ANALISIS KASUS HAK PENGELOLAAN MENGENAI

ANALISIS KASUS HAK PENGELOLAAN MENGENAI SENGKETA
ANTARA PERHIMPUNAN PENGHUNI APARTEMEN MANGGA
DUA COURT (MDC) DENGAN PIHAK PENGEMBANG

PT. DUTA PERTIWI
Firasaputriyanuari@students.unnes.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas,
karenanya hak atas tanah bukan saja memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian
tertentu permukaan bumi yang disebut tanah. Tetapi juga sebagian tubuh bumi yang
dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. Tetapi tubuh bumi
dibawah tanah dan ruang angkasa yang ada di atsanya sendiri bukan merupakan obyek hak
atas tanah. Bukan termasuk obyek yang dipunyai pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah
yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam Hukum
Agraria dan didasarkan pada keberadaan hukum adat.
Mengenai hak pengelolaan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) tidak mengatur tentang hak pengelolaan secara

eksplisit. Namun, UUPA menjelaskan hak pengelolaan berasal dari hak menguasai Negara
atas tanah. Negara sebagai pihak yang menguasai tanah (sebagai organisasi kekuasaan dari
seluruh rakyat/bangsa) dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan
sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak
guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan
Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing
Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang
diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan gedung kantor
atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh dari pemberian
langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian milik penduduk. Status bidang tanah itu
tetap sebagai aset Pemerintah disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari
Pemerintah. Adapun masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang
bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur serta tertib
pengawasannya.
Pada kenyataannya banyak sekali kasus sengketa tanah yang terjadi, diantaranya
karena tidak mengantongi bukti kuat atas kepemilikan tanah. Oleh karenanya tidak

sembarangan bagi siapapun dalam penguasaan tanah, pemiliknya sekalipun wajib memelihara
dan memanfaatkannya hanya sesuai kebutuhan tanpa merugikan pihak lain dan tidak secara

berlebihan menggunakannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hak pengelolaan?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa antara perhimpunan penghuni apartemen Mangga
Dua Court (MDC) dengan pihak pengembang PT. Duta Pertiwi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui secara teoritis mengenai hak pengelolaan.
2. Mengetahui penyelesian sengketa antara perhimpunan penghuni apartemen Mangga
Dua Court (MDC) dengan pihak pengembang PT. Duta Pertiwi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hak Pengelolaan
Pasal 2 UUPA memuat hak menguasai dari negara atas tanah dan bersumber dari hak
bangsa Indonesia, kewenangannya diatur dalam ayat (2), yaitu :
a) Mengatur

dan

menyelenggarakan


peruntukan,

penggunaan

persediaan

dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b) Menentukan dan mengatur hubungan2 hukum antara orang denganbumi, air dan
ruang angkasa.
c) menentukan dan mengatur hubungan2 hukum antara orang2 dan perbuatan2 hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Ayat (4) hak menguasai dalam pelaksanaannya dapat di kuasakan kepada Daerah Swatantra
dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan2 peraturan pemerintah.
Pasal 4 UUPA (dasar hukum untuk HAT yang bersumber dari hak menguasai negara)
Ayat (1) dengan dasar hak menguasai negara tersebut, maka dapat ditentukan adanya
macam2 hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang/badan hukum

Macam HAT [menurut Pasal 16 (1) dan 53]

a) HAT bersifat tetap : HM, HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak
Membuka Tanah, hak Memungut Hasil Hutan
b) HAT yang akan ditetapkan oleh UU : sampai saat ini belum ada
c) HAT bersifat sementara : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa Tanah Pertanian.
Sistem UUPA bersifat terbuka dalam menentukan HAT, ditunjukan dalam Pasal 16 (1) (h)
yaitu hak2 lain yang akan ditetapkan oleh UU. Sifat Limitatif : lahirnya HAT tersebut harus
diatur dalam UU (bukan HAT tetap maupun sementara). Hal ini untuk mengantisipasi
lahirnya HAT baru sesuai dengan perkembangan masyrakat dan pembangunan. Hak
Pengelolaan (HPL), dalam UUPA secara tersurat tidak disebut, istilah pengelolaan muncul
dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA, yang intinya adalah negar dapat
memberikan dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa untuk digunakan bagi
pelaksanaan tugas masing2.
Sejarah HPL
a) Peraturan Pemerintah 8/1953 tentang Penguasaan tanah-tanah Negara disebut dengan
Hak Penguasaan.
b) Peraturan Menteri Agraria 9/1965 tentang pelaksanaan Konversi Hak penguasaan
Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan maka Hak Penguasaan di konversi menjadi

Hak Pengelolaan (Pasal 2)
c) UU 16/1985 tentang Rumah Susun disebutkan mengenai Hak Pengelolaan (Pasal 7
(1)
Pengertian HPL
1. Dalam PP 40/1996 yaitu; hak menguasai negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
2.

Dalam UU 20/2000 Tentang Perubahan Atas UU 21/1997 tentang BPHTB jo Pasal 1
PP 36/1997 tentang pengenaan BPHTB karena Pemberian HPL, yaitu; Hak menguasai

dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksannannya sebagian dilimpahkan
kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,
menggunakan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian
tanah tersebut kepada Pihak Ketiga (P III) dan/atau bekerja sama dengan P III.

Subjek HPL
a) Suatu badan penguasa (departemen, jawatan dan daerah swantatra). Dasar :
Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA
b) Departemen, direktorat dan daerah swantatra selain untuk digunakan instansi sendiri,

juga dimaksudkan untuk diberikan suatu hak pada P III. Dasar: Permen Agraria
9/1965 Pasal 5
c) Departemen, Direktorat dan Daerah Swntatra. Dasar : Permen Agraria 1/1966 Pasal 1
huruf b
d) Departemen dan Jawatan Pemerintah, Badan Hukum yang di tunjuk Pemerintah.
Dasar : PerMen Dalam Negeri 5/1973 Pasal 29
e) Perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya berasal dari
Pemerintah dan/atau Pemda, Industri estate yang seluruh modalnya berasal dari
Pemerintah yang berbentuk Perum, Persero dan dari Pemda yang berbentuk
Perusahaan daerah.

Dasar : Per Men Dalam Negeri 5/1974 Pasal 5 dan 6

f) Pemerintah Daerah, lembaga, instansi dan/atau badan/badan hukum (milik)
Pemerintah. Dasar : Per Men Dalam Negeri 1/1977 Pasal 2
g) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemda Tk I, Pemda Tk II,
Lembaga Pemerintah lainnya dan Perumnas (dalam penjelasan disebutkan yang
termasuk lembaga pemerintah lainnya adalah Otarita Batam, Badan Pengelola GOR
Senayan dan lembaga sejenis yang di atur dengan Kep Pres). Dasar : PP 36/1997
Pasal 2


h) - Instansi Pemerintah termasuk Pemda
- BUMN
- BUMD
- PT Persero
- Badan Otorita
- Badan2 Hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah
Dasar : Per Men Agraria/Kepala BPN 9/1999 Pasal 67
Terjadinya HPL
a) Konversi
Dengan ketentuan Per Men Agraria No. 9/1965, Hak Pengelolaan adalah konversi dari
Hak Penguasaan (Hak beheer), yaitu yang tanahnya digunakan untuk kepentingan
instansi yang bersangkutan. HPL yang berasal dari konversi tersebut berlangsung
selama tanahnya digunakan untuk keperluan itu.
b) Pemberian Hak Dasar : Permendagri 5/1973 yang diubah dengan Peraturan menteri
Agraria/Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Nomor 9/1999
Langkah Permohonan HPL :
a) Permohonan kepada Kepala BPN melalui Kakan setempat dilanjutkan dengan
pemeriksaan data fisik dan yuridis oleh Kakan
b)


Jika permohonan memenuhi syarat maka Kakan akan menyampaikan pada KaKanwil
untuk diminta pertimbangan dan pendapat

c) Kakanwil menyampaikan pada Kep BPN untuk dilakukan pemeriksaan data fisik dan data
yuridis

berikut

memperhatikan

pertimbangan

dan

pendapat

Kakanwil

untuk


dipertimbangkan diterima atau tidaknya permohonan tersebut.
d) Penyampaian keputusan diterima atau tidak permohonan hak tersebut kepada pemohon.
e) Jika diterima maka pemohon wajib mendaftarak keputusan tersebut untuk diterbitkan
sertifikat dengan terlebih dahulu membayar BPHTB.
f.

