Adilita Pramanti S.Sos M.Si Fakultas Ilm
Nama
: Rizky Imam Purwaji
NPM
: 153112350350003
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Sosiologi
Mata kuliah
: Sosiologi Lingkungan
Dosen
: Adilita Pramanti, S.Sos, M.Si
KETIMPANGAN GENDER DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Ketimpangan gender di bidang pendidikan dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan
antara kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender
sebagaimana adanya (kondisi objektif) di bidang pendidikan (Menteri Negara Peranan Wanita,
1998). Ketimpangan gender disebut juga permasalahan gender atau isu gender. Lebih lanjut
kondisi normatif contohnya,kesempatan mengikuti pendidikan formal bagi laki-laki (pria) dan
perempuan (wanita) sama. Sedangkan kondisi objektif contohnya, semakin tinggi jenjang
pendidikan (SLTP ke atas), jumlah perempuan yang mengikuti pendidikan formal lebih sedikit
daripada laki-laki. Pendidikan adalah proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen)
kepada anak didik (siswa atau mahasiswa). Dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat
dibedakan sebagai berikut. (1) Pendidikan formal, yakni pendidikan melalui bangku sekolah,
direncanakan, sangat dilembagakan dan bertata tingkat, seperti TK, SD dan seterusnya sampai
perguruan tinggi. (2) Pendidikan non formal, yakni pendidikan di luar bangku sekolah, tetapi
direncanakan, seperti penyuluhan, kursus-kursus, penataran dan lainnya. (3)Pendidikan informal,
yakni pendidikan di luar bangku sekolah yang tidak direncanakan, tetapi berlangsung seumur
hidup, seperti membaca surat kabar dan media cetak lainnya, mengikuti teladan dari orang tua,
mengikuti perilaku dari sahabat atau kerabat, dan lain-lainnya.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin atau seks.
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis. Sedangkan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Jadi semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu dari
tempat ke tempat lainnya, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Jadi selama hal itu bisa
dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan namanya bukan kodrat,
tetapi konstuksi gender. Konstuksi gender inilah yang tampaknya suka atau tidak harus mulai
didekonstruksi sesuai dengan tuntutan zaman. Karena sosok perempuan yang kita lihat sekarang
ini sangat jauh berbeda dengan sosok perempuan pada waktu-waktu lampau.
Mengenai permasalahan gender tidak lepas dari sebuah teori yang mendasar yang dapat
dibagi kepada dua kelompok teori yakni teori sosial makro, dan mikro.Berbicara mengenai
wacana gender dalam pendidikan tidak lepas dari faktor lainnya seperti organisasi keluarga dan
pekerjaan, kecanggihan tekhnologi, kepadatan penduduk dan lainnya. Karena kesemuanya
adalah variabel yang saling mempengaruhi banyak hal tentang gender begitu pun didalam
fenomena pendidikan.
Berkaitan dengan faktor penentu ketimpangan gender, penting pula diperhatikan keluarga
yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas dan kurangnya fasilitas pendidikan. Bagi keluarga
yang berlatar belakang ekonomi lemah, cendrung tidak memberikan anak perempuan untuk
memanfaatkan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Ada keperempuan dinomorduakan
dalam mengikuti atau melanjutkan pendidikan formal.Apabila terjadi hal yang demikian, maka
pemerintah yang memiliki komitmen terhadap peraturan wajib belajar, berkewajiban untuk
mengimbanginya dengan kebijakan yang tepat. Di desa-desa atau daerah-daerah terpencil
khususnya, fasilitas pendidikan masih kurang. Keadaan ini berpengaruh buruk terhadap akses
anak desa untuk mengikuti pendidikan formal. Jika pada suatu desa tidak ada SD atau SLTP
umpamanya, maka anak-anak terpaksa mengikuti pendidikan formal di luar desa,yakni di desa
lain atau di kota terdekat yang membutuhkan waktu dan biaya transportasi khusus.
Dalam keadaan seperti itu, orang tua cenderung tidak mengijinkan anak perempuan
bersekolah, apalagi sekolah terdekat berjarak jauh. Hal ini terutama terjadi di kalangan keluarga
yang tidak mampu secara ekonomis. Ada beberapa teori yang dapat lebih menjelaskan gender
dalam keterkaitan sosiologi lingkungan, yaitu :
Teori Konflik
Dalam soal gender, teori konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx karena begitu
kuat pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan di
dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan. Bahwasannya pada teori konflik analitik lebih menggunakan pendekatan cultural,
dalam teori ini melihat adanya ketimpangan gender yang selalu disebut sebagai stratifikasi jenis
kelamin.
Teori Fungsionalis Struktural
Menurut teori ini, sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan dalam masyarakat. Menurut istilah Talcott Parsons dan Robert Bales, hubungan
antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan pelestarian keharmonisan daripada bentuk
persaingan. Mereka menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah sesuatu yang wajar.
Suami-ayah mengambil peran instrumental, membantu memelihara sendi-sendi masyarakat dan
keutuhan fisik keluarga dengan jalan menyediakan bahan makanan, tempat perlindungan, dan
menjadi penghubung keluarga dengan dunia luar. Sementara itu, isteri-ibu mengambil peran
ekspresif membantu mengentalkan hubungan, memberi dukungan emosional dan pembinaan
kualitas yang menopang keutuhan keluarga dan menjamin kelancaran urusan rumah tangga.
Dalam teori ini juga dapat diartikan bahwa masyarakat itu masing-masing mempunyai
fungsinya sendiri-sendiri yang menghasilkan keseimbangan. Apabila terjadi kepindahan fungsi
tersebut maka akan mengalami disequilibrium. Itu berarti laki-laki dan perempuan memiliki
fungsi masing-masing sesuai status dan perannya. Namun dalam bidang pendidikan, laki-laki
dan perempuan adalah sama. Perempuan pun seharusnya tetap menjalankan status dan perannya
apabila memiliki jenjang pendidikan yang tinggi.
Itulah ketimpangan gender dalam dunia pendidikan yang sampai sekarang masih terjadi di
negara ini. Kiranya ini bukan hanya sekedar wacana saja, namun sudah saatnya dimulai dari diri
kita untuk terbiasa dengan wacana kesetaraan gender. Saatnya perempuan bangkit bukan untuk
melawan laki-laki akan tetapi mulai memperlihatkan siapa dirinya, apa keinginannya,
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, menentukan hidupnya mau ke mana. Dan
tentunya dapat memecahkan permasalahan yang ada dengan sasaran kinerja pendidikan
berwawasan gender yang ingin dicapai dalam akses pendidikan adalah meningkatnya partisipasi
pendidikan penduduk usia sekolah yang diikuti dengan semakin seimbangnya rasio siswa lakilaki dan perempuan untuk semua jenjang pendidikan, meningkatkan partisipasi penduduk miskin
laki-lakidan perempuan terutama yang tinggal di daerah pedesaan yang masih rendah sehingga
menjadi setara dengan penduduk dari kelompok kaya, dan meningkatkan derajat melek huruf
penduduk baik laki-laki maupun perempuan dengan rasio yang semakin setara.
Sudah selayaknya jika mulai melakukan redefinisi dan rekonstruksi terhadap sosok
perempuan perempuan secara menyeluruh bukan sepotong-potong. Pada era globalisasi seperti
ini perempuan tak lagi menjadi sosok yang penurut, manut, dan tetap diam dalam rumah, tetapi
sudah seharusnya berorientasi global yang mampu berpikir kritis. Pendidikan bukan lagi hanya
baik dan pantas untuk para lelaki, namun perempuan pun berhak mendapatkan kesempatan yang
sama dalam mengenyam bangku pendidikan. Pendidikan dengan jenjang tinggi juga pantas
diberikan oleh perempuan, sehingga perempuan pun kelak dapat ambil bagian dalam menaruh
sumbangsihnya terhadap pembangunan di negara ini.
Dengan makin banyaknya jumlah perempuan keluar rumah maka terjadi perubahanperubahan terhadap pola kerja dalam rumah tangganya. Blue print yang selama ini melekat kuat
akan mengalami rekonseptualisasi sesuai dengan kondisi dan perubahan yang ada di masyarakat.
Sudah selayaknya kita tidak berharap terlalu banyak pada perempuan untuk menjadi
superwoman, mengingat sudah waktunya kita mensosialisasikan nilai-nilai pada masyarakat pun
perlu melakukan rekonstuksi terhadap peran perempuan.
Sumber:
Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta : Paramadina
Menteri Negara Peranan Wanita. 1998. Jender dan Permasalahannya. Kantor Menteri Negara Peranan
Wanita. Jakarta.
Agung Ariani, I Gusti Ayu.2002.Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan Implementasinya dalam
Pendidikan).
https://www.academia.edu/8856674/Review_Teori_Struktural_Fungsional_Interaksionisme_Simbolik_da
n_Teori_Pertukaran
: Rizky Imam Purwaji
NPM
: 153112350350003
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Sosiologi
Mata kuliah
: Sosiologi Lingkungan
Dosen
: Adilita Pramanti, S.Sos, M.Si
KETIMPANGAN GENDER DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Ketimpangan gender di bidang pendidikan dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan
antara kondisi gender sebagaimana yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender
sebagaimana adanya (kondisi objektif) di bidang pendidikan (Menteri Negara Peranan Wanita,
1998). Ketimpangan gender disebut juga permasalahan gender atau isu gender. Lebih lanjut
kondisi normatif contohnya,kesempatan mengikuti pendidikan formal bagi laki-laki (pria) dan
perempuan (wanita) sama. Sedangkan kondisi objektif contohnya, semakin tinggi jenjang
pendidikan (SLTP ke atas), jumlah perempuan yang mengikuti pendidikan formal lebih sedikit
daripada laki-laki. Pendidikan adalah proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen)
kepada anak didik (siswa atau mahasiswa). Dalam kaitannya dengan pendidikan, dapat
dibedakan sebagai berikut. (1) Pendidikan formal, yakni pendidikan melalui bangku sekolah,
direncanakan, sangat dilembagakan dan bertata tingkat, seperti TK, SD dan seterusnya sampai
perguruan tinggi. (2) Pendidikan non formal, yakni pendidikan di luar bangku sekolah, tetapi
direncanakan, seperti penyuluhan, kursus-kursus, penataran dan lainnya. (3)Pendidikan informal,
yakni pendidikan di luar bangku sekolah yang tidak direncanakan, tetapi berlangsung seumur
hidup, seperti membaca surat kabar dan media cetak lainnya, mengikuti teladan dari orang tua,
mengikuti perilaku dari sahabat atau kerabat, dan lain-lainnya.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin atau seks.
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis. Sedangkan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Jadi semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu dari
tempat ke tempat lainnya, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Jadi selama hal itu bisa
dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan namanya bukan kodrat,
tetapi konstuksi gender. Konstuksi gender inilah yang tampaknya suka atau tidak harus mulai
didekonstruksi sesuai dengan tuntutan zaman. Karena sosok perempuan yang kita lihat sekarang
ini sangat jauh berbeda dengan sosok perempuan pada waktu-waktu lampau.
Mengenai permasalahan gender tidak lepas dari sebuah teori yang mendasar yang dapat
dibagi kepada dua kelompok teori yakni teori sosial makro, dan mikro.Berbicara mengenai
wacana gender dalam pendidikan tidak lepas dari faktor lainnya seperti organisasi keluarga dan
pekerjaan, kecanggihan tekhnologi, kepadatan penduduk dan lainnya. Karena kesemuanya
adalah variabel yang saling mempengaruhi banyak hal tentang gender begitu pun didalam
fenomena pendidikan.
Berkaitan dengan faktor penentu ketimpangan gender, penting pula diperhatikan keluarga
yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas dan kurangnya fasilitas pendidikan. Bagi keluarga
yang berlatar belakang ekonomi lemah, cendrung tidak memberikan anak perempuan untuk
memanfaatkan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Ada keperempuan dinomorduakan
dalam mengikuti atau melanjutkan pendidikan formal.Apabila terjadi hal yang demikian, maka
pemerintah yang memiliki komitmen terhadap peraturan wajib belajar, berkewajiban untuk
mengimbanginya dengan kebijakan yang tepat. Di desa-desa atau daerah-daerah terpencil
khususnya, fasilitas pendidikan masih kurang. Keadaan ini berpengaruh buruk terhadap akses
anak desa untuk mengikuti pendidikan formal. Jika pada suatu desa tidak ada SD atau SLTP
umpamanya, maka anak-anak terpaksa mengikuti pendidikan formal di luar desa,yakni di desa
lain atau di kota terdekat yang membutuhkan waktu dan biaya transportasi khusus.
Dalam keadaan seperti itu, orang tua cenderung tidak mengijinkan anak perempuan
bersekolah, apalagi sekolah terdekat berjarak jauh. Hal ini terutama terjadi di kalangan keluarga
yang tidak mampu secara ekonomis. Ada beberapa teori yang dapat lebih menjelaskan gender
dalam keterkaitan sosiologi lingkungan, yaitu :
Teori Konflik
Dalam soal gender, teori konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx karena begitu
kuat pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan di
dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan. Bahwasannya pada teori konflik analitik lebih menggunakan pendekatan cultural,
dalam teori ini melihat adanya ketimpangan gender yang selalu disebut sebagai stratifikasi jenis
kelamin.
Teori Fungsionalis Struktural
Menurut teori ini, sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan dalam masyarakat. Menurut istilah Talcott Parsons dan Robert Bales, hubungan
antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan pelestarian keharmonisan daripada bentuk
persaingan. Mereka menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah sesuatu yang wajar.
Suami-ayah mengambil peran instrumental, membantu memelihara sendi-sendi masyarakat dan
keutuhan fisik keluarga dengan jalan menyediakan bahan makanan, tempat perlindungan, dan
menjadi penghubung keluarga dengan dunia luar. Sementara itu, isteri-ibu mengambil peran
ekspresif membantu mengentalkan hubungan, memberi dukungan emosional dan pembinaan
kualitas yang menopang keutuhan keluarga dan menjamin kelancaran urusan rumah tangga.
Dalam teori ini juga dapat diartikan bahwa masyarakat itu masing-masing mempunyai
fungsinya sendiri-sendiri yang menghasilkan keseimbangan. Apabila terjadi kepindahan fungsi
tersebut maka akan mengalami disequilibrium. Itu berarti laki-laki dan perempuan memiliki
fungsi masing-masing sesuai status dan perannya. Namun dalam bidang pendidikan, laki-laki
dan perempuan adalah sama. Perempuan pun seharusnya tetap menjalankan status dan perannya
apabila memiliki jenjang pendidikan yang tinggi.
Itulah ketimpangan gender dalam dunia pendidikan yang sampai sekarang masih terjadi di
negara ini. Kiranya ini bukan hanya sekedar wacana saja, namun sudah saatnya dimulai dari diri
kita untuk terbiasa dengan wacana kesetaraan gender. Saatnya perempuan bangkit bukan untuk
melawan laki-laki akan tetapi mulai memperlihatkan siapa dirinya, apa keinginannya,
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, menentukan hidupnya mau ke mana. Dan
tentunya dapat memecahkan permasalahan yang ada dengan sasaran kinerja pendidikan
berwawasan gender yang ingin dicapai dalam akses pendidikan adalah meningkatnya partisipasi
pendidikan penduduk usia sekolah yang diikuti dengan semakin seimbangnya rasio siswa lakilaki dan perempuan untuk semua jenjang pendidikan, meningkatkan partisipasi penduduk miskin
laki-lakidan perempuan terutama yang tinggal di daerah pedesaan yang masih rendah sehingga
menjadi setara dengan penduduk dari kelompok kaya, dan meningkatkan derajat melek huruf
penduduk baik laki-laki maupun perempuan dengan rasio yang semakin setara.
Sudah selayaknya jika mulai melakukan redefinisi dan rekonstruksi terhadap sosok
perempuan perempuan secara menyeluruh bukan sepotong-potong. Pada era globalisasi seperti
ini perempuan tak lagi menjadi sosok yang penurut, manut, dan tetap diam dalam rumah, tetapi
sudah seharusnya berorientasi global yang mampu berpikir kritis. Pendidikan bukan lagi hanya
baik dan pantas untuk para lelaki, namun perempuan pun berhak mendapatkan kesempatan yang
sama dalam mengenyam bangku pendidikan. Pendidikan dengan jenjang tinggi juga pantas
diberikan oleh perempuan, sehingga perempuan pun kelak dapat ambil bagian dalam menaruh
sumbangsihnya terhadap pembangunan di negara ini.
Dengan makin banyaknya jumlah perempuan keluar rumah maka terjadi perubahanperubahan terhadap pola kerja dalam rumah tangganya. Blue print yang selama ini melekat kuat
akan mengalami rekonseptualisasi sesuai dengan kondisi dan perubahan yang ada di masyarakat.
Sudah selayaknya kita tidak berharap terlalu banyak pada perempuan untuk menjadi
superwoman, mengingat sudah waktunya kita mensosialisasikan nilai-nilai pada masyarakat pun
perlu melakukan rekonstuksi terhadap peran perempuan.
Sumber:
Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta : Paramadina
Menteri Negara Peranan Wanita. 1998. Jender dan Permasalahannya. Kantor Menteri Negara Peranan
Wanita. Jakarta.
Agung Ariani, I Gusti Ayu.2002.Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan Implementasinya dalam
Pendidikan).
https://www.academia.edu/8856674/Review_Teori_Struktural_Fungsional_Interaksionisme_Simbolik_da
n_Teori_Pertukaran