Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis: Kajian Antropologi Sastra.

(1)

DATA INFORMAN :

1. Nama : Khairan (Andak Siteng) Usia : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Desa Pekan Batang Kuis Gg. Bahari No.10 2. Nama : Bateh

Usia : 51 Tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Desa Pekan Batang Kuis Gg. Bahari No.13 3. Nama : Wanda

Usia : 21 Tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Desa Pekan Batang Kuis Gg. Bahari No.11 4. Nama : Muni Syarah

Usia : 14 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Pekan Batang Kuis Gg. Bahari No.10 5. Nama : Agam

Usia : 16 Tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki


(2)

(3)

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arapradhipa. 2005. Bahasa Indonesia Dasar. Malang. UMM Press.

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta. Rineka Cipta.

Arrasyid Chainur, Syaifuddin Wan, Umry Shafwan Hadi. 2008. Taat Ajar Dan Taat Hukum Orang Melayu. USU Press.

Budiyanto, Melani. 1998. Teory Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.

Endraswara, Suwandi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta: PT.RINEKA CIPTA, PT.Asdi Mahasatya. Jakarta.

Daud Harun, 2001, Pemikiran Dalam Mantra, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hasbullah, 2010. Islam dan Tamadun Melayu. Pekanbaru : LPM Fak Ushuludin UIN SUSKA & YPR

Kartono. 2003. Penelitian lapangan dalam studi observasi. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi Dasar. Yogyakarta. PUSTAKA PELAJAR.


(5)

Koentjaraningrat. 1985. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta.PUSTAKA PELAJAR.

Mahdini, 2003. Islam dan Kebudayaan Melayu. Pekanbaru : Daulat Riau

Marzali, Amri. 2005. Antropologi Dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: PRENADA KENCANA.

Muhammad, Syed.1990. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung : Mizan

Mulyana. 2000. Konsep Masyarakat Modern Indonesia. Bogor. IPB Press.

Osman, Mohd. Taib. 1998. Panduan Pengumpulan Tradisi Lisan Malaysia. Malaysia: Malindo Printers Sdn Bhd.

Pradopo, Dkk. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya.

Pujileksono, Sugeng. 2009. Pengantar Antropologi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang press (UMM).

Rachman. 2004. Studi Penelitian Observasi. Bandung. IPB Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta. PUSTAKA PELAJAR.


(6)

Soemarjan dan Soemardi. 1964. Setangkai bunga sosiologi : buku bacaan untuk kuliah pengantar sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta. CAPS.

Syaifudin wan, Sinar Tengku Lukman, 2005, Kebudayaan Sumatera Timur, Medan USU Press.

Syaifuddin wan, Ok Syahril. 2008. Khazanah Melayu Sumatera Utara. USU Press.

Syaifuddin wan, 2014. Menjulang Tradisi Etnik Budaya. Medan : USU Press


(7)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Disain Penelitian

Arikunto (2010 : 50) menyatakan, metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan guna menjawab persoalan yang dihadapi. Hal ini menyimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara untuk mencapai kebenaran dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang diperlukan guna mencapai tujuan.

Disain penelitian atau dapat juga disebut metode penelitian adalah suatu cara untuk mencari kebenaran dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian penelitian ini menggunakan Pendekatan Kualitatif Naturalistik dengan teknik pengumpulan data seperti observasi kuesioner (angket) dan dokumentasi.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri dari : Pertama, sumber data berupa informan yaitu masyarakat Melayu Serdang yang bermukim Desa Payagambar Kecamatan Batang Kuis. Kedua, sumber data berupa suasana mencakup kehidupan sehari-hari, balai masyarakat, interaksi antara masyarakat sekitar dan tempat berkumpul/kerumunan yang berpotensi akan informasi tantang penelitian, serta buku-buku yang berkaitan dengan Silat Lintau.


(8)

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam suatu penelitian instrumen sangat memegang peranan yang penting. Berhasil atau tidak suatu penelitian ditentukan oleh instrumen yang digunakan dalam penelitian. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat rekam suara (voice/audio recording) dan alat rekam gambar (video recording) beserta kuisioner berupa pertanyaan. Pertanyaan diberikan kepada masyarakat yang terkait seputar mengenai Silat Lintau untuk memahami jati diri masyarakat yang ada di Kedatukan Batang Kuis tersebut, pertanyaan ini berisi tentang pemaparan secara deskriptif Silat Lintau tersebut, sedangkan dalam hal ini angket yang diteliti berdasarkan pendapat Hasan (2011: 10) angket digunakan agar peneliti memperoleh tanggapan masyarakat.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian sesuai dengan maksud tujuan teknik ini digunakan untuk mendapat informasi yang diharapkan, lalu pengumpulan data dilakukan melalui teknik sebagai berikut:

3.4.1 Teknik Observasi

Maksud observasi sendiri adalah sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan dengan tersusun terhadap objek ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang diselidiki, teknik ini disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa yang akan diselidiki identitas peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau


(9)

Berkaitan dengan observasi Kartono (2003: 57) mengemukakan, observasi adalah studi yang sengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi dengan menerapkan pencatatan berkala atau insidental record dimana pencatatan dilakukan menurut urutan kejadian dan urutan waktu yang tidak dilakukan secara terus menerus melainkan pada waktu tertentu dan mempunyai batas pula, pada jangka waktu yang ditetapkan untuk tiap-tiap kali pengamatan.

Peneliti menggunakan teknik observasi baik langsung maupun yang tidak langsung yang didasari beberapa alasan sebagai berikut:

1. Banyak gejala yang dapat diselidiki dengan observasi sehingga hasilnya akurat sulit dibantah.

2. Banyak objek yang hanya bersedia diambil datanya dengan cara observasi.

3. Kejadian yang serempak hanya dapat diamati dan dicatat secara serempak pula dengan memperbanyak observer.

4. Banyak kejadian yang dipandang kecil yang tidak dapat ditangkap oleh alat pengumpul data yang lain, ternyata sangat menentukan hasil penelitian justru diungkap oleh observasi (Rachman, 2004:80)

Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan peneliti menggunakan metode observasi langsung yaitu, di Serdang kedatukan Batang Kuis tepatnya di desa payagambar, sedangkan yang dijadikan fokus observasi dalam penelitian ini adalah silat lintau untuk memahami jati diri masyarakat Melayu dalam tradisi beladiri.


(10)

Kuesioner berisi beberapa pertanyaan untuk masyarakat sebagai responden. Pertanyaan-pertanyaan yang ada bertujuan memperoleh data tentang pandangan mereka pada Silat Lintau serta penggunannya dalam penelitian tersebut.

3.4.3 Teknik Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, agenda dan lain sebagainya (Arikunto, 2006:236). Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi dilakukan dengan cara peneliti mengumpulkan data-data melalui pencatatan atau data-data tertulis yang ada di desa Payagambar Kecamatan Batang Kuis.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model analisis mengalir, yang meliputi tiga komponen, yaitu 1) reduksi data; 2) penyajian data; dan 3) penarikan simpulan (Verifikasi). Analisis model mengalir mempunyai tiga komponen yang saling terjalin dengan baik, yaitu sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan pengumpulan data, (Suwondo, 2001: 128). Penjelasannya sebagai berikut.

3.5.1 Reduksi Data

Langkah ini memungkinkan data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci. Dan data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang jati diri masyarakat melayu


(11)

serdang dalam tradisi beladiri Silat Lintau. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.

3.5.2 Sajian Data

Langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang karakter masyarakat.

3.5.3 Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Tahap ini dibuat kesimpulan tentang hasil dan data yang diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan dari ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang diperoleh benar-benar valid. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus-menerus mulai dan awal, saat penelitian berlangsung, sampai akhir penelitian.


(12)

BAB IV

JATIDIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALAM TRADISI BELADIRI SILAT LINTAU

4.1 Sejarah Ringkas Dan Wilayah Penyebarannya

4.1.1 Sejarah Ringkas

Sinar dan Syaifuddin (2004:29) mengungkapkan bahwa Kedatukan Batang Kuis merupakan bagian dari wilayah dan kekuasaan Kesultanan Serdang. Di wilayah Kedatukan Batang Kuis terdapat luhak-luhak (Lurah), kampung, dusun, dan lorong. Terdapatnya sebuah Kedatukan, dalam sistem ketatanegaraan atau sistem beraja Melayu sama dengan kerajaan kecil dalam sebuah kesultanan. Datuk berkuasa penuh atas kemaslahatan rakyatnya, apalagi kelangsungan adat resamnya, datuklah yang

bertanggungjawab. Dalam ungkapan Melayu dinyatakan bahwa “ rakyat bagai akar, datuk pohonnya”. Maknanya seorang datuk harus arif dan bijaksana atas adat

masyarakatnya. Sultan serta rakyat akan murka bila datuk mengeyampingkan adat dalam kebijakannya.

Dalam Kesultanan Serdang, tepatnya pada kedatukan Batang Kuis hingga kini masyarakatnya masih menghormati datuk yang dikukuhkan oleh sultan. Tugas datuk menjalankan mandat sultan, yaitu untuk memimpin kelompok-kelompok kecil dalam susunan masyarakat tersebut. Selain itu, ia harus mampu menjaga kelangsungan aspek-aspek adat, seperti kesenian, sastra, dan ritual-ritual yang ada di dalam masyarakatnya, termasuklah tradisi bela diri Silat Lintau.


(13)

Dalam masyarakat Melayu di Kedatukan Batang Kuis, menurut informan bernama Khairan silat dapat diartikan silaturrahmi, sedangkan raganya dapat diartikan sebagai mencari lawan. Manakala jiwanya mencari teman. Menurut informan silat diperkirakan menyebar di nusantara semenjak abad ke-7 masehi. Akan tetapi asal mulanya belum dapat dipastikan. Meskipun demikian, silat saat ini telah diakui sebagai budaya tradsi Melayu dalam pengertian yang luas.

Menurut Khairan yang akrab dipanggil Siteng, Sejarah silat wujud juga di daerah Minangkabau, khususnya di desa Lintau Kabupaten Tanah Datar. Mereka memberi arti Silat (silek) Lintau adalah suatu teknik/seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat yang telah diwariskan sejak turun-temurun. Dikarenakan sifat orang Minagkabau yang suka merantau, dengan sendirinya membuat Silek Lintau bisa berkembang. Sebagian pendapat keadaan di atas yang membuat seni Silek Lintau berkembang sampai di Kesultanan Serdang.

4.1.2 Wilayah Penyebaran

Di kesultanan Serdang sendiri Silat Lintau pertama datang dari daerah pesisir, yaitu pesisir Pantai Labu dan Pantai Cermin dibawa oleh para perantau, mushafir, dan pedagang. Silat atau ‘silek’ diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan, Tanah Datar, di kaki Gunung Marapi pada abad XI. Penuturan informan bernama Khairan yang merupakan seorang guru Silat Lintau di desa Batang Kuis Pekan, Kecamatan Batang Kuis mengatakan bahwa Silat Lintau dibawa oleh Syekh Batu Mandi, dari Minangkabau, di wilayah kaki gunung Merapi sebelum masa kolonial penjajahan Belanda.

Penyebarannya melalui pedagang yang merantau hingga ke tanah Melayu, lalu Silat Lintau digunakan sebagai bela diri oleh masyarakat dan disebarkan pada


(14)

orang-orang yang berada di Kesultanan Serdang di Kedatukan Batang Kuis. Saat itu Silat Lintau digunakan oleh para pedagang dan mushafir yang merantau untuk mempertahankan diri dari pembajak dan perampok kampung. Seiring perkembangan waktu penyebaran terjadi karena para perantau tersebut menetap dan menikah pada masyarakat yang berada di Serdang.

4.2 Guru Dan Pewaris

4.2.1 Guru

Daud (2001) menyatakan bahwa istilah guru dalam budaya masyarakat Melayu seseorang yang mempunyai keahlian tentang sesuatu dan berjiwa sosial terhadap masyarakatnya. Sebagian masyarakat menafsirkan bahwa guru orang yang mempunyai kekuatan supranatural atau seseorang yang mempunyai kekuatan gaib atau mistik. Terkadang ia dapat juga disebut pawang atau orang pintar.

Dalam bela diri Silat Lintau istilah guru hampir sama artinya seperti hal tersebut di atas. Seorang informan yang bernama Khairan menuturkan, bahwasanya dalam mempelajari Silat Lintau awal sekali harus ditenungkan oleh seorang guru. Hal ini, guru terlebih dahulu memahami sifat dan niat si murid yang akan mendapat pelajaran atau akan dilatih.1

Selanjutnya seorang itu di bimbing oleh guru secara bertahap. Ini dilakukan karena hal-hal tertentu sang murid dapat saja berpindah-pindah sebelum menuntaskan pembelajaran. Namun, apabila sang murid dapat menyelesaikan pembelajaran dengan baik atau tidak berpindah ke daerah lain, ia akan diberi


(15)

Berdasarkan pengakuan seorang informan bernama Siteng, Guru pertama ialah Ok Habibbullah (1921-2001). Ia saudara dari Ok Khairil adalah murid pertama Silat Lintau di Batang Kuisi. Selain itu tercatat sebagai Nazir (pengurus sekaligus Imam) di Masjid Jamik, serupa dengan Imam Atok Ojang (1934-2009) yang merupakan guru Silat Lintau. Mereka juga merupakan Imam Mesjid Jamik di Kampung Niaga Batang Kuis. Manakala guru ke tiga informan adalah Atok Akhiruddin atau Atok Jenggot (1932-2010). Beliau seorang veteran militer yang berjuang di daerah Serdang.2

Menurut informan bernama Bateh Atok Akhiruddin pernah mendapat piagam penghargaan dari presiden Republik Indonesia Kedua, yaitu Soeharto sebagai pahlawan perang. Melalui anaknya Atok Jenggot memberikan pisau belati tanda turunnya mandat guru kepada informan, beliau memiliki rumah keluarga dan berdomisili di Kampung Niaga.3

4.2.2 Pewaris

Menurut Yusmar (2006) istilah pewaris dalam budaya Melayu sama dengan murid. Dengan kata lain berpengertian seorang yang menerima dan belajar tentang sesuatu, seperti belajar tentang bela diri dan melakukan hentakan di dalam menari pada peristiwa adat ritual.

Menurut informan bernama Wanda yang juga merupakan keponakan Siteng, pewaris atau murid dalam bela diri Silat Lintau akan di tempah secara lahir dan batin. Penempaan ini melalui proses pelatihan yang diajarkan oleh Guru. Mulai

2 Andak Khairan, 2014, Desa Pekan Kec. Batang Kuis, Senin, 10 Februari 3


(16)

dari syarat hingga aturan-aturan perguruan yang diberikan untuk menjadi seorang pesilat. Peraturan ini semata-mata bukan atas kehendak Guru. Namun, sudah ada sejak Silat Lintau di bawa dan disebarkan.4

Sejak awal murid harus memahami latar pelaksanaan dan penggunaan Silat Lintau. Ini disampaikan agar segala kemampuan yang didapat tidak digunakan kepada hal-hal yang menzalimi makhluk Allah. Murid harus dapat mengartikan mengapa setiap pemula harus berada di dalam rumah panggung hal itu merupakan syarat pertama.

Menurut informan yang bernama Siteng selaku guru yang pernah mengajarkan Silat Lintau, syarat untuk mempelajari Silat Lintau ialah, membawa sebilah pisau belati bergagang kayu bersarungkan kulit, piring batu cekung berbentuk mangkuk berwarna putih tanpa motif satu buah, kain sarung putih setinggi badan sang murid, lalu guru akan berpesan pada khalayak yang ingin belajar Silat Lintau, pertama-tama Silat Lintau bukanlah di pakai untuk melawan atau durhaka kepada Allah dan kedua orang tua, melawan guru, sesama murid Silat Lintau, mencari masalah, menjual, atau memulai perkelahian.

Dalam arti sempit hanya membeli ketika ada yang memulai untuk bertarung, setelah pesan dan amanat tersebut di sampaikan barulah di mulai latihan Silat Lintau dengan kuda-kuda awalan duduk.

Menurut Khairan, ia sendiri pernah menjadi guru dan melatih sekitar 15 orang di Desa Batang Kuis Pekan dan halaman rumahnya sendiri sebagai tempat berlatih. Hingga saat ini beliau tidak lagi melatih karena kesibukan dalam bekerja. Salah satu dari murid yang diajarkannya ialah Muni Syarah, anak perempuan


(17)

berusia 14 tahun nomor dua dari empat bersaudara. Muni satu-satunya anak dari informan yang belajar Silat Lintau padanya.

