Pengaruh Body Image Terhadap Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis

(1)

A. Body Image

1. Definisi Body Image

Menurut Cash & Smolak (2011), body image merupakan hasil dari berbagai pengalaman psikologis individu berkaitan dengan tubuhnya, khususnya tampilan fisik. Pengalaman psikologis tersebut mencakup pikiran, belief, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan persepsi dan sikap individu terhadap tubuhnya.

Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006). Menurut Papalia dkk (2007), body image merupakan keyakinan (belief) yang evaluatif dan deskriptif mengenai penampilan diri sendiri.

2. Dimensi Body Image

Cash (2000, dalam Kates, 2007) menjelaskan lima dimensi body image yaitu: a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan), merupakan evaluasi

penampilan dan keseluruhan tubuh. Evaluasi ini mencakup apakah individu menilai dirinya menarik atau tidak, serta apakah individu puas terhadap penampilannya atau tidak.

b. Appearance orientation (orientasi penampilan), merupakan orientasi individu terhadap penampilannya dan usaha apa saja yang dilakukannya untuk


(2)

mengubah penampilannya. Individu yang tingkat orientasi penampilannya rendah menunjukkan bahwa individu tidak berusaha untuk terlihat menarik dan penampilan bukan merupakan hal yang terlalu penting.

c. Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh tertentu), merupakan kepuasan individu terhadap bagian tubuh tertentu, seperti wajah, rambut, tubuh bagian atas (bahu, lengan, dada), tubuh bagian tengah (punggung, pinggang, perut), tubuh bagian bawah (pinggul, bokong, paha, kaki), dan keseluruhan penampilan.

d. Overweight preoccupation (kekhawatiran berkaitan dengan berat badan berlebih), merupakan kekhawatiran memiliki berat badan berlebih, kewaspadaan terhadap berat badannya, cenderung melakukan diet untuk mengurangi berat badan, dan membatasi pola makan.

e. Self-classified weight (pengkategorian berat badan), merupakan bagaimana individu mengklasifikasikan dan mempersepsikan berat badannya dari rentang sangat kurus hingga sangat gemuk.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Body Image

Levine & Smolak (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi body image antara lain:

a. Orangtua

Beberapa penelitian menemukan bahwa ada hubungan antara sikap dan perilaku orangtua dalam menghargai body image mereka sendiri dengan penghargaan body image anak mereka. Orangtua dapat mempengaruhi perkembangan body image anaknya dengan cara memilih dan mengkomentari


(3)

pakaian dan penampilan anak, atau menganjurkan anak untuk berpenampilan dengan cara tertentu dan menghindari makanan tertentu.

b. Teman Sebaya

Individu cenderung menilai dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman-teman sebayanya. Jika individu terlihat berbeda dengan teman sebayanya maka individu dapat merasa ada yang salah dengan dirinya atau ada yang kurang pada dirinya.

c. Media massa

Media massa berperan sangat besar dalam menyebarkan informasi mengenai standar tubuh yang ideal. Media tidak hanya memberikan informasi mengenai bentuk tubuh yang ideal tapi juga memberitahukan cara mencapainya melalui artikel-artikel mengenai diet dan olahraga.

d. Tahap perkembangan

Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja akan berdampak pada kepuasan body image mereka karena belum tentu perubahan yang terjadi sesuai dengan keinginan mereka yang bahkan bisa menimbulkan rasa malu.

B. Self-Esteem

1. Definisi Self-Esteem

Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994) menjelaskan self-esteem sebagai bagian dari kebutuhan penghargaan (esteem needs) yang terdapat dalam hirarki kebutuhannya. Esteem needs terdiri dari 2 (dua), yaitu kebutuhan untuk menghargai diri sendiri (self-esteem) dan dihargai oleh orang lain. Dengan adanya


(4)

self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika kebutuhan individu akan self-esteem masih belum cukup terpenuhi, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya.

