Penjelasan Pasal 75 Undang-Undang No 35 Tahun 2009, “Penyadapan adalah kegiatan atau

serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik
Kepolisian Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi
terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya.
Penyadapan dimaksudkan untuk mengantisispasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para
pelaku tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun
internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat
menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan atau sindikat narkotika maka sistem
komunikasi telekomunikasi mereka harus biba ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberdaan jaringan
tersebut.”

Universitas Sumatera Utara

Peran serta masyarakat yang terpayungi oleh UU ini memberikan legitimasi bagi masyarakat
untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan
oleh Undang-Undang.
6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Dalam Tindak Pidana narkotika penggunaan kata “setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak
memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak
mempunyai niat melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan,

ataupun ketidaktahuaan.
Hal ini berpotensi menjerat orang untuk dijadikan tersangka dalam tindak pidana
narkotika yang tidak sengaja, baik karena “dijebak” oleh orang lain maupun atas kekurangtahuan atas bentuk jenis narkotika yang ada maupun kondisi lain yang memungkinkan seperti:
menerima titipan barang dari orang lain untuk diantar ke suatu tempat dan tanpa
sepengetahuannya di dalam barang tersebut ada narkotika yang diselipkan, menerima paket dari
pos dan kondisi lainnya.
7. Penggunaan Sistem Pidana Minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat
yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim
dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan
kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Universitas Sumatera Utara

8. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai.
Dalam Undang-undang pidana lain ada pembedaan punishment antara suatu tindak
pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai (percobaan), sedangkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan
pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena

perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana
tersebut terjadi, namun tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan
antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya sebagai
berikut:
a. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika
b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika
c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika
d. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika
e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika
f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika
g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika
h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika
i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika
j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu
k. Kejahatan yang menyangkut penyimpanan fungsi lembaga
l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur

Universitas Sumatera Utara


m. Kejahatan yang menyangkut prekursor narkotika
n. Kejahatan yang menyangkut narkotika yang dilakukan oleh korporasi
o. Kejahatan yang menyangkut narkotika secara pemufakatan jahat
p. Kejahatan yang menyangkut penyamaran hasil dari tindak pidana narkotika
Pada dasarnya, pengedar narkotika dalam terminologis hukum dikategorikan sebagai
pelaku (daders) akan tetapi pengguna dapat dikategorikan baik sebagai pelaku dan/atau korban.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pelaku penyalahguna
narkotika terbagi atas dua katagori yaitu pelaku sebagai “pengedar” dan / atau “pemakai”. Pada
Undang-undang Narkotika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian pengedar narkotika.
Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar narkotika” adalah orang yang
melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika. Akan tetapi, secara luas pengertian
“pengedar narkotika” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual,
pembeli untuk mengedarkan, menyangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan
kegiatan mengekspor dan mengimpor narkotika. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika maka “pengedar” diatur dalam pasal 111, 112, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125.
Begitupula halnya terhadap pengguna narkotika. Hakikatnya pengguna adalah orang yang
menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam Undang undang Narkotika. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika maka pengguna diatur dalam pasal 116, 121, 126, 127, 128, 134.

Universitas Sumatera Utara

Terlupakannya korban tindak pidana tidak dapat dilepaskan dengan hukum pidana di
Indonesia yang bersumber dari hukum pidana neo-klasik yang notabene melahirkan hukum
pidana yang bersifat “daad–dader strafrecht”, yakni hukum pidana yang berorientasi pada
perbuatan dan pelaku. 49 Perhatian terhadap pelaku tindak pidana yang memperoleh perlindungan
berlebihan, dalam artian tidak seimbang dengan kepentingan korban, merupakan suatu gambaran
timpang sebagai akibat dalam hukum acara pidana di Indonesia, lebih mengedepankan “proses
hukum yang adil” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “due process model”.
Pecandu narkotika merupakan “Self Victimizing Victims” yaitu mereka yang menjadi
korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Karena pecandu narkotika menderita
sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.
Namun demikian korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya mendapatkan perlindungan
agar korban tersebut dapat menjadi baik.
Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana,
yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. 50 Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan
salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku
agar ia berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan
sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau
perawatan si pelaku. Berdasarkan hal tersebut double track system dalam perumusan sanksi
terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat, karena berdasarkan
victimologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai self victimizing victims yaitu korban sebagai

49
50

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm25-26 dan 62.
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),

hlm.24.