Muni sudah sampai tahap turun gelanggang dan pernah mengisi acara di acara pernikahan kakak sepupunya, namun karena guru sudah berhenti mengajar sejak 3 tahun lalu Muni pun sudah mulai lupa dengan jurus dan gerakan-gerakan Silat Lintau tersebut. Selain Muni ada Agam keponakan informan yang berusia 16 tahun, Agam juga mahir hingga tahap turun gelanggang, dia juga sebagai lawan tanding saat mengisi acara pernikahan kakak sepupunnya.5

4.3 Tahap dan Syarat Pelaksanaan

4.3.1 Tahap

Taib Osman (1998) menyatakan dalam pendekatan antropologi, khususnya dalam konteks kajian sastra perilaku penahapan pada aspek ritual dimulai dengan gerak-gerak awal yang disebut tahap pembuka. Lalu dikuti dengan tahap penghormatan dan isi/inti pelaksanaan sehingga penutup. Keseluruhan tahap ini masing-masing mempunyai arti dan makna.

Dalam Silat Lintau diawali dengan tahap pembuka, yaitu melengkapi syarat dan penyerahannya. Ini dilakukan oleh pelaku Silat Lintau dan guru disaksikan oleh khalayak dari pelaksanaan Silat Lintau di suatu wilayah atau tempat.

Selanjutnya sipelaku menunjukkan teknik dan gerak-gerak yang digunakan, sekaligus diperagakan. Dalam pelaksanaan atau tahap ini disaksikan oleh khalayaknya, sedangkan guru mengawasi setiap gerak yang diperagakan oleh si pelaku.


(18)

Pada tahap ini dimulai dengan peragaankan teknik posisi duduk. Jurus-jurus pada tahap ini terdiri atas Lima jenis yang diiringi dengan pukulan dan elakan. Kelima jenis pukulan, yaitu ; bermula dari hormat, tumbuk, simbor, tetak, dan cucuk.

Kelima gerak itu dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:


(19)

ii) Tumbuk


(20)

iv) Tetak


(21)

Jenis elak juga terbagi menjadi empat bagian, yaitu ; elak untuk tumbuk, elak untuk simbor, elak untuk tetak, dan elak untuk cucuk. Hal itu dapat dilihat pada gambar sebagai berikut;

Keempat gerak itu dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

i) Elakan untuk tumbuk


(22)

iii) Elakan untuk tetak


(23)

Pada keempat jenis elakan atau tangkisan tersebut masing-masing menimbulkan pukulan sebagai serangan balik,

Keempat gerak itu dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

i) Serangan balik pada tumbuk


(24)

iii) Serangan balik pada tetak


(25)

Elakan maupun tangkisan dapat berupa serangan yang menggunakan belati atau tangan kosong maupun kombinasi keduanya, contoh ketika serangan cucuk datang dengan menggunakan pisau teknik mengelak agar tidak tertusuk ialah menepis ke arah berlawanan dari datangnya pisau, misal pisau dengan tangan kanan harus di tepis dengan tangan kiri guna menjauhkan dari badan atau sasaran lainnya.

Jika serangan datang dari kanan dan kita menepis dengan tangan kanan sudah jelas pisau akan mengenai tangan, lalu menangkap tangan tersebut ke depan memanfaatkan tenaga dorongan dari pisau yang datang dan memakan wajah musuh dengan siku kiri, tahap menangkis tersebut merupakan salah satu dari empat jenis tangkisan dalam penggunaan Silat Lintau.

Mempelajari empat pukulan dan empat tangkisan tersebut memiliki total jumlah 16 pecahan (4x4) jurus tangkisan serta pukulan tersebut masih berada dalam rumah panggung dan merupakan tahap dengan kuda-kuda duduk hingga sampai mahir dan hendak berdiri atau ‘tegak setengah’ yang hendak mengantarkan murid kepada turun tanah atau disebut turun gelanggang.

Penguasaan Silat Lintau yang diajarkan tergantung penilaian guru, yang akan menentukan murid layak turun gelanggang atau tidak. Jika sudah layak turun tanah akan ada syarat yang di ajukan guru kepada murid, yaitu berupa ayam jantan yang belum pernah kawin dan pulut kuning beserta intinya. Dalam hal ini akan ada ujian yang sebenarnya sebagai kesungguhan hati sang murid dalam mempelajari Silat Lintau, akan ada usahanya untuk menjaga dan merawat ayam jantan tersebut, bertanggung jawab agar tidak kawin sebagai syarat turun gelanggang demi mempelajari Silat Lintau.


(26)

Selanjutnya ayam tersebut akan dipanggang/dibakar dihidangkan bersama pulut untuk disantap bersama-sama dengan para ulama, sesepuh-sesepuh kampung, kepala desa, luhak-luhak (lurah). Datuk dan alim ulama sebagai peresmian murid sudah turun gelanggang. Sebelum hidangan disantap bersama terlebih dahulu didoakan atas nama murid yang akan di nobatkan untuk turun gelanggang tersebut dengan di saksikan oleh pemuka adat yang hadir.

Setelah peresmian tersebut usai kemudian tulang-belulang ayam tersebut dibungkus pada selembar kain putih dan daun tepuk tawar dikubur di tengah-tengah gelanggang tempat murid akan berlatih kelak dengan tujuan disanalah akan menjadi tempat menyelesaikan penguasaan Silat Lintau, selain itu dalam peraturan Silat Lintau tidak di perkenankan saling berkelahi sesama murid dan teman menggunakan Silat Lintau untuk melawan guru dan orang tua.

Selain untuk melindungi, maka persatuan dan kesatuan merupakan hal yang dijunjung tinggi oleh Silat Lintau, agar dapat bekerja sama, bertujuan agar sesama murid tidak saling bermusuhan, ini seperti pulut yang bermakna banyak Namun, tetap bersatu merupakan perlambangan dari pulut yang dihidangkan pada peresmian turun gelanggang.

Mulai dari selesainya acara dan persyaratan turun tanah/gelanggang akan di ajarkan pula teknik langkah satu papan, yang di maksud langkah satu papan adalah melangkah secara dinamis namun bukan langkah mati, dan tidak membuka kaki dari depan tetapi dari samping sebab memungkinkan musuh untuk menyerang pada sasaran kemaluan, langkah satu papan adalah melangkah ke dapan atau ke belakang dalam satu jalur vertikal, tidak melebar ke sebelah kiri atau kanan.


(27)

Apabila berpindah atau memungkinkan perpindahan jalur karena pertarungan, langkah satu papan tetap di pertahankan dengan memperhatikan langkah maju dan langkah mundur tanpa harus berputar dan menyerong pada sisi lawan, maka dari itu keseimbangan sangat di butuhkan untuk menguasai teknik langkah satu papan.

Tujuan langkah satu papan sendiri adalah untuk menjaga pergerakan lawan yang maju mundur sesuai dengan irama pertarungan, apabila lawan melangkah mundur maka langkah maju harus di ambil untuk mendekat, begitu juga sebaliknya, sebab dalam Silat Lintau jarak harus tetap dekat atau rapat sebab kedekatan itulah yang dimanfaatkan untuk menyerang balik ataupun menangkis.


(28)

ii) Langkah satu papan dalam gerak pukulan


(29)

Kaki melangkah ke belakang


(30)

v) Langkah maju bersiap menangkap


(31)

vii) Serangan balik dengan langkah maju satu papan


(32)

4.3.2 Syarat

Syaifuddin (2005) menyatakan syarat adalah bagian tertentu yang melengkapi perlakuan adat, seperti dalam pelaksanaan ritual pada pembuka dilapalkan ayat-ayat suci. Syarat dalam budaya Melayu dapat diklasifikasikan penyampaian teks untuk dihapal, benda keras, tumbuhan, hewan, dan benda lain, seperti air, dan kain.

Dalam Silat Lintau guru akan meminta murid membawa persyaratan berupa :

i.Teks ;

Menghafal ayat Al-fatiha dan pujian-pujian terhadap peneroka kampong (ketua adat, alim ulama, dan tokoh-tokoh adat lainnya) serta kepada datuk dan orang-orang besar istana.

ii. Benda keras, yaitu ;

Pisau belati berdiameter kira-kira :

panjang 15 cm, lebar 4 cm, ketebalan 5 mm, bergagang kayu, sarung kulit atau kayu.