Branden (2001) menekankan self-esteem sebagai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang diri mereka sendiri, bukan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang diri kita. Branden (2001) menambahkan bahwa self-esteem merupakan gabungan antara kepercayaan diri (self-confidence) dan penghormatan diri (self-respect).

Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu. Secara ringkas, self-esteem merupakan penilaian individu mengenai seberapa berharga dirinya yang diungkapkan dalam bentuk sikap (attitude) individu terhadap dirinya sendiri.

Menurut Plotnik (2005), self-esteem adalah sejauhmana kita menyukai dan menghargai diri sendiri, kepentingan diri sendiri, daya tarik diri sendiri dan kompetensi sosial diri sendiri. Sedangkan Santrock (2009) memberikan definisi self-esteem yang lebih luas, yaitu sebagai evaluasi terhadap diri sendiri secara keseluruhan. Larsen & Buss (2010) menjelaskan self-esteem sebagai reaksi negatif atau positif terhadap self-concept.


(5)

2. Komponen Self-Esteem

Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998), komponen harga diri terdiri dari: a. Feeling of Belonging (Perasaan Diterima)

Perasaan individu sebagai bagian dari kelompok dan merasa dirinya diterima, diinginkan, serta diperhatikan oleh kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, dan sebagainya. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa diterima sebagai bagian dari kelompok. Namun individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya merasa tidak diterima atau ditolak dalam suatu kelompok.

b. Feeling of Competence (Perasaan Mampu)

Perasaan individu bahwa dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya dalam mencapai hasil yang diharapkan serta dalam menghadapi permasalahan. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya serta yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada. Sebaliknya, individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya, serta tidak yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada.

c. Feeling of Worth (Perasaan Berharga)

Perasaan individu dimana dia merasa dirinya berharga. Perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Perasaan yang dimiliki individu sering ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan positif yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain-lain. Individu dikatakan


(6)

memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa berharga dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Namun, individu dikatakan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak merasa berharga dan merasa dirinya tidak memiliki kelebihan.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem

Menurut Wirawan dan Widyastuti (dalam Sari, 2010), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi self-esteem, antara lain:

a. Faktor Fisik

Penampilan fisik seperti karakteristik wajah, bentuk tubuh, dan sebagainya dapat mempengaruhi self-esteem individu. Beberapa orang yang memiliki wajah yang menarik cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi.

b. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang dimaksud misalnya kepuasan kerja, persahabatan, kehidupan romantis, dan lain-lain. Seorang wanita yang diperlakukan dengan romantis oleh pasangannya cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi. c. Faktor Lingkungan Sosial

Faktor lingkungan sosial seperti orang tua dan teman turut mempengaruhi pembentukan self-esteem. Ketika orang tua dapat menerima kelebihan dan kekurangan anaknya, maka anak juga dapat menerima dirinya sendiri. Tetapi, apabila orang tua menuntut anak lebih tinggi dari kemampuan anak sebenarnya, anak dapat merasa dirinya tidak mampu dan tidak diterima oleh orang tuanya. Semakin dewasa seorang individu, maka semakin banyak orang di lingkungan sosialnya yang mempengaruhi pembentukan self-esteem dirinya.


(7)

d. Faktor Tingkat Inteligensi

Semakin tinggi tingkat intelijensinya, maka individu cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi.

e. Faktor Status Sosial-Ekonomi

Secara umum, individu yang berasal dari status sosial-ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi juga.

f. Faktor Ras dan Kebangsaan

Individu yang berasal dari ras minoritas cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah ketika berada di tengah ras mayoritas. Misalnya, saat seorang pelajar kulit hitam menjalani pendidikan di sekolah yang mayoritas kulit putih, pelajar kulit hitam tersebut cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah. g. Faktor Urutan Keluarga

Anak tunggal cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi daripada anak-anak yang memiliki saudara kandung.

C. REMAJA

Hurlock (1980) menjelaskan masa remaja sebagai masa dimana individu sedang tumbuh dan dalam proses mencapai kematangan emosional, mental dan fisik. Monks (1998) membagi usia remaja dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun) dan remaja akhir (19-21 tahun).

