Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak Martuah Saragih Di Kecamatan Siantar Utara Kota Pematangsiantar

(1)

KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNEI SIMALUNGUN BUATAN

BAPAK MARTUAH SARAGIH DI KECAMATAN SIANTAR UTARA

KOTA PEMATANGSIANTAR

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan oleh:

Nama: Henry N. D. Situmeang NIM: 050707032

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNEI SIMALUNGUN BUATAN BAPAK

MARTUAH SARAGIH DI KECAMATAN SIANTAR UTARA KOTA

PEMATANGSIANTAR

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan oleh:

NAMA : Henry N. D. Situmeang NIM : 050707032

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si

NIP : 1956 0828 198601 2001 NIP : 1961 0220 198903 1001 Drs. Fadlin, M.A.

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Seni Di Departemen Etnomusikologi

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

USU MEDAN 2011


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak Martuah Saragih di

Kecamatan Siantar Utara Kota Pematang Siantar” ini diajukan sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak N.R.Situmeang dan Bunda D.br.Hutabarat yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang dan bersusah payah membiayai, mendoakan, dan mendukung serta memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Juga kepada saudara-saudara penulis yang tersayang: Abangku Amser Bona Parulian (Cuma bisa ucapkan terima kasih untukmu), kakak Juliana Tiurida Purba, S.E, Gavriella Situmeang (Selamat datang dikeluarga Situmeang) dan Fernando. Situmeang yang selalu memberi dorongan, semangat dan masukkan sebagai inspirasi dalam penulisan ini.

Terima kasih kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. dan Dra. Heristina Dewi M.PD selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta registrasi perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.

Terima kasih kepada Bapak Drs.Setia Dermawan, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Drs. Fadlin, M.A. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukkan yang berguna dalam penulisan skripsi ini.


(4)

Terima kasih Kepada Bapak dr. Drs. Syahron Lubis. MA selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dan tak lupa kepada mam Audri yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan Etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan penulis dalam ilmu pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan Bapak Martuah Saragih dan Keluarga, Bapak Dolok Saribu, Bapak Jahuat Purba, bapak Karden Purba, Rido purba, paskah sumbayak, ibu R. Br Damanik yang telah mau menerima penulis selama melakukan penelitian.

Ucapan terima kasih juga kepada sahabat-sahabat 05: Tulus. Nainggolan, Chandra. Pasaribu, Dippu S.Sn, Reza.Simanjuntak S.Sn, Kasiro. Nainggolan S.Sn , Ivan. Sianipar, Zaini elhudaya, bim-bim, Gaza. Naiggolan, Rendy. Sirait, Cindy. P. Napitupulu, Indior, Ami. David Simanungkalit. Gugun, Agus Tarigan, Almarhum Simon.Siahaan, Ami.

Terimakasih banyak buat abang-abang saya alumni dan veteran yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Tidak lupa juga kepada Ikatan Mahasiswa Enomusikologi.

Terimaksih juga atas bantuan dan dukungan dari anak 07: Mbahoan, Tumpal, Fuad, Fredy, Winka. Silaban, Rizky (Ketua IME yg baru), Jakup dan semuanya yang belum sempat penulis tuliskan dan anak 09: Martin Tambunan dan kawan-kawan, juga terimakasih banyak buat Benny.Purba, Hosea (bam-bam), Rani.Tarigan, Upay, Lido, Surung, Sudarsono.

Terimakasih yang sangat besar buat Franseda Sitepu, S.Sn, Saidul.Hutabarat, S.Sn, Markus. Sirait, S.Sn menjadi teman diskusi penulis selama penulisan skripsi ini.


(5)

Terima kasih juga buat keluarga Tulang Ken. Hutabarat beserta keluarga yang telah banyak memberikan perhatian dan bimbingan kepada penulis, Terimakasih juga buat Tulang Mampe dan Keluarga, Nantulang T.br Sinaga, Spd dan Keluarga, Oppung Polisi, Oppung Laksus, Mak tua Gendut atas semua dukungan dan doanya pada penulis.

Terima kasih yang spesial buat Juniarti. Roselin. Saragih, S.Pd yang selalu memberi semangat, doa dan ispirasi kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dalam menyelesaikan penulisan ini.

Penulis menyadari ini masih belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu penulis juga masih tetap mengharapkan segala masukkan dan saran-saran yang sifatnya membangun dari pembaca sekalian, sehingga lebih mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu Etnomusikologi.

Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah pengetahunan serta informasi baru bagi seluruh pembaca.

Medan, Juli 2011 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian... 9

1.4 Konsep dan Teori ... 10

1.4.1 Konsep ... 10

1.4.2 Teori ... 10

1.5 Metode Penelitian ... 13

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 14

1.5.2 Kerja Lapangan ... 14

1.5.2.1 Wawancara ... 15

1.5.2.2 Perekaman ... 16

1.5.2.3 Pemotretan ... 16

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 16

1.5.4 Lokasi Peneltian ... 17

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK MARTUAH SARAGIH 2.1 Sejarah Singkat Kota Pematangsiantar ... 18

2.2 Lokasi Penelitian... 23

2.3 Keadaan Penduduk... 24

2.4 Sistem Bahasa ... 29

2.5 Sistem Kesenian... 30

2.5.1 Seni Musik ... 30

2.5.2 Seni Suara ... 31

2.5.3 Seni Tari ... 32

2.6 Sistem Kekerabatan ... 34

2.6.1 Marga-Marga Simalunun ... 37

2.7 Sistem Kepercayaan ... 40

2.8 Biografi Singkat Bapak Martuah Saragih ... 42

BAB III EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNEI SIMALUNUN 3.1 Eksistensi Sarunei Pada Masyarakat Simalungun di Kota Pematangsiantar .... 46

3.2 Fungsi Sarunei Pada Masyarakat Simalungun di Kota Pematangsiantar... 50

3.2.1. Fungsi Pengungkapan Emosional ... 52

3.2.2. Fungsi Hiburan ... 53

3.2.3. Fungsi kesinambungan kebudayaan ... 54


(7)

3.2.5. Fungsi Reaksi Jasmani dan Komunikasi ... 55

BAB IV KAJIAN ORGANISASI SARUNEI SIMALUNGUN 4.1. Perspektif Sejarah Sarunei Simalungun ... 56

4.2. Klasifikasi Sarunei Simalungun ... 58

4.3. Konstruksi Bagian Yang Terdapat Pada Sarunei Simalungun ... 59

4.4. Ukuran Bagian-Bagian Sigumbangi ... 61

4.4.1 Ukuran Bagian Sigumbangi ... 61

4.4.2 Ukuran Bagian Baluh ... 63

4.4.3 Nalih ... 66

4.4.4 Anak Ni Sarunei ... 68

4.4.5 Tuppak Bibir ... 69

4.5 Bahan Baku Yang Digunakan ... 71

4.5.1 Kayu Pohon Silastom Codiaeum Variegatum BL. ... 71

4.5.2 Bambu... 73

4.5.3 Daun Kelapa ... 74

4.5.4 Timah ... 74

4.5.5 Alumunium ... 75

4.5.6 Bulu Ayam ... 75

4.5.7 Benang ... 76

4.6 Peralatan Yang Digunakan 4.6.1 Parang ... 76

4.6.2 Pisau Belati ... 77

4.6.3 Pecahan Botol Kaca ... 78

4.6.4 Pukkor Kecil ... 79

4.6.5 Pukkor Besar ... 79

4.6.6 Kikir... 80

4.6.7 Kompor ... 81

4.6.8 Corong ... 81

4.6.9 Kaleng Susu ... 82

4.6.10 Bambu Cetakan Badan Nalih ... 82

4.6.11 Bambu Cetakan Lubang Nalih ... 83

4.6.12 Gunting ... 84

4.6.13 Gergaji ... 84

4.7 Proses Pembuatan Sarunei... 85

4.7.1 Pembuatan Badan Sarunei ... 87

4.7.1.1 Memotong Batang Pohon ... 87

4.7.1.2 Membentuk Bentuk Kasar Badan Sarunei ... 88

4.7.1.3 Proses Pelubangan ... 89

4.7.1.4 Menyempurnakan dan Menghaluskan Bentuk Sarunei ... 90

4.7.1.5 Mengukur Jarak Lubang jari Dan Memberi tanda ... 91

4.7.2 Pembuatan Sigumbangi ... 92

4.7.2.1 Pemilihan Bambu ... 92

4.7.2.2 Pembuatan Sigumbangi ... 92

4.7.3 Pembuatan Nalih ... 93


(8)

4.7.3.2 Memanaskan Timah ... 94

4.7.3.3 Menuangkan Timah Cair Kedalam Cetakan ... 95

4.7.3.4 Mendinginkan Nalih ... 96

4.7.3.5 Menyempurnakan Bentuk Nalih ... 96

4.7.4 Pembuatan Tuppak Bibir ... 98

4.7.4.1 Pemilihan Batok Kelapa ... 98

4.7.4.2 Membentuk bentuk kasar tuppak bibir ... 98

4.7.4.3 Menghaluskan Dan Menyempurnakan Bentuk Tuppak bibir ... 99

4.7.5 Pembuatan Anak Ni Sarunei... 100

4.7.5.1 Pemilihan Daun Kelapa Dan Bulu Ayam ... 100

4.7.5.2 Pembuatan Bahan-bahan Anak Ni Sarunei ... 101

4.7.5.3 Pengikatan Reed ... 103

4.7.6 Kajian Fungsional ... 104

4.7.6.1 Proses Belajar ... 104

4.7.6.2 Posisi Memainkan ... 105

4.7.6.3 Teknik Memainkan Sarunei ... 106

4.7.6.4 Penyajian Sarunei Yang Baik ... 107

4.7.6.5 Perawatan Sarunei ... 110

4.7.6.6 Nada Yang Dihasilkan Sarunei ... 113

4.7.6.7 Wilayah nada...113

BAB V PENUTUP 5.1. Rangkuman ... 116

5.2. Kesimpulan ... 120

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagian-bagian Sarunei ... 60

Gambar 2. Bagian Sigumbangi ... 61

Gambar 3. Diameter Pangkal ... 62

Gambar 4. Diameter ujung ... 62

Gambar 5. Panjang Badan Sarunei ... 63

Gambar 6. Diameter bagian ujung baluh ... 64

Gambar 7. Diameter bagian pangkal baluh ... 64

Gambar 8 dan 9. Diameter lubang jari ... 65

Gambar 10. Jarak antara lubang ... 66

Gambar 11. Panjang Nalih ... 67

Gambar 12 dan 13. Diameter bagian pangkal dan ujung nalih ... 68

Gambar 14. Anak ni Sarunei ... 69

Gambar 15. Diameter lubang tengah tuppak bibir ... 70

Gambar 16. Diameter tuppak bibir ... 70

Gambar 17. Pohon kayu silastom ... 72

Gambar 18. Bambu ... 73

Gambar 19. Daun kelapa ... 74

Gambar 20. Timah ... 75


(9)

Gambar 22. Benang ... 76

Gambar 23. Parang ... 77

Gambar 24. Pisau belati ... 77

Gambar 25. Potongan botol kaca ... 78

Gambar 26. Pukkor kecil ... 79

Gambar 27. Pukkor besar ... 80

Gambar 28. Kikir Persegi ... 80

Gambar 29. Kompor ... 81

Gambar 30. Corong ... 81

Gambar 31. Kaleng susu ... 82

Gambar 32. Cetakan Badan Nalih ... 83

Gambar 33. Cetakan lubang nalih ... 83

Gambar 34. Gunting ... 84

Gambar 35. Gergaji ... 84

Gambar 36. Proses mengikis kulit ... 88

Gambar 37. Membentuk badan sarunei ... 89

Gambar 38. Proses Pelubangan sarunei ... 90

Gambar 39. Proses pelubangan sarunei ... 90

Gambar 40. Proses menghaluskan bentuk sarunei ... 91

Gambar 41. Badan sarunei setelah di haluskan ... 91

Gambar 42. Proses pengukuran untuk pembuatan lubang jari ... 93

Gambar 43. Proses memanaskan pukkor ... 93

Gambar 44. Proses pelubangan ... 94

Gambar 45. Proses lubangan ... 94

Gambar 46. Proses pengukuran untuk pembuatan lubang bawah ... 95

Gambar 47. Proses pelubangan ... 95

Gambar 48. Proses pembuatan sigumbangi ... 97

Gambar 49. Proses pembuatan sigumbagi ... 97

Gambar 50. Cetakan badan nalih ... 98

Gambar 51: Cetakan lobang nalih ... 99

Gambar 52: Cetakan nalih ... 99

Gambar 53: Proses memanaskan timah ... 100

Gambar 54: Proses pencetakan nalih ... 100

Gambar 55: Nalih setelah didinginkan ... 101

Gambar 56: Nalih sebelum dihaluskan ... 102

Gambar 57: Nalih setelah di haluskan ... 102

Gambar 58: Bentuk kasar tuppak bibir ... 103

Gambar 59: Proses menghaluskan ... 103

Gambar 60: Tuppak bibir ... 104

Gambar 61 : Bulu Ayam Jantan ... 105

Gambar 62: Daun kelapa tua ... 105

Gambar 63 : Anak Sarunei Yang Sudah Dibentuk ... 106

Gambar 64 : Lubang tiup dari bulu ayam ... 106

Gambar 65 : Pengikatan reed ... 108

Gambar 66 : Pengikatan reed dengan lubang tiup ... 108


(10)

Gambar 68 : Posisi Jari ... 111

Gambar 69 : Penulis bersama Bapak Martuah Saragih ... 126

Gambar 70 : Penulis bersama Bapak Martuah Saragih ... 126

DAFTAR TABEL Tabel 1. Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa ... 27

Tabel 2. Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa ... 28

Tabel 3. Klasifikasi instrumen musik sarunei ... 59

Tabel 4. Tahap pekerjaan dalam pembuatan sarunei ... 85

Lampiran I ... 123

Lampiran II ... 124

Lampiran III ... 125

DAFTAR INFORMAN ... 127


(11)

ABSTRAKSI

Sarune adalah salah satu jenis instrument musik pada masyarakat Batak simalungun. Yang termasuk kedalam ansambel gorang sipitu pitu. Ansambel gonrang sipitu pitu terdiri dari beberapa alat musik, yaitu satu set gonrang, 4 buah gong, satu buah gong jantan, satu buah betina, dan dua buah gong kecil yang disebut mong mongan, dan satu buah sarune sebagai pembawa melodi.

Sarune dalam klasifikasinya termasuk kedalam aerophone. Alat musik sarune ini terbuat dari kayu silastom. Sarune memiliki tujuh buah lubang jari. Dimainkan dan ditiup dengan circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup . Biasa dimainkan pada upacara upacara adat masyarakat simalungun, seperti upacara pernikahan, upacara kematian hingga sebagai hiburan.

Dalam ansambel gonrang sipitu pitu Sipeniup sarune selalu diakui sebagai pemimpin di antara mereka, baik secara adat maupun secara musik. Peniup sarune mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan ansambel musik yang akan dimainkan. Menurut adat juga, bila pihak yang meminta gual memberikan penghargaan maka si peniup sarunei-lah yang harus menerima penghargaan tersebut.

Bapak Martuah Saragih merupakan salah satu pembuat sarune yang masih mengerti tentang proses pembuatan dan masih aktif dalam memainkan alat musik sarune dalam upacara upacara adat simalungun, dan juga memainkan sarune keberbagai belahan dunia, Seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Amerika dan Canada. Dari pengamatan yang penulis


(12)

lakukan dilapangan, Bapak Martuah Saragih merupakan orang yang masih mengerti cara cara pembuatan sarune dan sudah berpengalaman.

Dengan berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik ingin meneliti proses pembuatan alat musik sarune simalungun buatan Bapak Martuah Saragih di daerah Pematang Siantar, Kecamatan siantar utara yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : “KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE SIMALUNGUN BUATAN BAPAK MARTUAH SARAGIH DI KECAMATAN SIANTAR UTARA KOTA PEMATANG SIANTAR”.


(13)

ABSTRAKSI

Sarune adalah salah satu jenis instrument musik pada masyarakat Batak simalungun. Yang termasuk kedalam ansambel gorang sipitu pitu. Ansambel gonrang sipitu pitu terdiri dari beberapa alat musik, yaitu satu set gonrang, 4 buah gong, satu buah gong jantan, satu buah betina, dan dua buah gong kecil yang disebut mong mongan, dan satu buah sarune sebagai pembawa melodi.

Sarune dalam klasifikasinya termasuk kedalam aerophone. Alat musik sarune ini terbuat dari kayu silastom. Sarune memiliki tujuh buah lubang jari. Dimainkan dan ditiup dengan circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup . Biasa dimainkan pada upacara upacara adat masyarakat simalungun, seperti upacara pernikahan, upacara kematian hingga sebagai hiburan.

Dalam ansambel gonrang sipitu pitu Sipeniup sarune selalu diakui sebagai pemimpin di antara mereka, baik secara adat maupun secara musik. Peniup sarune mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan ansambel musik yang akan dimainkan. Menurut adat juga, bila pihak yang meminta gual memberikan penghargaan maka si peniup sarunei-lah yang harus menerima penghargaan tersebut.

Bapak Martuah Saragih merupakan salah satu pembuat sarune yang masih mengerti tentang proses pembuatan dan masih aktif dalam memainkan alat musik sarune dalam upacara upacara adat simalungun, dan juga memainkan sarune keberbagai belahan dunia, Seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Amerika dan Canada. Dari pengamatan yang penulis


(14)

lakukan dilapangan, Bapak Martuah Saragih merupakan orang yang masih mengerti cara cara pembuatan sarune dan sudah berpengalaman.

Dengan berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik ingin meneliti proses pembuatan alat musik sarune simalungun buatan Bapak Martuah Saragih di daerah Pematang Siantar, Kecamatan siantar utara yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : “KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE SIMALUNGUN BUATAN BAPAK MARTUAH SARAGIH DI KECAMATAN SIANTAR UTARA KOTA PEMATANG SIANTAR”.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di pulau Sumatera, berbatasan dengan Aceh di sebelah utara dan dengan Sumatera Barat serta Riau di sebelah selatan. Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah multietnis yang dihuni oleh banyak suku bangsa dengan suku Batak, Melayu, dan Nias sebagai penduduk asli wilayah ini1

Pada masyarakat Simalungun seni musik terdiri atas dua bagian, yaitu musik vokal yang disebut inggou dan musik instrumen yang disebut gual.

. Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis asli Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu dari lima kelompok etnis batak lainnya, yaitu, Toba, Karo, Pakpak, Mandailing-Angkola (Bangun,1993:94). Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Baik etnis Batak maupun etnis lainnya, bahkan kebudayaan diantara etnis Batak itu sendiri juga memiliki perbedaan.

Masyarakat Simalungun memiliki kebudayaan yang diturunkan secara turun-temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Simalungun sangat banyak, di antaranya adalah seni rupa, seni tari, seni ukir, dan seni musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus untuk mengkaji seni musiknya.

2

1

http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Utara

2

Sinaga, Saridin Tua. 2007. “Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba di Desa Maniksaribu Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun


(16)

dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu musik instrumen yang dimainkan secara ensambel3

Sarunei merupakan Alat musik tiup dari kayu, alat musik ini memiliki enam buah lubang yang sejajar dengan bibir bagian atas dan satu buah lubang sejajar dengan bibir bagian bawah jika dilihat dari posisi memainkannya. Sarunei juga memiliki penahan bibir (bibir moncong) yang terbuat dari tempurung kelapa berbentuk bulat berdiameter ± 5-5,5 cm, yang dan musik instrumen yang dimainkan secara tunggal (solo instrumen). Instrumen yang dimainkan secara tunggal (solo instrumen) yang ada dalam kebudayaan Simalungun adalah saligung, Jatjaulul atau tengtung, husapi, Tulila, Ingon-ingon, arbab, garattung, sordam. Sedangkan Musik instrumen yang dimainkan secara ensambel yaitu Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu atau Gonrang bolon. Gonrang Sipitupitu dan Gonrang Bolon adalah ensambel yang sama, akan tetapi penamaan dalam upacara adat saja yang membedakannya. Gonrang Sipitu-pitu disebut pada saat upacara dukacita (pusok ni uhur) sedangkan Gonrang Bolon disebut pada upacara sukacita (malas ni uhur). Ensambel Gonrang Sipitu-pitu terdiri dari satu set gonrang yang terdiri dari tujuh buah gendang satu sisi, sepasang Gong besar, serta dua buah gong kecil yang disebut dengan Mongmongan. Dan satu buah Sarunei sebagai pembawa melodi.

Ensambel Gonrang Sidua-dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi yang dimainkan dengan cara dipukul dengan stik untuk bagian sisi sebelah kanan, dan dengan tangan untuk bagian sebelah kiri, Sedangkan untuk pembawa melodi Sarunei dan gong prinsipnya sama saja dengan ensambel gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon.

3

Ensambel/Ansambel (Kamus Musik M. Soeharto, 1992 : 4) dalam bahasa prancis adalah kelompok kegiatan seni musik, dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih


(17)

sering disebut dengan piruet (tuppak bibir). Bagian baluh4nya terbuat dari kayu silastom atau bambu. Bagian sigumbangi5nya terbuat dari bahan kayu atau bambu fungsi praktisnya ialah untuk menurunkan nada. Alat musik ini memiliki lidah (buluh)6

Orang yang memainkan sarunei disebut parsarunei

getar ganda, ditiup dengan cara circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung. Sarunei terbuat dari kayu silastom. Bahan-bahan alternatif lain yang juga dapat digunakan untuk membuat sarunei adalah kayu arang, sanggubor, silanlan dan kayu juhar. Namun kayu-kayu jenis ini bersifat agak lunak sehingga tidak memiliki daya tahan. Umumnya dalam waktu dua tahun, baluh akan pecah dan sarunei tidak dapat digunakan lagi.

7

Bapak Martuah Saragih adalah salah satu pambahen sarunei dan parsarunei, beliau adalah pemain sarunei yang sangat dihormati dan disegani dikalangan peniup sarunei. Dari informasi yang didapat penulis dengan informan mengatakan bahwa teknik meniup dan permainan beliau sangat mirip dengan almarhum Nokah Sinaga.

, sementara orang yang membuat sarunei disebut pambahen sarunei. Di kota Pematangsiantar terdapat banyak parsarunei, tetapi tidak semua parsarunei mengerti tentang cara-cara pembuatan sarunei. Orang yang masih mengerti tentang cara-cara pembuatan sarunei Simalungun tersebut adalah Martuah Saragih dan Jahuat Purba. Bapak Martuah Saragih lebih dikenal oleh masyarakat di Kota Pematangsiantar sedangkan bapak Jahuat Purba lebih dikenal oleh di masyarakat simalungun di kabupaten Simalungun.

4

Baluh adalah Badan sarunei atau bagian laras pada alat musik sarunei yang terdapat tujuh buah lubang tempat jari.

5

Sigumbangi adalah sambungan yang berbentuk selongsong, umumnya memeliki panjang setengah atau dua pertiga panjang baluh.

6

Buluh adalah lidah sarune atau sering disebut dengan anak ni sarunei.

7

Kata “par” menjadi awalan pada kata “sarunei” menunjukkan orang yang memainkan. Berlaku juga pada alat musik lainnya contohnya, pargonrang, pararbab, dll.


(18)

Selain dikenal karena kepiawaiannya dalam memainkan dan membuat sarunei Simalungun beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang tetap mendukung kelestarian musik tradisional Simalungun seperti memperkenalkan kebudayaan musik Simalungun pada muda-mudi Simalungun seperti mengisi acara pada saat Rondang Bittang, selain itu beliau juga telah memperkenalkan kebudayaan Simalungun ketingkat internasional di berbagai negara di antaranya adalah Malaysia, Thailand, Singapura, Amerika dan Canada. Beliau adalah parsarunei yang telah dikenal oleh masyarakat di kota Pematangsiantar khususnya masyarakat Simalungun.

Beliau juga telah banyak mendapatkan berbagai piagam penghargaan dari pemerintah sebagai tanda ucapan terima kasih untuk kontribusinya dalam mendukung musik tradisional khususnya musik Simalungun, di antaranya adalah piagam penghargaan dari pemerintah, karena telah mendukung tim kesenian pemerintah Kotamadya Pematangsiantar ke Malaysia pada tanggal 28 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1993. Selain itu beliau juga memenangkan beberapa acara seperti festival Gondang Simalungun yang diselenggarakan pada Hut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke 51 pada tahun 1996. 8

8

Lihat Lampiran 1-3

Latar belakang keluarga menjadi dorongan beliau untuk menjadi seorang pemain musik. Dimana kakek dari Martuah Saragih merupakan parsarunei, ayahnya merupakan penabuh Gonrang. Hal ini menjadi motivasi beliau untuk menjadi seorang seniman. Martuah Saragih berawal dari seorang pemain gong yang kemudian beralih menjadi seorang penabuh gonrang, kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut tampil di berbagai upacara adat Simalungun.


(19)

Nama grup Bapak Martuah Saragih adalah Sitalasari. Di dalam grup tersebut bapak Martuah Saragih mulai mempelajari cara memainkan alat musik sarunei secara otodidak pada saat berurumur 13 tahun. Pertama-tama bapak Martuah Saragih memainkan sarunei buluh (terbuat dari bambu)9

Bapak Martuah Saragih mulai belajar membuat sarunei ketika berada di dalam grup Sitalasari. Awalnya bapak Martuah Saragih belajar adalah saat disuruh untuk memperbaiki anak ni sarunai (lidah atau buluh getar) sarunei dan nalih

.

Cara belajar yang digunakan beliau untuk mempelajari sarunei adalah dengan menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh parsarunei di dalam grup tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan sarunei, dan mulai menggantikan parsarunei utama dengan memainkan dua atau tiga repertoar lagu ketika panarunei utama istirahat. Hingga bapak Martuah Saragih dipercaya oleh grupnya untuk menjadi salah satu parsarunei utama di dalam grup itu. Meskipun beliau belajar secara otodidak dalam memainkan sarunei beliau tetap menganggap almarhum Nokah Sinaga sebagai gurunya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya waktu yang sudah dilalui beliau dengan almarhum Nokah Sinaga sehinga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik permainan sarunei bapak Martuah Saragih.

10

Kemudian secara perlahan-lahan beliau mulai mencoba untuk membuat sarunei hasil karya ciptanya sendiri. Walaupun telah berkali-kali gagal tetapi bapak martuah saragih tidak sarune oleh mendiang Nokah Sinaga. Setelah mengetahui cara membuat anak ni sarunei dan memperbaiki nalih, bapak Martuah Saragih sering ikut melihat dan bertanya tentang proses-proses pembuatan sarunei kepada mendiang Nokah Sinaga.

9

Hasil wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih 22 maret 2011.

10


(20)

pernah berhenti untuk mencoba hingga beliau menghasilkan sarunei pertamanya. Untuk membuat satu buah sarunei bapak martuah membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.

Dalam proses pembuatannya, bapak Martuah Saragih masih tetap menggunakan alat-alat yang masih tergolong sederhana, yakni berupa parang, pisau belati, kikir, pukor besar, pukor kecil, pecahahan botol kaca ,kape11

Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin. Hal pertama yang dilakukan pambahen sarunei adalah mencari ranting kayu silastom yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Ranting kayu tersebut harus tegak lurus, kemudian ranting tersebut dilubangi menggunakan pukor yang tajam. Setelah itu bagian kulit luarnya di haluskan dengan pisau dan kaca. Setelah itu mengukur dan memberi tanda untuk lobang. Setelah itu tanda tersebut dilobangi dengan pukor kecil yang sudah dipanasi. Proses selanjutnya adalah membuat cetakan untuk nalih yang terbuat dari bambu, setelah memanaskan timah di sebuah kaleng susu yang telah dibagi dua, setelah timah mencair maka di masukkan kecetakan yang telah disiapkan tadi melalui sebuah corong yang terbuat dari kaleng/ seng yang dibentuk seperti corong. Setelah didiamkan selama kurang lebih 3 menit maka cetakan tadi sudah bisa di buka. Kemudian membuat bagian sigumbangi yang terbuat dari bambu. Dan membuat bagian alap-alap dari dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu, bambu, kayu pohon silastom, benang, alumunium, timah, seng, daun kelapa, batok kelapa, dan bulu ayam. Akan tetapi pada saat ini kape diganti dengan kaca, alasan beliau mengganti kape menjadi kaca adalah karena kaca mudah didapat dan hasil dari penggunaannya sama. Karena itu kape sudah tidak digunakan lagi oleh bapak Martuah Saragih sebagai alat pembuatan sarunei.

11


(21)

bagian tengah batok kelapa. Dan membuat lidah sarune dari daun kelapa yang sudah tua yang diikatkan pada potongan ombul ni dayok12

12

Bagian ujung dari bulu ayam/batang dari bulu ayam.

.

Menurut pengakuan beliau dan beberapa parsarunei Simalungun yang penulis jumpai sarunei buatan Martuah Saragih ini telah banyak digunakan. Baik oleh parsarunei yang baru belajar maupun parsarunei yang sudah profesional. Mereka beranggapan bahwa selain bapak Martuah Saragih mahir memainkan saruneinya kualitas dari sarunei buatannya juga dinilai baik. Menurut Martuah Saragih yang banyak memesan sarunei kepada beliau adalah orang-orang yang hendak mempelajari Sarunei Simalungun (Diantaranya pemuda-pemuda Simalungun maupun mahasiswa-mahasiswa diluar kabupaten simalungun). Dan begitu juga halnya dengan parsarunei yang sudah profesional.

Martuah Saragih mematok harga Rp. 300.000.- untuk satu buah sarunei. Akan tetapi menjadi pembuat sarunei bukanlah pekerjaan tetap beliau, bapak Martuah Saragih hanya membuat sarunei bila ada orang yang memesan saja. Begitu juga halnya dengan meniup sarunei. Pekerjaan tetap beliau selain bertani adalah sebagai Ketua RT/RW Kelurahan Martoba, Kecamatan Siantar utara.

Terdapat banyak upacara maupun kegiatan adat masyarakat Simalungun di kota Pematang Siantar yang selalu melibatkan musik tradisional dalam pelaksanaanya seperti upacara pernikahan dan upacara sayur matua. Sehingga membuat keberadaan musik tradisional Simalungun di kota Pematang Siantar tetap bertahan dan dilestariakan. Begitu juga dengan instrumen sarunei yang kerap digunakan dalam setiap penyajian musik tradisional Simalungun di kota Pematang Siantar.


(22)

Sampai saat ini Sarunei masih dipergunakan sebagai instrumen musik dalam kegiatan yang berhubungan dengan musik pada masyarakat Simalugun. Tidak hanya dalam hal penggunaan, pembuatan sarunei oleh Martuah Saragih pun masih berlangsung sampai saat ini di kota Pematang Siantar.

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti, mengkaji, serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul: “Kajian

Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak Martuah Saragih di Kecamatan Siantar Utara Kota Pematang Siantar”


(23)

1.2. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) Sarunei buatan bapak Martuah Saragih pada masyarakat Batak Simalungun di Kota Pematang Siantar

2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan sarunei Simalungun oleh bapak Martuah Saragih

3. Bagaimana teknik permainan Sarunei Simalungun sebagai instrumen pembawa melodi

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keberadaan (eksistensi) sarunei Simalungun ditengah-tengah masyarakat Simalungun khususnya di kota Pematang Siantar.

2. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan sarunei Simalungun oleh Bapak Martuah Saragih

3. Untuk mengetahui bagaimana teknik permainan sarunei simalungun sebagai instrumen pembawa melodi

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai Sarunei Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara.


(24)

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya.

3. Sebagai kontribusi bagi kelompok-kelompok ensambel musik dikalangan masyarakat Simalungun.

4. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.

1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431). Kajian merupakan kata jadian dari kata ”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian kata ”kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti. (Badudu. 1982 : 132).

Sedangkan organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”ilmu” instrumen musik, seperi teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan (yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai pendekatan tentang sosial budaya. (Hood, 1982 : 124).


(25)

Dari kedua konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis sarunei buatan bapak Martuah Saragih, di Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematang Siantar, adalah penelitian secara mendalam mengenai deskripsi instrumen, proses pembuatan, dan teknik permainan dari instrumen sarunei.

1.4.2. Teori

Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa. (Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 1041). Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa landasan teori yang berkaitan (relevan) dengan tulisan ini.

Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk melakukan kerja-kerja penelitian. Teori hanya sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak melebar ke mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan digunakan (Suwardi, 2006:107).

Penulis juga akan membahas tentang pendeskripsian instrumen sarunei simalungun buatan bapak Martuah Saragih, maka dalam hal ini penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima (1978 : 74), yaitu:

” Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu; aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Dan secara fungsional, yaitu: fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara”


(26)

Teori ini digunakan untuk membahas mengenani kajian struktural dan kajian fungsional dari sarunei Simalungun buatan Martuah Saragih, yang akan dirangkumkan dalam kajian organologis sarune buatan bapak Martuah Saragih. Sesuai dengan teori klasifikasi musik oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yang membagi alat musik menjadi empat bagian berdasarkan sumber bunyinya yaitu: Aerophone, Idiophone, Membranophone, Chordophone.

Menurut pembagian tersebut maka sarunei Simalungun adalah instrumen musik Aerofon, memiliki lidah ganda (double reed), berbentuk sedikit menerucut , terbuat dari kayu pohon silastom dan bambu, ditiup dengan circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus-putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup.

Berdasarkan Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 253, ”Eksistensi artinya keberadaan”. Hal ini berkaitan juga dengan eksistensi (keberadaan) sarunei pada etnis Simalungun, dalam hal ini yang berada di Pematang Siantar. Teori ini digunakan untuk membahas mengenai keberadaan dan eksistensi sarunei yang terdapat di kota Pematang Siantar.

Untuk mengetahui sistem permainan atau teknik permainan sarunei oleh bapak Martuah maka penulis menggunakan dua pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963 : 98) yaitu:

” Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat”


(27)

Selanjutnya Charles Seeger juga mengemukakan dalam Nettl (1964 : 100) yaitu : ” Ada dua tujuan musikal yaitu secara perspektif dan deskriptif. Secara ringkas diterangkan bahwa perspektif dapat disebut sebagai notasi yang tidak lebih dari untuk membantu pemain mengingat terhadap musik pada saat pertunjukan. Sedangkan deskriptif adalah notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara rinci dari suatu komposisi musik yang diperdengarkan.”

1.5. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat 1997 : 16). Dalam melakukan penelitian penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan sarune oleh bapak Martuah Saragih.

Tahap kerja lapangan, Analisis data dan Penulisan laporan. (Moleong, 2002 : 109). Di samping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu: disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory discipline). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study), (Meriam, 1964 : 37).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: Menggunakan daftar pertanyaan, dan Menggunakan wawancara.

Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984 : 25).


(28)

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung keseluruhan Informasi yang terkumpul dari lokasi penelitian maka penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan menelaah sejumlah buku-buku metodologi penelitian (ilmu sosial), situs-situs internet, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah dan skripsi-skripsi terdahulu yang berhubungan topik penelitian ini.

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

1.5.2 Kerja Lapangan

Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 108), bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan teknik observasi untuk melihat, mengamati objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.

Untuk memperoleh informasi yang akurat dalam tulisan ini maka penulis tulisan ini, penuis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui sebelumnya, dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan13

13

Informan: Pihak pemberi informasi

, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru yang penulis rasa akan mendukung dalam proses penelitian ini.


(29)

1.5.2.1Wawancara

Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah seperti apa yang telah dikemukakan oleh koenjaraningrat (1985:138-140) yaitu wawancara dapat dilakukan dengan tiga cara:

1. Wawancara bebas (Free interview) : pertanyaan yang berpusat pada satu pokok permasalahan yang sebelumnya telah ditentukan penulis terlebih dahulu.

2. Wawancara bebas (Free interview) : pertanyaan yang lebih beragam tidak pada satu pokok masalah namun tetap berkaitan dengan informasi objek penelitian sipenulis.

3. Wawancara sambil lalu (Casual interview) : pertanyaan yang diajukan pada suasana yang tidak terkonsep.

Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.

Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan-keterangan tidak ada yang hilang.

1.5.2.2Perekaman

Untuk perekaman baik audio maupun video penulis menggunakan tape recorder bermerk Sony Microcassette-Corder M-55. Handphone merk Nokia 6300, Digital Voice Recorder merk Makro, Camcorder merk Sony.


(30)

1.5.2.3Pemotretan

Penulis melakukan pengambilan gambar atau pengabadian dalam bentuk visual menggunakan kamera digital bermerk Canon x-3s, ekamera digital merk Olympus dan kamera handphone merk Nokia 6300.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Setelah pengumpulan data yang penulis lakukan baik itu hasil wawancara, rekaman audio dan video maka selanjutnya akan dianalisis dan diproses dalam kerja laboratorium. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat dan mempermudah pengerjaan tulisan ini.

data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar, audio diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya dan membuang data-data yang dianggap tidak penting dan mencari tambahan data yang dianggap kurang. Kemudian semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995 : 85).

1.5.4 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lokasi yang merupakan tempat tinggal yang juga sekaligus sebagai bengkel instrumen beliau yaitu bapak Martuah Saragih, yang bertempat tinggal di Jalan Rindung, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematang Siantar. Alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah bahwa banyak musisi-musisi tradisional simalungun yang lahir dari daerah tersebut yang sudah mengeluti musik tradisional simalungun di Kota pematang siantar ini seperti Nokah Sinaga, Martuah Saragih. Jahuat Purba dan lain sebagainya.


(31)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK MARTUAH SARAGIH

Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian dan biografi singkat bapak Martuah Saragih sebagai seniman alat musik tradisional Simalungun. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi penelitian, tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di Pematangsiantar secara umum. Namun sebelum membahas topik tersebut, akan diuraikan lebih dahulu Sejarah singkat Kota Pematangsiantar.

2.1 Sejarah Singkat Kota Pematangsiantar

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar berkedudukan di Pulau holing dan Raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai Raja tahun 1906.

Disekitar pulau holoing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya kampung suhi haluan, siantar bayu, suhi kahaean, pantoan, suhi bah bosar, dan tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum kota pematangsiantar, yaitu:

1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang 2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota


(32)

3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu, Martoba,Sukadame, dan Bane

4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

Setelah belanda memasuki daerah Sumatera Utara, daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan Raja-raja. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, bangsa china mendiami kawasan timbang galung dan kampung melayu.

Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.

Pada zaman penjajahan Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah otonomi. Berdasarkan undang_undang No. 27/ 1948 status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957. Berdasarkan UU No1/1957 berubah menjadi Kota Praja penuh dan dengan keluarnya UU No.18/1965 berubah menjadi Kotamadya, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang pokok-pokok pemerintah di daerah berubah menjadi daerah tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang.


(33)

Kemudian pada tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar diperluas dari 4 (empat) kecamatan menjadi 6 (enam) kecamatan, dimana 9 desa dari wilayah kabupaten Simalungun menjadi wilayah Kota Pematangsiantar. Sehingga luas kota pematangsiantar bertambah dari 12,48 km2 menjadi 70,230 km2.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1986 tanggal 10 maret 1986 Kota daerah tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 (enam) wilayah Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Siantar Barat 2. Kecamatan Siantar Utara 3. Kecamatan Siantar Timur 4. Kecamatan Siantar Selatan 5. Kecamatan Siantar Marihat 6. Kecamatan Siantar Martoba

Kemudian pada tahun 2007, diterbitkan peraturan daerah tentang pemekaran wilayah admisnistrasi Kota Pematangsiantar yaitu:

1. Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari

2. Peraturan Daerah No.6 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun

Sehingga secara administrasi wilayah Kota Pematangsiantar terbagi menjai 8 (Delapan) kecamatan yaitu:


(34)

1. Kecamatan Siantar Marihat 2. Kecamatan Siantar Marimbun 3. Kecamatan Siantar Selatan 4. Kecamatan Siantar Barat 5. Kecamatan Siantar Utara 6. Kecamatan Siantar Timur 7. Kecamatan Siantar Martoba 8. Kecamatan Siantar Sitalasari14

14


(35)

(36)

2.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kota Pematangsiantar yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak Martuah Saragih, yang bertempat tinggal di Jalan Rindung, Kecamatan Siantar Utara.

Kota Pematangsiantar ini terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun dengan keadaan topografi berbukit-bukit rendah dan berada pada ketingian 400-500 m di atas permukaan laut. Daerah ini terletak pada garis 2º53’40”-3º01’00” Lintang Utara dan 99º1’00’’-99º6’35’’ Bujur Timur, dengan suhu maksimum rata-rata 30,ºC dan suhu minimum rata-rata 21,0 ºC. Luas daratan kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km2. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22,723 km2. 15

Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga sekarang, kota Pematangsiantar telah 26 kali berganti Kepala Daerah. Masing-masing adalah: Tuan Maja Purba (1945), Muhammad Kasim (1946-1947), Forensius Lumbantobing (1950-1952), Tuan Maja Purba (1952-1956), Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di provinsi Sumatera utara setelah Medan. Kota Pematangsiantar berjarak 128 km dari Kota Medan dan 52 km dari Parapat. Kota Pematangsiantar di kelilingi oleh daerah pertanian yang luas dan subur seperti persawahan, perkebunan karet, kelapa sawit dan teh. Pematangsiantar mempunyai sungai besar yaitu Bah Bolon dan mempunyai 12 sungai kecil yaitu Bah Sorma, Bah Kapul, Bah Bane, Bah Kadang, Bah Kahean, Bah Sigulang-gulang, Bah Sibarambang, Bah Silulu, Bah Sibatu-batu, Bah Kora, Bah Kaitan, dan Bah Silobang. Sungai-sungai ini sebagian dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk mengairi sawah, tambak ikan, alat drainage alamiah dan menjadi batas alam wilayah kecamatan dan kelurahan.

15


(37)

HP Situmorang (menjabat saat Tuan Maja Purba di Ampera), Farel Pasaribu (1954-1956). Mereka ini merangkap sebagai Bupati Simalungun. Setelah pemisahan dari Kabupaten Simalungun, Walikota pertama adalah OKH Salamuddin (1956-1957), dilanjutkan Jamaluddin Tambunan (1957-1959), Rakoetta Sembiring (1960-1964), Abner Situmorang (1964), Pandak Tarigan (1965), Zainuddin Hasan (1965), Tarif Siregar (1965-1966), Drs Mulatua Pardede (1966-1968), Letkol Laurimba Saragih (1968-1974), Kolonel Sanggup Ketaren (1974-1979), Kolonel Drs MJT Sihotang (1979-1984), Drs Djabanten Damanik (1984-1989), Drs H Zulkifli Harahap (1989-1994), Drs Abu Hanifah (1994-1999), Ir Marsal Hutagalung (Pelaksana Walikota mulai Juni 1999-Januari 2000), Drs Makmur Saleh Pasaribu (Pelaksana Walikota Januari- Juni 2000) dan Drs Marim Purba/Ir Kurnia Rajasyah Saragih (2000-2005). Drs. Nabari Ginting Msi (Pejabat sementara) (2005 - 2005), Ir. R.E. Siahaan (2005 - 2010), Hulman Sitorus, SE (2010 - sampai sekarang).16

2.3 Keadaan penduduk

Pada awalnya penduduk asli kota Pematang Siantar didominasi oleh suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Pematangsiantar menjadi bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh, Pakpak, Minang kabau, Melayu dan WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan asing seperti China, India, dan Pakistan. Pada tahun 2009 penduduk Kota Pematangsiantar mencapai 250.997 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.146 jiwa per km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Kota Pematangsiantar pada tahun 2009 sebesar 0,40 persen. Penduduk perempuan di Kota pematangsiantar lebih banyak dari

16


(38)

penduduk laki-laki. Pada tahun 2009 penduduk Kota pematangsiantar yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 127.516 jiwa dan penduduk laki-laki 123.481 jiwa.17

Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan secara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba

Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi dan kesepian.

18

. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat daripada masyarakat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras atau meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa19. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Pematangsiantar mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun20

Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Siantar Utara, Jalan Rindung, Pematangsiantar, pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. Menurut wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih, pekerjaan beliau adalah petani.

. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong menolong (STM), Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat.

17

Sumber : Pematangsiantar Dalam Angka 2010

18

Hendrik kramer (Boekentrum, The Haque 1958:55)

19

Walter Lempp (12) : Geraja-Gereja di Sumatera Utara : Jakarta, 1976: 52

20


(39)

Menjadi pemain musik merupakan pekerjaan sampingan bagi beliau. Membuat sarunei Simalungun dilakukan beliau apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik tersebut.

Masyarakat di pematangsiantar terdiri dari berbagai suku asli indonesia maupun warga negara indonesia keturunan asing. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini.


(40)

Tabel 1

Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa

Kecamatan/District

Suku Bangsa/Etnic Group

Tapanuli/Toba Jawa

Simal- ungun

Madailing Chin a

Minang Karo

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

01 Siantar Marihat

16.043 1.752 666 395 17 18 410

02 Siantar Marimbun

1.0.878 1.187 452 268 12 12 278

03 Siantar Selatan 14.243 1.309 1.355 444 2.687 127 1.097

04 Siantar Barat 9.042 21.584 1.682 4.693 3.083 1.787 371

05 Siantar Utara 24.519 8.778 3.920 4.077 1.702 2.981 324

06 Siantar Timur 26.572 5.405 4.705 1.792 1.875 529 1.139

07 Siantar Martoba

9.533 13.159 2.110 1.353 149 313 448

08 Siantar Sitalasari

7.828 10.804 1.732 1.111 122 258 369


(41)

Tabel 2

Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa

Kecamatan/District

Suku Bangsa/Etnic Group

Melayu Nias Aceh Pakpak Lainnya

Jumlah/ Total

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (8)

01 Siantar Marihat

22 91 21 18 154 19.607

02 Siantar Marimbun

15 61 14 13 104 13.294

03 Siantar Selatan 26 100 13 13 441 21.855

04 Siantar Barat 695 127 265 18 5.184 48.531

05 Siantar Utara 321 139 92 39 4.557 51.632

06 Siantar Timur 191 299 101 102 1.370 44.093

07 Siantar Martoba

220 148 118 28 536 28.250

08 Siantar Sitalasari

179 120 97 23 438 23.201


(42)

2.4 Sistem Bahasa

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian juga dengan bahasa Simalungun. Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki aksara yang sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937, mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara21

1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.

.

Voorhoeve menagtakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou.

Salah satu ciri masyarakat simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:

2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan oleh kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan

21

Poerloe sahap ni bangsa sandiri bani hakristen on : Lezing ni Dr. Voorhoeve deba haroenggoean ni sintua simalungun 17 April 1987 i Pematang Raya”, dalam sinalsal No 90/September 1938, Hal 22-23


(43)

hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya mulut. 3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina

seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat menyakitkan hati orang lain. Misalnya panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (Tortor).

2.5.1 Seni Musik

Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensamel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu. Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:


(44)

2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat

3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.

4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari jodoh.

Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dsb. Alat-alat musik tersebut dimainkanuntuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di ladang, maupun setelah pulang dari pekerjaan.

2.5.2 Seni Suara (Doding)

Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding dipakai untuk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok. (Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah :

1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.

2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.


(45)

3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran. Nyanyian inijuga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.

4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.

5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.

6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu.

2.5.3 Seni Tari (Tor-Tor)

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu antara lain :

1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai kelompok adat( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari para tamu


(46)

undangan. Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman seorang raja.

2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk memberi semangat.

Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan arsitektur tradisional.

Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus daripada buatan pabrik.

2.6 Sistem Kekerabatan

Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis keturunan, yaitu :


(47)

1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.

2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental

Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat unilateral-patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si ayah.

Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya


(48)

hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut22

1. Tutur Manorus / Langsung

:

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,

2. Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami). Panogolan artinya kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.

3. Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu. Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau bawahan.

Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :

1. Tondong (Pemberi istri)

2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)

3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis keturunan)

22


(49)

Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.

2.6.1 Marga-marga Simalungun

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu23

1. Sinaga

:

2. Saragih 3. Damanik 4. Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (Permusyawaratan besar) antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup mangimbang munsuh,keempatrajatersebutadalah:

1. Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja

23


(50)

Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Keturunannya adalah :

• Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

• Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.


(51)

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).

2.7 Sistem Kepercayaan

Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh


(52)

Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.

Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :

1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas) 2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah) 3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)

Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).

Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.


(53)

Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga “Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.

Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar ( Sihotang 1993:23).

Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.


(54)

2.8 Biografi Singkat Bapak Martuah Saragih

Pada Sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup bapak Martuah Saragih, terutama yang berkaitan dengan peranan beliau sebagai pemusik dan pembuat alat musik tradisioanal Simalungun di kota Pematangsiantar. Biografi yang akan dibahas disini hanya berupa biogarfi ringkas, artinya hanya memuat hal-hal umum mengenai kehidupan bapak Martuah Saragih dimulai dari masa kecil hingga masa kehidupannya sekarang ini, temasuk pula pengalaman beliau sebagai pemusik tradisional Simalungun, sebagai pembuat instrumen musik tradisional Simalungun, dan pengalaman berkesenian lainnya. Biografi yang di bahas di sini sebagain besar adalah hasil wawancara dengan bapak Martuah Saragih, dan juga wawancara dengan saudara-saudara beliau, sahabat-sahabat beliau dan keluarga beliau, dan juga beberapa musisi tradisional dan seniman musik. Hal ini dianggap perlu untuk melengkapi dan menguji keabsahan biografi beliau.

Martuah Saragih lahir di kota Pematangsiantar, Kecamatan Siantar Utara, pada tanggal 15 juni 1965, anak dari ayah bapak G. Saragih dan ibu T. br. Sinaga Martuah lahir dari keluarga seniman musik tradisional Simalungun dan penganut agama nasrani. Latar belakang keluarga yang sedemikian rupa membuat bapak Martuah sudah sangat akrab dengan musik tradisional Simalungun. Dimana Kakek dari Martuah Saragih merupakan parsarunei, Ayahnya merupakan penabuh Gonrang. Hal ini menjadi motivasi beliau untuk menjadi seorang seniman. Martuah Saragih berawal dari seorang pemain gong yang kemudian beralih menjadi seorang penabuh gonrang, kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut mengisi di berbagai upacara adat Simalungun.

Nama grup pertama Bapak Martuah Saragih pertama adalah grup Sitalasari. Di dalam grup tersebut bapak Martuah Saragih mulai mempelajari cara memainkan alat musik sarunei


(55)

secara otodidak pada tahun 1978 tepatnya pada saat bapak Martuah berumur 13 tahun. Pertama-tama bapak Martuah Saragih belajar memainkan sarunei buluh.

Cara belajar yang digunakan beliau untuk mempelajari sarunei adalah dengan menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh parsarunei di dalam grup tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan sarunei, dan mulai menggantikan parsarunei utama dengan memainkan dua atau tiga repertoar lagu ketika panarunei utama istirahat. Hingga bapak Martuah Saragih dipercaya oleh grupnya untuk menjadi salah satu parsarunei utama di dalam grup itu sampai sekarang. Meskipun beliau belajar secara otodidak dalam memainkan sarunei beliau tetap menganggap almarhum Nokah Sinaga sebagai gurunya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya waktu yang sudah dilalui beliau dengan almarhum Nokah Sinaga sehinga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik permainan sarunei bapak Martuah Saragih.

Bapak Martuah Saragih mulai belajar membuat sarunei ketika berada di dalam grup Sitalasari. Awalnya bapak Martuah Saragih belajar adalah saat disuruh untuk memperbaiki anak ni sarunai (lidah atau buluh getar) sarunei dan nalih sarune oleh mendiang Nokah Sinaga. Setelah mengetahui cara membuat anak ni sarunei dan memperbaiki nalih, bapak Martuah Saragih sering ikut melihat dan bertanya tentang proses-proses pembuatan sarunei kepada mendiang Nokah Sinaga.

Kemudian secara perlahan-lahan beliau mulai mencoba untuk membuat sarunei hasil karya ciptanya sendiri. Beliau pertama kali membuat alat musik sekitar tahun 1996. Walaupun telah berkali-kali gagal tetapi bapak martuah saragih tidak pernah berhenti untuk mencoba hingga beliau menghasilkan sarunei pertamanya. Untuk membuat satu buah sarunei bapak martuah membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.


(56)

Menurut pengakuan beliau dan beberapa parsarunei Simalungun yang penulis jumpai sarunei buatan Martuah Saragih ini telah banyak digunakan. Baik oleh parsarunei yang baru belajar maupun parsarunei yang sudah profesional. Mereka beranggapan bahwa selain bapak Martuah Saragih mahir memainkan saruneinya kualitas dari sarunei buatannya juga dinilai baik. Menurut Martuah Saragih yang banyak memesan sarunei kepada beliau adalah orang-orang yang hendak mempelajari Sarunei Simalungun (Diantaranya pemuda-pemuda Simalungun maupun mahasiswa-mahasiswa diluar kabupaten simalungun). Dan begitu juga halnya dengan parsarunei yang sudah profesional.

Banyak event-event atau acara-acara baik di kota Pematangsiantar maupun di beberapa negara yang telah dijalani oleh bapak Martuah Saragih dalam karirnya sebagai pemusik, dintaranya PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara) Medan, Malaysia, Thailand, Singapura, Amerika dan Canada. Beliau adalah parsarunei yang telah dikenal oleh masyarakat di kota Pematangsiantar khususnya masyarakat Simalungun.

Beliau juga telah banyak mendapatkan berbagai piagam penghargaan dari pemerintah sebagai tanda ucapan terima kasih untuk kontribusinya dalam mendukung musik tradisional khususnya musik Simalungun, di antaranya adalah piagam penghargaan dari pemerintah, karena telah mendukung tim kesenian pemerintah Kotamadya Pematangsiantar ke Malaysia pada tanggal 28 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1993. Selain itu beliau juga memenangkan beberapa acara seperti festival Gondang Simalungun yang diselenggarakan pada Hut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke 51 pada tahun 1996.

Bapak Martuah Saragih Menikah pada tahun 1996 dengan R br. Damanik dan di karuniai 4 orang anak, 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Menjadi pembuat sarunei bukan pekerjaan tetap beliau, bapak Martuah Saragih hanya membuat sarunei bila ada orang


(57)

yang memesan saja. Sampai saat ini bapak Martuah Saragih tetap menjadi peniup sarunei/parsarunei dalam grup sitalasari.

Walaupun demikian Begitu menjadi peniup dan sekaligus membuat sarunei bukanlah pekerjaan tetap beliau. Pekerjaan tetap beliau selain bertani adalah sebagai Ketua RT/RW Kelurahan Martoba, Kecamatan Siantar utara.


(58)

BAB III

EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNEI SIMALUNGUN

3.1 Eksistensi Sarunei pada Masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar

Sejak berakhirnya riwayat kerajaan-kerajaan di Simalungun pada tahun 1946 yang diakibatkan oleh sekelompok orang yang tersulut kemarahannya, karena kolusi yang dilakukan oleh para raja dan keluarganya dengan pemerintah Belanda yang menguntungkan mereka. Demi kekayaan pribadi dari hasil pungutan sewa tanah, mereka mengorbankan kepentingan masyarakat Simalungun dengan melakukan pengadilan jalanan secara paksa terhadap raja-raja dan keluarganya (kecuali yang melarikan diri) dibunuh dan istana mereka dibakar habis. Peristiwa tersebut kini dikenal dengan Revolusi Sosisal 1946 ( Jansen 2003 : 25).