(33)

Piring batu cekung berbentuk mangkuk berwarna putih tanpa motif, berdiameter lingkar 30cm, ketebalan 1-2cm, satu buah.

iii. Hewan, yaitu ;


(34)

iv. Tumbuhan, yaitu ;

Penguburan tulang-belulang ayam di balut oleh daun tepuk tawar lalu kain putih, daun tepuk tawar tersebut terdiri dari ; daun setawar, daun sedingin, daun ganda rasa, daun hati-hati, daun sipulih, daun samban, dan daun juang.

v. Benda lain ;

Kain berwarna Putih setinggi badan murid yang hendak belajar Silat Lintau, berupa kain sarung putih polos tanpa motif.


(35)

Pulut Kuning sesuai dengan jumlah hadirin acara peresmian turun gelanggang, atau sesuai bobot ayam jantan tersebut.

Baju Teluk Belanga beserta celana panjang, baju kerah berdiri setengah leher seperti baju koko cina, berkancing emas memiliki rantai berpasangan dengan celana panjang dengan bahan yang sama, warna yang melambangkan Etnisitas Melayu biasanya adalah ; kuning, Hitam, dan hijau muda.


(36)

Kain Songket atau tenun Songket, berbentuk kain sarung memiliki ornamen-ornamen Khas Melayu, berwarna cerah seperti kuning, merah dan emas.

Peci atau Tengkulok, biasanya tengkulok hanya dipakai oleh panglima perang untuk mengawal raja, atau dalam situasi peperangan dan di dalam kerajaan, sedangkan peci sering dipakai untuk sehari-hari.


(37)

Peci


(38)

4.4 Makna Teks Dan Konteks

4.4.1 Makna Teks

Luxemburg, (1992:86) mendefinisikan teks sebagai ungkapan terhadap sesuatu, terkemas dalam sistem ketatabahasan bahasa sebagaimana keperluannya. Biasa isi teks di dalam ritual atau persitiwa budaya berbeda dengan bahasa formal. Hal ini karena isi teks dalam peristiwa budaya berkaitan dengan mistik atau bersifat supranatural dan penuturnya juga terkhusus. Berdasarkan pendapat tersebut, setidaknya terdapat tiga peristiwa yang harus diperhatiakan dalam sebuah teks, yaitu: simantik, pragmatik, dan sintaksis.

Isi sangat berkaitan dengan konten dari sebuah teks. Teks yang baik harus mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang terdapat dalam makna teks. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam bentuk bahasa yang menunjukan maksud dan tujuan, lazimnya dalam Silat Lintau terdapat ritual turun gelanggang yang menunjukan gagasan-gagasannya secara eksplisit maupun implisit dalam menunjukkan isi sebagai pesan yang disampaikan dalam teks.

Pragmatik berkaitan dengan situasi atau keadaan teks yang digunakan dalam keadaan tertentu. Dalam Silat Lintau doa yang dibacakan saat turun gelanggang merupakan bahasa pragmatik yang bertalian dengan bagaimana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks dalam situasi tersendiri, teks merupakan suatu kesatuan bilamana ungkapan bahasa oleh para peserta komunikasi dialami sebagai suatu kesatuan yang bulat.


(39)

Lebih lanjut dikatakannya bahwa pragmatik merupakan ilmu mengenai perbuatan yang kita lakukan bilamana bahasa dipergunakan dalam suatu konteks tertentu. Ungkapkan doa Silat Lintau tersebut sebagai teks, yang di bacakan saat berhajat, itu bermakna bahwa doa arwah hanya bisa di bacakan dengan melihat kondisi dan situasi saat terjadinya ritual turun gelanggang.

Lalu Sintaksis dalam tata bahasa diartikan sebagai sesuatu berkaitan dengan tata kalimat. Secara sintaksis sebuah teks harus memperlihatkan pertautan. Pertautan itu akan tampak apabila unsur-unsur dalam tatabahasa yang berfungsi sebagai penunjuk (konjungsi) secara konsisten dipergunakan. Dalam hal ini dapat kita simak melalui teks pada doa arwah yang terdapat dalam Silat Lintau.

Silat Lintau memiliki doa-doa yang di panjatkan kepada para nabi, para sesepuh, pendahulu Silat Lintau yang sudah berpulang dan kepada yang berhajat untuk memohon keselamatan, contoh pada ritual pembuka turun gelanggang ada di bacakan surat fatiha pertama yang ditujukan untuk nabi Muhammad SAW, Al-fatiha ke dua untuk para leluhur dan pendahulu Silat Lintau, Al-Al-fatiha ke tiga di tujukan untuk yang berhajat, tujuan membaca Al-fatiha dalam ajaran Islam adalah sebagai puji-pujian dan meminta petunjuk kepada sang pencipta.

Menurut penuturan Informan yang bernama Khairan, surat Al-Fatiha memiliki Keunggulan tersendiri ketimbang surat-surat yang lain, alasan mengapa surat ini dibacakan terlebih dulu ialah, dalam ajaran agama islam, dalam kitab suci Quran surat Fatiha sebagai surat yang di tempatkan di awal kitab arti dari

Al-Fatiha juga bermakna ‘pembuka’ yang berarti surat pembuka dari surat-surat yang lain. Lalu dalam Silat Lintau surat Al-Fatiha adalah Fa’edah kepada pendahulu Silat


(40)

Lintau sebagai penghargaan, kepada yang berhajat sebagai mengenal diri dan mengenal Allah.6

Arti Al-fatiha ialah sebagai berikut:

ََنيِ َل َعْل

َِّ ِل

َ َ

َ ْ َ ْل

“Alhamdulillahi rabbil alamin”

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam

ميِحّ ل

َِن َٰ ْحّ ل

“Arrahmannirohiim”

Yang maha pengasih lagi maha penyayang

َِني ل

َِ ْ َي

َِكِل َم

“Maaliki yaumiddiin”

Penguasa di hari akhir

َ نيِعَتْسَن

ََ ّيِ َ

َ ْعَن

ََ ّيِ

“Iyyaka nabudu waiyyaaka nastaiin”

Pada Mu-lah kami berlindung dan berserah diri

ََميِ َتْس ْل

ََ َ ل

َنِ ْه

“Ihdinashirratal mustaqim”

Tuntunlah kami di jalan yang lurus

ََني ل ّ ل

ََلَ

َْمِ ْيَ َع

َِ ْغَ ْل

َِ ْيَغ

َْمِ ْيَ َع

ََتْ َعْنَأ

ََنيِ ّل

ََ َ ِص

“shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi alaihim waladhaalin”


(41)

Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Al-fatiha dibacakan sebanyak tiga kali, surat ini akan ditujukkan kepada nabi Muhammad SAW, leluhur-leluhur SL yang telah berpulang, dan murid yang hendak turun gelanggang. Setelah membaca Al-fatiha akan disambung dengan pembacaan Tahtim, Tahlil, An-nass, Al-falaq dan Dzikir lalu ada doa khusus Silat Lintau yang menyerupai doa arwah (junjungan) sebagai penyeru/memanggil malaikat seperti : Dzibril, Mikail, Izrofil, dan Izroil penyeru nabi seperti : Sulaiman, Daud, Isa, Musa, dan Muhammad SAW, penyeru sahabat nabi seperti : Umar, Usman Ali. Isi doa SL sebagai berbagai berikut :

Allahuma yasaniaqulimasnu’ waya jabirakhuliqasir waya khaliqa kulimakhluk izhaamri qurrozha wama rozha ishaalbiahadaka qashimaka ya rahman ya rohim, Allahmayadatwayalsihadat qoluhusin wilawadat aladzi syaidunsana dulazi lamyalidwalamyulad walam yakullakhufuan ahad, Allahumafinzanimilbala iwalqada imansorimabaina’ardi wasamawabihaqi hatama sulaimana ibnu daud allaihiwasalam wabihakiyatamu isa ya musa kisa ya kakahizu ya babhu ya syaiduha ya maulana ya tarobbata ya Allah, ya Allah, ya Allah ya yasalmustarisin waya’amanah kaifin waya mudzibadakwat wayakadialhazad, iztajibduanaya Allah’adama fishabilillah wabihaqi musakabilillah, wabihaqisarufilah, wabiqurmati nabi Muhammad salawllah alaihiwasallam birahmatikaya’arhaman rahimin, wabihaqi naumin sulaiman nainmahun bismillahirohmanirohim alataklualaiha lilmuslimin wabihaqi, wa mikail, wa izrofil, wa izroil, wabihaqi hatamana wal qursyin wal mukhrobin wal


(42)

rohanin wal malaikatimukarobin, wabihaqi safaratil bilbawakatil khiromalkatibin, wabiyakitabroti musa wa injil isa wa zabur daud walquran nabi Muhammad rasulawllah salawllahallaihiwasalam birahmatika ya arhamanrahimin”.

“َنفسلَء بَ حَ خَليئ يمَ ي قَ لَ خأَ ب جَ اسأَ نَ مَ َ ي ل َ عَ عَ يسَلَم ل سَيشَ كَب ل َ حل َي لأَ ت ي َين عَلَ م َ شتَ شتَين عَلَ آ ل َ م أَضف َ لَ م َ

َ يب عل َ ي ل َ مَنمَ َ مأَ يَهَ،م س َهي عَين عَلَن ح ل ل َفَ َتسيلَ ب شل

َ َ ل

كلَ لَ كَنمَ لَ تفل َ يَ لَء طغَ لَبجيَ ي غ لَ َتي كَ ب ي ل بَيستَ مَيسَ َم م َ

َ ف

َبع يَ يسَكل َ َيهَء ل َ تسمَ تع ل َ َ َصق نَ ف ع َ ي مَ ه عَم ل َ،َ حأ َ

غ َلَي حَيب َ عسل َيب عل َ ل َ سس م قَ َ حَق ل َيب َهَ َنبَ اسل َ ي سَ

َ

هَ،َهَ َ َ تَنمَ نل مَنمَ ل َ ب ي ل بَ تَنيجَ هَ َيسَ َ ح مَ بَ كَ كَ سيعَ س م َ،

َ َ كَك سَ بَ مَ ف ع َ يق َ اسأَنيسي َ تسَ كَ ن مأَخين يمَ عم جَنمَ سجت ل َه َ

َ َ آ

تل َ عَ،َ َ سَي حَيبأَ،َلَ يئ ثَ كَ س مَي حَيب َ يئ ثَلَ ه خأيَ م أَه َء ع ل َ َ

َ، آَليفَ

يبأَ،َيفَميح ل َلج ل َ ه عَ سأ َيت مَ ي ل َم س َهي عَهَ سَ مَي ل َمي ل َ آ ل َيبأ َ

َ َي ح

ل يل َ جل َشيجل َن ح ل َهَمسبَ هَنيي نَ ي سَ يق َ

ل بَ آَ لَ ع ل َءاعَهل َ هَ ب ي

سَ ن مَي حَيبأَبجيَ َ، ي ي ل َك سل َ عَنمَ،َليفَ َ عَنمَ،َل ي مَ،َي حَيب َني س ل َلي ل َي

طل َي حَيبأَ،َنب َخفت تَ َ ئامَ َنين عَ َ َنبَين عَلَ َ مَ َيفَ آ ل َ َ

ل َمس سَ كَ بَ ي مَمس سَ َيج ل بأَ،َنبَيتَ كَء سَين عَلَ يق فل َ تسالَ

َنمَي

أَهَ سَهَ س َ مَي ل َمي ل َ آ ل َ َ يفي َ بَليجن َ سيعَنمَ س مَيت َ ت ل َ ح مَ ل


(43)

Makna yang terdapat pada doa SL berbunyi:

Allahuma ya sa niaqulimasnu’wa ya jabira khuliqasir wa ya khaliqa kuli makhluk izhaamri qurrozha wama rozha ishaalbiahadaka qashimaka ya rahman ya rohim,”.

Artinya: “Menyapa kepada semua mahluk yang memegang di alam ini

sebagai ciptaan tuhan tak terkecuali, bukti atas kebesaran tuhan yang maha pengasih

dan maha penyayang serta bukti kerendahan diri yang memanjatkan doa”.

”Allahmayadat wayalsihadat qoluhusin wilawadat aladzi syaidunsana dulazi lamyalidwalamyulad walam yakullakhufuan ahad”.

Artinya: “semua mahluk berasal dari tuhan, tuhan yang tidak beranak dan

tidak di peranakkan “.

“Allahumafinzanimilbala iwalqada imansorimabaina’ardi wasamawabihaqi hatama sulaimana ibnu daud allaihiwasalam”.

Artinya: “memohon untuk bersanding kepada semua mahluk yang di alam

yang telah mendahului, melalui nabi Sulaiman anak dari nabi Daud atas izin Allah

SAW”.

“Wabihaki ya tamu isa ya musa kisa ya kakahizu ya babhu ya syaiduha ya maulana ya tarobbata ya Allah, ya Allah, ya Allah ya ya salmustarisin wa ya’amanah kaifin wa ya mudzibadakwat wa ya kadialhazad”.

Artinya: “seruan kepada nabi Isa dan Musa sebagai hamba tuhan (lalu

menyebutkan Allah sebanyak tiga kali)ya Allah, ya Allah, ya Allah, hendaklah


(44)

“Iztajibduanaya Allah’adama fishabilillah wabihaqi musakabilillah, wabihaqisarufilah, wabiqurmati nabi Muhammad salawllahalaihi wasallam birahmatikaya’arhama rahimin”

Artinya: “Izinkan berjalan di jalan Mu seperti nabi Muhammad yang Engkau

muliakan yang penuh rahmat Mu maha pengasih dan maha penyayang”.

“Wabihaqinaumin sulaiman nainmahun bismillahirohmanirohim alataklualaiha lilmuslimin wabihaqi, wa mikail, wa izrofil, wa izroil, wabihaqi hatamana wal qursyin wal mukhrobin wal rohanin wal malaikatimukarobin”

Artinya: “keselamatan atas engkau malaikat Mikail, Izrofil, dan Izroil yang

membaca dan memperdengarkan seruan muslim”.

“Wabihaqi safaratil bilbawakatil khiromalkatibin, wabiyakitabroti musa, wa injil isa, wa zabur daud, walquran nabi Muhammad rasulawllah salawllahallaihiwasalam birahmatika ya arhamanrahimin”.

Artinya: “degan sang pembawa kitab Taurat musa, Injil isa, Zabur daud,

Al-quran nabi Muhammad rasul Allah berselawatlah atasnya” .

Setelah membaca doa mantra yang di atas barulah akan di amalkan beserta dengan jurus-jurus Silat Lintau yang di ajarkan secara bertahap hingga mahir dan menguasai keseluruhan hingga mencapai kesempurnaan, Informan yang bernama Khairan menuturkan, bahwa apabila mantra dan ilmu Silat Lintau benar-benar di amalkan khalayak yang belajar dan pengguna Silat Lintau dapat berjalan di atas air dan tidak terlihat oleh lawan.


(45)

Sebagai tanda bahwa sudah menguasai sepenuhnya Silat Lintau akan ada mendapatkan mimpi bertemu dengan seekor harimau lalu akan terjadi pertarungan antara harimau dengan si pengguna Silat Lintau, dalam mimpi tersebut pertarungan tersebut harus di menangkan oleh sang pengguna Silat Lintau hingga harimau tersebut pergi karena kalah sebagai bukti kemahiran dan kesempurnaan jurus yang dipelajarinya, mimpi tersebut bisa terjadi lebih dari satu kali biasanya bagi yang belum dapat mengalahkan harimau tersebut.7

4.4.2 Makna Konteks

Koentjaraningrat dalam Mey (2001) berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan ketaksaan bahasa lisan atau tulis. Mey mendefiniskan konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti.

Gambaran umum menyatakan konteks lebih dari sekedar referen namun sebuah perbuatan atau tindakan. Konteks adalah perihal pemahaman seperti sebuah tindakan yang bermakna, untuk apakah tindakan itu, apa tujuan tindakan itu. Konteks juga memberikan arti pragmatik yang sebenarnya dan membolehkan arti pragmatik yang sebenarnya menjadi tindak pragmatik yang sebenarnya. Konteks menjadi lebih penting tidak hanya untuk menilai referen dan implikatur yang pantas, tetapi juga dalam hubungan dengan isu pragmatik lainnya seperti tindak pragmatik dan pra-anggapan.