Grogan (2006) menjelaskan masa remaja juga merupakan masa terjadinya perubahan fisik, dimana dalam periode ini, penampilan fisik merupakan hal yang penting. Baik pria dan wanita, diketahui menghabiskan waktu untuk penampilan


(8)

mereka, khususnya untuk menyesuaikan penampilan mereka dengan norma dalam kelompok mereka. Di sisi lain, mereka juga ingin memiliki gaya sendiri yang unik, dan mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi atau di depan kaca untuk mencapai tujuan tersebut.

Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai tidak dengan satu hal saja, melainkan periode panjang yang disebut masa remaja. Peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (kemampuan untuk melakukan reproduksi).

Santrock (2009) menambahkan bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Identitas adalah self-portrait yang mencakup hal-hal berikut ini:

1. Vocational/ Career Identity, yaitu karir atau jalur kerja mana yang akan dijalani.

2. Political Identity, apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau di tengah-tengah saja.

3. Religious Identity, berkaitan dengan kepercayaan spiritual seseorang.

4. Relationship Identity, apakah seseorang hidup sendiri, menikah, bercerai, dsb. 5. Achievement, Intellectual Identity, berkaitan dengan motivasi untuk


(9)

6. Sexual Identity, apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.

7. Cultural/ Ethnic Identity, dari mana seseorang berasal, dan bagaimana seseorang itu mengidentifikasikan dirinya dengan warisan budayanya.

8. Interests, berkaitan dengan apa yang disukai orang tersebut, termasuk olahraga, musik, hobi, dsb

9. Personality, yaitu karakteristik kepribadian individu, seperti introvert atau ekstrovert, pencemas atau tenang, dll.

10.Physical Identity, yaitu body image individu itu sendiri.

Selama perubahan fisik pada masa pubertas, remaja lebih memperhatikan tubuh mereka dan mengembangkan gambaran (images) mengenai bagaimana tubuh mereka terlihat (Allen dkk, 2008; Jones, Bain & King, 2008 dalam Santrock 2009). Ketidakpuasan remaja perempuan terhadap tubuh mereka meningkat pada awal hingga pertengahan masa remaja (Feingold & Mazella, 1998; Rosenblum & Lewis, 1999; Swarr & Richards, 1996 dalam Papalia dkk, 2007).

D. Skoliosis

1. Definisi Skoliosis

Menurut APTA (1986), skoliosis merupakan kurva tulang belakang yang melengkung dari satu sisi ke sisi lain. Anderson (2007) menjelaskan skoliosis sebagai kondisi lekukan tulang belakang yang abnormal. Deutchman & Lamantia (2008) menambahkan bahwa bentuk tulang belakang skoliosis menyerupai huruf “S” bila dilihat dari belakang. Hasil X-Ray pada penderita skoliosis akan


(10)

menunjukkan bentuk lekukan tulang belakangnya, yang biasanya berbentuk huruf “C” atau “S” (NIAMS, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa skoliosis merupakan kondisi lekukan tulang belakang dari satu sisi ke sisi lain yang menyerupai huruf “C” atau “S” bila dilihat dari belakang.

2. Penyebab Skoliosis

Dilihat dari penyebabnya, skoliosis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu skoliosis genetika dan skoliosis idiopatik. Berdasarkan data dari National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS) US, sebanyak 80% orang mengalami skoliosis idiopatik, yaitu skoliosis yang tidak diketahui penyebabnya. Skoliosis idiopatik biasanya muncul pada usia remaja.

Beberapa skoliosis disebabkan oleh faktor genetika atau turunan, namun para ilmuwan sendiri juga masih belum dapat menemukan gen apa yang mempengaruhi skoliosis. Pada keluarga yang memiliki anggota penderita skoliosis, kemungkinan anggota keluarga lainnya untuk mengembangkan skoliosis adalah 30%. Skoliosis juga lebih sering terjadi ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Ditambah lagi, skoliosis pada perempuan lebih progresif daripada skoliosis pada laki-laki (Deutchman & Lamantia, 2008). 3. Gejala Skoliosis

Anderson (2007) mengemukakan gejala skoliosis berupa posisi tubuh yang asimetris, dan juga bisa disertai dengan tulang belakang yang berotasi. Satu sisi tubuh penderita skoliosis menjadi terlihat lebih menjorok lebih ke dalam dan satu sisi tubuh lainnya lebih menonjol. Ketika badan membungkuk ke depan, bagian


(11)

punggung penderita skoliosis akan terlihat seperti memiliki sebuah punuk seperti orang bungkuk, namun hanya di satu sisi (yang menonjol).

Skoliosis juga dapat mempengaruhi fungsi kerja organ lainnya. Dikarenakan bentuk tulang belakang yang membengkok ke satu sisi, ruang paru-paru penderita skoliosis juga menjadi lebih kecil dan jantung yang agak tertekan (Deutchman & Lamantia, 2008). Hal ini biasanya mengakibatkan penderita skoliosis memiliki nafas yang pendek dan rasa sakit pada dada sebelah kiri (posisi jantung). Ketidaknormalan posisi tulang belakang ini juga memberikan rasa nyeri pada punggung bagian bawah atau yang sering disebut low back pain (NIAMS, 2008).

4. Klasifikasi Skoliosis

Berdasarkan derajat kemiringannya, maka skoliosis dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu skoliosis ringan, sedang, dan parah (New York Chiropractic College, 2008).

a. Skoliosis ringan (mild), yaitu skoliosis dengan kurva 11o-19o b. Skoliosis sedang (moderate), yaitu skoliosis dengan kurva 20o-29o c. Skoliosis parah (severe), yaitu skoliosis dengan kurva di atas 30o 5. Treatment Skoliosis

Menurut Deutchman & Lamantia (2008), terdapat beberapa pilihan dalam menangani skoliosis, yaitu:

a. Pemasangan brace (ortosis)

Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pemasangan brace dapat mencegah bertambahnya kemiringan tulang belakang pada remaja yang


(12)

sedang mengalami pertumbuhan. Terdapat 2 (dua) jenis brace, yaitu brace yang terbuat dari bahan plastik padat yang membatasi gerakan pemakai dan brace elastis yang memungkinkan pemakai untuk bergerak lebih fleksibel. Brace elastis memiliki potensi untuk mengurangi derajat kemiringan tulang belakang pada remaja yang sedang tumbuh sebelum kemiringan tersebut menjadi permanen.

b. Operasi (surgery)

Pada kebanyakan kasus kesehatan, operasi merupakan opsi terakhir yang akan diambil. Namun, hal ini berbeda pada kasus skoliosis. Kebanyakan dokter justru menawarkan opsi operasi sebagai opsi pertama. Operasi pada penderita skoliosis bertujuan untuk mengurangi derajat kemiringan dan mencegah bertambahnya derajat kemiringan di masa yang akan datang. Keputusan untuk operasi biasanya bervariasi pada setiap penderita. Tidak hanya untuk kepentingan kosmetika, tetapi khususnya pada penderita skoliosis dengan derajat di atas 800, ruang paru-paru dan jantung harus dimonitor karena semakin besar derajat kemiringan dapat mempengaruhi organ-organ tubuh lainnya. Operasi skoliosis tentu memiliki resiko tersendiri, seperti kelumpuhan atau bahkan kegagalan.

c. Treatment alternatif

Beberapa usaha dilakukan oleh para ilmuwan agar skoliosis dapat ditangani tanpa melalui operasi. Treatment alternatif yang sering dipakai adalah pull-up, chiropractic, yoga, terapi fisiologis, berenang, dan sebagainya.


(13)

E. Pengaruh Body Image dengan Self-Esteem pada Remaja Penderita Skoliosis

Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Papalia dkk, 2007). Masa remaja juga merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri. Identitas diri ini mencakup identitas karir, agama, hubungan, pencapaian seksual, budaya atau etnis, minat, kepribadian, dan identitas fisik, yaitu body image (Santrock, 2009). Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006).

