Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

BAB II
ASAS PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI PELAPOR TINDAK PIDANA
KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 13 TAHUN 2006

A. Asas-Asas Perlindungan Hukum
Mengenai hal asas-asas perlindungan hukum saksi pelapor dalam tindak
pidana korupsi dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Asas Retroaktif Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 26 Tahun
2000
Masyarakat selalu mengalami perubahan" dan hukum selalu mengikuti
perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak
perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta
adalah hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwaperistiwa yang sebenamya merupakan perbualan melawan hukum tidak dapat diatasi
hanya karena hukumnya tidak ada atau belum ada Kondisi ini tercipta karena hokum
yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum tertulis, yang pembuatan dan
pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan memakan waktu yang
tidak pendek. 82 Meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan
kemanusiaan dan dampak negatif perkembangan dunia dapat berupa munculnya
kejahatan yang mengancam kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. 83

82


Agus Raharjo, Probrematika Asas Retroakif Dalam Hukum Pidana (Purwokerto:
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman-2006), hal. l
83
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung Alumni, 1986), hal. 94

Universitas Sumatera Utara

Romli Atmasasmita mengatakan bahwa asas-asas hukum dan norma-norma
serta lembaga-lembaga pranata yang mendukung hukum pidana masih bersifat
konservatif terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas , asas
neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan. 84 Pemikiran ini menjadi lebih
tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, dalam
konteks hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan
ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan.
Mengenai perkembangan salah satu konsekuensi dari asas fundamental dalam
hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana secara surut
berkaitan dengan asas retroaklif (berlaku surut) menjadi sangat penting untuk dikaji.
Salah satunya adalah karena adanya tuntutan korban terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) di masa lalu yang menuntut keadilan terhadap pelaku kejahatan

terhadap kemanusiaan dan genosida.
Asas retroaktif sebenarnya akan berhenti jika aparat penegak hukum
berpegang dan berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (l) dan (2) KUHP, 85
karena pasal tersebut membatasi pengertian retroaktif. 86 Barda Nawawi Arief,

84

Romli Atmasasmita, “Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-asas
Hukum Pidana Nasional", Makalah yang disampaikan pada Seminar, Asas-asas Hukum Pidana
Nasional, Kerjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI, padaa tanggal 26 April 2006, hal. l-2.
85
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1994), hal.27. Dalam Pasal 1 ayat (l) KUHP: ..Tiada suatu perbuatan
boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari
pada perbuatan itu Dalam ayat (2) disebutkan: Jikalau undang-undang yang terdahulu dari pada
perbuata itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya
86
Budi Prastowo, Asas Non Retroaktivitus Dalam Perubahan Perundang-Undangan Pidana,
artikel Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, YoL 24, No- 2, Fakultas Hukum Universitas
Parahyangan, Bandung, No. 20 X, hal. l7l-181


Universitas Sumatera Utara

memasukkannya dalam persoalan sumber hukum. 87 Retroaktif berarti berlaku surut
dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan “ada”, yang berarti hokum transitoir atau
tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan. 88
Persoalan retroaktif itu sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya
asas legalitas. 89
Berdasarkan praktik hukum pidana internasional, asas retroaktif diberlakukan
terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi
pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dmi asas non retroaktif pada
instrumen hukum intemasional. 90 Mahkamah pidana Internasional Nuremberg Tahun
1946 dan Tokyo Tahun 1948 mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, 91
Internatianal criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTR) 92 dan International
Crirninal Tribunal for Rwanda (ICTR) 93 merupakan contoh penerapan asas retroaktif.

87

Barda Nawawi Ariel, Kapita Selekta Hukam Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hal.3 dan hal. 8

88
Ibid., hal. 5
89
J.E. Sahetapy, "Tanggapan Tertradap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional", Artikel
dalam Majalah Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, No. 3 Tahun VII Juli
1989, hal. 12
90
Pasal 15 ayat (2) ICCPR merupakan contoh dari praktek Mahkamah Pidana Internasional
yang mempengaruhi isi pasal tersebut
91
Niken Savitri, “Pengaruh Mahkamah Pidana Intemasionat Ad Hoc Terhadap Pembentukan
Intemational Criminal Court”, Artikel dalam Majalah Huhtm Pro Justitia, Tahun XVIII No. 3 Juli
2010, FH IINPA & Bandung, hal. 28-29- Mahkamah Nurcmberg Tahun 1946 merupakan Mahkamah
Pidana Intemasional yang dibentuk berdasarkan Piagam London tanggal 8 Agustus 1945 sebagai
upaya untuk menghindari kegagalan mengadili penjahat perang sebagaimana terjadi pada pingaditan
penjahat perang pada Perang Dunia I.
92
Ari Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkanah Kejahatan Internasional, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2005), hal. 4-6. ICTY merupakan Pengadilan Pidana Internasional ad hoc yang dibentuk
oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 827/1993 untuk mengadili pemimpin Serbia

