Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
ABSTRAK
Peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi
perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU PTPK
1999 dan Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi. Peraturan ini ditindaklanjuti
dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005
yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Saksi, pelapor dan korban memerlukan
perlindungan hukum ini, dimana diberikan oleh negara untuk mengatasi
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta bendanya termasuk
keluarganya.
Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana asas perlindungan hukum
terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan
Saksi dan Korban, bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum
terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan
Saksi dan Korban dan apakah hambatan dalam perlindungan hukum terhadap saksi
pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.
Penggunaan pendekatan yuridis normatif yang dimaksud adalah melakukan
pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan teori-teori yang berlaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) asas perlindungan hukum terhadap
saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan
Korban adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia, yaitu membedakan
manusia dari makhluk-makhluk lainnya di seluruh alam semesta, dimana Harkat dan
Martabat Manusia (HMM) yang mengandung butir-butir bahwa manusia adalah
makhluk yang terindah dalam bentuk dan pencitraannya; makhluk yang tertinggi
derajatnya; makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa;
khalifah dimuka bumi; dan pemilik Hak-hak Asasi Manusia (HAM). (2) Kebijakan
pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak
pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan
elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak
pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan
ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. (3) Pengaturan
mengenai saksi pelapor dapat dilihat dalam Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan
Korban. Hambatan yuridis dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak
pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai
berikut: peraturan yang tidak memadai, pelapor hanya sebatas mendapatkan
perlindungan secara hukum, saksi yang juga tersangka lain.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban tersebar di
berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi
perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU PTPK
1999 dan Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi. Peraturan ini ditindaklanjuti
dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005
yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Saksi, pelapor dan korban memerlukan
perlindungan hukum ini, dimana diberikan oleh negara untuk mengatasi
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta bendanya termasuk
keluarganya.
Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana asas perlindungan hukum
terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan
Saksi dan Korban, bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum
terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan
Saksi dan Korban dan apakah hambatan dalam perlindungan hukum terhadap saksi
pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif.
Penggunaan pendekatan yuridis normatif yang dimaksud adalah melakukan
pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan teori-teori yang berlaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) asas perlindungan hukum terhadap
saksi pelapor tindak pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan
Korban adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia, yaitu membedakan
manusia dari makhluk-makhluk lainnya di seluruh alam semesta, dimana Harkat dan
Martabat Manusia (HMM) yang mengandung butir-butir bahwa manusia adalah
makhluk yang terindah dalam bentuk dan pencitraannya; makhluk yang tertinggi
derajatnya; makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa;
khalifah dimuka bumi; dan pemilik Hak-hak Asasi Manusia (HAM). (2) Kebijakan
pengaturan hukum mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak
pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan
elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak
pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan
ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. (3) Pengaturan
mengenai saksi pelapor dapat dilihat dalam Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan
Korban. Hambatan yuridis dalam perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak
pidana korupsi dikaitkan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai
berikut: peraturan yang tidak memadai, pelapor hanya sebatas mendapatkan
perlindungan secara hukum, saksi yang juga tersangka lain.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara