CLIL Program Pengembangan Profesi dan Pr

1

FAUZIATUL HUSNA
1206188553
LINGUISTIK PENGAJARAN BAHASA
ISU-ISU MUTAKHIR DALAM PENGAJARAN BAHASA ASING

Keterkaitan dan Perbedaan Antara CLIL, CBI, dan ESP
CLIL (Content and Language Integrated Learning) pada dasarnya
merupakan sistem pengajaran dual-focus yang tidak hanya berorientasi kepada
pemahaman konten namun juga bahasa secara bersamaan. Dalam kelas bahasa
Inggris yang menggunakan konsep CLIL, pemelajar diharapkan mampu
menguasai konten subjek tertentu yang diajarkan dengan menggunakan bahasa
Inggris sekaligus juga menguasai bahasa Inggris itu sendiri. Sebagaimana
dinyatakan oleh Coyle, Hood, dan Marsh (2010), hal ini sejalan dengan salah satu
teori dalam ancangan pemelajaran komunikatif yaitu mendorong siswa untuk
memelajari bahasa dengan menggunakannya dalam konteks-konteks nyata dan
tujuan yang otentik.
Sebelum lebih jauh membahas penerapan konsep CLIL terkini, ada
baiknya kita menoleh ke belakang dan menyimak sejarah kemunculan dan
perkembangan CLIL. Pada awalnya, istilah CLIL digunakan dalam konteks

negara-negara Eropa untuk mengacu kepada keberhasilan usaha pembelajaran
melalui penggunaan bahasa tambahan di berbagai jenis sekolah di sana.
Penggunaan bahasa tambahan yang merupakan bahasa nasional negara-negara
tetangga dan bahasa daerah mayoritas di negara itu sendiri.
Dalam beberapa waktu terakhir, CLIL mengalami perkembangan yang
sangat pesat yang ditandai dengan semakin banyak dan luasnya cakupan
penerapan CLIL dalam pemelajaran bahasa di seluruh dunia. Perkembangan
terkini dalam pemelajaran bahasa berbasis CLIL dapat diliahat dengan menyimak
berbagai penelitian terkait dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar
penelitian di bidang CLIL fokus kepada tingkat efektifitas penerapan CLIL
dengan membandingkan kesuksesan pemelajar CLIL dengan pemelajar non-CLIL.

2

Hasil dari penelitian-penelitian tersebut secara garis besar menunjukkan
kecenderungan bahwa pemelajar CLIL lebih sukses daripada pemelajar di kelas
biasa, baik dalam aspek bahasa maupun konten subjek.
Di lain pihak, penelitian yang mencoba membuktikan secara empiris
tingkat efektifitas CLIL dinilai masih sangat jarang dilaksanakan. Hal ini tentu
saja menjadi faktor yang membuat beberapa pihak meragukan efektifitas CLIL

dan merasa enggan untuk menerapkan metode ini. Selain itu, isu penting lain yang
sering dipertanyakan mengenai penerapan CLIL adalah karakterisitik oengajar
yang paling sesuai untuk mengajar dalam sebuah program CLIL. Sebagian pihak
meyakini bahwa pengajar mata pelajaran adalah kandidat yang paling tepat untuk
mengajar dalam program CLIL, dengan syarat mereka memiliki kemampuan yang
cukup dalam hal bahasa yang akan digunakan. Namun pihak-pihak lain percaya
bahwa pengajar bahasa yang memiliki kemampuan yang cukup dalam konten
subjek merupakan pilihan yang lebih masuk akal.
Tren lain yang terlihat dalam pengajaran berbasis CLIL adalah mulai
meningkatnya jumlah program CLIL yang diterapkan pada mata pelajaran sosial.
Dalam sebuah penelitian mengenai produksi tulisan dan lisan pemelajar dalam
kelas CLIL pada kelas sosial, Whittaker dan Llinares (2006) mengedepankan fakta
bahwa walaupun program CLIL lebih identik dengan kelas seperti matematika dan
IPA, saat ini penerapan CLIL pada kelas-kelas IPS juga semakin berkembang.
Hal ini menunjukkan bahwa penerapan CLIL telah semakin berkembang lintas
subjek.
Menurut saya pribadi, penerapan pemelajarn berbasis CLIL akan lebih
optimal pada kelas-kelas mata pelajaran matematika dan IPA mengingat mata
pelajaran ini lebih identik dengan penggunaan rumus yang universal sehingga
pemahaman pemelajar tidak akan terlalu dipengaruhi oleh kemampuan mereka