Slobodan Milosevic yang didakwa telah melakukan genoside terhadap etnik yang mendiami wilayah
Slovenia,-Kroasia, Bosnia Herzegovina dan Kosovo.
93
Ibid., hal. G8. ICTR merupakan Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc yang dibentuk
oleh Dewan Keamanan PBB pada Tahun 1994 untuk mengadili pelaku genoside di Rwanda Suku Hutu

Universitas Sumatera Utara

Dalam sejarah dan praktik perkembangair hukum pidana di Indonesia, asas
retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal
ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif
sebagaimana tersebut di atas relatifdan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan
adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum
pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan
kekuatan asas legalitas besertra konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.

2. Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum
Negara Indonesia menjunjung tinggi HAM yang menjamin segala hak warga
negara bersamaan kedudukannya dihadapan hukum dan pemerintahan. 94 Suatu negara
hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi unsur-unsur seperti: Pemerintah

dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar pada hukum atau
peraturan perundang-undangan; Adanya jaminan terhadap HAM warga negara;
Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan. 95
Dihubungkan dengan pernyataan di atas, terutama “Adanya jaminan terhadap
HAM warga negara", maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konstitusi suatu
negara hukum haruslah ditemukan adanya jaminan terhadap HAM khususnya untuk

yang mayoritas berupaya untuk melenyapkan suku Tutsi yang minoritas. Konflik ini telah berlangsung
lama terhitung sejak Tahun 1959 hingga terbentuknya ICTR
94
Pasal 27 ayat (l) UUD 1945 ditegaskan: "segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintaban dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya (amandemen kedua).
95
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), ha1.29

Universitas Sumatera Utara

warga negaranya sendiri. HAM itu sendiri meliputi beragam aspek kehidupan

manusia mulai dari hak dalam bidang politik, hak untuk hidup, hak tentang kebebasan
berbicara" hak dalam bidang hukum dan lain-lain. Dalam negara hukum, negara
mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar
belakangnya sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di
hadapan hukum (equality before the law).
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan asas yang sangat penting
dalam proses peradilan pidana. Dalam proses peradilan pidana di Indonesia hakim
harus bersikap tidak memihak. Dalam sistim "saling berhadapan", pihak terdakwa
yang didampingi pengacaranya sedangkan di pihak lain terdapat penuntut umum yang
bertindak atas nama negara. Selain penuntut umum, ada pula pihak kepolisian yang
memberikan data tentang hasil penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim). 96 selain itu,
terdapat saksi-saksi, baik yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa.
Asas persamaan di hadapan hukum dalam penyidikan dan pemeriksaan di
muka sidang pengadilan dapat memberikan jaminan kepastian hukum untuk
melindungi, baik kepentingan negara maupun kepentingan terdakwa serta korban. H.
Soeharto, mengatakan, Individu memiliki kepentingan yang berbeda dalam
masyarakat akan tetapi dalam konteks asas persamaan kedudukan di hadapan hukum,
masing-masing kepentingan dan keinginan dapat berjalan secara harmonis tanpa perlu
saling tumpang tindih apabila penegak hukum menerapkan asas persamaan di
hadapan hukum. 97

96

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya 1996), hal. 63

Universitas Sumatera Utara

KUHAP telah merumuskan sejumlah hak bagi terdakwa yang melindunginya
dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 50
sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Sedangkan perhatian terhadap korban tindak
pidana tampak dari pengaturan dari KUHAP yang merumuskan hak-hak korban
dalam Pasal 93 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Perumusan sejumlah hak dalam
KUHAP tersebut, menurut Soeharto, kepedulian kepada tersangka/terdakwa
sedemikian tingginya sehingga menimbulkan persepsi bahwa “the pendulum has
swung too far” maksudnya perlindungan itu telah berayun atau berjarak terlalu jauh.
Oleh karena itu, harus diperhatikan pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan
pidana terutama saksi dan korban. Termasuk saksi korban dengan bersandarkan pada
asas persamaan di hadapan hukum (equalitiy before the law) yang menjadi salah satu
prasyarat dalam suatu negara hukum. Sudah sewajarnya jika saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan hakhaknya oleh Negara. 98
Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu

asas terpenting dalam hukum modem. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule
of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat
Burgelijlre Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie
(KUH Dagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23 tetapi pada masa
97

H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistim Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. l2.
98
Ibid., hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum
yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum
kolonial. 99
Asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang
berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah
utuh di antara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan

"hanya" di hadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara
sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan
"persamaan" antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi
itulah yang menjadikan asas persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika
sosial dan ekonomi. 100
Sebagai dasar filosofi asas persamaan kedudukan di hadapan hukum,
dinyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dilengkapi dengan hakhaknya. Oleh karena itu hak-hak tersebut melekat kepada jati diri manusia sebagai
hak yang sangat mendasar atau asasi yang dikenal dalam istilah saat ini adalah HAM.
Sebagai manifestasi dari hak-hak yang sama ialah asas persamaan kedudukan di
hadapan hukum (equalitiy before the law) dan juga termasuk asas praduga tidak
bersalah (persumption of innocence). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan
secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya kalau ada persamaan di
hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan
99

Ibid
http: //yancearizonawordpress.conr / 2008 / 05 / 13 / penamaan – dihadapan - hukum /,
diakses tanggal 05 Agustus 2011.
100


Universitas Sumatera Utara

perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang atau lebih yang
berperkara

atau

bersengketa"

maka

bagi

aparat

penegak

hukum,

harus

memperlakukan sama di antara pihak-pihak yang berperkara tersebut. 101
Persamaan di hadapan hukum diartikan secara dinamis, memberikan jaminan
adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa
memperdulikan latar belakangnya. Perolehan pembelaan dari seorang advokat untuk
memperoleh bantuan hukum adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi
setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
keadilan bagi semua orang (justice for all). 102
Menurut Yesmil Anwar dan Adang ada sepuluh asas dalam sistim peradilan
pidana di Indonesia berdasarkan KUHAP. Asas-asas tersebut adalah: 103
1. Perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi apapun;
2. Asas praduga tidak bersalah;
3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7. Peradilan yang terbuka untuk umum;

101

H. Soeharto, Op. Cit., hal. 13-14
Ibid.
103
Yesmi Anwar dan Aqdang, Op. Cit., hal. 67
102

Universitas Sumatera Utara

8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan) harus didasartan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah tertulis;
9. Hak seseorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang pra-sangkaan dan
pendakwaan terhadapnya; dan
10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya.
Asas persamaan atau kesederajatan di muka hukum ini berarti tidak ada
pembedaan perlakuan terhadap siapapun juga dalam sistim peradilan di Indonesia.
Asas persamaan di hadapan hukum ini juga terkandung dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan berikut ini:
1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan rmtuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana cepat, dan biaya
ringan. 104
Kemudian dalam Penjelasan angka 3 huruf a KUHAP ditegaskan: "Perlakuan
yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan
perlakuan". Berdasarkan hal tersebut, nyatalah dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara, tidak dibenarkan diskriminasi, perbedaan apakah kedudukannya sebagai
saksi, korban, tersangka, terdakwa, baik tentang warna kulit, suku, ras, agama, kaya
atau miskin dan lain-lain. Singkatnya setiap orang sama di hadapan hukum, namun

104

Pasal 4 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Universitas Sumatera Utara

Yesmil Anwar dan Adang, mengatakan, “Realitas memperlihatkan hal yang
berbeda”. 105
Persamaan

didepan

hukum

setidaknya

merupakan

betapa

hukum

menempatkan setiap orang siapa pun dia dari mana pun dia dan berlatar belakang apa
pun dia harus ditempatkan dalam kedudukan yang sama di hadapan hukum. Asas
persamaan di hadapan hukum itulah yang menjadikan hukum sebagai sarana
pencapaian keadilan. Adanya persamaan itulah, maka hukum itu harus ditaati oleh
siapa pun karena hanya lewat hukum akan ada ketertiban, ketenteraman, dan
keadilan. 106
Asas persamaan di hadapan hukum penting diterapkan dalam proses beracara.
Jaminan dan perlindungan terhadap HAM dalam peraturan hukum beracara memiliki
arti penting karena sebahagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana
menjurus kepada pembatasan-pembatasan HAM seperti penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan, penyidikan, dan pemeriksaan yang pada hakikatnya terjadi
pembatasan-pembatasan HAM. 107

105

Ibid., hal. 68
htp: // radarlampung. co. id / read. / opini / 4890 keadilan – bermata – satu – ala – hukum indonesia diakses tanggal 22 Juli 201l.
107
Erni Widhayanti, Hak-Hak Tersangka/Terdahwa di Dalam KUHAP, (Yogyakarta: Liberty,
l998), hal. 34. Lihat juga: Sudibyo Triatrrojo, Pelaksana Penahanan dan Kemungkinan yang Ada
dalam KUHAP, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 13
106