Penampilan fisik menjadi hal pertama yang dapat dinilai pada diri seseorang sehingga penampilan fisik menjadi sumber yang fundamental dalam pembentukan identitas diri. Remaja berusaha membentuk identitas fisik yang ideal agar diterima oleh lingkungan sosialnya (Cash & Smolak, 2011). Baik remaja perempuan maupun laki-laki mulai memberi perhatian kepada penampilan fisiknya di usia remaja (APA, 2002).

Remaja mulai memperhatikan karakteristik spesifik tubuhnya, misalnya wajah, kulit, otot, berat badan, dan bentuk tubuhnya. Selama menjalani masa pubertas, remaja rentan dengan berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Selain itu, usia remaja juga merupakan usia dimana tulang sedang mengalami proses pertumbuhan dan proses maturasi.


(14)

Pada proses ini maturasi tulang, remaja beresiko mengalami kelainan tulang belakang, yaitu skoliosis (Mukaromah, 2011). Menurut Shah (2009), skoliosis hampir selalu muncul pada saat sebelum atau selama masa pertumbuhan di usia remaja.

Skoliosis merupakan lekukan tulang belakang yang abnormal, yang mana tulang belakang tumbuh berbentuk huruf “S” atau huruf “C” (Anderson, 2007). Di saat remaja penderita skoliosis yang sedang melalui masa pencarian dan pembentukan identitas diri, mereka juga melalui masa-masa pembentukan dan kemunculan skoliosisnya. Penderita skoliosis memiliki bentuk fisik yang berbeda dan hal ini dapat memicu body image yang negatif. Salah satu hasil penelitian Agata & Testor (2012) menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki body image yang negatif dan remaja penderita skoliosis juga memiliki isu psikososial. Hal ini didukung oleh studi Mukaromah (2011) mengenai pengalaman psikososial pada remaja penderita skoliosis di Jawa Tengah. Remaja penderita skoliosis mengalami kekhawatiran akan masa depannya, ketidakberdayaan, dan gangguan dalam membentuk identitas dirinya.

Perubahan fisik yang tidak diinginkan akibat penyakit, kecelakaan, dan bertambahnya usia dapat berpengaruh kepada body image individu. Hal ini kemudian dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan self-esteem (Anderson, 2000; Gannon, 2000; Rumsey & Harcourt, 2004; Thomas Mc-Clean, 2000; Grogan, 2006). Pernyataan Santrock (1998) bahwa penampilan fisik merupakan salah satu penyumbang yang besar pada self-esteem seseorang. Terdapat beberapa penelitian yang juga telah menyatakan bahwa ada hubungan


(15)

antara body image dan self-esteem pada remaja (Cash & Smolak, 2011). Hasil penelitian Ermanza (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan antara self-esteem dengan body image pada remaja putri yang mengalami obesitas dari sosial ekonomi menengah atas. Senada dengan Ermanza, penelitian oleh Sari (2012) yang dilakukan dengan subjek dewasa awal tuna daksa yang memiliki cacat setelah kelahiran menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara body image dan self-esteem. Subjek dalam penelitian tersebut kebanyakan mengalami kecacatan pada usia remaja sehingga membuat mereka tidak percaya diri, berhenti sekolah, dan menarik diri dalam pergaulan.

Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan adanya self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika individu memiliki self-esteem yang rendah, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994).

Dengan tampilan fisik yang berbeda, remaja penderita skoliosis mengalami masalah terhadap body image. Mereka mulai takut dijauhi oleh teman-temannya karena penampilannya yang tidak sempurna. Dengan memandang skoliosis sebagai kekurangan fisik, remaja penderita skoliosis merasa dirinya tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa yang orang lain bisa lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa body image remaja penderita skoliosis dapat berdampak


(16)

pada self-esteem mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh body image terhadap self-esteem remaja penderita skoliosis.

