Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis: Kajian Antropologi Sastra.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Semi (2003) Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan karya
seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya. Cara pandang pengarang, wilayah, geografi budaya,
waktu, dan juga berbagai faktor lain, merupakan konteks dari suatu karya sastra.
Artinya sastra juga mempunyai ikatan terhadap budaya dari suatu masyarakat dan
kehidupan pengarangnya. Berdasarkan hal di atas, Soemarjan dan Sumardi (2001)
hubungan sastra dengan kebudayaan sangat nyata, karena kebudayaan merupakan
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Pengkajian sastra, khususnya kesusastraan Melayu, terbagi dalam dua bentuk
yaitu, sastra lisan dan sastra tulisan, Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat
kita temukan dalam masyarakat dan diwariskan secara turun-memurun. Wiget
(dalam Lauter, 1994), Sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar dan
pendengarnya turut melakukan evaluasi terhadap cara penyajian dan isi penceritaan.

Menurut Othman (1998) lingkup dan objek kajian sastra lisan sangat luas.

Salah satu genre sastra lisan ialah tradisi pertahanan diri dari suatu masyarakat.
Umpamanya genre bela diri Silat Lintau yang sangat populer dalam masyarakat
Melayu Serdang. Cara sang guru yang menurunkan ilmu, jurus, dan lainnya
merupakan sastra lisan yang secara langsung terjadi di tengah-tengah masyarakat
Melayu Serdang Kedatukan Batang Kuis. Pada pengkajian genre bela diri dapat

Universitas Sumatera Utara

diungkapkan jati diri dari suatu masyarakat. Hal ini menurut Othman (1999)
Kandungan teks dan konteksnya tidak terlepas dari kosmologi masyarakat Melayu.

Mengetahui jati diri dalam tradisi bela diri Silat lintau tersebut Salah satu
pendekatan yang digunakan dalam ilmu kajian sastra adalah Antropologi sastra.
Antrophos adalah manusia, sedangkan logos adalah ilmu, Antropologi sastra adalah

ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Menurut Koentjaraningrat (2000) antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat
serta kebudayaan yang dihasilkan. dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik

serta kebudayaan termasuk cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, dan kandungan nilai
yang dihasilkan sehingga setiap manusia memiliki perbedaaan yang satu dengan
yang lainnya.

Hal ini membuat kelangsungan hidup suatu bahasa tergantung oleh dinamika
kehidupan budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, budaya yang
ada disekeliling bahasa akan ikut menentukan wajah dari suatu tekstual tersebut,
sebab pada hakikatnya manusia dan budaya tak akan pernah lepas, ketika manusia
mendiami suatu wilayah pasti akan terbentuk sebuah kebudayaan tempat para
manusia membuat suatu karya seni, bahasa, agama, ekonomi, teknologi, dan
kesenjangan sosial, kebudayaan tersebut juga akan berubah seiring dengan
bertambahnya waktu serta kemajuan zaman. Maka secara sederhana, manusia adalah
pelaku budaya, sedangkan budaya adalah objek yang dilakukan oleh manusia.

Ilmu budaya dasar yang di sebut juga sebagai Basic Humanities berasal dari
bahasa latin yang di sebut dengan “humanus”, yang memiliki arti manusiawi,

Universitas Sumatera Utara

berbudaya, dan halus. Pada umumnya, humanities mencakup filsafat, teologi, seni,

dan cabang-cabangnya seperti sejarah, dan sastra, maka dari itu humanities menjadi
ilmu kemanusiaan dan kebudayaan, seni termasuk sastra yang penting dalam
humanities karena seni merupakan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang normative,

dan bukan sebagai formulasi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, di samping itu sastra
memiliki peranan yang jauh lebih penting karena sastra menggunakan bahasa.
Sementara bahasa mempunyai kemampuan untuk menampung hampir semua
pernyataan kegiatan manusia untuk memahami dirinya sendiri yang akhirnya
melahirkan filsafat untuk memahami alam semesta dan akhirnya menciptakan ilmu
pengetahuan.
Proses pembentukan jati diri manusia yang terdapat di Indonesia berakar dari
proses mitologi kesukuan yang berdiam di nusantara sebagai bentuk penafsiran
dengan latar etnik yang beragam terhadap sumber budaya etnik. Oleh karena itu,
kita seharusnya mengenal mitologi Minang, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar,
Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara, sebab dalam mitologi
kesukuan tersebut banyak terdapat nilai-nilai sastra etnik yang mempengaruhi
prilaku dan membentuk sifat menjadi ciri dari manusia di Indonesia.
Pengaruh jati diri pada sastra jelas berawal dari proses keintelektualan etnik,
diikuti perkembangan zaman dan kelompok masyarakat. Dengan kata lain, jati diri
yang telah ada banyak dipengaruhi oleh para pengarang dari berbagai kelompok

etnik di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya. Sastra adalah salah
satu syarat dalam membentuk jati diri, di dalam kajian sastra dan karya sastra selalu
mengangkat komponen karakteristik manusia, baik dari segi psikologis, sosiologis,
serta kepribadian manusia, karya sastra tersebut jelas mengungkap bahwa jati diri
manusia adalah objek dari kajian sastra.