Universitas Sumatera Utara

B. Kedudukan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Peradilan
Pidana
1. Urgensi pemberantasan tindak pidana korupsi
Keberadaan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi di Indonesia, telah mendorong berbagai insiatif-inisiatif di lingkungan
Pemerintahan Pusat sampai ke daerah. Melalui Inpres ini, Presiden Republik
Indonesia mengamanatkan untuk melakukan langkah-langkah upaya strategis dalam
rangka mempercepat pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menyusun
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK 2004-2009). 108 Dokumen
RAN-PK 2004-2009 menekankan kepada upaya pencegahan, penindakan, upaya
pencegahan dan penindakan korupsi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Daerah
Istimewa Aceh dan Sumatera Utara, serta pedoman pelaksanaan monitoring dan
evaluasi pelaksanaan RAN PK. Dengan demikian, RAN-PK diharapkan menjadi
acuan dalam upaya pemberantasan korupsi bagi setiap lini pemerintahan di tingkat
Pusat dan Daerah. 109
Perkembangan yang menarik berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi di
Indonesia, terjadi baik pada tingkat kebijakan pemerintah, pembentukan dan
konsolidasi kelembagaan hingga kian kritisnya kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pemberantasan korupsi. Kebijakan pemerintah dimaksud tidak hanya
telah dirumuskan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi tetapi juga
108

www.muhammad-yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi,
diakses pada tanggal 29 Juni 2011. Beliau adalah seorang Ketua Kejaksaan Negeri Bogor.
109
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

beberapa daerah telah mengembangkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan
Korupsi, dan mempelopori usaha-usaha mengembangkan kebijakan inovatif yang
terbukti mampu mencegah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan. Di
sejumlah kota dan kabupaten, ada inovasi lokal untuk mewujudkan Tata
Pemerintahan yang Baik dalam bentuk pelayanan satu atap atau one stop service
seperti dilakukan di Kota Surabaya, Kabupaten Sragen, maupun perbaikan pelayanan
publik seperti di Kabupaten Jembrana Bali, Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel dan
lainnya. 110
Namun, keberadaan RAN-PK yang seharusnya menjadi acuan dari seluruh
instansi Pemerintah, pada tahun terakhir pelaksanaannya belum dapat diasumsikan
telah dilaksanakan seluruhnya oleh Pemerintah Pusat yang terkait. Hal ini disebabkan
karena upaya-upaya tersebut dilakukan secara terpisah-pisah, meskipun pada
akhirnya masing-masing Kementerian / Lembaga telah bekerja dalam rangka
pemenuhan butir-butir kegiatan sebagaimana isi RAN-PK 2004-2009. 111
Dengan diratifikasinya UNCAC oleh Republik Indonesia melalui UU No. 7
Tahun 2006, maka perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian kembali langkahlangkah strategis yang diperlukan dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai inisiatif yang ada seperti Strategi Pencegahan KPK, Gap Analysis UNCAC
dan RAN-PK 2004-2009 perlu diperkaya dengan masukan-masukan berupa
perkembangan dalam upaya pemberantasan korupsi pada umumnya maupun upaya

110
111

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

implementasi

UNCAC

pada

khususnya,

sehingga

menghasilkan

strategi

pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif yang dapat dijadikan sebagai acuan
bagi seluruhnya. 112 Strategi Nasional tersebut ditujukan untuk melanjutkan,
mengkonsolidasi dan menyempurnakan berbagai upaya dan kebijakan pemberantasan
korupsi agar mempunyai dampak yang konkrit bagi peningkatan kesejahteraan,
keberlangsungan pembangunan berkelanjutan dan konsolidasi demokrasi. Strategi
dimaksud harus dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku
kepentingan, seperti masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif
dari pemerintahan. Berkenaan dengan itu, komitmen politik yang lebih kuat, strategi
yang lebih sistematis dan komprehensif serta perumusan kebijakan yang lebih fokus
dan konsolidatif untuk mendorong dan meningkatkan percepatan pemberantasan
korupsi seyogianya harus senantiasa dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku
kepentingan lainnya. 113
Menurut Lawrence M.Friedman kalau ingin lebih mengetahui soal penegakan
hukum maka harus difahami benar soal sistem hukum yang dikemukakan terdapat
tiga unsur, yaitu substansi, struktur dan kultur hukum. 114 Dalam upaya pemberantasan
korupsi melalui tiga pendekatan ini.

112

Ibid.
Ibid.
114
www.muhammad-yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi,
diakses pada tanggal 29 Juni 2011.
113

Universitas Sumatera Utara

a. Substansi Hukum
Substansi hukum mencakup aturan-aturan hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Memang luas makna
hukum itu. Kalangan sarjana hukum sendiri masih belum tunggal kata soal apa
makna hukum. Immanuel Kant: Jurists were still searching for a definition of
law. 115 Selain itu ada pula Herman Kantorowicz “a body of social rules
prescribing external conduct and considered justicable…” Hukum dimaknai oleh
The Macmilan Dictionary: The laws consist of body of rules that have been
produced by legislation in Parliament (statute law), judicial decision (common
law), and regulations made by the public service under the terms of Acts of
Parliament. 116
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti hukum sebagai: 1.
Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah, atau otoritas; 2. undang-undang, peraturan, dan sebagainya
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, 3. patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa tertentu, 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh
hakim; vonis. 117
Keberadaan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi sangat penting sebab tidak mungkin suatu tindak pidana dapat dihukum

