BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Pengertian Perjanjian Kredit
Fungsi perbankan selain menghimpun dana masyarakat juga menyalurkan
dana masyarakat dalam bentuk

pemberian kredit. Undang-undang perbankan

yang diubah tidak mengkonstruksikan hubungan hukum pemberian kredit dan
nasabah peminjam dana tersebut. Hanya dapat mengetahui bahwa pemberian
kredit itu adanya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
uang antara bank sebagai kreditur dan pihak lain nasabah peminjam dana sebagai
debitur dalam jangka waktu tertentu yang telah disetujui atau disepakati bersama
dan akan melunasi utangnya tersebut dengan sejumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan. Timbul pertanyaan apakah dengan sendirinya
perjanjian kredit ini tunduk pada pengaturan pinjam meminjam yang terdapat
dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Bebarapa Pakar Hukum berpendapat demikian, perjanjian kredit pada
hakikatnya adalah


perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
R. Subekti berpendapat bahwa :
“Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semua
itu pada hakikatnya yang terjadi

adalah suatu perjanjian pinjam meminjam

sebagaimana diatur dalam kitab Undang hukum Perdata Pasal 1754 sampai
dengan 1769”.

24
Universitas Sumatera Utara

25

Hal yang sama dikemukan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa:
“Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan
mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit

adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Pasal 1754. Perjanjian Pinjam meminjam ini juga mengandung makna
yang luas yaitu objeknya adalah benda benda yang menghabiskan jika
verbriiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam
meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan
kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang
meminjamkan. Karenanya perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya
perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”.
Akan tetapi pendapat ini disangkal oleh pakar hukum lainnya.

Menurut Hartono Soerja Pratiknyo:
Perjanjian

kredit

merupakan

perjanjian

pendahuluan


(pactum

de

contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang
piutang (perjanjian pinjam mengganti). Sedang perjanjian hutang piutang
merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Jadi
arti pendahuluan pada perjanjian kredit dibedakan dengan arti pelaksanaan
perjanjian hutang piutang. 32
Ada beberapa perbedaan yang lain antara perjanjian kredit dan perjanjian
hutang piutang, yaitu terletak pada sifat perjanjian tersebut. Perjanjian kredit
bersifat konsensuil sedand perjanjian hutang piutang bersifat riil. Riil berarti
bahwa perjanjian baru ada setelah uang yang dipinjamkan dalam perjanjian kredit
diserahkan secara nyata pada debitur.
I. Jenis Perjanjian Kredit
Secara Yuridis ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang
digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:

32


Hartono Soerja Pratiknyo, Hutang Piutang, (Yogyakarta : Mustika, 1989), Hal. 3

Universitas Sumatera Utara

26

1) Perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan
Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya
diantara mereka (kreditur dan debitur) tanpa Notaris.
Lazimnya dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta
membubuhkan tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat
pembuktian dalam perkara perdata.
2) Perjanjian/pengikatan kredit yang dbuat oleh dan di hadapan Notaris (notariil)
atau akta otentik
Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notariil (otentik) adalah
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat
oleh atau dihadapan Notaris.
Adapun akte otentik adalah suatu akte undang-undang, dibuat oleh atau

di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana
akte dibuat.
Mengenai akta perjanjian notariil/otentik ini, ada beberapa hal yang perlu
diketahui, yaitu:
a) Kekuatan Pembuktian
Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian:
Pertama:
Membuktikan

antara

para

pihak,

bahwa

mereka

sudah


menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi (kekuatan pembuktian
formal);

Universitas Sumatera Utara

27

Kedua:
Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguhsungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan
pembuktian material atau yang kita namakan kekuatan pembuktian
mengikat);
Ketiga:
Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi
juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua
belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (Notaris)
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut (kekuatan
pembuktian keluar).
b) Grosse Akta Pengakuan Hutang
Kelebihan lain daripada akta perjanjian kredit/pengakuan hutang

yang dibuat secara notariil (otentik) adalah dapat dimintakan Grosse akta
pengakuan Hutang tersebut. Grosse akta pengakuan hutang ini mempunyai
kekuatan eksekutorial, artnya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh
bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses
gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar.
c) Ketergatungan terhadap Notaris
Ada yang perlu di ingat bahwa Notaris sebagai pejabat umum tetap
juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan
perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh atau di hadapan Notaris, tetap
dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan
kelengkapan yang diperlukan.

Universitas Sumatera Utara

28

Kemungkinan terjadi kesalahan/kekeliruan atas suatu perjanjian
kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara notariil tetaplah ada. Dengan
demikian Account Officer tidak boleh secara mutlak bergantung kepada
Notaris, melainkan Notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan

dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam
hubungan itu bank akan meminta Notaris yang bersangkutan untuk
berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh
bank. Di samping itu, Account Officer tetap mengharapkan legal opinion
Notaris setiap akan mengadakan pelepasan kredit, sehingga Notaris dalam
hal ini dapat berperan sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal
asset suatu pelepasan kredit.
II. Bentuk Perjanjian Kredit dan Permasalahannya
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya
menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan
dengan itu, memang dalam prakteknya bentuk perjanjiannya telah
disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya
mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian
itu biasa disebut perjanjian baku (standard contract), di mana dalam
perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau
menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar
menawar.

Universitas Sumatera Utara


29

B. Asas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-sehari, kata seimbang
(evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban di
kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. 33
Kontrak memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana digambarkan dibawah ini
secara singkat:
a. Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan
melindungi harapan wajar yang muncul darinya.
b. Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya
memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar.
c. Tujuan ketiga ialah to prevent certain kinds of harm.
d. Tujuan keempat dari kontrak ialah mencapai keseimbangan antara
kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan. 34
Bahwa perjanjian adalah suatu proses yang bermula dari suatu janji
menuju kesepakatan (bebas) dari para pihak dan berakhir dengan
pencapaian tujuan yaitu perjanjian yang tercapai dalam semangat atau jiwa
keseimbangan. Dalam lingkup suasana hukum Indonesia tujuan dari
kontrak yakni tercapainya kepatutan sosial (sociale gezindheid) dan suatu

keseimbangan selaras (kemungkinan eksistensi materil (immateriele
zijnsmogelijkheid). Perjanjian yang dari sudut substansi atau maksud dan
tujuannya ternyata bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum

33

Herlien Budiono, Azas keseimbangan bagi hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung :
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2006), Hal. 304
34
Herlien Budiono, Ibid, Hal. 309-310

Universitas Sumatera Utara

30

batal demi hukum (nietig) dan pada prinsipnya hal serupa akan berlaku
berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang.
Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu
keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus munculkan
pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan,

dalam konteks asas kesimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan
keadaan, melainkan lebih dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal
perjanjian dimaksud. Dalam tercipta atau terbentuknya perjanjian,
ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat perilaku para pihak sendiri
atupun sebagi konsekwensi dari substansi (muatan isi) perjanjian atau
pelaksanaan perjanjian.
Posisi tawar yang setara mengakibatkan para pihak berada dalam
situasi yang kurang lebih seimbang. Bila keadaannya seimbang, tidak ada
seorang pun akan merasa dirugikan. Namun demikian, tentu bisa terjadi
situasi abnormal dan muncul ketidakseimbangan. Hal ini dapat terjadi bila
salah satu pihak yang lebih kuat mengambil keuntungan dari situasi yang
lebih menguntungkannya. Akan tetapi situasi ini akan dapat diterima
sepanjang tidak menguntungkan salah satu pihak, yang oleh pihak lawan,
karena posisi tawar yang rendah, terpaksa diterima. Situasi demikian
merupakan konsekwensi kebebasan yang dapat memuaskan semua pihak
sepanjang pihak lawan tidak mengabaikan hak-hak dan peluangpeluangnya sendiri.
Menurut Ridwan Khairandy:
Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya
dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada

Universitas Sumatera Utara

31

asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining
position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak
selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang
memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang
yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. 35

Kemudian pada abad dua puluh timbul berbagai kritik dan
keberatan terhadap kebebasan berkontrak baik yang berkaitan dngan
akibat negatif yang ditimbulkannya maupun kesalahan berpikir yang
melekat didalamnya. Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya
bergeser kearah paradigma kepatutan. Dengan demikian, walaupun
kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum kontrak
baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia tidak lagi muncul
seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad sembilan belas.
Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan kebebasan tanpa
batas.

Negara telah melakukan

berkontrak

melalui

peraturan

sejumlah

pembatasan kebebasan

perundang-undangan

dan

putusan

pengadilan.
Pembatasan kebebasan

berkontrak tersebut

setidak-tidaknya

dipengaruhi oleh dua faktor, yakni:
1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana iktikad baik tidak
hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat
dibuatnya kontrak.
2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden atau undue inflence).

35

Ridwan Khairandy,Op.cit, Hal. 1-2

Universitas Sumatera Utara

32

Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para
pihak memilki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power
tidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi
unconscionable. 36
Di samping itu meskipun keseimbangan dan kesesuaian kedudukan
para pihak itu ada, namun dalam pelaksanaan yang tercapai suatu hasil
yang tidak seimbang dan tidak sesuai (tidak patut

dan adil,

ongelijkwaardigheid van resultaat).
Dasar bagi keseimbangan dan keserasian dalam perjanjian tersurat
di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, hanya dalam keadaan in concreto ada
keseimbangan dan keserasian maka tercapailah kesepakatan/konsensus
yang sah antara para pihak. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka Pasal
1338 KUH Perdata tidak berlaku mutlak (kebebasan untuk mengambil
putusan tidak ada bagi salah satu pihak).
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan:
Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak tang
lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya.
Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan
kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak
tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan
yang adil. 37
Mengenai bagaimana seharusnya mengukur ada atau tidaknya
bargaining power yang seimbang diantara para pihak dalam suatu
perjanjian, contoh kasus yang lemah terjadi dalam pengadilan Indonesia
adalah antara lain saran Z. Asikin Kusumah Atmadja yang telah
36
37

Ibid, Hal. 185
Ibid, Hal. 185

Universitas Sumatera Utara

33

menyarankan acuan sebagaimana dikemukakan dalam catatan yang
diberikan olehnya mengenai putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret
1987 No. 3431 K/Pdt/1985 yang telah disebutkan di muka.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini:
Dari pengalaman saya hampir 30 tahun bekerja sebagai pejabat bank, yang
sebagian besar dari waktunya itu berkaitan dengan pemberian,
pengamanan dan penagihan kredit bank, serta dari pendengaran terhadap
kejadian-kejadian dan pendapat-pendapat di dalam masyarakat, ada kesan
bahwa dalam hubungan antara bank dan nasabah debitur, bank selalu
berada di posisi yang lebih kuat. Dari pengalaman saya sebagai pejabat
bank yang banyak menangani urusan perkreditan bank itu dan dari hasil
pembicaraan/diskusi, banyak pejabat-pejabat senior bank-bank Indonesia,
bahwa kesan ini sangat keliru. Sering sekali bahwa bank justru berada di
posisi lemah bila berhadapan dengan debitur. Posisi bank dapat berbeda
pada saat kredit akan diberikan (pada saat para pihak melakukan negosiasi
untuk memasuki perjanjian kredit) dibandingkan dengan saat kredit telah
digunakan oleh nasabah debitur. Posisi bank juga tergantung kepada
golongan nasabah debitur yang menikmati kredit.38
Dari putusan-putusan pengadilan, yaitu mengenai klausul-klausul
dalam perjanjian kredit yang memberatkan nasabah debitur, dapat
diketahui bahwa bank sering dikalahkan oleh pengadilan hanya oleh
karena pengadilan ingin melindungi pihak nasabah debitur yang dianggap
konsumen lemah. Sikap pengadilan tersebut bukan keliru bila hanya
dilihat dari kacamata kepentingan nasabah debitur saja, tetapi tidak
demikian halnya bila pengadilan memperhatikan pula kewajibannya untuk
melindungi kepentingan pihak lainnya didalam perjanjian kredit, yaitu
bank yang terutama bekerja dengan uang simpanan masyarakat, yang pada
umumnya juga merupakan konsumen-konsumen lemah yang perlu
dilindungi. Apabila banyak kredit bank tidak dibayar kembali karena

38

Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, Hal. 187

Universitas Sumatera Utara

34

sarana hukum tidak cukup untuk dapat melindungi kepentingan bank
terhadap nasabah-nasabah debitur yang beritikad baik, maka tidak
mustahil bank-bank akan menjadi tidak likuid, yang pada gilirannya pasti
merugikan nasabah-nasabah penyimpan dana yang perlu dilindungai
kepentingannya.

Di

samping

itu

pengadilan

berkewajiban

pula

memperhatikan penerapan asas yang menetukan bahwa “orang yang
berhutang harus mengembalikan utangnya”. Sering pengadilan tidak
memberikan pemecahan mengenai pengembalian kredit bank yang telah
digunakan oleh nasabah debitur dan macet, yang sering kemacetan itu
justru sebagai akibat penyalahgunaan kredit oleh nasabah debitur.
Menurut KUH Perdata, perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik, sedangkan itikad baik itu tidak saja bekerja setelah perjanjian
dibuat tetapi juga telah mulai

bekerja sewaktu pihak-pihak akan

memasuki atau menghadapi untuk memasuki perjanjian, maka pembuatan
perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan
adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian itu adalah antara dua mitra janji dan bukan dua
lawan janji. Terutama pada pembuatan perjanjian kredit bank, asas
kemitraan itu sangat diperlukan. Landasan asas pada pembuatan perjanjian
kredit bukan saja karena bekerjanya asas itikad baik, tetapi juga karena
bagi bank nasabah debitur adalah sesungguhnya mitra usaha bank. Oleh
karena itu bank dan nasabah debitur harus saling menjadi mitra, maka
dalam perjanjian di antara mereka tidak boleh ada yang lebih kuat
kedudukannya.

Universitas Sumatera Utara

35

C. Akta Perjanjian Kredit
Setiap kredit di perbankan yang telah disetujui dan disepakati antara
pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit
(akad kredit), secara tertulis. 39
Perjanjian Kredit yang dibuat secara Notariil (otentik) adalah perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris. Yang perlu diingat yaitu bahwa Notaris sebagai pejabat
umum tetap juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam
mengadakan perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh atau di hadapan
Notaris, tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek dan
kelengkapan yang diperlukan.
Kemungkinan terjadinya kesalahan/kekeliruan atas suatu perjanjian
kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara Notariil tetaplah ada. Dengan
demikian Account Officer tidak boleh secara mutlak bergantung kepada
Notaris, melainkan Notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan dalam
pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam hubungan itu
bank akan meminta Notaris yang bersangkutan untuk berpedoman kepada
model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Di samping itu,
Account Officer tetap mengharapkan legal opinion dari Notaris setiap akan
mengadakan pelepasan kredit, sehingga Notaris dalam hal ini dapat berperan
sebagai salah satu unsur filterisasi

daripada legal asset suatu pelepasan

kredit.

39

Muhammad Djumhana, Op.cit, Hal. 507

Universitas Sumatera Utara

36

Sebagai pembuat akta perjanjian kredit bank maka notaris hanya
mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh satu pihak,
sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat
dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian baku.
Peranan notaris untuk mewujudkan kesetaraan terkait pada cara
bagaimana perjanjian terbentuk, dan tidak pada hasil akhir dari prestasi yang
ditawarkan secara timbal balik. Notaris dianggap mitra atau rekanan dalam
pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang dalam hubungan itu
bank akan meminta notaris yang bersangkutan untuk berpedoman kepada
model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank.
Notaris mempunyai kedudukan yang mandiri dan tidak memihak di
dalam menjalankan jabatannya. Selain hal tersebut, notaris sebelum
menjalankan jabatannya, wajib diangkat sumpah Yang mencakup dua bagian
yaitu, bagian yang dinamakan belovende eed dan bagian yang disebut sebagai
de zuiveringseed. Pada bagian yang kedua ini, notaris bersumpah akan
menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama, dan tidak berpihak, serta akan
menaati dengan seteliti-telitinya semua peraturan jabatan notaris yang sedang
dan akan berlaku dan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta yang dibuatnya
selaras dengan peraturan itu. Notaris menjelaskan kepada para pihak
mengenai hak dan kewajibannya sehubungan dengan perjanjian yang akan
dibuat, dibacakan, dan ditanda tanganinya perjanjian (kredit) dan seyogyanya
perjanjian (kredit) nya tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh undangundang ataupun bertentangan dengan kesusilaan dan kepentingan umum.

Universitas Sumatera Utara

37

D.

Kesetaraan antara kreditur dan Debitur
Dalam perjanjian timbal balik kualitas dari prestasi yang diperjanjikan
timbal balik ditempatkan dalam konteks penilaian subjektif secara bertimbal
balik akan dijustifikasi oleh tertib hukum. Perjanjian harus segera ditolak,
seketika tampak bahwa kedudukan faktual salah satu pihak terhadap pihak
lainnya adalah lebih kuat dan kedudukan tidak seimbang ini dapat
mempengaruhi cakupan muatan isi maupun maksud dan tujuan perjanjian,
Akibat ketidaksetaraan prestasi dalam perjanjian bertimbal balik ialah
ketidakseimbangan. Jika kedudukan lebih kuat tersebut berpengaruh
terhadap perhubungan prestasi atau dengan lainnya, dan hal mana
mengacaukan keseimbangan dalam perjanjian, hal ini bagi pihak yang
dirugikan

akan

merupakan

alasan

untuk

mengajukan

tuntutan

ketidakabsahan perjanjian.
Sepanjang prestasi yang dijanjikan bertimbal balik mengandaikan
kesetaraan, maka bila terjadi ketidakseimbangan, perhatian akan diberikan
terhadap kesetaraan yang terkait pada cara bagaimana perjanjian terbentuk,
dan tidak pada hasil akhir dari prestasi yang ditawarkan secara timbal
balik. 40
Oleh karena pencantuman klausul khusus ini didalam perjanjian kredit
bank-bank di Indonesia bersal atau dipengaruhi oleh perjanjian-perjanjian
kredit yang dibuat oleh bank-bank luar negeri atau bank-bank asing di
Indonesia, mak perlu kiranya diketahui makna dari representation dan
warranty yang dimaksudkan didalam klausul itu.

40

Herlien Budiono, Ibid, Hal. 318-319

Universitas Sumatera Utara

38

1. Tidak Dicantumkannya Klausul Conditions Precedent (Syarat-Syarat
Tangguh) Melemahkan Kedudukan Bank
Yang dimaksudkan dengan Conditions precedent pada suatu
perjanjian kredit ialah peristiwa atau kejadian yang harus dipenuhi atau
terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian kredit ditandaangani sebelum
nasabah debitur dapat menggunakan kreditnya. Dengan kata lain setelah
perjanjian kredit ditandatangani, nasabah debitur belum seketika itu
mempunyai hak untuk menggunakan kreditnya. Atau sebaliknya pula
setelah ditandatanganinya perjanjian kredit oleh keduabelah pihak, bank
belum berkewajiban untuk menyediakan kredit bagi nasabah debitur
sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik
kredit tersebut tergantung kepada terlebih dahulu telah dipenuhinya hal-hal
yang disebutkan didalam klausul tentang conditions precedent tersebut.
Dilihat dari KUH Perdata maka conditions precedent adalah syarat-syarat
tangguh sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1253 jo 1263.
Pada waktu yang lalu, yaitu 25 atau 30 tahun yang lampauperjanjia
kredit yang dibuat oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta
nasional yangmencantumkan klausul tentang conditions precedent.
Sebagai pengaruh bank-bank asing, pada sat ini sudah banyak kita jumpai
bank-bank mencantumkan klausul tentang conditions precedent. Sebagai
pengaruh bank-bank asing, pada saat ini sudah banyak kita jumpai bankbank mencantumkan klausul tentang conditions precedent didalam
perjanjian kreditnya.

Universitas Sumatera Utara

39

2. Penutupan Asuransi Dengan Bankers Clause Adalah Untuk Kepentingan
Bank Dan Bankers Clause Tidak Dapat Dicabut Sepihak Oleh
Penanggung
Agunan merupakan source of the last resort bagi pelunasan kredit.
Artinya, apabila pelunasan kredit tidak dapat diharapkan dari hasil usaha
nasabah debitur karena usaha tersebut menjadi macet,maka hasil penjualan
barang agunan akan menjadi tumpuan terakhir bagi bank sebagai sumber
pelunasan kredit tersebut. Berkenaan dengan pentingnya kedudukan atau
peranan agunan terebut, maka bank harus berusaha agar agunan tersebut
tidak hilang atau musnah. Salah satu upaya yang terpenting, bahkan yang
terutama, dalam menjaga agunan itu ialah penutupan asuransi terhadap
barang-barang yang menjadi agunan. Dengan penutupan asuransi tersebut,
mak bila sampai terjadi barang-barang tersebut hilang atau musnah, maka
bank akan dapat memperoleh penggantian kerugian akibat hilang atau
musnahnya barang-barang tersebut sebagai sumber pelunasan kredit.
Untuk menjaga kepentingan bank secara demikian ini, maka bank
memperjanjikan didalam perjanjian kredit bahwa nasabah debitur harus
menutup asuransi kerugian atas barang-barang yang diagunkan.
3. Praktik Nasabah Debitur Untuk Melakukan Under Insurance atau Over
Insurance yang merugikan bank
Nasabah debitur diisyaratkan oleh bank untuk menutup asuransi
pada asuransi yang bonafide agar supaya apabila terjadi kerugian,
perusahaan asuransi yang bersangkutan mampu membayar ganti rugi yang
dituntut, asuransi yang tidak dapat ditagih tidak mempunyai nilai sama

Universitas Sumatera Utara

40

sekali, bank pada umumnya mempunyai daftar perusahaan-perusahaan
asuransi yang telah dinilai oleh bank bersangkutan sebagai perusahaanperusahan asuransi yang bonafide.
Disamping dikehendaki oleh bank bahwa asuransi ditutup pada
perusahaan asuransi yang bonafide, juga dikehendaki penutupan asuransi
dilakukan untuk jenis asuransi tertentu dan untuk nilai asuransi yang
cukup. Nasabah debitur yang belum insurance minded dan sekedar
menganggap penutupan asuransi hanya untuk memenuhi formalitas bank
saja. Selalu berusaha untuk menutup asuransi terhadap risiko kerugian
yang preminya paling murah. Bila terjadi hal yang demikian ini, bank akan
meminta kepada nasabah debitur untuk menutup asuransi terhadap risiko
kerugian yang dapat menjamin kepentingan bank. Misalnya bila nasabah
debitur menutup asuransi hanya untuk risiko total loss only (t.l.o)
sedangkan dilihat dari segi kepentingan bank seyogianya ditutup untuk
risiko all risk, mak bank akan meminta nasabah debitur untuk mengubah
penutupan asuransi dari t.l.o menjadi all risk.

Universitas Sumatera Utara