TAFSIR AYAT AYAT TENTANG MANUSIA AYAT AY (1)

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA
AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG MANUSIA
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat kompleks sekali, terbukti
dengan beratus bahkan beribu-ribu syaraf dan organ yang ada di dalam tubuh manusia.
Manusia yang tercipta dari tanah itu pun yang kemudian menjadi pemimpin di bumi. Bahkan
sebagai makhluk terbaik (dalam penciptaannya) dibanding makhluk yang lain seperti hewan,
jin bahkan malaikat sekalipun. Apakah benar adanya?
Untuk itu dalam makalah ini akan kami kaji dan paparkan dari berbagai tafsiran ayatayat Al-Quran mengenai masAlah-masAlah yang berhubungan dengan manusia.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami dapat merumuskan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan posisi manusia sebagai puncak
ciptaan Tuhan di antara makhluk-makhluk sosial lain!
2. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan struktur potensi manusia:
jasadiyah dan ruhiyah!
3. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan misi manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi!
4. Jelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan sikap seorang khalifah Allah di
bumi!

II. PEMBAHASAN
1. Posisi Manusia sebagai Puncak Ciptaan Tuhan di antara Makhluk-makhluk Lain
QS At-Tin: 4-5 dan QS. Al-Isra’: 70
QS. Al-Tin: 4-5
      



   

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),[1]”[2]
Kata (‫ ) خلقنا‬khalqna/ Kami telah menciptakan terdiri atas kata (‫ )خلق‬khalaqa dan (
‫ )نا‬yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Karena na (Kami) yang menjadi kata ganti nama
itu bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksud mengagunggkan
pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata “kami”. Allah
juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Dari sisi lain,

penggunaan kata ganti jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan
adanya keterlibatan selain-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan
dengan kata tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam

penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Di tempat lain Allah
menegaskan bahwa Dia adalah ahsan Al Khaliqin/sebaik-baik Pencipta (QS. Al- Mu’minun
[23]:14). Ini menunjukkan bahwa ada pencipta lain, namun tidak sebaik Allah. Peranan yang
lain itu sebagai “pencipta” sama sekali tidak seperti Allah, melainkan sebagai alat atau
perantara.
Kata (‫ )النسان‬Al-insan/manusia yang dimaksud oleh ayat ini, menurut Al-Qurthubi
adalah banyak manusia-manusia yang durhaka pada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak
pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut
yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud
oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir.
Bahkan Bint asy-Syathi’ merumuskan bahwa semua kata Al-insan dalam Al-Qur’an yang
berbentuk definit yaitu dengan menggunakan kata sandang Al berarti menegaskan jenis
manusia secara umum, mencakup siapa saja.
Kata ( ‫ )تقويم‬taqwiim barakar dari kata ( ‫ )قوم‬qawama, yang darinya terbentuk kata
qaa’imah, istiqomah, aqimu dan sebagainya, yang keseluruhannya menggambarkan
kesempurnaan sesuatu sesuai dengan objeknya. Kata ( ‫ )اقيموا‬aqimu yang digunakan untuk
perintah melakasanakan shalat, berarti bahwa shalat harus dilaksanakan secara sempurna
sesuai dengan syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya.
Kata taqwim diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki (qowama)
qiwam yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Ar Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa

Al-Qur’an, memandang kata taqwim di sini sebagai isyarat keistimewaaan manusia
disbanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Jadi,
kalimat ahsan taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang
menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Jika demikian,
tidaklah tepat memahami ungkapan sebaik-baik bentuk terbatas dalam pengertian fisik
semata-mata. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah kepada
manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas pada bentuk fisik. Apalagi
secara tegas Allah mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan
akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, dan pengetahuan.
Kata ‫رددنه‬radadnahu terdiri atas kata ‫ ردد‬radada yang dirangkaikan dengan kata
ganti dlam bentuk jamak na serta kata ganti yang berkedudukan sebagai objek hu. Rodada

antara lain berarti mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makna
tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan
sebelumnya.” Atas dasar ini, kata tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali.”
Manusia yang telah diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu
dan lain hal sehingga kemudian kami Allah bersama dengan manusia itu sendiri
mengembalikannya ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Mengenai makna dari kalimat ( ‫ ) اسفل سفلين‬asfala safilin, para ahli tafsir
mengemukakan dalam tiga pendapat, yaitu:

Pertama, keadaan kelemahan fisik dan psikis di saat tuanya, seperti di kala ia masih
bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar berhubung adanya pengecualian pada ayat
berikut:
karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika
kata ‫ال‬illa diterjemahkan tetapi bukan kecuali.
Kedua, neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini pun disoroti dengan suatu
pertanyaan, yaitu, apakah sebelum ini manusia pernah berada di sana? Kalau tidak - dan
memang tidak, maka mengapa dikatakan “Kami mengembalikannya?” pendapat ini dapat
diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya.
Ketiga, keadaan ketika ruh Ilahi belum lagi menyatu dengan diri manusia. Pendapat
inilah yang dianggap lebih tepat.
Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi
perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan
jiwa. Tetapi, apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya
saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh
Ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin.[3]
Munasabah ayat di atas (antar ayat) adalah:
QS. Al-Tin: 6
  






    

Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Setelah Allah bersumpah dengan menyebut empat hal –sebagaimana terbaca pada
ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat di atas menjelaskan untuk sumpah itu. Di sini Allah berfirman
bahwa: “Demi keempat hal di atas, sungguh Kami telah menciptakan manusia dAlam bentuk
yang sebaik-baiknya.”

Firman-Nya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaikbaiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah. Ini
bukan saja karena di tempat lain manusia hanya dilukiskan:
QS. Al-Isra 70
 












    
       
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.”
Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataannya-Nya dengan kata (‫ )قد‬qad,
ayat ini menyatakan bahwa dan Kami, yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah
kami muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan
berpikir, serta berpengetahuan dan Kami beri juga mereka kebebasan memilah dan memilih.
Dan kami angkut mereka dari daratan dan di lautan dengan aneka alat transportasi yang
Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka, atau yang Kami ilhami mereka pembuatannya,

agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang kesemuanya Kami ciptakan untuk
mereka.
Dan Kami beri juga mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai kebutuhan mereka,
lagi lezat dan bermanfaat untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa mereka dan Kami
lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah Kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna. Kami lebihkan mereka dari hewan, dengan alat dan daya cipta
sehingga menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka
atas malaikat atas ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedang
ketaatan malaikat tanpa tantangan.
Kata (‫ )كررمنا‬terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf kaf, ra’, dan mim, yang
mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan sesuai objeknya.
Terdapat perbedaan antara (‫ )فرضلنا‬dan (‫)كررمنا‬. Yang pertama terambil dari kata (‫)فضل‬
yakni kelebihan, dan ini mengacu pada penambahan dari apa yang sebelumnya telah dimiliki
secara sama oleh orang-orang lain. Yang kedua yaitu ‫ كررمنا‬maka seperti dikemukakan di atas
ia adalah anugerah yang bersifat internal dalam konteks ayat ini, manusia dianugerahi Allah
keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada selainnya dan itulah yang menjadikan
manusia mulia serta harus dihormati dalam kedudukannya sebagai manusia.

‫( فضلناهم على كثيرممن خلقنا‬Faddalnaa hum ‘Ala katsiriin mimman kholaqna).
Pertama, penggalan ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah melebihkan manusia atas semua

ciptaan atau kebanyakan ciptaan-Nya, tetapi banyak di antara ciptaan-Nya. Atas dasar itu
sungguh ayat ini tidak dapat dijadikan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia.
Kedua, ayat di atas mengisyaratkan bahwa kelebihan itu dibanding dengan ciptaan Allah dari
siapa yang telah diciptakan-Nya. Kata dari siapa merupakan terjemahan dari lafad mimman
yang terdiri dari kata min dan man. Kata man biasanya ditujukan untuk makhluk yang
berakal. Di satu sisi kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak
makhluk berakal, maka tentu saja lebih-lebih lagi makhluk tidak berakal. Di sisi lain kita
juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan Al-Quran
yaitu jin dan malaikat. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai kelebihan dibanding
dengan banyak -bukan semua- jin dan malaikat . Tentu saja manusia-manusia yang taat.
2. Struktur Potensi Manusia: jasadiyah dan ruhiyah[4]
QS. Asy-syams: 7
   
Artinya: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),”
QS. Asy-syams 8-10
   

  

      


Artinya: “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.”
Keempat ayat ini, ditambah dengan ayat surah Al-Balad ayat 10, “Dan Kami telah
menunjukkannya dua jalan”, dan surat Al-Insaan ayat 3, “Sesungguhnya Kami telah
menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir….”, semuanya
melukiskan kaidah teori kejiwaan dalam Islam. Ayat ini berhubungan dan melengkapi ayatayat yang mengisyaratkan kompleksitas tabiat manusia, seperti firman Allah dalam surat
Shaad ayat 71-72, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya.’”

Sesungguhnya manusia ini adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan arah
yang kompleks. Dan yang kami maksudkan dengan kata “kompleks” itu adalah dalam
batasan bahwa dengan tabiat penciptaannya (yang merupakan campuran antara tanah dari
bumi dan peniupan ruh ciptaan Allah padanya), maka ia dibekali dengan potensi-potensi yang
sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Ia mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia juga mampu untuk
mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini terkandung dan

tersembunyi di dalam wujudnya, yang sekali waktu diungkapkan oleh Al Qur’an dengan
ilham,
Di samping potensi-potensi fitrah yang tersembunyi ini, terdapat kekuatan pemikir
dan pengarah di dalam diri manusia. Kekuatan inilah yang menjadi titik tekan
pertanggungjawaban. Maka, barang siapa mempergunakan kekuatan ini untuk menyucikan
dan membersihkan dirinya serta mengembangkan potensi kebaikannya dan mengalahkan
potensi kejelekannya, niscaya dia akan beruntung. Barang siapa yang menganiaya kekuatan
ini dan menyembunyikannya serta melemahkannya, niscaya dia akan merugi.
Dengan demikian, di sana terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia
kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitrah yang
dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia
bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah
karunia yang dibebani kewajiban.
Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala
sesuatu yang sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi
kehendak Allah dan qadar-Nya yang umum.
3. Misi Manusia sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi
QS. Al-Baqarah: 29[5]
        
      


    

Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
QS. Al-Baqarah 30















       










        
 [6]
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."”
[7]

 - Khalifah

: Artinya jenis lain dari makhluk sebelumnya. Bisa

juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap
umat manusia.
Kandungan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya, yakni menjelaskan nikmatnikmat Allah, yang dengan nikmat itu dapat menjauhkan dari maksiat dan kufur, dan dapat
memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah. Diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk
sedemikian rupa di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur
Alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi, hal tersebut merupakan nikmat
yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah dan
tidak ingkar kepada-Nya, termasuk menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah.
Pada ayat ini dan sebelumnya juga menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat
manusia. Dalam penciptaan manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkapkan
dalam bentuk dialog dan musyawarah sebelum melakukan penciptaan. Ayat ini termasuk ayat
mutasyabih (tidak mungkin hanya ditafsirkan dengan makna zahir-nya saja). Sebab, jika kita
artikan Allah mengadakan musyawarah dengan hamba-Nya, diartikan pemberitahuan Allah
kepada para Malaikat, yang kemudian Malaikat mengadakan sanggahan (bantahan).
Pengertian seperti ini pun tidak bisa dinisbatkan kepada Allah maupun Malaikat.
4. Sikap Seorang Khalifah Allah di Muka Bumi
Dari cara manusia untuk dilahirkan
berkesempatan
mendapat

memiliki

pendidikan,

Alat

berpikir

tampaklah

dan

betapa

di

bernalar

bumi

sehingga

serta

pentingnya

ada

peluang
sistem

kekeluargaan bagi manusia agar bayi yang dihasilkan dari sel telur wanita
dan nutfah pria dapat berkembang menjadi manusia dewasa yang cerdas
dan dapat bermasyarakat dengan baik. Hanya manusia cerdas yang dapat

bermasyarakat dengan baiklah yang mampu menjadi pewaris tuhan Yang
maha Kuasa di bumi.
QS. Huud: 61


















 

        






       

 
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekAli-kAli tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat
dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."”
 ‫(هوانشاكم من الرض واستعمركم فيها‬Huwa an-sya-a kum minal ar-dhi was ta’marokum
fihaa).
Allah menjadikan kamu sebagai orang-orang yang memakmurkan bumi
dengan cocok tanam, membangun dan membina hingga terdapatlah di
bumi itu rumah-rumah yang tinggi, yang dibuat oleh tukang yang pandaipandai. Allah menjadikan bumi dan pohon-pohon yang rindang dan buahbuahan yang sedap dan lezat rasanya.
 ‫(فاستغفروه ثم توبوا اليه‬Fastagh-firuuhu tsumma tuubu ilaihi).
Maka mohonlah kepada Allah supaya Dia mengampuni dosa-dosamu,
kemudian

bertobatlah

kepada-Nya,

ketika

tiap-tiap

dari

kamu

mengerjakan sesuatu dosa dan beramallah dengan amalan yang saleh.
 ‫(اناربى قريب مجيب‬Inna rabbi qariibum mujiib).
Tuhanku itu Maha Dekat kepada makhluk-Nya. Tidak ada yang
tersembunyi bagi-Nya dan Maha Memperkenankan doa.
Huud Ayat 62
     















     

  

Artinya: “Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah
seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah
apa yang disembah oleh bapak-bapak kami ? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam
keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."”

 ‫(قالواياصالح قدكنت فينا مرجواقبل هذا‬qaalu yaa shaAlihu qad kunta fiina marjuwwan
qabla haa-dzaa).
Kamu (Shaleh) adAlah orang yang kami harapkan dapat menyelesaikan
urusan-urusan kami yang penting. Kamu adalah seorang yang berakal
kuat, berpikiran cerdas, dan karena kau keturunan tinggi. Sekarang telah
putus harapan kami padamu.
 ‫(اتنهىنا ان نعبد ما يعبد ءاباءنا‬A tanhaanaa an na’buda maa ya’budu aabaa-unaa).
Sungguh mengherankan kamu mencegah kami menyembah apa yang
telah disembah oleh orang-orang tua kami dahulu. Kami hanya mengikuti
langkah mereka.
 ‫(واما لفى شك مما تدعونا اليه مريب‬Wa innanaa lafii syakkim mim maa tad’uunaa
ilaihi muriib).
Sungguh kami ragu-ragu dan curiga terhadap apa yang kau seru.
Huud Ayat 63
        
      
       

Artinya: “Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti
yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah
yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak
menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.”
 ‫(قال يا قوم ارءيتم ان كنت على بينة من رب وءاتىنى منه رحمة‬Qaala yaa qaumi a ra-aitum in
kuntu ‘alaa bayyinatim mir rabbi wa aataanii minhu rahmatan)
Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan, wahai kaumku, jika aku
benar-benar mempunyai hujjah dari Tuhanku bahwa apa yang aku
dakwahkan kepadamu Alah benar-benar dari Allah. Dan Allah memang
telah memberikan suatu rahmat yang istimewa kepadaku, yakni Dia
jadikan aku seorang nabi yang diutus kepadamu
 ‫(فمن ينصرنى من الله ان عصيته‬Fa may yan- shurunii minallahi in ‘a-shaituhuu).
Siapakah yang menghindarkan aku dari azab Allah, jika aku
menyembunyikan wahyu-Nya atau aku menyembunyikan sesuatu yang
tidak menyenangkan hatimu. Tak ada orang yang menolak azab dari aku.
Oleh karenanya, aku tidak memedulikan tindakan-tindakanmu.
 ‫( فماتزيدوننى غير تخسير‬Fa maa taziiduunanii ghairu takh-siir).

Jika kamu tidak menambah sesuatu kepadaku jika kau memenuhi
harapanmu dan jika aku takut kepada berburuk sangka, selain kau
menjatuhkan aku ke dalam kebinasaan.[8]
III. ANALISIS
Pada surat At-Tin:4-5 ini dijelaskan betapa perhatiannya Allah dalam menciptakan
manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya, susunan yang sebaik-baiknya, dan
keseimbangan yang sebaik-baiknya. Perhatian ini tampak di dalam penciptaannya dan
susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, baik dalam
susunan fisiknya yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik, maupun susunan
ruhnya yang menakjubkan. Meskipun pada diri manusia juga terdapat kelemahan dan
adakalanya penyimpangan dari fitrahnya, hal ini menunjukkan bahwa urusan tersendiri
dengan Allah.
Akan tetapi, manusia juga berpotensi untuk mencapai derajat terendah yang tidak
ada makhluk lain mencapai derajat serendah itu (bahkan binatang sekalipun). Hal ini terjadi
pada manusia yang mengingkari Tuhannya dan menuruti hawa nafsunya, sehingga ia jatuh ke
lembah kehinaan terendah yang binatang pun tidak sampai jatuh pada kerendahan tersebut.
Dalam surat Asy-Syams ayat 8-10 menjelaskan mengenai hakikat yang sangat besar
tentang jiwa manusia dan tabiatnya yang berkaitan dengan alam semesta, pemandanganpemandangannya, dan fenomena-fenomenanya. Manusia merupakan makhluk yang memiliki
tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dengan demikian, ia dibekali dengan potensipotensi yang sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan, dan
sebagainya.
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia
diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan
dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari
karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki
kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini,
posisi manusia di hadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi”
dengan “raja”, yang harus menunjukkan sifat pengabdian dan kepatuhan.
Sebagai agama yang haq, Islam menegaskan bahwa posisi manusia di dunia ini
adalah sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Posisi ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan
hidup manusia di dunia adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah. Yang dimaksud
dengan mengabdi kepada Allah adalah taat dan patuh terhadap seluruh perintah Allah, dengan

cara menjalankan seluruh perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya dalam
segala aspek kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa menurut Al-Quran
manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah;
pertama, menyembah kepada Allah SWT. (beriman). Kedua, memakmurkan Alam semesta
untuk kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya yang
bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut Al-Quran, tugas atau tujuan pokok hidup
manusia di muka bumi ini sebenarnya sangatlah sederhana, yakni menjadi manusia yang
“beriman”, “beramal” dan “berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang
menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari makhluk Allah
lainnya.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan yaitu Ayat-ayat tentang Manusia.
Tiada gading yang tak retak, kami pun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
belumlah sempurna bahkan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bisa menjadi lebih baik dan
bermanfaat bagi kita semua, Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992.
Al-Qarni, ‘Aidh, Tafsir Muyassar, Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008.
Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004.
Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009.
Syihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

[1] Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Al-lah S.95:5 mengandung arti
ke tingkat pikun (seperti bayi lagi). Oleh karena itu Rasulullah saw. ditanya tentang
(kedudukan) orang yang telah pikun itu. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (S.95:6)
yang menegaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal shalih sebelum pikun akan
mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al--'ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.
[2] Departemen Agama, Al--Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJART, 2004).
[3] M. Quraish Syihab, Tafsir Al--Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet X, hAl-. 377-382.
[4].Sayyid

Quthb. Tafsir Fi zhilalil qur’an. (Jakarta: Gema Insani. 2001). Hal. 281-

282
[5] Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004).
[6] Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, (Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Hal.
181.
[7] Ahmad

Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1992), Cet. II, Hal. 130-131.
[8] ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008), Cet. I, Hal. 253.