115

Ibid.
Ibid.
117
Departemen Penddidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Penerbit
Balai Pustaka, Jakarta: 2004).
116

Universitas Sumatera Utara

apabila tidak ada hukum yang mengaturnya. Sejumlah peraturan perundangundangan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi antara lain sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
4. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang

b. Struktur Hukum
Struktur Hukum menurut Friedman dimaksudkan sebagai institusi-institusi
penegakan hukum termasuk penegak hukumnya. Dalam kaitan dengan tindak

Universitas Sumatera Utara

pidana korupsi berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk memberantas
tindak pidana korupsi baik institusi yang memang selama ini telah ada dalam
sistem hukum Indonesia maupun terhadap lembaga yang dibentuk khusus
bertujuan memberantas tindak pidana korupsi. 118
Sejak zaman kemerdekaan berbagai institusi hukum dibentuk khusus
untuk memerangi korupsi. Diantaranya adalah tim pemberantasan korupsi yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967. Memang di
antara beberapa lembaga yang dibentuk yang paling dikenal dalam era sekarang
adalah KPK (Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) yang dibentuk atas
dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. 119

118

www.muhammad-yusuf, Loc. Cit
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
119

Universitas Sumatera Utara

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang :
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi. 120
Masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap keberadaan KPK yang
terbukti dengan banyaknya pengaduan yang diajukan kepada lembaga ini.
Walaupun demikian tidak berarti masyarakat tidak beranggapan terdapat berbagai
kekurangan terhadap lembaga ini. Beberapa kekurangan itu antara lain: sumber
daya manusia (SDM) yang dimiliki baik dari segi kuantitas maupun dari sisi
kualitas. Kritik lainnya, lembaga ini hanya ada di Jakarta yang diharapkan mampu
menangani perkara-perkara korupsi yang terdapat diseluruh Indonesia. Selain itu,
ada sebagian masyarakat yang beranggapan KPK bersikap diskriminatif dalam

120

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Universitas Sumatera Utara

menangani perkara-perkara yang ada. Terakhir, masyarakat beranggapan KPK
seringkali mengembalikan proses hukum tindak pidana korupsi kepada daerah.
Kelemahan-kelemahan ini dapat sebagai penghambat dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi tersebut.

c. Kultur Hukum
Kultur hukum dimaksudkan bagaimana cara berfikir dan cara bertindak
baik dari aparat hukum ataupun dari masyarakat. Dalam kaitan dengan tindak
pidana korupsi adalah bagaimana kultur (hukum) aparat dalam menangani tindak
pidana korupsi. Apakah aparat hukum sendiri telah menjadikan hukum sebagai
kultur mereka atau hanya sebatas retorika yang tidak menemukan ending. 121
Apabila aparat telah menjadikan hukum sebagai kultur, sebagai budaya, sebagai
pedoman hidup mereka maka kita akan mendapatkan aparat hukum yang tidak
bersifat kompromi terhadap para pelanggar hukum, termasuk didalamnya para
koruptor. Sebaliknya, sulit sekali memberantas tindak pidana korupsi apabila
aparat hukum merupakan bagian dari mata rantai yang telah sedemikian
bermasalahnya.
Cara berfikir aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh terhadap
berhasil tidaknya upaya kita memberantas tindak pidana korupsi. Aparat yang
berfikir untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek hanya memperuncing
permasalahan dan semakin menyuburkan korupsi. Hal ini dikarenakan patut
121

www.muhammad-yusuf, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi,
diakses pada tanggal 29 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara

diduga aparat itu akan bersedia melakukan kerjasama dengan para koruptor
sepanjang mendatangkan keuntungan bagi dirinya. 122
Cara berfikir dan bertindak masyarakat juga memberikan kontribusi besar
terhadap berhasil tidaknya upaya memberantas tindak pidana korupsi. Sepanjang
masyarakat berfikir apapun yang mereka lakukan tidak memberikan pengaruh
terhadap upaya pemberantasan korupsi maka selama itu pula peran masyarakat
tidak dapat diharapkan. Artinya, cara fikir demikian melahirkan sikap apatis
dalam penegakan hukum dan dipertahankannya praktek-praktek kolaborasi
ditengah masyarakat yang melahirkan tindakan-tindakan yang korup. Tindakantindakan korup itu dimulai dari hal-hal sederhana sampai kepada persoalanpersoalan serius.
Cara berfikir dan cara bertindak dari aparat hukum dan masyarakat ini
sangat menentukan corak pemberantasan tindak pidana korupsi suatu negara.
Menjadi tugas tidak ringan adalah bagaimana merubah pola fikir aparat dan
masyarakat agar terhindar dari pemikiran bahwa ketika mereka tidak berlaku
korup, maka orang lain yang akan melakukannya. Artinya, ada suatu pola fikir
bahwa korup itu merupakan hal biasa. Memang terjadi kesenjangan antara pola
fikir dengan pola tindak dalam urusan korupsi ini. Hasil penelitian lembaga
Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia bahwa masyarakat
umumnya menentang adanya praktek korupsi. Mereka menganggap korupsi

122

wwww. artikel-hukum, Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor Dan Korban Sunday, 16
January 2011 17:31 administrator Artikel

Universitas Sumatera Utara

sebagai masalah sosial yang serius yang disamakan dengan ”penyakit yang harus
diberantas.” Namun pada kenyataanya ketika ditanya apa yang akan mereka
lakukan ketika menghadapi berbagai situasi korupsi yang kongkrit, mereka
memandang ”korupsi sebagai sesuatu yang normal dan akan membayar.” 123
Realitas penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di Indonesia yang
kerap menampilkan kesan tebang pilih dan juga parsial terbatas pada para pelaku
delik dalam level kedudukan dan perbuatan yang sebenarnya hanya sebagai salah
satu mata rantai kecil dalam lingkaran utuh kontruksi perbuatan sebagaimana
limitasi delik yang sistemik, yang melibatkan aktor-aktor lainnya dalam level
kedudukan dan perbuatan yang sesungguhnya memegang peranan yang lebih
besar dalam keterwujudan delik tersebut, mau tidak mau berulang kali mengusik
nurani keadilan bagi sebuah bangsa. 124
Masalah keadilan dan letak keadilan tersebutlah yang secara intens
diperdebatkan dalam realitas penegakan hukum (pemberantasan) tindak pidana
korupsi di Indonesia yang cenderung dipandang tebang pilih dan parsial tersebut.
Klimaks dari perspektif penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang nirkeadilan tersebut seolah menjadi semakin nyata ketika perspektif umum dan
awam dari masyarakat yang menilai penegakan hukum tersebut dalam arah dan
esensi yang tebang pilih dan parsial, ternyata berbanding lurus dengan fakta-fakta
(hukum) yang terungkap di persidangan yang kemudian secara integral

123
124

Ibid
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

terformulasikan dalam putusan pengadilan. Sebuah fakta sahih yang ternyata
kemudian tidak kunjung mengarah juga pada terpenuhinya aspek keadilan secara
komprehensif, yang sesungguhnya akan terealisasikan dengan utuh pada saat
keseluruhan pelaku delik dalam sebuah konstruksi perbuatan yang notabene telah
dikualifisir sebagai rumusan delik (korupsi) dalam putusan pengadilan terhadap
“salah seorang pelaku” yang telah diajukan dan didakwa di muka persidangan
tersebut juga ikut diseret dan diadili di muka persidangan.

2. Peran saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi
2.1 Saksi dalam peradilan tindak pidana korupsi
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia
alami sendiri (Pasal 1 Ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban).
Dalam proses beracara, alat bukti merupakan bagian terpenting dalam
mencari atau menemukan suatu kebenaran materiil. Mengenai alat bukti yang sah
tercantum didalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu antara lain:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Salah
satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi. 125 Keterangan saksi
sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan, dimana

125

Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Universitas Sumatera Utara

keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan padanya (Unnus Testis Nullus) dan saksi
harus memberikan keterangan mengenai apa yang ia lihat, dengar, ia alami sendiri
tidak boleh mendengar dari orang lain (Testimonium De Auditu).
Dalam Pasal 185 ayat 1-7 KUHAP menjelaskan :
1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan.
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak

berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila
keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi.
6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguhsungguh memperhatikan:
(a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
(b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

Universitas Sumatera Utara

(c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu
(d) cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang
lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan
alat bukti sah yang lain. 126
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, agar
keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu
diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi.
Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang
mempunyai nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji;
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Pada prinsipnya sumpah
atau janji itu wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan
tetapi, Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan
sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.

126

Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Universitas Sumatera Utara

2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti;
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai bukti ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 27 KUHAP, yaitu yang saksi
lihat, dengar dan alami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;
Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu
harus dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal
185 ayat (1) KUHAP. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan
bukan merupakan alat bukti.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup;
Supaya keterangan seorang saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangya dengan dua alat
bukti. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan
seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa atau “unus testis nullus testis”. Artinya jika alat
bukti yang dikemukakan oleh penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi
saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain, “kesaksian
tunggal” ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri;
Sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang
pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian, belum
tentu keterangan saksi-saksi tersebut secara kualitatif memadai sebagai alat bukti
yang sah untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam hal ini, tidak ada
gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan
mereka berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan
yang lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau
keadaan tertentu. 127
Di dalam Pasal 170 KUHAP dikatakan bahwa mereka yang karena
pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut
penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya
kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang
dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau
tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut. 128
Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harus
merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sedangkan yang dimaksud

127
128

UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 190 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Universitas Sumatera Utara

karena martabatnya dapat mengundurkan diri misalnya adalah pastor agama
Katolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan
pengakuan dosa kepada pastor tersebut.
Karena Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas
mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan
keterangan sebagai saksi….” Maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi ,
dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah maka kekecualian menjadi saksi
karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan
kekecualian relatif.