F. Hipotesa

Berdasarkan landasan teori dan asumsi di atas, maka untuk menjawab rumusan masalah, diajukanlah hipotesa penelitian sebagai jawaban sementara yang ingin diteliti kebenarannya. Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis


(1)

punggung penderita skoliosis akan terlihat seperti memiliki sebuah punuk seperti orang bungkuk, namun hanya di satu sisi (yang menonjol).

Skoliosis juga dapat mempengaruhi fungsi kerja organ lainnya. Dikarenakan bentuk tulang belakang yang membengkok ke satu sisi, ruang paru-paru penderita skoliosis juga menjadi lebih kecil dan jantung yang agak tertekan (Deutchman & Lamantia, 2008). Hal ini biasanya mengakibatkan penderita skoliosis memiliki nafas yang pendek dan rasa sakit pada dada sebelah kiri (posisi jantung). Ketidaknormalan posisi tulang belakang ini juga memberikan rasa nyeri pada punggung bagian bawah atau yang sering disebut low back pain (NIAMS, 2008).

4. Klasifikasi Skoliosis

Berdasarkan derajat kemiringannya, maka skoliosis dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu skoliosis ringan, sedang, dan parah (New York Chiropractic College, 2008).

a. Skoliosis ringan (mild), yaitu skoliosis dengan kurva 11o-19o b. Skoliosis sedang (moderate), yaitu skoliosis dengan kurva 20o-29o c. Skoliosis parah (severe), yaitu skoliosis dengan kurva di atas 30o

5. Treatment Skoliosis

Menurut Deutchman & Lamantia (2008), terdapat beberapa pilihan dalam menangani skoliosis, yaitu:

a. Pemasangan brace (ortosis)

Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pemasangan brace dapat mencegah bertambahnya kemiringan tulang belakang pada remaja yang


(2)

sedang mengalami pertumbuhan. Terdapat 2 (dua) jenis brace, yaitu brace

yang terbuat dari bahan plastik padat yang membatasi gerakan pemakai dan

brace elastis yang memungkinkan pemakai untuk bergerak lebih fleksibel.

Brace elastis memiliki potensi untuk mengurangi derajat kemiringan tulang belakang pada remaja yang sedang tumbuh sebelum kemiringan tersebut menjadi permanen.

b. Operasi (surgery)

Pada kebanyakan kasus kesehatan, operasi merupakan opsi terakhir yang akan diambil. Namun, hal ini berbeda pada kasus skoliosis. Kebanyakan dokter justru menawarkan opsi operasi sebagai opsi pertama. Operasi pada penderita skoliosis bertujuan untuk mengurangi derajat kemiringan dan mencegah bertambahnya derajat kemiringan di masa yang akan datang. Keputusan untuk operasi biasanya bervariasi pada setiap penderita. Tidak hanya untuk kepentingan kosmetika, tetapi khususnya pada penderita skoliosis dengan derajat di atas 800, ruang paru-paru dan jantung harus dimonitor karena semakin besar derajat kemiringan dapat mempengaruhi organ-organ tubuh lainnya. Operasi skoliosis tentu memiliki resiko tersendiri, seperti kelumpuhan atau bahkan kegagalan.

c. Treatment alternatif

Beberapa usaha dilakukan oleh para ilmuwan agar skoliosis dapat ditangani tanpa melalui operasi. Treatment alternatif yang sering dipakai adalah pull-up, chiropractic, yoga, terapi fisiologis, berenang, dan sebagainya.


(3)

E. Pengaruh Body Image dengan Self-Esteem pada Remaja Penderita Skoliosis

Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Papalia dkk, 2007). Masa remaja juga merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri. Identitas diri ini mencakup identitas karir, agama, hubungan, pencapaian seksual, budaya atau etnis, minat, kepribadian, dan identitas fisik, yaitu body image (Santrock, 2009). Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006).