Revolusi sosial 1946 mengakibatkan sebagian besar peninggalan budaya dan kesenian musik musnah dan tidak dapat diperoleh kembali. Kesenian dan musik tradisional hampir mengalami kepunahan, hal tersebut disebabkan istana-isatana yang dulunya berfungsi sebagai tempat pusat kegiatan kebudayaan habis terbakar.

Kemudian pada lima hingga sepuluh tahun setelah Revolusi Sosial tersebut terjadi, kesenian dan musik tradisional Simalungun meningkat secara bertahap dan bertahan hingga saat ini.

Pada umumnya Masyarakat Simalungun yang bermukim di Kota Pematangsiantar memandang diri mereka sebagai satu kelompok etnis yang kuat yang dipersatukan oleh bahasa, musik tradisional, serta adatistiadat dan tetap berpegang teguh pada falsafah hidup mereka. Misalnya pada sistem kekerabatan mereka yang menganut sistem adat “Tolu


(59)

Sahundulan” (Tiga satu tempat duduk) yaitu menjelaskan bagaimana posisi masing-masing di dalam satu ruangan dibagi menjadi 3 tempat. Sanina (Sapanganonkon) mengambil tempat di tengah-tengah (bagian tengah), Tondong tempat duduknya di sebelah kanan dari suhut, sedang Boru (Anak Boru) mengambil tempat duduk di sebelah kiri dari suhut. Ketiga unsur kekerabatan ini berada dalam satu lingkungan tempat duduk (sahundulan). Jika salah satu dari ketiga kelompok ini mengingkari kewajibannya, keseluruhan struktur ini akan terancam runtuh.

Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini tetap menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan masyarakat Simalungun, khususnya yang bermukim di Kota Pematangsiantar. Dan juga dalam melakukan kegiatan yang memiliki unsur-unsur tradisi atau adat istiadat dalam setiap fase-fase kehidupan mereka, masyarakat Simalungun masih mempergunakan adat istiadatnya dalam mempertahankan identitasnya, salah satu di antaranya adalah mereka tetap menggunakan hiou (kain adat) setiap menghadiri ataupun mengadakan suatu upacara adat.

Ada beberapa upacara adat maupun upacara hiburan pada masyarakat Simalungun yang menggunakan instrumen sarunei dalam ensambel gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon, antara lain: Ondos Hosah24, Rondang bintang25, Mamongkot Rumah Bayu26, Patuekkon27, Bagah-bagah ni Sahalak28, Mangiligi29, marillah30

24

Ondos hosah adalah upacara yang dilakukan suatu keluarga atau suatu desa agar terhindar dari mara bahaya.

25

Rondang bittang adalaha : Acara yang dilakukan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik.

26

Cara memasuki rumah baru agar mendapat rejeki dan jauh dari marabahaya.

27

Acara Untuk membuat nama seseorang yang biasanya dibawa ke air untuk di mandikan.

28

Acara yang dilaksanakan karena ada suatu niat untuk membuat pesta

29

Upacara yang dilakukan untuk menghormati seseorang yang sudah meninggal yang sudah mempunyai cucu

30

Acara muda-mudi menari bersama.


(60)

Sebagian besar upacara masyarakat Simalungun tersebut, saat ini tidak lepas dari peranan agama Kristen sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Simalungun. Seperti pada sebuah upacara pernikahan pada masyarakat Simalungun, dimana sebelum melaksanakan upacara adatnya, kedua mempelai terlebih dahulu memperoleh pemberkatan di gereja sesuai dengan peraturan gereja yang bersangkutan. Begitu juga dengan anak yang diberi nama setelah lahir, terlebih dahulu mendapatkan baptisan kudus di gereja yang bersangkutan, lalu kemudian dilaksanakan upacara adatnya.

Dalam penggunaannya, Sarunei digunakan dalam ensambel Gonrang Sipitu-pitu atau Gonrang Bolon dan Gonrang Sidua-dua. Ensambel gonrang sipitu-pitu terdiri dari satu buah sarunei, tujuh buah gendang satu sisi, gendang yang terbesar disebut jangat, kemudian empat buah gendang setelahnya disebut panongah dan sisanya dua buah gendang terkecil disebut hat dan ting (digabungkan menjadi hatting) sepasang gong besar, serta dua buah gong kecil yang disebut dengan Mongmongan. Ensambel Gonrang Sidua-dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi yang dimainkan dengan cara dipukul dengan stik untuk bagian sisi sebelah kanan, dan dengan tangan untuk bagian sebelah kiri, alat tabuh yang berukuran lebih besar dan bernada lebih rendah disebut jangat dan alat tabuh yang berukuran kecil dan bernada lebih tinggi disebut tikkah. Sedangkan untuk pembawa melodi Sarunei dan gong prinsipnya sama saja dengan ensambel Gonrang Sipitu-pitu atau Gonrang Bolon.

Menurut bapak Martuah Saragih Gonrang Sipitu-pitu biasa digunakan pada upacara adat kematian pada masyarakat simalungun, seperti upacara adat namatei sayur matua, upacara ini dilakukan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia pada usia lanjut dan sudah memiliki anak cucu. Tetapi jika seseorang yang meninggal saat masih anak-anak,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

________.2000. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Dalam Negeri Kabupaten Tingkat II Simalungun. Pematangsiantar.

________ 2010. Pematangsiantar Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Pematag siantar.

________1983. The Simalungun Protestant Church in Indonesia, a brief history, Kolportase GKPS, Pematang Siantar.

Badudu, J.S. 1982. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima

Bangun, Payung, 1980. Kebudayaan Batak dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta, Djambatan

Depdikbud, 2005. Kamus besar bahasa indonesia. Jakarta balai pustaka. Garingging Jaumbang, Girsang Palar, 1975 Adat Simalungun, Medan.

G.L Tichelman dan P. Voorhoeve, 1936 “Steenplastiek Simaloengoen” Medan, Kohler & Co Medan.

Hornbostel,Erich M.Von and Curt Sach, 1961. Clasification of Musical Instrument. Translate From Original Jerman by Antoni Brims and Klons P. Wachsman. Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist, New Edition Kent : The Kent State University

Press

Jansen Arlin Dietrich, 2003. Gonrang Simalungun, Sruktur dan Fungsinya Dalam Masyarakat Simalungun, Bina Media Medan.

Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru M. Soeharto, 1992. Kamus Musik

Meriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music . North Western, University press. Moleong, Lexi j, 1988. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung Remaja Poskakarya

Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai Pustaka

Purba, M.D.1978. Museum Simalungun, Penerbit M.D Purba, Medan

Saragih, Taralamsyah 1974. “Seni musik, Suara dan Tarian Simalungun” Inti Sari Seminar Simalungun se-Indonesia (Pertama). Pematangsiantar. Yayasan Museum Simalungun.

Sinaga, Saridin Tua. 2007. “Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba di Desa Maniksaribu Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun” Skripsi Sarjana Etnomusikologi FS. USU, Tidak Diterbitkan.

Zein, St. Muhammad, 1957. Kamus Modern Bahasa Indoensia. Jakarta : Balai Pustaka. Sumber Dari Internet:


(2)

(3)

(4)

(5)

Gambar 69 : Penulis bersama Bapak Martuah Saragih

Gambar 70 : Penulis bersama Bapak Martuah Saragih (Dokumentasi Penulis)


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Martuah Saragih

Umur : 46 tahun

Pekerjaan : Seniman dan wiraswasta

Alamat : Jln. Rindung, Pematang Siantar 2. Nama : Karden Purba

Umur : 60 tahun Pekerjaan : Pemusik

Alamat : Jln. Pdt. J. Wismar Saragih. 3. Nama : Darwin. K doloksaribu

Umur : 43 tahun Pekerjaan : Guru

Alamat : Jln. Pdt. J. Wismar Saragih. 4. Nama : R br. Damanik

Umur : 44 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jln. Rindung, Pematang Siantar 5. Nama : Jahuat purba

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Seniman ( pemain dan pembuat sarunei ) Alamat : Jln. Sibatu-batu. Tengko