2.2 Saksi Pelapor dalam tindak pidana korupsi
Dalam praktek hukum dewasa ini, nampaknya orang-orang yang dimasukkan
dalam kategori saksi tidak terbatas pada orang-orang yang dirumuskan dalam Pasal 1
butir 26 KUHAP yang berbunyi bahwa saksi adalah: “orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” 129
Sejumlah kasus pidana telah menunjukkan bahwa orang-orang yang
“mengetahui” sesuatu yang berkenaan dengan tindak pidana saja sudah dapat
dimasukkan dalam kategori saksi. UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah
diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bahkan membedakan antara saksi dan pelapor, dan sang pelapor ternyata

129

Pasal 1 butir 26 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Universitas Sumatera Utara

tidak diajukan dalam sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan
alamatnya. Pasal 31 merumuskan adanya saksi dan pelapor, baik pada tingkat
penyidikan maupun persidangan; sedangkan Pasal 41 ayat (2) e merumuskan hak
saksi pelapor untuk memperoleh perlindungan hukum (walau tidak dijelaskan secara
rinci bentuk dan prosedurnya). 130
Pembedaan antara saksi dan (saksi) pelapor ini tidak dijelaskan dengan rinci
dalam penjelasan UU tersebut, yang mungkin kelak akan dapat menimbulkan
permasalahan dalam praktek. Dari ketentuan ini dapat pula diketahui bahwa dalam
kasus korupsi ini dimungkinkan adanya seseorang yang mengetahui adanya tindak
pidana, akan tetapi ia tidak berperan sebagai saksi dalam proses peradilan pidana.
Ketentuan yang memberikan sanksi pidana bagi saksi yang mengungkapkan identitas
“pelapor” ini di sidang pengadilan, menunjukkan bahwa pengadilan tidak mempunyai
kewenangan untuk mewajibkan si pelapor untuk hadir dan memberikan informasi
dalam sidang peradilan. Dengan demikian, apakah ketentuan tentang sanksi terhadap
mereka yang tidak datang ketika dipanggil menjadi saksi (kewajiban saksi) yang
dirumuskan dalam Pasal 224 (dengan sengaja tidak datang) dan 522 KUHP (dengan
melawan hak tidak datang) tidak berlaku. Ketidakjelasan semacam ini layaknya
segera diatasi dengan memberikan rumusan yang jelas mengenai perbedaan antara
saksi dan pelapor. Maka persoalan yang mendasar adalah memberikan suatu
perumusan yang jelas mengenai saksi, dan mungkin memberikan berbagai kategori
saksi (saat ini dalam KUHAP hanya dikenal saksi biasa dan saksi ahli).
130

Pasal 31 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Untuk mengakomodir terhadap pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai
pihak yang dapat memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana, maka
definisi tentang saksi perlu diperluas, tidak saja saksi menurut KUHAP, namun
pengertian tentang saksi mencakup pula:
a. seorang pelapor atau pengadu (wistle blower);
b. saksi sebagai korban;
c. saksi bukan korban; dan
d. saksi ahli.
Seorang pelapor yang mengetahui suatu tindak pidana tetapi tidak berperan
sebagai saksi juga termasuk dalam pengertian saksi. Ketentuan ini mengakomodir
pengaturan tentang perlindungan seorang pelapor dalam kasus-kasus korupsi.
Demikian pula dengan seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu
hal dan dimintai keterangan untuk menjelaskan tentang terangnya perkara sehingga
dapat diketemukan kebenaran material dalam suatu perkara pidana dapat
dikategorikan dalam pengertian saksi yang harus dilindungi.
Secara lengkap rumusan saksi adalah sebagai berikut: “Saksi adalah seseorang
yang menyampaikan laporan dan atau orang yang dapat memberikan keterangan
dalam proses penyelesaian perkara pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia
dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang
pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian perkara pidana”.
Keberadaan “Pelapor” sangat diperlukan sekali dalam menindaklanjuti adanya
suatu perbuatan tindak pidana, dan peran serta “Pelapor” sebaiknya dimulai dari