(46)

Tujuan dari sebagian besar teknik jurus Silat Lintau adalah menangkis dengan cara menangkap serangan dan menyerang balik dengan cara mematahkan serangan tersebut, makna dari tangkapan tersebut bertujuan untuk mematikan serangan agar tidak dapat menyerang dengan tangan yang memukul, menangkap kaki yang menyerang dengan tendangan, mematahkan sendi kaki agar tidak bisa lagi menyerang dengan cara menendang, dan begitu seterusnya.


(47)

ii) Menepis sekaligus menahan serangan

Maka gerakan utama dalam Silat Lintau itu sebenarnya menangkap bagian tubuh musuh yang menyerang, menangkap tangan dan mematahkan sendi bagian pergelangan tangan persendian siku maupun sendi pada bahu, begitu juga dengan sendi kaki dan bagian leher, maka Silat Lintau melumpuhkan dengan mematahkan persendian sebab bila persendian terganggu maka gerak tubuh manusia akan terbatas dan tidak berdaya.


(48)

ii) Menangkap tepat pada siku


(49)

Sebab-sebab itu juga yang tidak memperbolahkan dalam Silat Lintau memukul dalam serangan balik dengan cara meluruskan sendi, baik tangan maupun kaki harus tetap tertekuk agar tidak mudah di tangkap dan di patahkan oleh lawan. Itu melambangkan bahwa tidak ada jangkauan yang terlalu jauh dalam memukul dan menyerang balik, sama seperti sifat manusia Melayu yang tidak ingin berkompetisi dan menggapai angan-angan terlalu jauh.

Makna dari jurus-jurus Silat Lintau juga berarti bukan mencari lawan, yang hanya menunggu dan menyerang balik seperti memberi peringatan, lalu teknik Silat Lintau di buka dengan hormat dan di tutup dengan hormat, yang berarti menghargai siapapun lawan tanpa melihat status dan golongan. Jurus Silat Lintau langkah satu papan yang diajarkan untuk bertarung di haruskan merapatkan badan kepada lawan, ini artinya harus mengenal lawan, mengetahui lawan dari dekat sebelum mengalahkannya, pertarungan jarak dekat yang bertujuan untuk mengunci dan melumpuhkan, bukan memusnahkan dan membunuh lawan.


(50)

4.5 Jati Diri Masyarakat

4.5.1 Masyarakat Dan Agama

Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2000:7). Jati diri merupakan nilai-nilai yang terkandung dari sebuah kehidupan manusia, hampir semua kebudayaan yang ada memiliki jati diri, jati diri tersebut diperoleh dari proses kehidupan sebelumnya, atau disebut juga sebagai nilai-nilai luhur budaya, nilai-nilai-nilai-nilai luhur tersebut lahir dari teraktualisasikannya komponen masa lalu yang menjadi dasar norma kehidupan berbudaya, hasil dari aktualisasi itulah yang membentuk jati diri sebuah kebudayaan kelompok.

Teraktualisasikannya nilai-nilai budaya Melayu dalam kehidupan bermasyarakat tidak serta-merta hanya dilakukan berdasarkan kehendak leluhur, melalui atas pemikiran sepihak, atau diajarkan, diceramahkan, ditatarkan bahkan didoktrinasikan sekalipun. Nilai-nilai budaya sebagai jati diri merupakan sebuah proses kemusyawarahan bersama sebuah kelompok yang menghasilkan kemufakatan, yang bertujuan mendapat celah yang lebih baik dan dikenal sebagai budaya baik dalam beretika.

Kebaikan jati dri Melayu harus dibudayakan melalui pembiasaan-pembiasaan dengan menggunakan berbagai jalur, terutama kearifan lokal dan jalur adat istiadat. Demi menghindari lunturnya jati diri yang telah terbangun sejak dulu, caranya dengan menggunakan adat resam sebagai perangkat nilai-nilai jati diri Melayu.


(51)

memiliki pengertian, yang kesemuanya patutlah terus dikembangkan. Di samping itu, masyarakatnya yang menganut agama Islam dengan kuat, beradat Melayu dan berbahasa Melayu serta dahulunya orang Melayu merupakan bangsa pelaut atau pejuang bahari, pedagang dan bangsa pemberani.

Sampai ke hari ini dipercayai bangsa Melayu masih memiliki dan mempertahankan jati dirinya, pada dasarnya kepercayaan Melayu terpengaruh pada kepercayaan animisme yang berpegang pada nenek moyang, lalu seiring perkembangan zaman masyarakat Melayu sendiri lebih mencari jati diri masing-masing seperti Melayu wilayah bagian pesisir yang lebih cendrung berpindah-pindah untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Dalam bermasyarakat jati diri Melayu cenderung menghindari konflik berdebat secara argumentatif dan kontak secara langsung, mereka lebih baik meninggalkan tempat demi menghilangkan tekanan bathin untuk selalu menjaga persahabatan, itu juga yang menyebabkan Silat Lintau tidak dipergunakan untuk menyerang lawan secara frontal namun menunggu untuk diserangan lawan lalu mematahkan serangan tersebut dan menyerang balik. Oleh sebab itu budaya-budaya pada Melayu mesti selalu di pelajari, salah satunya ialah Silat Lintau sebagai ilmu pengetahuan dan pengembangan diri dengan tidak meninggalkan budaya yang lain yang telah diwariskan oleh nenek moyang, dengan demikian kemampuan itu pada masanya akan selalu mampu untuk bersaing sekaliannya menjawab tantangan masa depan.

Selain itu, orang Melayu juga mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa mereka, tetapi tetap sealu berusaha memperluas pengetahuan dan juga mempelajari bahasa Arab.


(52)

Jati diri Melayu sejak sekitar abad ke 15 M, sebagaimana menurut pendapat Vallentijn (1712 M) dan C. Lekkerkerker (1916) termasuk dari para sarjana asing, dapatlah dikatakan sebagai berikut :

1. Orang Melayu mengutamakan pendidikan dan ilmu. Hal ini tercermin dalam beberapa peribahasa yang mengambil kepada hadist Rasulullah, yaitu : Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, atau Menuntut ilmu itu sejak dalam buaian sampai ke liang lahat.

2. Orang Melayu mengutamakan budaya Melayu, becakap tidaklah kasar, berbaju menutupi aurat, menjauhkan pantang larang dan dosa. Biarlah mati dari pada keluarga menanggung malu. Orang Melayu juga pandai menjaga air muka orang lain. Kalaupun marah cukup dengan sindiran. Seperti peribahasa mengatakan : Marahkan anak, sindir menantu.

3. Orang Melayu mengutamakan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan. Di dalam segala hal baik perkawinan, kematian, kenduri, mendirikan rumah, maupun dalam pemerintahan. Bahkan nilai-nilai ini juga dilaksanakan bagi pendatang sehingga orang Melayu sangat terkenal dengan keterbukaannya.

4. Orang Melayu tak suka mencari lawan ataupun melawan, seperti ungkapan yang mengatakan : Pantang Melayu untuk mendurhaka. Tetapi akan melawan jika ianya terdesak, seperti pribahasa mengatakan : Musuh pantang dicari, kalau datang tidak menolak. Atau pribahasa : Alang-alang menceluk pekasam, biar sampai ke pangkal lengan.


(53)

saudara dan kepada sesama murid seperguruan, hal ini sama seperti mengamalkan nilai-nilai kejujuran dalam berdagang, dan jarang terlibat dalam soal kejahatan sebaliknya suka kepada tegaknya hukum yang dipadukan dengan bakat yang melekat pada dirinya seperti bidang kesenian. Sifat-sifat seperti itu sebenarnya dibuat agar manusia Melayu pengguna Silat Lintau dapat mudah di terima di masyarakat, dapat menolong kepada yang membutuhkan, dapat peranan dalam kemasyarakatan, di pandang sebagai khalayak yang mulia dan dibutuhkan, bukan sebaliknya hanya membatasi diri kepada yang berkenaan dengan kehidupan sosial dan masyarakat Melayu dengan adat dan budayanya sendiri.