Universitas Sumatera Utara

Dalam peraturan Silat Lintau seorang Guru Silat Lintau untuk menerima
murid memberikan syarat membawa sebilah pisau belati, kain putih setinggi badan,
dan piring batu putih tanpa motif, Setelah syarat terpenuhi barulah proses latihan
dilaksanakan. Latihan pertama dilakukan di gelanggang atau di rumah panggung,
gerakan pertama melakukan pertarungan dengan posisi duduk, sebab posisi berdiri
akan dipelajari di tahap selanjutnya. Pertama sekali yang dipelajari adalah kuncian
Lintau yang terbagi menjadi 16 bagian jurus, yaitu ; 4 jenis elakan pada tumbuk, 4
jenis elakan pada tikam/cucuk, 4 jenis elakan pada tetak, dan 4 jenis elakan pada
simbor, lalu ada mantera dan doa-doa yang digunakan, seperti doa mohon
keselamatan yang dipanjatkan pada yang maha kuasa.
Setelah mahir dalam posisi duduk selanjutnya gerakan setengah berdiri yang
mengantarkan pada tahap turun gelanggang, di sini ada persyaratan yang harus

dibawa, yaitu ayam jantan yang belum pernah kawin, dengan ciri belum memiliki
jengger dan keluruknya pendek, namun mempunyai taji dikedua kakinya bersama
pulut kuning dan intinya, lalu dipanggil pemuka adat kepala desa dan ulama yang
ada di kampung tersebut untuk meresmikan murid turun tanah/turun gelanggang,
ayam tersebut akan dihidangkan bersama pulut untuk disantap bersama sebagai
meresmikan bahwa sudah sah turun gelanggang, tulang-belulang ayam akan
dibungkus dengan kain putih ditanam ditengah lapangan tempat nantinya berlatih
Lintau. Makna dari ayam yang dibawa sebagai syarat adalah kita berasal dari Allah
S.W.T dan akan kembali kepada-Nya, lalu pulut memiliki arti banyak namun tetap
bersatu.
Dalam latihan turun tanah akan di pelajari ilmu langkah satu papan, yang
maksudnya mundur selangkah, maju selangkah atau menghindari serangan dan
mengambil langkah untuk menyerang balik, langkah ini tidak langkah mati sebab

Universitas Sumatera Utara

berakibat fatal untuk diri sendiri jika tidak diperhatikan penggunaan langkah
tersebut, penilaian guru kepada murid tentang pengamalan silat lintau akan menjadi
generasi penerus guru yang di beri nama si “De” atau “Da” (seperti seorang asisten
atau wakil) berikutnya apabila sang guru mangkat atau meninggal dunia dengan

meninggalkan belati dan kain putih pemberian sang guru tersebut berarti si De
tersebut berhak mengajarkan Lintau dan menjadi seorang guru.
Berdasarkan uraian di atas menunjukan adanya hubungan antara tradisi kajian
sastra, jati diri, dan keberadaan silat lintau dalam masyarakat Melayu khususnya
Melayu Serdang yang berada di Kedatukan Batang Kuis, oleh karena itu penelitian
ini mengkaji tentang pendekatan antropologi sastra, sebab antropologi tidak hanya
membahas manusia dari sisi biologisnya saja namun juga komponen karakter dari
jati diri untuk menyingkap ideologi manusia sebagai mahluk hidup.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana latar dan tahap pelaksanaan/penggunaan Silat Lintau.
2. Apa makna teks dan konteks yang terkandung dalam Silat Lintau.
3. Bagaimana jati diri masyarakat Serdang di Kedatukan Batang Kuis
berdasarkan kajian teks dan konteks pelaksanaan/penggunaannya.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan tahap pelaksanaan yang terkandung dalam Silat Lintau
sebagai pembentukan jati diri Masyarakat Serdang di Kedatukan Batang Kuis.


Universitas Sumatera Utara

2. Untuk mengetahui makna teks dan konteks yang terkandung dalam Silat
Lintau.
3. Mengetahui terbentuknya jati diri masyarakat serdang di kedatukan Batang
Kuis berdasarkan kajian teks dan konteks pelaksanaan Silat Lintau.
1.1

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Memberikan masukan dalam pengembangan seni dan budaya, khususnya
seni beladiri
2) Memberikan pemahaman mengenai tahapan yang berperan dalam
pembentukan jati diri melalui seni beladiri Silat Lintau
3) Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi sastra
dan budaya dengan tinjauan antropologi sastra.

Universitas Sumatera Utara