Universitas Sumatera Utara

kesadaran diri pribadi, keluarga, lingkungan dan seluruh lapisan masyarakat untuk
dapat mematuhi aspek hukum dan sekaligus menjauhi perbuatan tindak pidana. Peran
serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. 131 Terlebih lagi dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain
peran serta “Pelapor” (berupa peran aktif perorangan, Organisasi Masyarakat, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah merupakan upaya pencegahan/preventif
disamping tindakan penindakan/represif, yang meliputi reformasi birokrasi, menata
ulang dan mengkaji serta memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan negara
maupun melakukan optimalisasi lembaga-lembaga pengawasan disetiap lembagalembaga pemerintah. Untuk membahas kata “Pelapor” maka harus lebih dahulu
menyesuaikan padanan kata “Pelapor “ dengan kata “Laporan” yang sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP, menyatakan : Laporan adalah pemberitahuan
yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undangundang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan
terjadinya peristiwa pidana.
Dari pengertian laporan sebagaimana diutarakan diatas bermakna adanya
suatu “pemberitahuan” oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang
sesuatu kejadian peristiwa pidana. Dalam hal ini orang yang berhak untuk
menyampaikan laporan adalah :
131

www. Dominggus Silaban, SH.MH Dapatkah saksi pelapor tindak pidana korupsi
ditangkap/ditahan/diproses pidana dalam kaitan dengan kasus yang dilaporkannya? . Hakim
Pengadilan Negeri Sukabumi.

Universitas Sumatera Utara

-

Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban
peristiwa pidana kepada penyelidik atau penyidik;

-

Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman atau keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak
milik wajib seketika itu melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;

-

Pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugasnya yang mengetahui terjadinya
peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera itu melaporkan hal tersebut
kepada penyelidik atau penyidik; 132
Selain daripada pengertian “ pelapor” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

angka 24 KHUAP, ternyata masih dikenal lagi ketentuan hukum yang mengatur
tentang keberadaan "pelapor", yang antara lain terdapat pada: UU Perlindungan Saksi
dan Korban, PP Nomor 57 Tahun 2000 dan PP Nomor 71 Tahun 2000;
Menurut Pasal 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban yaitu yang dimaksud
dengan ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”
dan ”Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan yang
dimaksud dengan ”Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Undang-Undang

132

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Perlindungan Saksi dan Korban adalah suatu lembaga yang bertugas dan berwenang
untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban”. 133
Menurut PP Nomor 57 Tahun 2009 terdapat 2 (dua) kualifikasi tentang yang
dimaksudkan dengan “pelapor“, yaitu:
1. Setiap orang yang karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundangundangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan
Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai
sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; atau
2. Setiap orang yang secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya
dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
UU TPPU. Sedangkan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.
3. Selanjutnya dalam Pasal 2 PP Nomor 57 Tahun 2009 secara tegas dinyatakan,
bahwa setiap Pelapor dan Saksi dalam perkara tindak pidana pencucian uang
wajib diberikan perlindungan khusus baik sebelum, selama maupun sesudah
proses pemeriksaan perkara. Perlindungan khusus dimaksud dilaksanakan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). 134
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 yang pada
bagian Penjelasannya Pasal 3 ayat (1), menguraikan pengertian “ Pelapor “ adalah :

133
134

Pasal 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 1 dan Pasal 2 PP Nomor 57 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara

orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau Komisi mengenai
terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Dalam kesempatan ini secara lengkap akan kami uraikan keberadaan Pasal 2
dan Pasal 3 dari PP Nomor 71 Tahun 2000 sebagai berikut:
a. Pasal 2 PP Nomor 71 Tahun 2000 tersebut, menyatakan:
(1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat
berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada
penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.
(2) Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus
dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

yang

berlaku,

norma

agama,

kesusilaan,

dan

kesopanan. 135
Pasal 3 PP Nomor 71 Tahun 2000 menyatakan bahwa :
(1) Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai :
a. Data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat,
atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi
kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan
b. Keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan
bukti-bukti permulaan.
135

Pasal 2 dari PP Nomor 71 Tahun 2000.

Universitas Sumatera Utara

(2) Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan
gelar perkara oleh penegak hukum. 136
Dari uraian diatas, penulis bermaksud untuk menguraikan bagaimana jaminan
dan perlindungan serta penghargaan yang akan diterima oleh “ Pelapor “ dalam
mengungkap suatu tindak pidana/kejahatan korupsi, dalam kaitannya dengan
ketentuan hukum Pasal 41 dan Pasal 42 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,
dasar hukumnya diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum sebagai berikut :
Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk :
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi;
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam

Dokumen yang terkait

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAPOR TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 15 26

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi (Justice Collaborator) Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

1 8 50

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 12

Optimalisasi Perlindungan Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

0 0 6

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 0 2

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 2

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 35

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 4

JURNAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 15