Kedatangan agama Islam pada abad ke 7 di nusantara telah mengubah cara pandang terhadap amalan kepercayaan sebelumnya dalam Melayu kepercayaan kepada nenek moyang Animisme, Hindu, dan Buddha yang telah lama bertapak di tanah Melayu. Masuknya agama Islam di Serdang sendiri melalui berbagai cara, yaitu:

1. Melalui jalur perdagangan, dimana ada suatu keyakinan bahwa sebenarnya para saudagar yang melakukan perjalanan ke Indonesia sebagiannya adalah para sufi yang kemudian menyebarkan islam di nusantara termasuk salah satunya di Negeri Serdang.

2. Melalui pernikahan, dimana para muslim pendatang melakukan pernikahan dengan penduduk pribumi. Hal itu menjadi cara lain untuk menyebarkan islam kepada masyarakat pribumi, demikian pula di Negeri Serdang dahulunya.

3. Mendekati kaum bangsawan, hal ini biasanya dilakukan atas dasar asumsi bahwa jika kaum bangsawan apalagi raja masuk agama islam maka rakyat


(54)

juga akan ikut masuk kedalam agama islam. Agama Islam disebarkan oleh golongan pedagang dan pendakwah Islam dari Asia Barat. Ajaran Islam menekankan dua aspek penting yaitu Akidah dan Syariah. Akidah ialah kepercayaan seluruh jiwa raga terhadap keEsaan Allah SWT manakala syariah merupakan perundangan dan hukum Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis.

Kedatangan agama Islam telah membawa perubahan yang besar dalam politik, perundangan-undangan, ekonomi, dan budaya masyarakat Melayu Serdang. Dari segi politik jelas dapat dilihat dengan penggunaan gelaran pemerintah yaitu kerajaan telah digantikan dengan gelar kesultanan. Bahkan sultan dianggap sebagai ketua agama Islam. Segala upacara resmi didahului dengan doa. Pemimpin agama merupakan penasihat sultan dalam hal-hal mengenai hukum syarak atau hal berkenaan dengan agama Islam.

Dalam aspek perniagaan, Islam mengharamkan riba dan menggalakkan umatnya mencari rezeki yang halal. Disamping itu amalan zakat dan fitrah sedikit sebanyak telah membantu golongan yang kurang berkemampuan untuk menjalani kehidupan. Dari segi sosial pula wujudnya semangat jihad bagi memilihara kesucian agama Islam daripada penjajahan Barat. Dari segi adat pula didapati terdapat pengkomodiran dengan unsur Hindu-Buddha kepada unsur keislaman seperti perkahwinan, adat turun tanah, melenggang perut, berkhitan dan sebagainya. Pada akhirnya orang melayu membuktikan kemelayuannya dengan menganut agama Islam. Terlepas dari mereka menjalakannya secara benar atau tidak, hal ini dibuktikan dengan praktik-praktik keagamaan. Dimana praktik-praktik tersebut


(55)

Melayu menganut mazhab Syafi’i. Mereka kebanyakan melaksanakan shalat subuh, isya, zuhur, dan ashar lebih sering dirumah, sementara maghrib dilakukan secara

berjama’ah di mesjid.

4.5.2 Sifat Budaya

Koentjaraningrat (1985: 180) Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Budaya Melayu umumnya, adalah budaya yang terbuka. Keterbukaan itulah yang menyebabkan kebudayaan Melayu menjadi majemuk dengan masyarakatnya yang majemuk pula. Kemajemukan inilah sebagai salah satu khasanah budaya Melayu yang tangguh, serta sarat dengan keberagaman. Karenanya, orang mengatakan bahwa budaya Melayu bagaikan pelangi atau taman bunga yang penuh warna-warni, indah dan memukau. Salah satu khasanah budaya Melayu yang paling sarat dengan nilai-nilai utama sebagai

“jatidiri” kemelayuan itu adalah adat istiadatnya atau dikatakan “adat resam”.

Melalui proses keterbukaan itu pula adat resam Melayu menjadi kaya dengan variasi, sarat dengan simbol (lambang) dan falsafah. Kekayaan khasanah nilai itu dapat disimak antara lain dari keberagaman alat dan kelengkapan upacara adat, dari alat dan kelengkapan pakaian pakaian adat, dari bentuk dan ragam hias rumah, dari alat dan kelengkapan rumah tangga, dari upacara-upacara adat dan tradisi, dari ungkapan-ungkapan adat (pepatah-petitih, bidal, ibarat, perumpamaan, pantun, gurindam, seloka, syair, dll), yang mereka warisi turun temurun. Karenanya. Dengan sifat keterbukaan itu pula budaya Melayu mampu menyerap beragam unsur budaya luar, sehingga memperkaya khasanah budaya Melayu itu sendiri.


(56)

Dari sisi lain, keterbukaan budaya Melayu tidaklah bermakna “terdedah tanpa penapis”, sebab adat istiadat Melayu menjadi salah satu penapis utama dari

masuknya unsur-unsur negatif budaya luar. Nilai-nilai adat yang Islami itulah yang senantiasa menyaring dan memilah setiap unsur budaya luar yang masuk. Unsur yang baik mereka serap dengan kearifan yang tinggi, sedangkan yang buruk merka buang dan jauhkan. Generasi penerus, muda-mudi Melayu yang dewasa ini mulai terkena dampak modernisasi membuat budaya Melayu perlahan surut, seperti tidak biasa berbahasa pantun, meninggalkan upacara-upacara adat yang dianggap merepotkan, tidak mengenal asal-usul leluhur, serta menghilangnya peranan dalam masyarakat yang menyebabkan menurunnya wibawa adat.

Selain itu, karena menurunnya wibawa adat, menyebabkan terjadi krisis akhlak, sehingga banyak sudah anggota masyarakat adat Melayu yang tidak lagi berperilaku sebagai orang beradat, tetapi berubah menjadi orang yang emosional, menjadi orang yang kasar ucapan dan perbuatan, menjadi orang yang kehilangan sopan santun, menjadi orang yang bangga dengan hujat-menghujat, menjadi orang yang berburuk sangka, menjadi orang yang hidup dengan penuh nafsu dunia, menjadi orang yang mau menang sendiri, menjadi orang yang mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

4.5.2 Sifat Kebahasaan

Menurut Arapradhipa (2005) memberikan dua pengertian, yaitu ; Bahasa Sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bahasa sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal.


(57)

Manusia Melayu identik dengan betutur kata lembut, walau marah tidak meninggikan intonasi, berbicara sopan kepada yang lebih tua dan berkata bijak kepada yang lebih muda, jika berkata lembut pastilah orang Melayu, bahkan pepatah

Melayu mengatakan ‘dara Melayu senyum dulu baru berbicara, tuan Melayu bertutur sopan nan bijaksana’.

Bahasa Melayu mempunyai banyak dialek dan setiap dialek mempunyai perbedaan yang cukup mencolok dari segi sebutan dan kosa kata. Misalnya, Bahasa Melayu Deli berbeda dialek dengan Bahasa Melayu Langkat, Pesisir, dan Labuhan Batu. Melayu Deli menggunakan dialek "e" sedangkan Bahasa Melayu Langkat, Pesisir, dan Labuhan Batu "o". Selain itu, bahasa yang digunakan oleh masyarakat campuran Serdang dan Deli (campuran pada wilayah Deli Serdang) terdengar menjadi Bahasa Melayu yang kasar. Bahasa ini dahulunya banyak di jumpai wilayah Medan. Ciri itulah yang menandakan wilayah sebagai identitas.

Ciri-ciri bahasa Melayu dapat dikategorikan seperti berikut ; 1. bahasa bersifat dinamis

2. bahasa bersifat arbitrari 3. bahasa bersifat linear

4. bahasa untuk berkomunikasi

Empat ciri tersebut mengungkapkan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa untuk menyampaikan pesan yang bertujuan penyampaian komunikasi dengan baik, menyatu dengan sekitar serta menunjukan jati diri Melayu pada umumnya.


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Pendekatan Antropologi Sastra, dilihat dari sejarahnya dapat dikatakan pendekatan sastra yang relatif baru dibanding dengan pendekatan sastra yang lain. Demikian juga pengamplikasiannya masih jarang ditemui. Secara ringkas pendekatan ini walaupun lebih memaknakan teks, namun makna konteks sangat membantu dalam penelaaahan teks.

