Kajian Organologis Sordam Buatan Bapak J. Badu Purba Siboro Di Desa Lestari Indah Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun

BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI
BAPAK J. BADU PURBA SIBORO

Pada Bab ini, penulis akan membahas etnografi umum Simalungun serta
menggambarkan lokasi penelitian yang diteliti. Penulis akan menjelaskan
beberapa hal, seperti Lokasi Penelitian, Keadaan Penduduk, Sistem Bahasa dan
Aksara, Sistem Kesenian, Sistem Kekerabatan, Sistem Kepercayaan dan, Biografi
Singkat Bapak J. Badu Purba Siboro.

2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Lestari Indah
Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun yang merupakan tempat tinggal
sekaligus sebagai tempat pembuatan Sordam Bapak J. Badu Purba Siboro yang
bertempat tinggal di Jalan Nangka 1 no.18.
Menurut data yang di dapat dari Kantor Lurah Desa Lestari Indah, secara
geografis Desa Lestari Indah terletak diantara 02, 56 ° LU-80,03° BT. Dengan
suhu maksimum rata-rata 30° C, dan suhu minimum rata-rata 21° C. Adapun luas
wilayah Kecamatan Siantar adalah 14,536 Ha. Kecamatan yang terluas adalah
kecamatan Siantar Sitalasari dengan Luas Wilayah 23,476 km2 .


5

Adapun batas-batas wilayah Desa Lestari Indah adalah sebagai berikut:
1. Sebelah timur berbatasan dengan Kebun
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Dolok Hataran
5

Sumber data di peroleh dari Kantor Kepala Desa Lestari Indah, Kecamatan
Siantar pada tahun 2015

Universitas Sumatera Utara

3. Sebelah barat berbatasan dengan Sitalasari
4. Sebelah timur berbatasan dengan Husa Harapan

2.2 Keadaan Penduduk
Simalungun adalah salah satu dari lima kelompok etnis Batak yang
sekaligus menjadi sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Suku Simalungun
merupakan bagian dari suku Batak antara lima sub lainnya yakni: Batak Toba,
Karo, Pakpak, Angkola, Mandailing. Kabupaten Simalungun terletak antara

02°36’ - 03° 1’ Lintang Utara dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga
yaitu: Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba, Kabupaten
Samosir, dan Kabupaten Asahan.
Melihat perjalanan adanya daerah dan suku Simalungun ini dapat dilihat
beberapa pendapat mengenai makna nama tersebut yaitu sebagai berikut: Kata
“Simalungun” menggambarkan karakter masyarakat Simalungun itu sendiri,
namun arti sebenarnya secara tepat sukar untuk dipahami. Kata Simalungun dapat
dibagi ke dalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung
berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, sepi, jarang dikunjungi”. Dengan
demikian, Simalungun berarti “ia yang sedih hati, sunyi atau kesepian” ( A.D.
Jansen, 2003:10).
D. Kenan Purba dan M. D Purba memberikan pengertian yang sama
mengenai asal nama Simalungun. Mereka menyebutkan bahwa istilah Simalungun
berasal dari kata sima dan lungun. Sima atau sima-sima artinya “peninggalan”
atau sisa. Lungun artinya sepi atau sedih. Sehingga penggabungan dari dua kata
tersebut menjadikan Simalungun yang artinya peninggalan orang-orang sepi atau

Universitas Sumatera Utara

sedih. Pengertian lain adalah berawal dari “si” dan “malungun”. Si artinya yang

dan malungun artinya rindu. Jadi Simalungun artinya yang dirindukan. (Setia
Dermawan Purba, 1994 : 31).
Berdasarkan pendapat di atas terdapat tiga jenis yang mempunyai pendapat
yang berbeda-beda. Pertama yaitu si, ma, dan lungun. Kedua yaitu sima dan
lungun. Ketiga yaitu si dan malungun. Dan dari ketiga pendapat tersebut maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Simalungun itu menggambarkan karakter dari
masyarakat itu sendiri dan mengungkapkan kesepian dan kesedihan.
Pada awalnya penduduk asli Desa Lestari Indah didominasi oleh suku
Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Desa Lestari Indah
menjadi bersifat heterogen, karena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis,
yaitu:

Simalungun,

Toba,

Mandailing,

Angkola,


Jawa,

Aceh,

Pakpak,

Minangkabau, melayu dan WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan asing
seperti China, India, dan Pakistan.
Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun
maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup.
Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjungn ke Tanah Batak pada bulan
Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang
Batak maka Orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri
di hutan dan secara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang
Batak Toba. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat
masyarakat Simalungun yaitu masyarakat Simalungun lebih halus dan tingkah
lakunya hormat sekali, tidak pernah keras ataupun mudah emosi walaupun sudah
sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang

Universitas Sumatera Utara


pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa.
Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Pematangsiantar mengenal
satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun. Lembaga adat ini
telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong Menolong (STM) dari wilayah Desa,
Kecamatan, Kabupaten, dan Pusat.
Masyarakat yang tinggal di kecamatan Siantar, Jalan Nangka 1.
Pematangsiantar pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan
Pegawai Negeri Sipil. Menurut wawancara penulis dengan Bapak J. Badu Purba
Siboro, pekerjaan beliau sekarang adalah sebagai pengurus museum siantar.
Menjadi pemain musik merupakan pekerjaan sampingan beliau. Membuat Sordam
Simalungun dilakukan beliau apabila ada pesanan untuk membuat alat musik
tersebut dan yang ingin mempelajarinya.

2.3 Sistem Bahasa
Simalungun memiliki bahasa daerah sendiri. Bahasa adalah alat komunikasi
yang dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan dan mengemukakan apa yang
dipikirannya terhadap orang lain. Bahasa Simalungun adalah bahasa yang dipakai
oleh masyarakat Simalungun dalam kehidupannya sehari-hari.
Sistem kemasyarakatan dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa

sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat
bagaimana sistem komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dalam
melakukan akivitasnya. Begitu juga yang dijelaskan oleh Bapak J. Badu Purba
Siboro dan Bapak Rosul Damanik terkait lokasi penelitian penulis bahwa
keragaman suku yang berada di daerah tersebut menggunakan bahasa Simalungun

Universitas Sumatera Utara

untuk komunikasi sehari-harinya. Hal tersebut juga yang menyebabkan ada
asumsi untuk setiap orang yang tinggal di daerah tersebut sudah dianggap sebagai
suku Simalungun.
Pada awalnya seorang misionaris yang datang ke Simalungun menggangap
remeh persoalan bahasa Simalungun. Mereka berpikir bahwa bahasa Simalungun
hanyalah dialek saja dari bahasa Batak Toba, alasannya sesuai mitos di Toba
leluhur masyarakat Simalungun berasal dari Samosir, sehingga masyarakat
Simalungun hanyalah sebuah perluasan dari masyarakat Batak Toba di Tapanuli.
Namun pendapat keliru ini dikoreksi oleh Voorhoeve 6, beliau menyebutkan
bahwa bahasa Simalungun adalah berbeda dengan bahasa Toba dan berbeda juga
dengan bahasa Karo. Di samping itu, suku Simalungun memiliki bahasa yang
berbeda dengan bahasa suku-suku lainnya, walaupun menurut pendapat beberapa

orang bahwa bahasa Simalungun ini hampir sama seperti bahasa Batak Toba juga.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti bahasa Dr. P.
Voorhoeve pada tahun 1937, mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan
bahasa rumpun austronesia. Beliau mengungkapkan bahwa bahasa Simalungun
merupakan bahasa austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta dan
banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara. Beliau menyebutkan relasi
bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta melalui kata-kata yang
diungkapkan dalam bahasa sehari-harinya.
Dari hasil penelitian tersebut, beliau juga menyimpulkan bahasa
Simalungun merupakan bahasa yang lebih tua dan umurnya apabila dibandingkan
dengan bahasa Batak lainnya. Dalam buku Tole Den Timorlan den Das
6

Voorhoeve adalah seorang ahli bahasa Belanda yang pernah menjabat sebagai
taalambtenaar Simalungun tahun 1937.

Universitas Sumatera Utara

Evangelium (2003:16-19) dijelaskan bahwa bahasa Simalungun mempunyai
beberapa jenis dalam pemakaiannya dan biasa juga disebut dengan tingkatantingkatan bahasa.

Menurut Henry Guntur Tarigan, bahasa Simalungun memiliki 4 dialek,
yaitu:
1. Dialek Silimakuta
2. Dialek Raya
3. Dialek Topi Pasir
4. Dialek Jahe-jahe
Salah satu ciri masyarakat Simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa
yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:
1. Lapung ni hata adalah bahasa sehari-hari yang dipakai oleh
masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
2. Guru ni hata adalah bahasa yang dipakai untuk mengucapkan
sesuatu yang dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa
tertinggi yang digunakan oleh kalangan keturunan raja-raja.
Dimana, bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan, hormat, dan
berisi nasehat yang sering disampaikan melalui perumpamaan.
Misalnya adalah Simakidop artinya mata, Jambulon artinya
rambut. Simakulsop artinya mulut.
3. Sait ni hata adalah bahasa yang dipakai ketika seseorang marah
atau menghina seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni
hata merupakan bahasa yang kasar, Karena berisi kata-kata yang


Universitas Sumatera Utara

pedas, berisikan sindiran sehingga dapat menyakitkan hati orang
lain. Misalnya panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.
Bahasa Simalungun di perbatasan Tanah Karo dipengaruhi bahasa Karo, di
perbatasan dengan Tapanuli dipengaruhi bahasa Batak Toba, di perbatasan dengan
Melayu dipengaruhi bahasa Melayu. Dengan demikian masyarakat Simalungun
mudah menguasai bahasa-bahasa tersebut. Di Saribudolok dan Dolog Silou yang
berbatasan dengan Karo, rata-rata masyarakat Simalungun disana mampu
menguasai bahasa Karo.
Uli Kozok seorang paleografi dan ahli tulisan Batak menyebutkan bahwa
surat Batak termasuk pada keluarga tulisan India terutama aksara pallawa dari
India Selatan. Menurut Uli Kozok, semua aksara asli Indonesia berinduk dari
aksara pallawa India. Aksara Batak sendiri menurut Kozok tidak lahir di Toba
melainkan di Padang Lawas Tapanuli Selatan (Angkola Mandailing), dari sana
menyebar ke arah Utara membentuk aksara purba Toba-Simalungun (diantara
Parapat dan Balige). Kozok membuktikan aksara Simalungun (lebih tepat TobaSimalungun) lebih tua dari aksara Toba, Pakpak, dan Karo.7
Aksara Simalungun dahulu dipakai dalam menulis cerita-cerita rakyat,
nujuman, suman-suman, pulas (pernyataan perang) dan lain-lain. Alat tulisannya

pisau runcing yang tajam (raut) dan hasil tulisan di bambu atau kulit kayu
(pustaha laklak) dilumuri dengan semacam getah (saloh) hingga hitam dan awet.
Pada saat masuknya Belanda surat-surat yang berhubungan dengan kepala-kepala
adat di Simalungun ditulis dengan aksara Surat Sapuluhsiah. Hal ini berlangsung
sampai tahun 1915. Surat pengangkatan penghulu (kepala desa) ditulis dengan
7

M.D. Purba, “ Perspektif Sejarah Kebudayaan Simalungun”, makalah disajikan pada
Harungguan Bolon Partuha Maujana Simalungun, Jumat-Sabtu, 28-29 Agustus 1987 di
Pematangsaiantar.

Universitas Sumatera Utara

aksara Simalungun seperti ditunjukkan dengan besluit pengangkatan Haji Ulakma
Sinaga menjadi pengulu Desa Bahal Gajah Sidamanik. Raja-raja Simalungun
karena belum mengerti aksara Latin membutuhkan persetujuannya atas surat-surat
pengangkatan dan pengakuan takluk kepada Belanda dengan menulis namanya
dalam aksara Simalungun, seperti dalam beslit pengakuan raja Siantar
Sangnaualuh tahun 1988 dalam pelakat pendek komisi Kerajaan Siantar atas nama
Tuan Torialam Damanik, Tuan Marihat dan Tuan Riahata Damanik pada tahun

1907.

2.4 Sistem Kesenian
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan,
dalam Kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif
(Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat Simalungun
sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan
Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat
dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (doding), dan Seni Tari (Tortor).

2.4.1 Seni Musik (Gual)
Seni musik (Gual) digunakan untuk mengiringi upacara-upacara hiburan
dan upacara-upacara adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan
sukacita (malas ni uhur). Alat-alat musik pada masyarakat Simalungun dapat
dimainkan secara ensambel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik
yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitupitu.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Alat musik yang dimainkan secara Ensambel
Gonrang Sidua-dua
Satu

buah

sarunei

bolon

pembawa melodi.

Gonrang Sipitu-pitu
sebagai Satu

buah

sarunei

bolon

sebagai

pembawa melodi.

Dua buah gonrang sebagai pembawa Tujuh buah gonrang sebagai pembawa
ritem.
Dua

ritem.
buah

mongmongan

pembawa ritem.

sebagai Dua

buah

mongmongan

sebagai

pembawa ritem.

Dua buah ogung sebagai pembawa Dua buah ogung sebagai pembawa
ritem.

ritem.

Tabel 2.2 Alat musik yang dimainkan secara Tunggal
Nama Alat Musik
Sordam

Keterangan
Sejenis Flute yang dimainkan secara miring
(end blown flute).

Saligung

Sejenis alat musik Flute yang ditiup dengan
hidung (nose flute).

Sulim

Sejenis alat musik Flute yang dimainkan
dengan tiupan kesamping (side blow).

Sarunei

Sejenis alat musik yang berlidah ganda (double
reed) yang ditiup secara vertical.

Tulila

Sejenis alat musik Recorder yang terbuat dari
bambu dan dimainkan secara horizontal.

Garantung

Sejenis alat musik yang terbuat dari kayu yang

Universitas Sumatera Utara

memiliki tujuh bilah kayu dengan nada yang
berbeda.
Arbab

Sejenis alat musik yang badannya terbuat dari
tempurung kelapa yang memiliki senar sejajar
dengan badannya yang dimainkan dengan cara
digesek menggunakan penggesek ijuk.

Husapi

Sejenis alat musik lute yang memiliki leher
yang dimainkan dengan memetik senarnya.

Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan
Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:
1. Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada
sembahan.
2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatanperbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan
roh-roh jahat.
3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau
keluarga agar terhindar dari mara bahaya.
4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena
mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan
tersebut untuk mencari jodoh.
Tabel 2.3. Berdasarkan pengklasifikasian/ penggolongan alat-alat musik,
maka alat-alat musik tradisional Simalungun dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi Idiophone

- Mongmongan yaitu alat musik yang
terbuat dari bahan metal (kuningan atau
besi) yang memiliki pencu (bossed
gong)

yang

digunakan

untuk

memanggil massa di suatu desa.
- Ogung yaitu alat musik yang terbuat
dari bahan metal (kuningan atau besi)
yang memiliki pencu (bossed gong)
yang dipergunakan dalam seperangkat
gonrang sidua-dua dan gonrang sipitupitu/ gonrang bolon.
- Sitalasayak yaitu alat musik sejenis
simbal yang terbuat dari bahan metal
(kuningan atau besi) dimana, pada
zaman

sekarang

dipergunakan

sudah

dalam

jarang

seperangkat

gonrang.
- Garantung yaitu alat musik yang
terbuat dari kayu dan mempunyai kotak
resonator (xylophone) dan biasanya
dimainkan

sebagai

hiburan

ketika

istirahat di ladang sebagai pelepas lelah
dan bahan pelajaran untuk menabuh
gonrang sipitu-pitu/ gonrang bolon.

Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi Aerophone

- Sarunei bolon yaitu alat musik yang
memiliki dua
sebagai

lidah (double reed)

lobang

hembusan

yang

digunakan sebagai pembawa melodi
dalam seperangkat gonrang sidua-dua
dan gonrang sipitu-pitu.
- Sarunei buluh yaitu alat musik yang
mempunyai lobang hembusan yang
terdiri dari satu lidah (single reed),
dimana cara memainkannya dengan
memukul badannya sendiri.
- Tulila yaitu alat musik sejenis
recorder yang terbuat dari bambu
mempunyai satu

lobang

hembusan

dengan blok dan mempunyai lobang
suara enam buah yang dimainkan
secara vertical (vertical flute).
- Sulim yaitu alat musik sejenis flute
yang terbuat dari bambu mempunyai
lobang hembusan, enam buah lobang
suara dan satu blok.
- Sordam yaitu alat musik sejenis flute
yang dimainkan secara miring (end
blown flute) yang terbuat dari bambu

Universitas Sumatera Utara

mempunyai lima lobang suara dan
lobang hembusan sama dengan lobang
pembelah udara.
- Saligung yaitu alat musik sejenis flute
yang terbuat dari bambu mempunyai
empat

lobang

suara,

satu

lobang

hembusan dan lobang pembelah udara,
Saligung ditiup oleh hidung sehingga
bunyi yang dihasilkan lembut.
- Ole-ole yaitu alat

musik

yang

mempunyai lobang hembusan terdiri
dari satu lidah (single reed) yang
memukul badannya sendiri. Badannya
terbuat

dari

batang

padi

dan

resonatornya terbuat dari daun enau
atau daun kelapa.
- Hodong-hodong yaitu alat musik
sejenis genggong yang terbuat dari
pelepah enau. Sebagai resonatornya
adalah mulut yang dapat menghasilkan
nada.
sebagai

Hodong-hodong
alat

komunikasi

digunakan
seorang

pemuda kepada kekasihnya dan sebagai
hiburan ketika senggang.

Universitas Sumatera Utara

- Ingon-ingon yaitu alat musik di
ladang yang ditiup oleh angin. Alatnya
terbuat dari sebilah kayu sebagai kincir
dan bambu sebagi penghasil bunyi.
Angin memutar kincir sehingga bambu
dapat berbunyi dengan merdu.
Klasifikasi Membranophone

- Gonrang sidua-dua yaitu gendang
yang digunakan dalam seperangkat
gonrang sidua-dua dimana, badannya
terbuat

dari kayu

ampirawas

dan

kulitnya terbuat dari kulit kancil atau
kulit

kambing. Gonrang Sidua-dua

terdiri dari dua buah gendang, oleh
karena itu diberi nama gonrang siduadua (barrel drum).
- Gonrang sipitu-pitu/ Gonrang bolon
yaitu gendang yang terdiri dari satu
kulit sebelah atas sedangkan sebelah
bawah ditutup dengan kayu. Gonrang
sidua-dua terdiri dari tujuh buah yang
badannya terbuat dari kayu dan kulitnya
terbuat dari kulit lembu, kerbau, dan
kambing. Gonrang ini dipergunakan
dalam seperangkat Gonrang sipitu-pitu/

Universitas Sumatera Utara

Gonrang bolon.
Klasifikasi Chordophone

- Arbab yaitu alat musik yang terbuat
dari: tabung resonator dari labu atau
tempurung, leher terbuat dari kayu atau
bambu, lempeng atas terbuat dari kulit
kancil atau kulit biawak, senar terbuat
dari ijuk enau yang masih muda.
- Husapi yaitu alat musik sejenis lute
yang mempunyai leher. Terbuat dari
kayu yang mempunyai dua senar.
Bagian badan dan leher diberi ornamen
gambar manusia.
- Jatjaulul/ Tengtung yaitu alat musik
yang

terbuat

dari

bambu

dengan

senarnya dua atau tiga buah dimaninkan
dengan memukul senarnya. Biasanya
dimainkan di ladang sebagai hiburan
sambil pelepas lelah.

2.4.2 Seni Suara (Doding)
Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding
dipakai untuk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok.
(Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan
memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki

Universitas Sumatera Utara

teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya
adalah :
1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda
secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan satu sama lainnya.
2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan
pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.
3. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh
seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada
adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.
4. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena
putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.
5. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang
datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang
raja pada zaman dahulu.

2.4.3 Seni Tari (Tor-Tor)
Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari
segi Pertunjukan. dimana pada saat ini, sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering
dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah
Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu
antara lain:
1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan
untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang
telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan

Universitas Sumatera Utara

kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada zaman dahulu,
tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena
anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai
kelompok adat (tondong, boru, dan sanina) dan menghibur para tamu
undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari
para tamu undangan. Zaman dahulu kegiatan tersebut biasanya dilakukan
dalam pemakaman seorang raja.
2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk
membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak
melompati batang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang
dipegang ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk
memberi semangat.
Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada zaman
sekarang sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah :
1. Seni Gorga yaitu seni ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah.
2. Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu ataupun dari
kayu.
3. Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan menggunakan benangbenang yang dibentuk dengan suatu keahlian.
4. Seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan arsitektur
tradisional.
Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh
masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun
demikian, masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan

Universitas Sumatera Utara

tersebut seperti Seni Tenun karena, kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh
lebih bagus dari pada buatan pabrik.

2.5 Sistem Kekerabatan
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan
Simalungun (1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis
keturunan, yaitu :
1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu dari pihak laki-laki
atau pihak perempuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat
unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak
laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat
patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka
disebut matrilineal.
2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu,
masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat
parental.
Dari kedua cara tersebut diatas, masyarakat Simalungun termasuk
masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari
pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian, masyarakat Simalungun adalah
masyarakat unilateral-patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir
baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau
marga dari ayahnya (1985:108).
Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan
adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu

Universitas Sumatera Utara

keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama
dengan marga si ayah.
Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang
mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinan.
Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan
antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu
terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai
Partuturan.

Partuturan

ini

menentukan dekat

atau

jauhnya

hubungan

kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai
berikut:
1. Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou
artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela
(baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Simasima artinya anak dari Nono/Nini.
2. Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat
Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang
lahir dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong
Bolon artinya pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami).
Panogolan artinya kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara
perempuan.
3. Tutur Natipak / Kehormatan

Universitas Sumatera Utara

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak
berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari
saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk
memanggil suami boru dari kakak ibu. Ambia Panggilan seorang laki-laki
terhadap laki-laki lain yang seumuran atau bawahan.
Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa
Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :
1. Tondong (Pemberi istri)
2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)
3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa
garis keturunan).
Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang
dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang
bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai
keturunan.

2.5.1 Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim
SISADAPUR, yaitu:
1. Sinaga
2. Saragih
3. Damanik
4. Purba

Universitas Sumatera Utara

Keempat

marga

ini

merupakan

hasil

dari

“Harungguan

Bolon”

(Permusyawaratan besar) antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling
menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan,
rup mangimbang munsuh, keempat raja tersebut adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa
Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan
(bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini
berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada
abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja
Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari
Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian
sesuai dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja
Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja
Siantar dan Tuan Raja Damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja
Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih,
Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya
(yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik
Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja,
Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau
Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih

Universitas Sumatera Utara

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih
berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau
pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah :
 Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan
kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi
dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak
merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga
Ginting Jawak.
 Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan
Bona ni Gonrang.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou,
pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya
sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi) yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata,
Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu
Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba
di Pematang Purba Simalungun.
3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang
berarti timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang Undang-undang,
tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah:
Tambak,

Sigumonrong,

Tua,

Sidasuha

(Sidadolog,

Sidagambir).

Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang,

Universitas Sumatera Utara

Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari
Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan
mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi
Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal
sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga
Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan
Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari
Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan
Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi
raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan
Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual
adu umpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).

2.6 Sistem Kepercayaan
Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu
Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak
disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat
dalam Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan
bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun
Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsabangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama
Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir
meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai
Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat
Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang)
sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.
Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan
supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka
percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan
mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :
1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas)
2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah)
3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui
upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran”
(kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai
kemampuan sebagai perantara “paniaran”.
Menurut penelitian G. L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat
dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun
1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang
(Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang
dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.
Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut
juga “Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru

Universitas Sumatera Utara

mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat
dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk
mengusir penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di
istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum
bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti
masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan
tersebut berubah menjadi “Tuhan”.
Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui
daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh
Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan
Bandar (Sihotang 1993:23). Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba
(HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga
menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi
yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya
misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk
dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba
(dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah
organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah
berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orangorang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri
dan kemudian dalam bahasa Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

2.7 Biografi Bapak J. Badu Purba Siboro
Pada sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup Bapak J.
Badu Purba Siboro, terutama yang berkaitan dengan peranan beliau sebagai
pemusik, pembuat alat musik tradisional Simalungun, dan Seniman Simalungun
di kota Pematangsiantar. Biografi yang akan dibahas disini adalah berupa biografi
ringkas yang artinya hanya memuat hal-hal umum mengenai kehidupan Bapak J.
Badu Purba Siboro. Biografi yang dibahas di sini sebagian besar adalah hasil
wawancara dengan Bapak J. Badu Purba Siboro dan juga dengan beberapa musisi
tradisional dan seniman musik Simalungun. Hal ini dianggap penting untuk
melengkapi dan menguji keabsahan biografi beliau.
Bapak J. Badu Purba Siboro adalah seorang Seniman Simalungun yang ahli
dalam memainkan alat musik Sordam Simalungun. Bapak J. Badu Purba Siboro
lahir di Pematangsiantar pada tanggal 18 Februari 1942 yang berumur 73 tahun
dan penganut agama Nasrani. Ayahnya (alm) Ismail Purba dan Ibu (alm) R.
Damanik yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Keterampilan
Bapak J. Badu Purba Siboro dalam memainkan Sordam diturunkan oleh ayahanda
beliau yang merupakan seorang pemain Sarunei. Tetapi untuk mempelajari
Sordam, Bapak J. Badu Purba Siboro belajar sendiri dimana pada usia 15 tahun
beliau sudah mulai bergelut terhadap Sordam, hal ini disebabkan karena
ketertarikan beliau terhadap alat musik Sordam. Karena orangtua beliau tidak
setuju maka Bapak J. Badu Purba mempelajari Sordam secara diam-diam.
Dimana, menurut beliau orang yang pertama sekali mempelajari Sordam
Simalungun ini hanya beliau.