Universitas Sumatera Utara

pelaku, victimologi tetap menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban, meskipun dari
tindakan pidana/kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan hal yang sulit,
karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan
pembuktian bahwa pengguna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam
implementasinya Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat
Edaran (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 yang menjadi pegangan pertimbangan hakim dalam
memutus narkotika.
Oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat
perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku tindak pidana/kejahatan
maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track
system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling
tepat.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing victims
adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan sanksi tindakan yang
diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa pengobatan dan/atau
perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem pelaksanaannya
adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

2. Pertangungiawaban Pidana dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pecandu Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Dalam hukum pidana menurut beberapa ahli ada tiga persoalan yang mendasar. Saner,
berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan onrecht, schult, dan strafe. Sementara Packer
menyebut ketiga masalah itu berkenaan dengan crime, responsibility dan punishment. 51 Menurut
Soedarto persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang itu dan pidana
yang diancamkan terhadap pelarangan larangan itu. 52 Dengan kata lain, masalah mendasar dalam
hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan
pemidanaan. 53
Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus diketahui
apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya,
dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga kita mengetahui secara jelas
apakah orang tersebut harus diminta pertanggungjawabannya atau tidak. Adapun unsur-unsur
tersebut terdiri dari unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab, alasan penghapusan pidana.
1. Kemampuan Bertanggungjawab
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu
tidak hanya saja manusia yang dapat pertanggungjawaban pidana bahkan hewan atau benda mati
lainnya

dapat

dipertanggungjawabkan

tindak

pidananya.

Seseorang

tidak

saja

mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya akan tetapi perbuatan orang lain
juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya saja terbatas pada
pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkan terhadap

51

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.7.
52
Soedarto, Tentang Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Kertas Kerja, pada simponsium
Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang, 1980).
53
Chairul Huda, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara

jenis-jenis perbuatan yang berbeda didasari oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim
untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.
Seetelah revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah
kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mazhab taqlidi), kebebasan
berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar
pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan
dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana perbuatan yang tidak baik. 54
Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah
hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa :
I… Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is
legally subjected to the exaction.” 55
Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan, 56 menurutnya bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata
akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu
masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toeraken-baarheid”,
“criminal responsibility”, “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana yang dimaksudkan
disini untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya
pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu. 57

54

http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/kesalahan-dan-pertanggungjawaban-pidana.html, diakses
tanggal 7 Maret 2013.
55
Roscoe Pound, “an introduction to the philosophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan
Hukum Pidana, (Bandung: Mandar maju, 2000), hlm. 65
56
Romli Atmasasmita, Ibid.
57
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni, 1996), hlm.
245.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu
bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia
tidak mampu bertanggungjawab. Simons menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab
adalah suatu keadaan psychis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan,
baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya. 58 Seseorang mampu bertanggungjawab jika
jiwanya sehat, yakni apabila: 59
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum
c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut
Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannnya si pembuat atas
perbuatannya/syarat-syarat kemampuan bertanggungjawabnya secara negatif yakni: 60
a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si pembuat
berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena
penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si pembuat tersebut pada saat
perbuatan dilakukan.
b. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya, dalam
hal ini yang menentukan adanya hubungan kausal adalah hakim.
Di dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi
dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan,yang mana keadaan jiwa orang yang
melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab
58

Loc.Cit.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm. 165
60
Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 95
59

Universitas Sumatera Utara

karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan
ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat. 61
Kemampuan bertanggungjawab juga dikemukakan oleh Van Hammel yang mengatakan
seseorang yang mampu bertanggungjawab harus memliki tiga syarat, yaitu: pertama, dapat
menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua, dapat menginsafi
bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat; ketiga, mampu untuk
menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi. 62
Suatu perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan
pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, 63 yakni pertama,
pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang
dilakukan manusia lainnya. Kedua pendekatan ini yang melihat kejahatan sebagai perwujutan
dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.
2. Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat,
yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (
subjective guilt).

61

Sutrisna, I Gusti Bagus, “ Penerapan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan terhadap pasal
44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), hlm. 78
62
Sutrisna, I Gusti Bagus, Ibid. hlm. 79
63
Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam J.E Sahetapy, “Victimologi Sebuah Bunga Rampai”
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 41-42

Universitas Sumatera Utara

Disini berlaku apa yang disebut dengan “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” (
keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld ) atau NULLA POENA SINE CULPA (
“Culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Dari apa yang telah di sebutkan di atas,
maka dapat di katakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah :
1.

Adanya

kemampuan

bertanggungjawab

pada

si

pembuat

(Schuldfahigkeit

atau

Zurechnungsfahigkeit) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal
2.

Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau
keapaan (culpa) : ini di sebut bentuk-bentuk kesalahan.

3.

Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau

mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana. 64 Sekalipun kesalahan telah di
terima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi
mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli.
Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam
penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan
ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Dalam pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana .Tindakan pidana
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang
yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal
ini tergantung pada “ apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana. “Tidak
64

Sudarto, Op.cit., hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara

di pidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld:actus non facit reum nisi mens sir
rea)”.
Namun lainya halnya dengan hukum pidana fisikal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi
jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau di rampas.
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het
materiele feit (fait materielle). 65
Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan
melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin di kenakan pidana, meskipun orang tersebut di
kenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain,sangat ceroboh, selama dia tidak
melanggar larangan pidana. 66
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga meskipun perbuatannya
memenuhi rumusan delik dalam Undang- Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut
belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan
sebagai berikut: 67
a.

Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya
pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.
65

Dahulu atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R.1916 Nederland ( Van Bammalen Arresten
strafrecht), hal itu di tiadakan.Demikan pula bagi delik-delik jenis overtradingen, berlaku asa tanpa kesalahn, tak
mungkin di pidana.
66
Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Pidato Ilmiah.
67
Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm 88. Kesalahan dapat ditinjau dari 3
sisi yakni :
a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban
dalam hukum pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi,
apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia
dapat dicela atas perbuatannya.
b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan
c. Kesalahan dalam arti yang sempit adalah kealpaan

Universitas Sumatera Utara

b.

Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum
pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan psychis dari si pembuat. Hubungannya
terhadap perbuatan itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychis perbuatannya dapat
dicelakan kepada si pembuat. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus
diperhatikan dua hal di samping melakukan tindak pidana, yakni :
1. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu; dan
2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang di lakukan,
hingga menimbulkan celaaan tadi.

c.

Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian
psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik
karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.

d.

Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan
yang melawan hukum, meliputi semua hal.

e.

Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya biasanya
sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Bersifat melawan hukum itu adalah
perbuatannya yakni segi dalam, yang berkaitan dengan kehendak si pembuat adalah
kesalahan. Lebih rinci Pompe dalam pembahasannya mengenai kesalahan, mengatakan
bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dalam dari kehendak pelaku,
sedangkan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) merupakan bagian luar dari padanya.
Artinya kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang seharusnya
dapat dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang seharusnya dapat dihindarkan,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum,
untuk kelakuan mana ia dicela. 68
Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan
pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam arti luas,
sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan tersebut meliputi:
a. Kesengajaan
Kesengajaaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld).
Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan
(terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa 69. Kesengajaan ini biasanya suatu kondisi
dimana melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau
bertindak sesuatu. 70
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan atau membayangkan. 71 Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan,
manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat
menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau
membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan
karena suatu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih
dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si
pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu dia berbuat.
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan ssengaja, yaitu “niat” (voorhomen) dan
dengan rencana terlebih dahulu (met voorberachterade). Dalam pasal 35 ayat 1 KUHP tentang
68

S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AhaemPetehaem, 1986), hlm 163.
69
S.R.Sianturi, Op.Cit., hlm. 166.
70
Sathocid Kartanegara, Op Cit., hlm. 292.
71
Moelijatno, Op.Cit, hlm 171-176.

Universitas Sumatera Utara

percobaan dikatakan “percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud
sipembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah
lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.
Antara niat dan kesengajaan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan,
yang membedakan hanya selesai tidaknya perbuatan itu dilakukan. Tapi dasar untuk melakukan
perbuatan itu sama yakni sudah ada niat. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara
tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu 72:
1.

Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)

2.

Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of
noodzakelijkheid)

3.

Sengaja

dengan

kesadaran

kemungkinan

sekali

terjadi

(opzet

met

waarschlijkheidbewustzijn).
Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja ia hanya menghendaki tindakannya itu
tetapi juga menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam
dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika menghendaki tindakannya itu
artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya dengan tindakannya, tidak diisyaratkan
apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undangundang. 73
Kesengajaan yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia adalah kesengajaan jenis kedua
yaitu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu. Undang-undang hukum pidana