dalam bahasa target. Seperti diketahui, mata pelajaran IPS seperti geografi dan
sosiologi melibatkan banyak teori-teori sosial yang rumit yang sulit dipahami
bahkan dalam bahasa ibu pemelajar. Tidak hanya itu, mata pelajaran IPS, yang
notabene lebih menuntut pemelajar untuk berpikir kritis dan menyampaikan
pendapat, membutuhkan lebih banyak penggunaan bahasa target yang

3

berkemungkinan membuat pemelajar yang sebenarnya memahami materi dan
memiliki pendapat yang ingin disampaikan tidak dapat melakukannya hanya
karena mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam menggunakan
bahasa target.
Beberapa perkembangan terkini dalam penerapan pemelajaran berbasis
CLIL di atas tentunya hanya sebagian dari isu-isu dalam penerapan CLIL terkini.
Salah satu dari isu-isu lain tersebut adalah perbedaan antara CLIL dan CBI.
Walaupun Dalton-Puffer (2007) mengindikasikan bahwa CLIL dan CBI
merupakan dua konsep dengan implikasi yang berbeda, menurut Catalan dan De
Zarobe, istilah CLIL dan CBI dapat digunakan secara bergantian dalam merujuk
kepada proses dimana pemelajaran suatu subjek mata pelajaran dilakukan melalui
penggunaan bahasa target. Beberapa fitur yang sama-sama dimiliki oleh CLIL dan

CBI meliputi penurunan ketakutan pemelajar, pemelajaran terfokus makna,
penekanan strategi belajar dan komunikasi, pengintegrasian kemahiran bahasa dan
banyak fitur lainnya. Perbedaan antara CLIL dan CBI lebih bersifar teknis
pemakaian istilah ini masing-masing. CLIL lebih sering digunakan dalam konteks
eropa sedangkan CBI merupakan istilah yang lazim dipakai dalam konteks
amerika utara.
Sebagai contoh, sebuah program dimana konten subjek diajarkan
menggunakan bahasa target dimana fokusnya adalah kedua hal tersebut di Canada
sebenarnya sama saja dengan program serupa yang dilakukan di Spanyol atau
Italia. Akan tetapi, program di Canada disebut sebagai sebuah program CBI
sedangkan program di Eropa disebut program CLIL. Jadi, perbedaan yang ada
hanya terkait dengan pelabelan yang lebih dipilih oleh para peneliti dan praktisi di
kedua kawasan tersesbut.
Selain CBI, CLIL juga seringkali dikaitkan dengan jenis pemelajaran
bahasa Inggris dengan tujuan khusus atau ESP. Pengaitan ini ada hubungannya
dengan karakteristik ESP dimana pemelajaran bahasa asing juga dilaksanakan
dengan memberikan perhatian yang besar terhadap konten subjek yang digeluti
oleh pemelajarnya. Selain itu, baik CLIL maupun ESP sama-sama menjadikan
kebutuhan dan tujuan spesifik pealajar pertimbangan penting dalam menjalankan


4

programnya (Fernandez, 2009). Dalam hal ini, perbedaan yang ada lebih
signifikan dibandingkan perbedaan antara CLIL dan CBI yang disebutkan di atas.
Perbedaan yang paling mendasar terletak pada fokus dari kedua konsep
pengajaran ini. Jika CLIL berfokus pada penguasaan bahasa dan konten subjek
yang diajarkan melalui pengajaran subjek tersebut menggunakan bahasa target,
ESP berfokus pada penguasaan bahasa target melalui pengajaran bahasa target
tersebut dengan menggunakan konteks dimana bahasa tersebut akan digunakan
(situasi target).
Program pemelajaran bahasa Inggris yang diikuti oleh karyawan
PT.Telkom dengan tujuan mampu menggunakan bahasa tersebut dengan baik
dalam konteks pekerjaan mereka merupakan satu contoh program ESP. Dalam
proses ini, topik-topik mengenai ketelomunikasi memang tetap dijadikan sebagai
materi ajar di dalam kelas, namun topik-topik tersebut telah dipahami oleh para
pemelajar dan bukanlah salah satu dari tujuan pemelajaran.
Konsep pengajaran CLIL, CBI dan ESP merupakan konsep yang sangat
banyak diterapkan dewasa ini karena karakteristiknya yang sangat komunikatif
yaitu dengan menggabungkan pemelajaran bahasa dengan konten-konten tertentu
yang relevan bagi pemelajarnya. Namun disamping beberapa fitur-fitur yang

sama, ketiga konsep pengajaran ini juga memiliki berbagai poin yang
membedakannya satu sama lain.
Referensi:
Coyle, D.,

Hood, P., dan Marsh, D. 2010. CLIL: Content and Language
Integrated Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Dalton-Puffer, C. 2007. Discourse in Content and Language Integrated Learning
(CLIL) Classrooms. Philadelphia: John Benjamin
Whittaker R.dan Llinares, A.2009. CLIL in social science classroooms: analysis of
spoken and written Productions. Content and Language Integrated
Learning: Evidence from Research in Europe. Salisbury: Short Run
Press Ltd.
Fernandez, D.J. 2009. CLIL at the university level: Relating language teaching
with and through content teaching. Latin American Journal of Content

5

&

Language
integrated
Doi:10.5294/laclil.2009.2.2.11

Learning,

2(2),

10-26.

Rancangan Program Pengembangan Profesi Pengajar Bahasa Inggris
BKB Nurul Fikri Jakarta
Usaha peningkatan profesionalisme pengajar melahirkan konsep yang
dikenal dengan istilah Continuing Professional Development (CPD). Seperti yang
tersirat dalam istilah tersebut, gerakan ini menekankan adanya proses peningkatan
profesionalisme pengajar yang dilakukan secara berkelanjutan dan terus menerus
sepanjang karir mereka. Hal ini dibutuhkan karena beberapa alasan. Salah satu
latar belakang yang paling jelas adalah karena bidang pemelajaran bahasa asing
adalah bidang yang sangat dinamis sehingga para praktisi di dalamnya, terutama
pengajar, harus menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang akan selalu

terjadi. Perubahan ini meliputi penemuan metode pengajaran yang baru, hasil
penelitian terkini mengenai pemelajar, ataupun konsep-konsep baru terkait dengan
aspek kebahasaan yang harus diajarkan.
Konsep CPD mulai mendapat perhatian yang serius seiring dengan
tumbuhnya kesadaran mengenai betapa pentingnya peran pengajar dalam
kesuksesan pemelajar. Seperti yang dinyatakan beberapa ahli, setiap usaha untuk
meningkatkan capaian pemelajar di dalam kelas pemelajaran bahasa asing harus
diawali dengan kesadaran bahwa pengajar memainkan peran yang sangat krusial
dalam menentukan seperti apa capaian pemelajar. Seorang pengajar yang hebat
tentunya akan mampu membimbing dan mengarahkan pemelajar untuk mencapai
target pemelajaran dengan baik, karena ia mampu menggunakan segala komponen
dalam pemelajaran sebagai alat bantu proses pencapaian tersebut. Oleh sebab itu,
seorang pengajar yang baik akan dapat memaksimalkan setiap potensi
pemelajarnya, terlepas dari seberapa kecilnya potensi tersebut ataupun seberapa
besar hambatan yang menghalangi usaha tersebut. Sebaliknya, seorang pengajar
yang tidak profesional tidak akan mampu menangani pemelajar dengan baik tidak
peduli seberapa besar potensi yang dimiliki pemelajar.

6


Dengan menyadari pentingnya peran pengajar dalam keberhasilan proses
pemelajaran secara keseluruhan, sudah selayaknya jika para pengajar diberikan
bekal untuk dapat menjalankan fungsiny dengan baik sehingga tujuan pemelajaran
dapat tercapai. Kenyataan di lapangan saat ini memberikan dua gambaran yang
saling bertolak belakang. Di satu sisi, berbagai jenis pelatihan dan seminar
peningkatan kualitas pengajar telah sangat banyak dilaksanakan. Selain itu,
program sertifikasi guru yang tengah berjalan memang menimbulkan secercah
semangat di kalangan para pengajar untuk melakukan lebih baik di dalam kelas
mereka.
Namun di sisi lain, pelatihan yang dilakukan sekali dalam satu atau dua
bulan hanya akan singgah sejenak dalam pikiran pengajar. Saat pengajar kembali
ke kelasnya masing-masing, mereka tetap menggunakan metode yang telah
dipakai dari dulu berdasarkan beliefs yang juga berasal dari konsep atau hasil
penelitian yang sangat tua. Selanjutnya, program sertifikasi yang memberikan gaji
lebih kepada para pengajar faktany hanya dipandang secara materialistis.
Kenyataan yang dapat kita tenui adalah para pengajar sibuk mengumpulkan
piagam dan sertifikat dan bukannya sibuk meningkatkan kemampuan diri. Maka
dari itu, tujuan program sertifikasi yang awalnya adalah untuk meningkatkan
kompetensi pengajar berubah menjadi proses peningkatan jumlah piagam dan
sertifikat.

Tujuan dasar dari program peningkatan profesionalisme pengajar adalah
untuk mengubah sikap dan keyakinan pengajar dalam hal pemelajaran menjadi
lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada praktik pengajaran masih banyak
pengajar yang tidak terbuka terhadap inovasi. Dengan diadakannya pelatihanpelatihan dengan konsep CPD, para pengajar ini diharapkan untuk menerapkan
metode yang baru dengan pengetahuan dan keyakinan yang telah ter-upgrade
sehingga terjadi peningkatan dalam kualitas pemelajaran secara umum. Namun
yang sering terjadi, seperti yang telaah disinggung di atas, para pengajar hanya
menganggap materi dalam pelatihan seperti angin lalu sehingga saat mereka
kembali ke kelas masing-masing, mereka bertahan pada keyakinan yang telah ada
selama ini dan tetap menggunakan metode yang selalu mereka gunakan.

7

Jadi dapat dikatakan bahwa program peningkatan kompetensi guru sebagai
suatu bentuk manifestasi dari konsep CPD yang dilakukan pemerintah masih
belum berhasil mencapai tujuannya. Waktu yang kurang untuk melaksanakan
berbagai pelatihan tersebut bisa menjadi penyebab tidak optimalnya dampak
pelatihan terhadap kualitas profesional pengajar karena sebagian besar pengajar
bahasa asing di Indonesia itu overload, lalu juga karena kurangnya variasi
pelatihan sehingga tidak dapat mengakomodai seluruh kebutuhan pengajar dari

konteks yang berbeda-beda.
Terlebih lagi, jenis pelatihan yang itu-itu saja juga membuat pengajar
merasa jenuh dan tidak merasa perlu untuk terus menghadiri sebuah program
pelatihan. Seperti yang dinyatakan Johnson (2009), program pengembangan
profesi seharusnya berdampak pada timbulnya keinginan untuk mengintegrasikan
persepsi dan keyakinan yang telah mereka miliki selama ini dengan pengetahuan
baru yang didapatkan dari program pengembangan profesi tersebut.
Oleh sebab itu, secara institusional, salah satu solusi yang dapat
dilaksanakan untuk mengatasi permasalahn tersebut adalah dengan merancang
suatu program pengembangan profesi sendiri yang khusus diperuntukkan kepada
pengajar di lembaga tertentu. Dengan konteks yang lebih seragam dalam sebuah
institusi pendidikan, program CPD dapat dilakukan dengan lebih terfokus dan
dievaluasi dengan lebih cermat. Dlam hal ini saya akan memaparkan sebuah
rancangan program peningkatan progesionalisme pengajar bahasa Inggris pada
lembaga bimbingan dan konsultasi belajar Nurul Fikri Jakarta dimana saya
mengajar.
Dalam sebuah bab pada jurnal International Institute for Educational
Planning dibahas beberapa model pengembangan profesionalisme pengajar yang
dapat diterapkan. Model-model program ini sendiri dibedakan menjadi penerapan
yang bersifat global dan penerapan yang skala penerapan yang lebih kecil, seperti
dalam suatu institusi tertentu. Dalam hal ini saya fokus pada jenis program
dengan penerapan yang bersifat institusional tersebut. Ada beberapa metode yang
dapat digunakan dalam program pengembangan profesi pengajar; diantaranya m
Saat ini, sistem penjagaan mutu pengajar di BKB Nurul Fikri dilakukan
melalui program rapat kerja sekali dalam satu semester, yaitu di awal periode

8

pemelajaran. Rapat kerja ini terdiri dari dua sesi dimana sesi pertama digunakan
untuk membahasa soal-soal yang akan dibahas di kelas selama satu semester
sedangkan sesi kedua digunakan untuk kegiatan micro-teaching. Dalam kegiatan
micro-teaching ini para pengajar mendiskusikan berbagai metode pengajaran
sekaligus bersama-sama mencari solusi untuk berbagai permasalahan yang
ditemui pada semester sebelumnya. Sesi kedua ini cenderung berlangsung lebih
lama dan sengit karena tak jarang para pengajar saling beradu argumen mengenai
berbagai topik seputar proses pemelajaran di kelas. Menurut saya, program
sumatif semacam ini memang seharusnya dilakukan dan hasil yang didapat pun
cukup memuaskan. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata konsep CPD yang
sesungguhnya, program ini tentunya masih harus dibarengi dengan pelaksanaan
program pengembangan profesi lain yang lebih bersifar formatif yang
berlangsung sepanjang semester.
Dalam hal ini saya merancang sebuah program pengembangan profesi
yang berbasis self-reflective evaluation. Para pengajar Bahasa Inggris akan
diharuskan untuk membuat sebuah jurnal mengajar yang merekam setiap proses
pemelajaran yang merela laksanakan lengkap dengan berbagai isu yang muncul
selama proses tersebut. Para pengajar dibebaskan untuk menyusun sendiri jurnal
mengajar sesuai dengan pilihan masing-masing. Selanjutnya, pertemuan besar
antar sesama pengajar bahasa Inggris untuk membahas jurnal ini akan dilakukan
setiap dua minggu sekali. Dalam pertemuan inilah, pemelajar saling memberikan
komentar mengenai masalah yang dihadapi ataupun meminta pendapat rekan
sesama pengajar lain. Program ini akan dipimpin oleh koordinator Bahasa Inggris
yang selama ini juga memimpin program rapat kerja setiap semester. Dengan
demikian, para pengajar akan termotivasi untuk datang karena koordinator ini
sendiri merupakan seseorang yang sangat disegani dan berpengaruh dalam
institusi ini.
Program ini akan sangat menguntungkan pengajar dalam aspek waktu dan
juga menjaga self-esteem. Pertama, karena jurnal semacam ini dapat ditulis secara
individual dan hanya didiskusikan bersama dengan pengajar lain dalam pertemuan
yang diadakan sekali dalam dua minggu, pengajar tidak harus menyisihkan terlalu
banyak waktu. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar pengajar paruh

9

waktu di BKB Nurul Fikri memiliki kesibukan lain di luar mengajar sedang
pengajar penuh memiliki beban mengajar yang sangat banyak. Selain itu, karena
mereka tidak dinilai dan diobservasi oleh pihak lain, para pengajar tidak akan
merasa tertekan dalam mengajar sehingga konsentrasi mengajar tetap dapat
dipertahankan. Hal ini perlu menjadi perhatian karena berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa observasi pihak lain dalam proses pemelajaran akan
mengganggu konsentrasi pengajar sekaligus memberikan tekanan yang membuat
pengajar merasa tidak nyaman.
Rasionalisasi lain dari program ini adalah untuk menyesuaikan dengan
bentuk program pengambangan profesi yang telah ada selama ini. Dengan sebuah
program yang memiliki berbagai kesamaan seperti ini, pengajar akan lebih siap
menjalankannya sehingga hasil dari program ini dapat dilihat dengan lebih cepat
mengingat mereka tidak memerlukan proses pengenalan dan pembiasaan yang
panjang. Bagaimanapun juga, sebuah program hanya akan membuahkan hasil jika
pengajar yang terlibat di dalamnya telah mengenal dan mampu menjalankan
program tersebut dengan baik. Selain itu, seperti dikatakan dalam petunjuk
pelaksanaan program pengembangan profesi dari Institutu for Learning (IFL),
sebuah program akan efektif jika teridiri dari kegiatan yang relevan terhadap
konteks pengajaran pengajar. Pertanyaan yang harus dijawab saat ini adalah
seperti apa sistem asesmen atau evaluasi yang tepat sehingga efekifitas program
ini dapat diukur.
Dalam setiap program pengembangan profesi, evaluasi keberhasilan
program adalah aspek yang sangat penting untuk memastikan sejauh mana
program tersebut telah memberikan hasil. Hasil evaluasi ini juga menjadi dasar
para pengambil keputusan disuatu lembaga untuk menindak lanjuti program ini;
apakah akan diteruskan atau justru diganti dengan program lain jika hasilnya
mengecewakan. Pada program ini, sistem evaluasi yang akan digunakan adalah
dengan melihat perkembangan kemampuan pemelajar dalam TO (Try-Out) yang
diadakan setiap bulan. Selain itu, sebuah kuesioner yang berisi penilaian terhadap
kinerja pengajar akan diberikan kepada pemelajar pada awal dan akhir semester.
Kuesioner ini diharapkan mampu menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas

10

mengajar pengajar karena mengikuti program pengembangan profesi ini selama
satu semester.
Menyediakan program pengembangan profesi untuk pengajar merupakan
sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan setiap institusi pemelajaran agar dapat
memberikan pelayanan terbaik bagi para pemelajarnya. Akan tetapi, program
pengembangan profesi tidak dapat memberikan hasil instan dan seketika,
malainkan membutuhkan waktu yang panjang dan terkadang penggantian jenis
program. Hal ini disimpulkan dengan sangat rapi oleh seorang peneliti yang dalam
kalimat ’ teacher professional development is not an event but a process’.
Referensi
Institute for Learning. 2009. Guidelines for your continuing professional
development. Retrieved from www.ifl.ac.uk
Johnson, K. 2009. Second Language Teacher Education: a Sociocultural
Perspective. New York: Routledge.
Villegas-Raimers, E. 2003. Teacher professional development: An international
review of the literature, chapter 5 (p. 67-118). Paris: International Institute for
Educational Planning.

Membangun Profesionalisme Guru Baru
Profesionalisme adalah sebuah kondisi yang didapat dari bertahun-tahun
kerja keras untuk terus melakukan yang terbaik dalam bidang tertentu yang
digeluti seseorang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika salah satu bagian dari
menjadi professional diukur dari seberapa lama seseorang telah mengabdi di
bidangnya sehingga dapat disebut berpengalaman. Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah apakah para guru baru (novice teachers) dapat mendapatkan
profesionalisme sebagai seorang pengajar atau tidak.
Faktanya, profesionalisme pengajar tidak selalu terkait dengan jangka
waktu yang telah dilaluinya sebagai dalam profesi ini, melainkan tergantung pada
seberapa jauh mereka mampu melaksanakan proses pemelajaran dengan efektif
dan komunikatif serta dapat mencapai target pemelajaran yang telah ditetapkan.
Pengajar professional memainkan peran fasilitator dengan baik dalam proses