Penampilan fisik menjadi hal pertama yang dapat dinilai pada diri seseorang sehingga penampilan fisik menjadi sumber yang fundamental dalam pembentukan identitas diri. Remaja berusaha membentuk identitas fisik yang ideal agar diterima oleh lingkungan sosialnya (Cash & Smolak, 2011). Baik remaja perempuan maupun laki-laki mulai memberi perhatian kepada penampilan fisiknya di usia remaja (APA, 2002).

Remaja mulai memperhatikan karakteristik spesifik tubuhnya, misalnya wajah, kulit, otot, berat badan, dan bentuk tubuhnya. Selama menjalani masa pubertas, remaja rentan dengan berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Selain itu, usia remaja juga merupakan usia dimana tulang sedang mengalami proses pertumbuhan dan proses maturasi.


(4)

Pada proses ini maturasi tulang, remaja beresiko mengalami kelainan tulang belakang, yaitu skoliosis (Mukaromah, 2011). Menurut Shah (2009), skoliosis hampir selalu muncul pada saat sebelum atau selama masa pertumbuhan di usia remaja.

Skoliosis merupakan lekukan tulang belakang yang abnormal, yang mana tulang belakang tumbuh berbentuk huruf “S” atau huruf “C” (Anderson, 2007). Di saat remaja penderita skoliosis yang sedang melalui masa pencarian dan pembentukan identitas diri, mereka juga melalui masa-masa pembentukan dan kemunculan skoliosisnya. Penderita skoliosis memiliki bentuk fisik yang berbeda dan hal ini dapat memicu body image yang negatif. Salah satu hasil penelitian Agata & Testor (2012) menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki

body image yang negatif dan remaja penderita skoliosis juga memiliki isu psikososial. Hal ini didukung oleh studi Mukaromah (2011) mengenai pengalaman psikososial pada remaja penderita skoliosis di Jawa Tengah. Remaja penderita skoliosis mengalami kekhawatiran akan masa depannya, ketidakberdayaan, dan gangguan dalam membentuk identitas dirinya.

Perubahan fisik yang tidak diinginkan akibat penyakit, kecelakaan, dan bertambahnya usia dapat berpengaruh kepada body image individu. Hal ini kemudian dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan self-esteem

(Anderson, 2000; Gannon, 2000; Rumsey & Harcourt, 2004; Thomas Mc-Clean, 2000; Grogan, 2006). Pernyataan Santrock (1998) bahwa penampilan fisik merupakan salah satu penyumbang yang besar pada self-esteem seseorang. Terdapat beberapa penelitian yang juga telah menyatakan bahwa ada hubungan


(5)

antara body image dan self-esteem pada remaja (Cash & Smolak, 2011). Hasil penelitian Ermanza (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan antara self-esteem dengan body image pada remaja putri yang mengalami obesitas dari sosial ekonomi menengah atas. Senada dengan Ermanza, penelitian oleh Sari (2012) yang dilakukan dengan subjek dewasa awal tuna daksa yang memiliki cacat setelah kelahiran menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara body image dan self-esteem. Subjek dalam penelitian tersebut kebanyakan mengalami kecacatan pada usia remaja sehingga membuat mereka tidak percaya diri, berhenti sekolah, dan menarik diri dalam pergaulan.

Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem

sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan adanya self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika individu memiliki self-esteem yang rendah, maka individu akan merasa inferior, helpless,

kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994).

Dengan tampilan fisik yang berbeda, remaja penderita skoliosis mengalami masalah terhadap body image. Mereka mulai takut dijauhi oleh teman-temannya karena penampilannya yang tidak sempurna. Dengan memandang skoliosis sebagai kekurangan fisik, remaja penderita skoliosis merasa dirinya tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa yang orang lain bisa lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa body image remaja penderita skoliosis dapat berdampak


(6)

pada self-esteem mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh

body image terhadap self-esteem remaja penderita skoliosis.

F. Hipotesa

Berdasarkan landasan teori dan asumsi di atas, maka untuk menjawab rumusan masalah, diajukanlah hipotesa penelitian sebagai jawaban sementara yang ingin diteliti kebenarannya. Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis