Makalah Lgbt - Makalah

BAB II
LANDASAN TEORI

II.A. Homoseksual
II.A.1. Pengertian Homoseksual
Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang:
heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau
biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).
Istilah “homoseksual” paling sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian”
dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah
tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi
kelompok sosial yang memiliki label sama.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara
pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk
pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis
kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay
atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:



orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan
orang lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau
identitas gender yang sama.

13
Universitas Sumatera Utara



Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak
peduli orientasi seksual atau identitas gender.



Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu
kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia,
2007).

Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu
pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual

dan ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki
jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka
sebagai homoseksual.

II.A.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual
Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara
faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch &
Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,
Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal
homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan
homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke
orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti
penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).
Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme
berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil

14
Universitas Sumatera Utara


dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa
homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa
perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya,
konstruksionis berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah peran sosial
yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,
dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual
secara lahiriah (Carroll, 2005).
Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang
terbentuknya perilaku homoseksual.
1. Pendekatan Biologis
Teori

biologis

tentang

homoseksual

bersifat


esensialis

yang

mengatakan bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya
perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon,
atau sifat (trait) fisik sederhana.
a. Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor
penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada
homoseksual dengan melakukan penelitian terhadap kembar identik
dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan
komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa
homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari
bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen

15
Universitas Sumatera Utara


homoseksual melalui garis keturuan ibu, menemukannya pada 33
orang dari 40 saudara laki-laki.
Pattatucci (1998, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay
memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian,
sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan
lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan
bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan
gen “lesbian”.
b. Hormon
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual
memiliki tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria
heteroseksual (Dorner, 1988), namun yang lainnya tidak menemukan
adanya perbedaan tersebut (Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988)
berpendapat bahwa stress selama kehamilan (yang bisa mempengaruhi
tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang
menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa
prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah
ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi
seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis

kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).
Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam
darah pada homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan

16
Universitas Sumatera Utara

umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988).
Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan
wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan
tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya
menemukan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu
menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990).
c. Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan
perbedaan otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay,
1991; Swaab & Hofman, 1990). Kedua studi ini memfokuskan pada
hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual,
dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria
homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria

heteroseksual.
Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada
hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui
studi tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000)
menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari
pria secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis –
mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron
yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal
kehidupannya.

17
Universitas Sumatera Utara

2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual
berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal
homoseksual.

Pendekatan


psikologis

melihat

perkembangan

perilaku

homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir
pada orang tertentu (Carroll, 2005).
a. Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat
segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita
berpotensi tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.
Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan
menuliskan bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan,
bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah
penyakit.” Dia bahkan menemukan homoseksual ”dibedakan oleh
perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis.”
Freud


memandang

heteroseksualitas

pria

sebagai

hasil

pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat
oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang
intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki
pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa
pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi
identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh
ibunya – pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi

18

Universitas Sumatera Utara

pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari
perseteruan dengan ayahnya.
Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan
perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik;
dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta
pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis
lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam
Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara
lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit
mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian
menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa
semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal
terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu
posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara
seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan
triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang
menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu,

Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan
ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.
Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari
100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang
menolak atau dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk

19
Universitas Sumatera Utara

lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu
menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita
lainnya (Carroll, 2005).
b. Ketidaknyamanan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim
daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin
(Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan,
yang

berarti

bahwa

sifat

cross

gender

dan

kemunculan

homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki
hubungan sebab akibat.
Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau
”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita,
bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi
perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga
per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual,
sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh
menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya,
ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada
anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi
(Zucker, 1990).
Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan
diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak
perempuan yang tidak nyaman dengan jendernya, menjadi ”tomboy,”

20
Universitas Sumatera Utara

tidak berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian
hari. Teori ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam
menjelaskan homoseksual, karena banyak pria gay yang tidak bersifat
keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak
laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.
c. Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai
berkembang pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa
orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual
sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan
jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun,
anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan
berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang
sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus
pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa
homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat
dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria bisa
muncul lebih cepat daripada wanita.
d. Teori Behavioris
Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa
perilaku homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan
perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang
menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap

21
Universitas Sumatera Utara

perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki
hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan
dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis,
menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa
dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan
hubungan

sesama

heteroseksual

yang

jenis
buruk

jika
dan

mereka

mengalami

hubungan

hubungan

homoseksual

yang

menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).

3. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan
sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep
seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari
imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat
mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir
budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).
Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku
sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orangorang secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya
hidup yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa
apakah seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis
tetapi hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial.

22
Universitas Sumatera Utara

4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi
Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik,
hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu,
tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi
preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis
kelaminnya atau tidak.
Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis
sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis.
Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan
jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”
dan menarik.

II.A.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual
Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam
pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai
tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa
nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.
Tahapan 1: Identitiy confusion.
Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau
lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep
orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan
informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa menerima

23
Universitas Sumatera Utara

peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku
gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya (seperti
pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa
dia adalah gay ”yang sebenarnya”).
Tahapan 2: Identity comparison.
Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual
tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda
dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal
homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.
Tahapan 3: Identity tolerance.
Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin
gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan
sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih
pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak
membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan
gaya hidup ganda.
Tahapan 4: Identity acceptance.
Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan
gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan
keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam
budaya homoseksual.

24
Universitas Sumatera Utara

Tahapan 5: Identity pride
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap
pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya
hidupnya.
Tahapan 6: Identity synthesis
Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika
kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari
ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan
lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya
hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan
menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi
seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah
selesai.

II.B. Makna Hidup
II.B.1. Pengertian Makna Hidup
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga
serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan
dalam kehidupan (purpose of living). Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap
keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan
penderitaan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, maka kehidupan yang dirasakan
berguna, berharga, dan berarti (meaningful) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat

25
Universitas Sumatera Utara

ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna
(meaningless). Di dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni halhal yang perlu dicapai dan dipenuhi (Bastaman, 2007).
Dalam teorinya, Victor Frankl menjelaskan tentang tiga aspek dasar
mengenai kebermaknaan hidup yaitu :
a. Manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak (freedom to will)
b. Ada kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning)
c. Menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life)
Kebebasan berkehendak adalah kebebasan untuk menentukan sikap
(freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologis dan
sosiokultural serta sejarah hidupnya. Manusia bukan saja mampu mengambil jarak
(to detach) terhadap berbagai kondisi di luar dirinya, melainkan juga terhadap
kondisi di dalam dirinya sendiri (self-detachment). Kemampuan inilah yang
menyebakan manusia disebut “the self determining being” yag menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap
penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab
(Bastaman, 1996).

II.B.2. Karakteristik Makna Hidup
Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), makna hidup memiliki beberapa
karakteristik, yaitu :
a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi, dan temporer, sehingga tidak
dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan sendiri.

26
Universitas Sumatera Utara

Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu
penting dan berharga bagi orang lain.
b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, hanya dapat ditemukan dalam
pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus
dikaitkan dengan tujuan idealistis, renungan filosofis dan prestasi
akademik yang menakjubkan..
c. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan
yang kita lakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang kita
untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup
ditentukan, kita seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan
memenuhinya, serta kegiatan kita pun menjadi lebih terarah kepada
pemenuhan itu.

II.B.3. Sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang
dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu :
a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)
Dengan “apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to
live)”. Maksudnya melalui tindakan-tindakan kreatif atau menciptakan
suatu karya seni atau bahkan dengan melayani orang lain dapat
dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Melalui karya dan kerja
seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan
secara bermakna

27
Universitas Sumatera Utara

b. Nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values)
Dengan “apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take from
the world). Maksudnya dengan mengalami sesuatu misalnya melalui
kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam alam dan
budaya, atau dengan mengenal manusia lain dengan segala
keunikannya, dengan mencintainya.
c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)
Dengan “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan
yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable
suffering). Ketika manusia menghadapi nasib buruk atau situasi
menghambat yang tidak bisa diubahnya, dengan kata lain ketika
menderita,

dia

tetap

bisa

merealisasikan

nilai

yang

bisa

mengantarkannya kepada makna.
Bastaman menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan
hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu :
d. Nilai-nilai Harapan (Hopeful Values)
Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau
perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan, sekalipun
belum tentu menjadi kenyataan, dapat memberikan sebuah peluang dan
solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan
semangat dan optimisme.