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 1961 beliau sudah membuat hasil karya sendiri tepatnya pada
tanggal 17 November 1961 hari jumat di Sait Buntu (daerah tempat lahir).
Pada saat ini Bapak J. Badu Purba Siboro telah menikah yang diadakan pada
tanggal 20 juli 2002 dan memiliki seorang istri yang bernama Saptaria Sri Rejeki
Purnami dan Bapak J. Badu Purba Siboro tidak memiliki keturunan sampai
sekarang. Pendidikan terakhir Bapak J. Badu Purba Siboro adalah SGA (Sekolah
Guru A).
Pada zaman dahulu, Bapak J.Badu Purba Siboro mempunyai group yaitu
Dotorsi dan Harungguan. Bapak J. Badu Purba Siboro masuk ke group Dotorsi
pada tahun 1961 dan Harungguan pada tahun 1971. Di dalam group inilah Bapak
J. Badu Purba Siboro memperdalam mempelajari Sordam, sehingga Bapak J.
Badu Purba Siboro dipercaya di dalam group tersebut sebagai pemain Sordam
sampai sekarang. Dalam proses pembuatan satu buah Sordam membutuhkan
waktu satu hari, dan apabila dilakukan dengan cara normal membutuhkan waktu
kurang lebih satu minggu. Menuurut pengakuan beberapa Seniman Simalungun
yang penulis jumpai, Sordam buatan Bapak J. Badu Purba Siboro telah banyak
digunakan. Mereka beranggapan bahwa Bapak J. Badu Purba Siboro mahir dalam
memainkan Sordam dimana kualitas dari bahan yang dihasilkan dan suara yang
dibunyikan dinilai sangat baik.
Banyak acara-acara di Kota Pematangsiantar maupun di beberapa Negara
yang telah di jalani

Bapak J. Badu Purba Siboro dalam kariernya sebaagai

pemusik. Salah satu diantaranya adalah PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara)
Medan dan Senayan Jakarta, dan untuk tingkat Luar Negeri beliau pernah
mengikuti rombongan Kesenian Simalungun dimana salah satu kontingen dari

Universitas Sumatera Utara

Sumatera Utara untuk pembentukan Tim Kesenian Sumatera Utara ke Festival
Indonesia di Eropa Barat pada tahun 1993 dimana Raja Inal Siregar sebagai
Gubernur pada saat itu. Beliau juga ikut berpartisipasi dalam rangka
Pembangunan Simalungun dan seorang Aktivis dalam rangka Pesta Danau Toba
mulai tahun 1981-1997.
Bapak J. Badu Purba Siboro telah banyak mendapatkan penghargaan dari
Pemerintah khususnya untuk daerah Simalungun, diantaranya adalah piagam
penghargaan dari Program Revitalisasi musik Tradisi Sumatera Utara pada tahun
2007-2008 sebagai instruktur, dengan kerjasama Universitas Sumatera Utara dan
The Ford Foundation Jakarta dan Pemberian Penghargaan kepada Seniman
berprestasi di Sumatera Utara dan kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Sumatera Utara.
Walaupun demikian, menjadi pembuat dan pemain Sordam bukanlah
pekerjaan menetap beliau. Dimana, pekerjaan menetap beliau adalah seorang PNS
(Pegawai Negeri Sipil) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Simalungun yang sekarang sudah pensiun dan beliau di beri kepercayaan pada
saat ini sebagai salah satu pengurus Museum Siantar dalam menjaga dan
melestarikan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat Simalungun.
Adapun beberapa Piagam Penghargaan yang telah diterima Bapak J. Badu
Purba Siboro adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Piagam Penghargaan Sebagai Anggota Dewan Juri Dalam Rangka
Sayembara Kesenian Daerah Simalungun Pada Tahun 1980.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Piagam Penghargaan Sebagai Juri Dalam Pelaksanaan Lomba Nyanyi
Perorangan Lagu Daerah Simalungun Dan Keroncong Pada Tahun 1981.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Piagam Penghargaan mengikuti Lomba Lagu Rakyat Tradisional
Daerah Sumatera Utara Pada Tahun 1990.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Piagam Penghargaan Dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sumatera Utara Tahun 1991.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Piagam Penghargaan sebagai Seniman Berprestasi Tahun 2005 dari
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Propinsi Sumatera Utara.

Gambar 6. Piagam Penghargaan sebagai Instruktur Dalam Program Revitalisasi
Musik Tradisi Sumatera Utara Pada Tahun 2007-2008.

Universitas Sumatera Utara