Sertifikat HPL diserahkan kepada pemohon.

Pemberian Hak diatas HPL

P III yang ingin mempunyai HGB atau Hak Pakai, terlebih dahulu membuat
perjanjian penggunaan tanah dengan pemegang HPL. Pemberian hak diatas HPL, tidak
memutus hubungan hukum antara pemegang HPL dengan Hak Pengelolaannya, setiap HGB
atau Hak Pakai berakhir, maka perpanjangan atau pembaharuannya harus dengan ijin tertulis
pemegang HPL.
Pemegang HPL dapat menyerahkan bagian tanah HPL dalam bentuk HM kepada P III
melalui pelepasan atau penyerahan HPL, dengan demikian hubungan hukum pemegang HPL
dengan hak pengelolaannya berakhir.
2.2 Sengketa antara perhimpunan penghuni Apartemen Mangga Dua Court (MDC)

dengan pihak pengembang PT. Duta Pertiwi

Kronologi Kasus
Fifi Tanang mungkin sudah tak asing lagi di mata manajemen PT Duta Pertiwi Tbk,
perusahaan properti milik taipan Eka Tjipta Wijaya yang sebagian besar menguasai tanah di
daerah Mangga Dua, Jakarta Utara. Mungkin, Fifi yang menjabat Ketua Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun Apartemen Mangga Dua Court (MDC), saat ini menjadi orang yang
paling disegani oleh manajemen Duta Pertiwi, setelah ia membongkar kasus status hak atas
tanah Apartemen Mangga Dua Court (MDC), yang berlokasi di Jakarta Utara.
Akibat ulahnya, Fifi kini harus berurusan dengan polisi. Ia dilaporkan ke Mabes Polri
lantaran mencemarkan nama baik Duta Pertiwi di sebuah media nasional. Selain itu, Fifi
bersama dengan 16 pemilik kios ITC Mangga Dua harus berjibaku menghadapi gugatan
perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara (lihat box). Sekedar informasi, hampir
semua properti yang berada di kawasan Mangga Dua dikuasai oleh Duta Pertiwi, termasuk
ITC Mangga Dua dan Apartemen MDC.
Selain memiliki unit apartemen MDC, Fifi juga mempunyai kios di ITC Mangga Dua.
Namun, gugatan itu tak menyurutkan niat Fifi untuk memperkarakan Duta Pertiwi. Namun
Ia justru menggugat balik Duta Pertiwi di dua pengadilan sekaligus, yakni Pengadilan Negeri
wilayah


Jakarta

Utara

dan

Pengadilan

Negeri

wilayah

Jakarta

Pusat.

Di PN Jakarta Pusat, sidang pekan lalu sudah memasuki acara mendengarkan keterangan ahli.
Salah satu ahli yang didatangkan adalah pakar hukum agraria Boedi Harsono. Guru Besar

Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu menyatakan Badan Pertanahan Nasional (BPN)
mesti bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) murni
Apartemen MDC. Apalagi, lanjutnya, mustahil jika BPN tidak mengetahui status tanah itu
dari awal saat dilakukan jual beli unit apartemen.
Hal yang paling mudah untuk membuktikan status tanah suatu apartemen, kata Boedi,
adalah mencocokkan sertifikatnya dengan buku tanah yang disimpan di BPN. "Jadi, nggak
mungkin orang BPN tidak mengetahui tentang status tanah suatu bangunan," tegas pria yang
juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini di hadapan majelis hakim, Selasa
(4/3) pekan lalu. Sebagai lembaga yang mengawasi ranah pertanahan di tanah air, sudah
sepatutnya BPN juga bertindak mengawasi sengketa pertanahan yang kerap terjadi. Boedi
mengatakan, dalam kasus ini pihak Duta Pertiwi patut dipersalahkan, karena sejak awal tidak
menginformasikan status tanah Apartemen MDC kepada calon pembeli waktu itu.
"Masyarakat tidak mengerti, makanya BPN, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan Duta
Pertiwi seharusnya memberi tahu ke masyarakat," ujarnya.
Kasus ini berawal saat 147 pemegang unit setifikat hak milik atas satuan rumah susun
(SHMSRS) yang tergabung dalam Perhimpunan Penghuni (Perhimni) MDC ingin
memperpanjang HGB tanah bersama, bulan Maret 2006. Ketika itu BPN belum mengetahui
bahwa tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas Hak Pengelolaan (HPL). Hal ini
ditegaskan BPN dengan menerbitkan Surat Keterangan Status Tanah (SKST) tertanggal 24
Mei

2006.

Selain itu, BPN juga telah melakukan risalah pemeriksaan tanah (konstatering rapport) yang
hasilnya tidak menyatakan tanah HPL. Sehingga, Perhimni MDC diwajibkan membayar uang
pemasukan kepada negara total Rp289 juta. Anehnya, pada bulan Juli 2006, BPN menarik
kembali pernyataan tersebut. Setelah diselidiki ulang, ternyata BPN baru mengetahui bahwa
status tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas HPL atas nama Pemda DKI Jakarta
(sekarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta).
Akibatnya, sertifikat Apartemen MDC yang telah diberikan kepada Perhimni MDC
(Mangga

Dua

Court)

dilakukan

pencoretan

dan

pembatalan.

Hal itu dilakukan BPN lantaran ditemukan dokumen surat perjanjian kerja sama antara R.
Soeprapto (Gubernur DKI Jakarta waktu itu) dengan Rachmat Sumengkar (Direktur Utama
Duta Pertiwi waktu itu) yang mendapat persetujuan dari Komisaris Utama Duta Pertiwi, Eka
Tjipta Widjaja. Perjanjian itu telah disepakati dan ditandatangai antara kedua pihak sekitar

tahun 1984.. Mereka merasa ditipu oleh manajemen Duta Pertiwi. Pasalnya, pada saat
membeli unit Apartemen MDC, Duta Pertiwi tidak pernah menginformasikan dan
memberitahukan kepada calon pembeli bahwa tanah bersama Apartemen MDC adalah milik
Pemprov DKI Jakarta. "Yang para pembeli tahu saat itu, status tanah adalah HGB murni.
Kami ini ditipu," ujar Fifi kepada salah satu media online (hukumonline).Ia lantas
menyodorkan beberapa dokumen yang kesemuanya memang tidak bertuliskan "HGB di atas
HPL atas nama Pemda DKI Jakarta". Bukti itu antara lain: perjanjian pengikatan jual beli,
akte

jual

beli

dan

shm.

Tuduhan Fifi langsung dibantah kuasa hukum Duta Pertiwi, Zulfahmi. Menurut dia, tidak ada
kekeliruan yang dilakukan kliennya ketika melakukan jual beli properti Apartemen MDC.
"Duta Pertiwi sudah melakukan langkah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,"
jelasnya.

Analisis Kasus
Kasus diatas sangat menarik untuk dibahas. Kasus di atas mengenai pesengketaan
Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Milik atas nama pihak Duta Pritiwi vs HGB di atas
HPL (Hak Pengelolaan atas nama Pemda DKI Jakarta (sekarang Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta). Saya melihal ada beberapa hal permasalahan Hak atas Tanah disini yang akan saya
analisis.

1. Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Milik atas nama pihak PT. Duta Pritiwi.
Tata Cara Pemberian HGB di atas HM (Hak Milik), melihat dari tata cara pembebanan Hak
Guna Bangunan

diatas Hak Milik (pasal 24 Peraturan Pemerintah No.40/1996)

terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat

Akta

Tanah

(PPAT)

yang

sudah

dilegalkan

oleh

pemerintah.

- Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik pada dasarnya merupakan
pembebanan yang dilakukan oleh pemegang Hak Milik atas tanah miliknya. Karena itu
pemberian itu dilakukan dengan suatu perjanjian antara pemegang Hak Milik dan calon
pemegang Hak Guna Bangunan yang dicantumkan dalam akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat

Akta

Tanah.

- Dalam kasus di atas, disebutkan bahwa telah terjadi pemberian HGB atas tanah HM

apartemen MDC antara PT. Duta Pertiwi Tbk. (sbg pemberi) dengan Penghuni Apartemen
MDC.
Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib didaftarkan terlebih dahulu kepada Kantor Pertanahan wilayah terkait .
- Sebagai pembebanan atas suatu hak yang terdaftar, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Milik perlu didaftar dengan pembuatan buku tanahnya dan pencatatannya pada buku tanah
dan sertipikat Hak Milik yang bersangkutan.
-Dalam kasus apartemen ini, HGB atas tanah HM tersebut juga telah didaftarkan pada kantor
pertanahaan dengan adanya pembukuan dan pencatatannya pada buku tanah dan sertifikat
hak milik
Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah Hak Milik (HM) mengikat pihak ketiga sejak
didaftarkan

sebagaimana

dimaksud

dalam

ayat

(2)

UUPA

1960.

- Walaupun Hak Guna Bangunan itu sudah terjadi pada waktu dibuatnya akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah yang dimaksud dalam ayat (1), namun baru mengikat pihak ketiga
sesudah

didaftarkan.

Jadi dilihat dari Tata Cara Pembebanan HGB- diatas HM (ps. 24 PP 40/1996), maka
dapat dikatakan proses pemberian HGB diatas HM atas Apartemen MDC tersebut antara PT.
Duta Pratiwi dengan Penghuni telah dapat dikatakan sah secara hukum. Karena semua proses
dan persyaratan pemberian hak tersebut telah sesuai. Dari data dan penjelasan pada kasus
diatas dijelaskan bahwa PT. Duta Pritiwi memiliki hak milik atas tanah Apartemen tersebut
yg

telah

bersertifikat

dan

menjual

HGB

dari

HM

atas

Apartemen

tsb.

Jangka Waktu Hak Guna Bangunan (HGB) Diatas Hak Milik (HM) (Pasal 29)
- Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30
tahun.
- Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang Hak
Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah Hak Milik (HM) dapat diperbaharui
dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dan hak tersebut wajib didaftarkan agar legal dihadapan hukum.
Dan, pada Penjelasan pasal 29 ayat (2) disebutkan dapat Memperpanjang jangka waktu Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dilakukan dengan memberikan Hak Guna Bangunan

baru dengan perjanjian lagi atau dengan kata lain melakukan pembahruan perjanjian.
Pada bulan maret 2006 masa berlaku HGB atas tanah bangunan Apartemen ini berakhir, 147
pemegang unit setifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS) yang tergabung dalam
Perhimpunan Penghuni (Perhimni) MDC memperpanjang HGB tanah bersama. Jadi, sampai
sekarang Hak Guna Bangunan

tersebut masih berlaku dan tidak perlu diperpanjang.

Akan tetapi, timbul permasalahan ialah Ketika itu BPN belum mengetahui bahwa
tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas Hak Pengelolaan (HPL). Hal ini ditegaskan BPN
dengan menerbitkan Surat Keterangan Status Tanah (SKST) tertanggal 24 Mei 2006. Dan
BPN melakukan risalah pemeriksaan tanah (konstatering rapport) yang hasilnya tidak
menyatakan tanah HPL. Sehingga, Perhimni MDC diwajibkan membayar uang pemasukan
kepada negara total Rp289 juta. Tetapi, yang menjadi aneh, pada bulan Juli 2006, BPN
menarik kembali pernyataan tersebut. Setelah diselidiki ulang, ternyata BPN baru mengetahui
bahwa status tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas HPL atas nama Pemda DKI Jakarta
(sekarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta). Akibatnya, sertifikat Apartemen MDC yang
telah diberikan kepada Perhimni MDC dicoret dan dibatalkan. Hal itu dilakukan BPN
lantaran ditemukan dokumen surat perjanjian kerja sama antara R. Soeprapto (Gubernur DKI
Jakarta waktu itu) dengan Rachmat Sumengkar (Direktur Utama Duta Pertiwi waktu itu)
yang mendapat persetujuan dari Komisaris Utama Duta Pertiwi, Eka Tjipta Widjaja.
Terdapat ketidakpastian akan hak atas tanah dari rumah susun yang dimiliki Penghuni
tersebut. Apakah HGB atas HM ataukah HGB atas HPL. Jika melihat temuan yang
ditemukan BPN, maka jelas bahwa hak atas tanah tersebut ialah HGB atas HPL dan berarti
telah terjadi penipuan oleh PT. Duta Pratiwi terhadap para penghuni Apartemen MDC.
Dasar Hukum
a.Pasal 20-27, Pasal 50 ayat (1) dan pasal 56 UUPA
b. UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun
c. PP No 24 tahun 1997 pengganti PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
d. PP No 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah Negara
2.

HGB

di

atas

HPL

atas

nama

Pemda

DKI

Jakarta

Hak ini telihat dan terbukti ada pada kasus dengan dasar yaitu berupa perjanjian yang
dokumen surat perjanjian kerja sama antara R. Soeprapto (Gubernur DKI Jakarta waktu itu)

dengan Rachmat Sumengkar (Direktur Utama Duta Pertiwi waktu itu) yang mendapat
persetujuan dari Komisaris Utama Duta Pertiwi, Eka Tjipta Widjaja. Perjanjian itu diteken
pada tahun 1984. Jadi, dasar dari HGB itu besumber dari HPL atas nama Pemda DKI Jakarta.
Apa itu hak pengelolaan? Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 2
PP

40/1996).
Maka dalam hal ini, hak pengelolaan atas Tanah Apartemen tersebut itu berasal dari

Pemda DKI Jakarta yang dilimpahkan kepada PT. Duta Pertiwi melalui Perjanjian kerjasama
yang kemudian digunakan oleh PT. Duta Pertiwi dengan mengeluarkan Hak Guna Bangunan
untuk diberikan kepada para calon penghuni Apartemen Mangga Dua Court (MDC)
Isi

wewenang

tersebut

menurut
dan

(PMDN

Nomor

1977)

peruntukan

-

Menggunakan

tanah

-

Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan

keprluan

yang

yaitu:

Merencanakan

untuk

tanah

Tahun

-

tersebut

penggunaan

1

bersangkutan;

pelaksanaan

usahanya;

yang ditentukan oleh pemegang HPL yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan,
jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas yanah kepada
pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang, sesuai
dengan peraturan perundang – undangan (perpu) yang berlaku dan terkait dengan hal itu.
Dan mengenai Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan (Pasal 4 ayat 4 PMNA atau KABPN Nomor 9 Tahun 1999 )
Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah Hak Pengelolaan pemohon harus terlebih
dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari pemegang Hak
Pengelolaan
Perjanjian

Penggunaan Tanah dari pemegang HPL (Hak Pengelolaan)

berisi :

Pada aturan (PMDN Nomor 1 Tahun 1977 Pasal 2 ayat (2) yaitu

a. Identitas para pihak;
b. Letak,batas,luas tanah ;
c. Jens penggunaannya;
d. Hak atas tanah yang dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga yang bersangkutan
dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk memperpanjangnya;

e. Jens-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai pemilikan
bangunan tersebut pada berakhirnya hak atas tanah yang diberikan:
f. Jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayaran;
g. Syarat-syarat lain yang dipandang perlu.
Hak atas tanah yang dapat diberikan diatas tanah HPL yaitu Hak guna bangunan dan Hak
pakai. Untuk jangka WAKTU HGB ATAU HP DIATAS HPL (PP NO.40 TH 1996)
- Setiap peralihan hgb dan hp diatas hpl harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang
HPL
- Setiap pembebanan hgb dan hp diatas hpl harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang
HPL
Maka, dengan kenyataan yang tidak dapat diterima oleh para penghuni apartemen
bahwa pada dasarnya para para pembeli tahu saat itu, status tanah adalah HGB murni dengan
bukti beberapa dokumen yang kesemuanya memang tidak bertuliskan "HGB di atas HPL atas
nama Pemda DKI Jakarta". Bukti itu antara lain: perjanjian pengikatan jual beli, akte jual beli
dan sertifikat hak milik. Dan dengan adanya fakta penipuan ini maka para penghuni
memperoleh kerugian. Salah satu contoh yang nyata (dalam kasus) bahwa Perhimni MDC
diwajibkan

membayar

uang

pemasukan

kepada

negara

total

Rp289

juta.

Dan dalam hal ini, saya menyatakan bahwa para penghuni dapat menuntut haknya dan
mereka tidak dapat disahkan. Bahkan yang dapat disalahkan ialah BTN dan PT. Duta Pratiwi.
Berdasarkan pada pakar hukum agraria Boedi Harsono yang menyatakan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) mesti bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan
(HGB) murni Apartemen MDC. Apalagi, lanjutnya, mustahil jika BPN tidak mengetahui
status tanah itu dari awal saat dilakukan jual beli unit apartemen.
Hal yang paling mudah untuk membuktikan status tanah suatu apartemen, kata Boedi,
adalah mencocokkan sertifikatnya dengan buku tanah yang disimpan di BPN. Jadi, tidak
mungkin BPN tidak mengetahui tentang status tanah suatu bangunan. Sebagai lembaga yang
mengawasi ranah pertanahan di tanah air, sudah sepatutnya BPN (Badan Pertanahan
Nasional)

juga bertindak mengawasi sengketa pertanahan yang kerap terjadi.

Boedi juga mengatakan, dalam kasus ini pihak Duta Pertiwi patut dipersalahkan, karena sejak
awal tidak menginformasikan status tanah Apartemen MDC kepada calon pembeli waktu itu.
"Masyarakat tidak mengerti, makanya BPN, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan pihak

PT.

Duta

Pertiwi

seharusnya

memberi

tahu

ke

masyarakat,"

ujarnya.

Dasar Hukum
-Penhelasan bagian A II 2 UUPA
- PP nomor 8 tahun 1953
- PMA No. 9 tahun 1965 tentang pelaksanaan konversi Hak atas tanah dan ketentuanketentuan kebijakan selanjutnya
- PMDN No. 5 Tahun 1965
- Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan No. 9 tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Harta Pengelolaan.
- PMA Nomor 1 Tahun 1966
- PMDN Nomor.3/1974

BAB III
KESIMPULAN
Kasus tersebut ialah suatu persengketaan mengenai Hak Guna Bangunan atas hak
milik dan Hak guna bangunan atas hak pengelolahaan. Pada dasarnya, para Penghuni tidaklah
tau mengenai tanah atas apartemen tersebut berupa HGB atas HPL karena pada saat membeli
yang mereka tau ialah tanah apartemen tersebut HGB murrni dan pada dokumen bukti tidak
juga dinyatakan bahwa apartemen itu merupakan HGB atas HPL. Badan Pertanahan Nasional
(BPN) mesti bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) murni
Apartemen MDC. karena mustahil jika BPN tidak mengetahui status tanah itu dari awal saat
dilakukan jual beli unit apartemen. Jadi, tidak mungkin BPN tidak mengetahui tentang status
tanah suatu bangunan. Sebagai lembaga yang mengawasi ranah pertanahan di tanah air, sudah
sepatutnya BPN juga bertindak mengawasi sengketa pertanahan yang kerap terjadi. Pihak
Duta Pertiwi juga patut dipersalahkan, karena sejak awal tidak menginformasikan status
tanah Apartemen MDC kepada calon pembeli waktu itu. "Masyarakat tidak mengerti,

makanya BPN, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan Duta Pertiwi seharusnya memberi
tahu ke masyarakat