28
Universitas Sumatera Utara

II.B.4 Makna dalam Penderitaan
Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan
maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia maupun derita, karena
manusia selama hidup di dunia ini tidak selalu dalam keadaan menyenangkan
(Bastaman, 1996).
II.B.4.a Penderitaan
Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, kerena
eksisstensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air
mata, derita dan bahagia. Terlepas dari berat-ringannya, setiap orang dalam
hidupnya pasti pernah mengalami penderitaan (Bastaman, 1996).
Bastaman (1996) menggambarkan penderitaan sebagai perasaan tidak
menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan
kesulitan yang dialami seseorang. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (dalam Bastaman 1996) digambarkan penderitaan sebagai proses,
perbuatan, cara menderita, dan penanggungan yang terkait dengan sesuatu yang
tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat, kesengsaraan dan kesusahan.
Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyatakan tiga hal yang dapat
menimbulkan penderitaan. Tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam
kehidupan manusia atau ”the three tragic triads of human existence” antara lain:
1. Rasa sakit (pain), suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik
atau kegelisahan mental dan fisik. Intensitas rasa sakit berkisar mulai
dari setengah gelisah atau perasaan ayng membosankan, hingga
penderitaan yang akut, barangkali rasa sakit yang tidak terperikan dan

29
Universitas Sumatera Utara

dapat dirasakan secara menyeluruh atau hanya pada beberapa bagian,
sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka
secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari,
melarikan diri, atau menghancurka faktor penyebabnya.
2. Rasa bersalah (guilt), merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan
dengan perbuatan yang tidak sesuai hati nurani. Hati nurani adalah
unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan
tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.
3. Kematian (death), baik kematian itu sendiri maupun kematian orang
lain merupakan tragdi alami yang pasti terjadi dan dialami oleh setiap
orang.
II.B.4.b Tahap-Tahap Penemuan Makna dalam Penderitaan
Bastaman (1996) memaparkan beberapa tahap yang harus dilalui
seseorang dalam menemukan dan memenuhi makna hidupnya dalam suatu
penderitaan, yaitu:
1. Tahap derita, yaitu pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa
makna. Suatu peristiwa tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan
penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa,
gersang, apatis, bosan, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan hidup.
Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan
minat, sedangkan apatis adalah ketidakmampuan seseorang untuk
mengambil prakarsa.

30
Universitas Sumatera Utara

2. Tahap penerimaan diri, individu mulai menerima apa yang terjadi pada
hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Munculnya
kesadaran diri biasanya didorong oleh beraneka ragam sebab. Misalnya,
karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pendangan
dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari orang lain, dan lain-lain.
3. Tahap penemuan makna hidup. Tahap ini ditandai dengan penyadaran
individu akan nilai-nilai berharga yang sangat penting dalam hidupnya.
Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilainilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap.
4. Tahap realisasi (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna
hidup). Pada tahap ini, individu akan mengalami semangat dan gairah
dalam hidupnya, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri (self
commitment) untuk melakukan kegiatan nyata yang lebih terarah guna
memenuhi makna hidupnya.
5. Tahap kehidupan bermakan (penghayatan bermakna, kebahagiaan).
Keberhasilan dalam menemukan dan memenuhi makna hidup akan
menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada
akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.

II.B.5. Kelompok Orang yang Mencari Makna
Frankl membagi dua kelompok orang yang mencari makna :
a. People in Doubt

31
Universitas Sumatera Utara

Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan
dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas
untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan
yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan
dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.
Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi pemanen
keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis
serius, psikotis,atau bahkan depresi.
b. People in Despair
Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi
kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya atau
menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam
kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu
yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat
mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk
bunuh diri.

32
Universitas Sumatera Utara