72
73

Sudarto, Op.Cit, hlm. 103-105.
Ibid, hal 171

Universitas Sumatera Utara

menentukan dapat dipidananya seseorang tidak tergantung dari keinsyafannya, apakah suatu
tindak pidana dilarang dan diancam dengan pidana karena hal tersebut akan memberikan beban
kepada para penegak hukum terutama hakim dalam membuktikannya. Sebagai imbalannya ialah
bahwa hanya tindakan tertentu (yang harus diatur dalam undang-undang) yang ditentukan
sebagai kejahatan, yang oleh setiap orang yang berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa
tindakan tersebut bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan 74.
Kesengajaan tanpa sifat tertentu di dalam praktik peradilan dan menurut doktrin dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya: pertama, kesengajaan sebagai maksud (dolus
directus atau opzet als oogmerk) yang berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu
adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan si pelaku, pada
delik formal diatur dalam Pasal 406 KUHP dan pada delik material diatur dalam Pasal 338
KUHP. Kedua, kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidesbewustzijn), yang
menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan
akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Ketiga,
kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atou voorwaar delijk opzet)
merupakan kesengajaan dalam tingkat yang terendah dimana yang menjadi sandaran kesengajaan
ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran si pelaku tentang tindak pidana dan akibat
terlarang yang mungkin terjadi serta termasuk juga kesadaran pelaku mengenai kemungkinan
terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa syarat-syarat tertentu 75.

74
75

Ibid, hal 172
Ibid, hal 172

Universitas Sumatera Utara

b. Kelalaian (culpa)
Yang dimaksud dengan kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar
larangan undang-undang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu.Dia alpa, lalai, teledor
dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan larangan
sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal
menimbulkan keadaan yang dilarang. 76
Selanjutnya dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kelalaian itu
mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh
hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. 77
Dari uraian diatas sering dipandang bahwa bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk
diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain dari pada pidana. Pidana dianggap hanya
sebagai obat terakhir (ultimatum remedium). 78
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat
dibedakan atas dua yaitu :
1.

Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat
dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang
menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya
tidak timbul akibat itu.

2.

Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi
apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu

76

http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana, diakses tanggal 8
Maret 2013.
77
Loc.Cit.
78
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm.128.

Universitas Sumatera Utara

akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau
memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri
dari :
1.

Kealpaan berat (culpa lata). Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut dengan merlijke
schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berat ini tersimpul dalam
”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP

2.

Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak
menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan,
melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.
Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya

adalah: 79
1. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan
ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya,
tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan (aktif
atau pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
2. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya.
Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan
yang akan menimbulkan akibat itu, tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan
mana ia kemudian dicela, karena sifat melawan hukum.
MvT menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat 80:
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan
79
80

S. R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 192.
Ibid

Universitas Sumatera Utara

2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan
3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah suatu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah
bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan, tetapi dapat pula dikatakan kealpaan
itu adalah kebalikan dari kesengajaan karena bila mana dalam kesengajaan sesuatu akibat yang
timbul itu dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikehendaki
walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya. 81
Pembagian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua sudut yaitu:
1. Dilihat dari sudut kecerdasan atau ingatan pelaku, maka dapat dibagi atas 82:
a) Kealpaan yang berat (culpa lata), yang diisyaratkan adanya kekurangwaspadaan
(onvoorzichtigheid)
b) Kealpaan yang ringan (culpa levis), yeng diisyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan
tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku dan perbandingan
tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku.
2. Dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dapat dibagi atas 83:
a) Kealpaan

yang

disadari

(bewuste

schuld),

jika

pelaku

dapat

membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi ketika ia melakukan
tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu
timbul juga.
b) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), bila mana pelaku tidak dapat
memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya pelaku dapat
membayangkannya.
81

Ibid, hlm. 193
Ibid, hlm. 194
83
Ibid, hlm. 195
82

Universitas Sumatera Utara

c. Dapat dipertanggungjawabkan
Pompe menyatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan maksudnya adalah ia ada pada
suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu
untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan itu menentukan kemauannya.
Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir
dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana
itu kepada pelaku apabila pelaku mempunyai kemampuan berpikir dan menginsyafi arti
perbuatannya. 84
Berdasarkan pendapat tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan tetapi pencelaan berdasarkan hukum
yang berlaku 85.
3.

Alasan Penghapusan Pidana
Di dalam KUHPidana pembicaraan mengenai alasan penghapusan pidana dimuat dalam

Buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapus atau memberatkan pengenaan pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana yang berlaku saat ini secara umum dapat dibagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu bagian umum yang terdapat dalam buku kesatu
(tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri dari dua buku sebagaimana terdapat
dalam buku kedua (tentang kejahatan) dan buku ketiga (tentang pelanggaran). Alasan
penghapusan pidana disamping diatur dalam bagian umum buku kesatu KUHPidana (yang
berlaku secara umum) juga pengaturannya terdapat dalam bagian khusus buku kedua

84

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta: Paradnya,
1996), hlm. 32
85
J.G Fleming, 1997 dalam E. Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkutan dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 20

Universitas Sumatera Utara

KUHPidana (yang berlaku secara khusus bagi tindak pidana tertentu sebagaimana yang
dirumuskan dalam pasal tersebut).
Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang
pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana.
Ketidakmampuan bertanggungjawab sebenarnya merupakan alasan penghapusan kesalahan atau
alasan pemaaf. Menentukan keadaan dimana seseorang tidak mampu bertanggung jawab
sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui metode berikut, yakni: 86
a. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang yang
dilakukan oleh psikiater.
b. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa abnormal
dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah akibat penyakit jiwa
dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat
dipidana.
c. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa dan
kemudian keadaan jiwa itu dinilai dengan perbuatannya untuk ditanyakan tidak mampu
bertanggung jawab.
Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan
dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan atau pembuatnya,
sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum) yakni:
a. Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakian perbuatan pidana akan
tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam Ketentuan Umum KUHPidana alasan
86

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hlm. 36

Universitas Sumatera Utara

penghapusan pidana ini dirumuskan dalam Buku Kesatu Bab III. Adapun alasan pemaaf
yang terdapat pada KUHPidana adalah:
1) Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggungjawab karena tidak sempurna akal,
jiwanya atau terganggu karena sakit.
2) Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat diharapkan
dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya paksa dapat dibedakan
dalam 2 hal yakni: 87
a) Paksaan absolute, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal
ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.
b) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di
dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan.
3) Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari
beberapa syarat yaitu: 88
a) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan
b) Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang
hebat
c) Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus
ada hubungan kuasal antara keduanya
4) Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak
sah, namum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 89
a) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah
b) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah
87

Fuad Usfa dan Togat, Pengantar Hukum Pidana, ( Malang, UMM Pers, 2004), hlm. 90
S.R Sianturi, Op.Cit, hlm. 293
89
Ibid, hlm. 298
88

Universitas Sumatera Utara

b. Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Alasan
pembenar yang terdapat dalam KUHPidana adalah pada:
1) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer) yang
memiliki syarat:
a) Adanya serangan. Tidak pada semua serangan dapat diadakan pembelaan
melainkan pada serangan yang bersifat seketika; langsung mengancam; melawan
hukum; sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan, dan harta benda.
b) Adanya pembelaan yang perlu ditujukan terhadap serangan itu, dengan syarat:
pembelaan harus dan perlu diadakan; pembelaan harus menyangkut pembelaan
pada badan, perikesopanan dan harta benda.
2) Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena mejalankan suatu peraturan perundangundangan. Perundang-undangan di sini maksudya adalah tiap peraturan yang dibuat
oleh pemerintah, maka kewajiban/ tugas itu diperintahkan oleh peraturan perundangundangan. Ketentuan undang-undang yang dimaksud di sini bukan hanya undangundang dalam arti formil saja, tetapi juga setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh
suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang-undang menurut
undang-undang dasar dan ketentuan undang-undang. Kemudian, yang dimaksud
disini juga meliputi ketentuan atau peraturan yang berasal dari penguasa pembuat
undang-undang atau penguasa lain yang lebih rendah yang mempunyai wewenang
membuat peraturan yang berdasarkan undang-undang. Jadi seseorang yang
melaksanakan suatu ketentuan atau peraturan tersebut tidak dapat dipidana karena

Universitas Sumatera Utara

seseorang itu sedang melakukan kewajibannya yang dinyatakan sebagai “dalam
melaksanakan suatu ketentuan”.
3) Pasal 51 yakni melaksanakan perintah jabatan. Perintah jabatan di sini haruslah
perintah jabatan yang sah, dimana sah maksudnya adalah bila perintah tersebut
berdasar tugas, wewenang, atau kewajiban yang didasarkan pada suatu peraturan, dan
antara orang yang diperintah dengan orang yang memerintah harus ada hubungan
jabatan dan harus ada hubungan subordinansi, meskipun sifatnya sementata serta
tindakan tersebut tidak boleh melampaui batas kepatutan.
Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana narkotika tidaklah berbeda dengan
pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut
masih juga dikaitkan dengan beberapa unsur pertanggungjawaban pidana seperti unsur
kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan alasan pengahapusan pidana.
Mengingat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, setiap pelaku tindak
pidana narkotika yang telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana, maka terhadap pelaku
tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban pidana dan