11

pemelajaran guna meningkatkan kemampuan pemelajarnya. Namun begitu, proses
mencapai keadaan professional ini sendiri bukanlah sebuah proses yang dapat
diselesaikan dalam beberapa kali pelatihan singkat seperti yang secara keliru
dipahami oleh sebagian pihak.
Dalam hal karakteristik, guru baru tentunya berbeda dari guru yang telah
memiliki pengalaman. Hal ini pada gilirannya memaksa agar program
pengembangan profesi bagi guru baru dibedakan dari program serupa bagi guru
yang telah berpengalaman. Guru baru, setelah melewati pendidikan keguruan
selama 4 tahun, sering kali begitu kaya akan ilmu-ilmu teoritis namun masih
mengalami kesulitan dalam menerapkan teori-teori tersebut di dalam kelas.
Seperti yang dibahas dalam penelitian Yuen (2012), seringkali pengajar baru
merasa bingung dan hilang arah dalam praktik pengajaran di kelas yang terkadang
ternyata berbeda dari teori yang selama ini mereka pelajari. Kesenjangan ini
menjadi semakin menyulitkn pada bidang pengajaran bahasa asing dimana praktik
yang terjadi di lapangan tidak selalu dapat dilakukan sejaan dengan teori karena
sifat proses pemelajaran sendiri yang dangat kontekstual dan terikat dengan
berbagai keunikan masing-masing kelas. Oleh sebab itu, seperti yang dinyatakan
dalam artikel Batenburg (nnnn) pengajar di lapangan lebih sering menggunakan
ilmu-ilmu praktis yang didapat dari pengalaman di kelas itu sendiri. Fenomena ini
menguatkan bahwa program pengembangan profesi bagi pengajar baru harus
difokuskan pada penjembatanan antara teori dan praktik dalam proses pengajaran.
Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk membantu pengajar baru
dalam mengembangkan kemampuan mengajarnya. Dari berbagai artikel terkait,
saya merumuskan beberapa bentuk usaha tersebut sebagai berikut:


Mengadakan teaching conference antara sesama pengajar baru
dengan didampingi pengajar senior sebagai pembimbing



Mengumpulkan informasi mengenai metode dan teknik mengajar
yang digunakan guru berpengalaman sebagai bahan acuan dalam
mengajar



Mendorong pengajar baru untuk membuat jurnal mengajar untuk
kemudian dikembangkan menjadi sebuah korpus.

12

Pengadaan

teaching

conference

dilaksanakan

dengan

mendesain

kelompok-kelompok kecil yang teridiri dari 5 pengajar baru dan 3 pengajar yang
telah berpengalaman. Setiap bulan kelompok ini mengadakan sebuah konferensi
mengajar dengan fokus terhadap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi
pengajar baru di kelas tempatnya mengajar. Para pengajar senior akan memimpin
diskusi kelompok sekaligus menjadi mentor yang akan memberikan masukanmasukan berdasarkan pengalaman mengajar mereka. Di sisi lain, pengajar baru
dapat menyumbangkan berbagai teori pengajaran baru yang mereka ketahui.
Dengan demikian, tidak hanya para pengajar baru yang mendapatkan keuntungan
dari konferensi ini namun para pengajar senior pun akan mendapatkan
kesempatan untuk memperbarui persepsi mereka dengan mengetahui teori-teori
terkini dalam bidang pemelajaran bahasa asing.
Selain itu, hal ini juga akan menguntungkan dalam hal mendekatkan
kalangan pengajar berpengalaman dengan para pengajar baru dimana hubungan
keduanya biasanya tidak begitu harmonis karena perbedaan sudut pandang dan
preference dalam pemelajaran. Program serupa telah dilakukan pada sebuah
program pengajaran bahasa asing di Arab Saudi (Ashcraft dan Ali, 2012) yang
bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik dalam
pengajaran bahasa asing di kalangan mahasiswa para calon pengajar. Penelitian
membuktikan bahwa program ini menunjukkan hasil yang positif dalam
peningkatan pemahaman para calon pengajar mengenai penerapan teori-teori
pengajaran dalam praktik di kelas pemelajaran bahasa asing yang sesungguhnya.
Usaha kedua yang dapat dilakukan adalah dengan mengumpulkan
informasi dari para pengajar yang telah berpengalaman mengenai metode
pengajaran yang mereka gunakan dalam kelas pemelajaran bahasa asing.
Informasi ini kemudian digabung menjadi sebuah buku atau modul dan lalu
dibagikan kepada para pengajar baru. Pengajar yang telah berpengalaman
otomatis memiliki berbagai ilmu praktis yang didapat dari sekian tahun
pengalaman mengajar yang tentunya belum dimiliki pengajar baru. Oleh sebab
itu, transfer ilmu praktis ini sangat diperlukan untuk menyediakan acuan yang

13

terpercaya bagi pengajar baru untuk dapat mengatur kelas dan menyampaikan
materi pelajaran dengan baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi kelas yang dihadapi pengajar baru
berbeda dari situasi yang dihadapi pengajar senior. Berbagai aspek kelas dan
pemelajar akan selalu beragam dan menjadikan setiap kelas pemelajaran bahasa
asing tidak pernah sama. Akan tetapi setidaknya informasi-informasi ini dapat
menjadi pegangan awal bagi pengajar baru untuk kemudian dimodifikasi sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik pemelajar yang mereka hadapi.
Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan Cumming
(2007), para pengajar senior yang berpengalaman cenderung memiliki pandangan
yang sama dalam hal konsep bagaimana mereka memandang pemelajaran bahasa
asing sebagai suatu bidang ilmu. Perbedaan yang ada terletak pada aplikasi dari
berbagai metode pengajaran yang dipengaruhi oleh kurikulum dan tujuan
pemelajaran.
Selanjutnya, jurnal mengajar yang mencakup berbagai masalah yang
dihadapi serta usaha yang dilakukan untuk menyiasatinya dapat menjadi dasar
penyusunan sebuah korpus pengajaran. Dengan membuat sebuah jurnal mengajar,
pengajar baru akan dapat melakukan proses refleksi sehingga dapat terus
memperbaiki kompetensi mereka dalam mengajar. Selanjutnya, dengan menyusun
korpus mengenai permasalahan dalam pemelajaran, pengajar baru tidak hanya
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya sendiri melainkan memiliki
kesempatan untuk ikut berkontribusi dalam bidang pemelajaran bahasa asing pada
tingkat yang tinggi karena data-data yang terdapat dalam korpus tersebut tentunya
dapat dimanfaatkan oleh pengajar lain.
Program penyusunan korpus bagi pengajar baru ini pada hakikatnya juga
memanfaatkan keunggulan mereka sebagai kalangan yang lebih aware terhadap
kemajuan teknologi dan mampu menggunakannya. Dalam sebuah penelitian yang
dilaksanakan dengan calon pengajar sebagai subjek penelitian, Ozbilgin dan
Neufeld (2013) menjelaskan berbagai tahapan dalam pembuatan korpus yang
cukup sederhana bagi para pengajar baru. Di Indonesia sendiri, masih jarang
pengajar yang mampu menciptakan korpus sendiri sehingga dengan mengikuti

14

program pengembangan profesi ini pengajar baru akan memiliki produk
kekayaaan intelektual yang masing sangat sulit ditemukan. Hal ini tentunya akan
sangat membantu mereka dalam hal administrative seperti kenaikan pangkat dan
golongan.
Pengajar baru adalah generasi pengajar yang akan menjadi tulang
punggung proses pemelajaran bahasa asing di masa depan yang tentunya lebih
menantang. Untuk itu, pengembangan profesi yang dilakukan seawall mungkin
dalam masa pengabdian mereka sangat diperlukan, terutama untuk menjembatani
kesenjangan antara teori dan praktik yang sering kali menjadi kendala bagi para
pengajar baru.
Referensi
Ashcraft, N. and Ali, S. (2013). A course on continuing professional development.
In Edge, J. and Mann, S. Innovations in pre-service education and
training for Engish language teachers (pp. 147-162). London:British
Council 2013 Brand and Design.
Cumming, A.
2007.
Experienced
ESL/EFL
Writing
Instructors’
Conceptualizations of Their Teaching: Curriculum Options and
Implications
Özbilgin, A. and Neufeld, S. (2013). iCorpus: Making corpora meaningful for preservice teacher education. In Edge, J. and Mann, S. Innovations in preservice education and training for Engish language teachers (pp. 181200). London:British Council 2013 Brand and Design
Yuen, L.H. 2012. The impact of continuing professional development on a Novice
teacher. New York: Routledge.