Teks yang berupa mantra dan di sertai gerak syarat serta tahapan adalah bagian terpenting dalam Silat Lintau. Ia merupakan cerminan Melayu pada umumnya, yang memiliki watak tidak terlalu ambisi, tidak terburu-buru, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tidak hanya itu, makna-maknaya merupakan pengejawantahan dari jati diri masyarakatnya. Khususnya masyarakat di Kedatukan Batang Kuis Negeri Serdang. Adapun jati diri masyarakatnya beragama Islam, beradat istiadat, dan berbahasa Melayu.

Jati diri tersebut nampak dan jelas bermula dari jurus dasar Silat Lintau yang tidak menyerang terlebih dahulu melainkan menunggu serangan tanpa terburu-buru. Manakala syarat-syarat yang menyertai silat lintau berupa benda-benda keras, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda lain, seperti air menunjukan keteguhan terhadap keyakinan, bahasa yang digunakan, dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.


(59)

ayat-ayat suci, Surat Alfatiha, Tahlil, tahtim, An-nass, Al-falaq dan Dzikir. manakala sifat-sifat nabi yang ada di dalam teks, seperti nabi Sulaiman, nabi Daud, nabi Isa, nabi Musa, dan nabi Muhammad SAW.

Penelitian yang berlangsung di Kedatukan Batang Kuis tersebut menunjukan hasil bahwa jati diri masyarakat Melayu pengguna Silat Lintau membentuk masyarakat yang bersifat lebih sabar dan tidak serta-merta terbawa emosi sesaat, lalu dalam kehidupannya mereka cenderung menghindari sifat-sifat yang berkompetisi, menjauhi angan-angan yang tinggi, dan pantang mencari lawan, sifat-sifat tersebut berbeda dengan masyarakat yang tidak memenggunakan Silat Lintau. Walaupun pada umumnya ciri dari masyarakat Melayu tetap sama adalah menggunakan bahasa Melayu, beradat Resam, dan beragama Islam.

5.2 Saran-Saran

Kelemahan dari bela diri tradisional yang ada di Indonesia baik itu pencak silat, dan lain-lain khususnya Silat Lintau, ialah tidak memiliki modul, pada dasarnya modul sangat berpengaruh dalam minat seseorang untuk mempelajari dan mendalami seni bela diri tersebut, sebelum belajar dan berkecimpung dalam bela diri tersebut pastilah akan bertanya, berapa lama waktu yang di butuhkan untuk menguasai silat lintau.

Modul bukan hanya tata cara atau tutorial dalam mempelajari ilmu tersebut, melainkan juga kepastian jangka waktu yang di tentukan sampai mahir menggunakan silat. Sebagai contoh di luar negri seperti Tae Kwan Do dari Korea atau Kapoera dari Brazil, dalam mempelajari ilmu bela diri tersebut mereka menerapkan sistem paket memastikan kenaikan tingkat sabuk dalam beberapa bulan,


(60)

latihan serta pembelajaran seni bela diri juga tersusun rapi hingga mendongkrak minat dan popularitasnya.

Modul merupakan sistem pengajaran dan susunan waktu yang tepat untuk seorang guru mengajarkan ilmu bela diri tersebut, dengan di ciptakanya sistem

modul pada seni bela diri di Indonesia akan menimbulkan sistem ‘TOT’(Training Of Trainer) sudah pasti kemampuan seorang guru akan benar-benar di uji dan diakui,

TOT’ membuat seorang guru silat tidak hanya menyimpan ilmu seni bela diri tersebut hanya dalam kepalanya saja, tetapi juga ada modul dan buku yang membantunya mengingat setiap jengkal dari ilmu tersebut. Seseorang yang ingin belajar silat juga mendapat kepastian seberapa lama akan menguasai ilmu tersebut, lalu dengan begitu secara otomatis akan mendongkrak popularitas seni bela diri di Indonesia.


(61)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tradisi Kecendikiaan Sastra Melayu Tradisi

Syaifuddin (2014) mengemukakan, tradisi keintelektualan Melayu dapat dilihat pada kesusasteraan yang terdiri dari bentuk lisan dan tulisan. Bentuk lisan dan tulisan berkembang secara terus-menerus selaras dengan perkembangan zaman. Sastra lisan misalnya yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses sosialisasi anggota masyarakat ia menjadi satu unsur local genius kebijaksanaan di suatu tempat. Ia juga memperhatikan kekreatifan dan kebijaksanaan berfikir anggota masyarakatnya sejak zaman belum mengenal tulisan.

Bentuk-bentuk sastra lisan itu misalnya cerita pelipur lara, cerita jenaka, cerita nasihat, cerita binatang, mitos, legenda, cerita asal-usul dan lain-lain. Bentuk-bentuk ucapan lisan yang lain seperti pantun, peribahasa, simpulan bahasa, pepatah-petitih, seloka, dan seumpamanya (yang kemudiannya didokumentasikan dalam bentuk tulisan), menampakkan ciri-ciri akal budi dan kebijaksanaan orang Melayu menangani segala sikap dan prilaku kehidupan yang dihasilkan oleh proses pengintelektualan orang Melayu sepanjang zaman.

Sejarah keagungan perkembangan pusat-pusat keintelektualan dan kesusasteraan Melayu yang bertulis mulanya pada era empayar Sriwijaya sekitar tahun 650-1200, Srivijaya merupakan pusat kebudayaan Melayu tertua yang memainkan peranan penting dalam perkembangan keintelektualan dan kesusasteraan Melayu tradisional. Walaupun karya-karya kesusasteraan zaman ini umumnya ditulis


(62)

dalam bahasa Sanskrit, namun terdapat juga bentuk penulisan dalam bahasa Melayu Kuno seperti yang tercatat di atas batu-batu bersurat. Walau bagaimanapun, hasil kesusasteraan yang bertulis di atas bahan-bahan yang lain tidak kedapatan atau ditemui.

Keagungan kerajaan Sriwijaya secara langsung telah mencetuskan perkembangan hasil-hasil kesusasteraan Melayu mengikut tahap perkembangan kerajaan dan kemampuan pengarang-pengarangnya di istana-istana raja Melayu. Istana-istana raja Melayu merupakan pusat kegiatan keintelektualan dalam tamadun Melayu Islam. Setelah Empayar Srivijaya muncul kerajaan Pasai sekitar tahun 1250-1524, pada jaman Pasai kegiatan kesusasteraan pula lebih banyak dikaitkan dengan kegiatan kerajaan ini sebagai kerajaan Melayu yang pertama menerima dan memeluk agama Islam di Alam Melayu. Di sini muncul bahasa Melayu persuratan yang bertindak sebagai wahana atau alat untuk penyebaran agama dan kesusasteraan Islam, dan tulisan Jawi merupakan tulisan yang digunakan dalam kesusasteraan Melayu. Hasil-hasil kesusasteraan dipenuhi dengan ciri kesusasteraan agama khususnya sastera kitab, riwayat hidup Nabi Muhammad, cerita nabi-nabi, para sahabat, pahlawan dan sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai. Namun sastra lisan dan hasil karya pada zaman pengaruh Hindu masih dikekalkan.

Lalu perkembangan kesusastraan Melayu tidak berhenti di situ, beberapa kerajaan seperti Melaka sekitar tahun 1400-1511; diikuti kesusasteraan zaman Johor 1528-1779; kesusasteraan zaman Palembang sekitar tahun 1650-1824; kesusasteraan di Patani sekitar tahun 1500-1900; di Brunei bermula dengan pemerintahan sultan ketiganya yaitu Sultan Sharif Au (1425-143 2); dan di Riau sekitar tahun 1673


(63)

Ciri-ciri keintelektualan dan kesusasteraan Melayu memasuki abad ke-20 sehingga sekarang telah di pengaruhi oleh ideologi dan pemahaman barat yang membawa pengaruh sekularisme, nasionalisme, realisme dan humanisme dalam cara berfikir dan pengungkapan orang-orang Melayu, lalu di tambah lagi dengan kembalinya pengaruh kebangkitan Islam yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905), Mufti Mesir (1888- 1889) yang bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) telah mempelopori gerakan Islam yang terkenal dengan nama Gerakan Salafiah dan menerbitkan majalah-majalah yang menganjurkan pemahaman islam di masa itu.

2.2 Jati Diri Masyarakat Melayu

Dalam batasan yang sebenarnya definisi masyarakat sendiri tidak berbentuk secara fisik, namun abstrak atau bersifat fiktif disebabkan karena hanya berupa gambaran saja sebab lembaga ini dapat dijumpai dimana saja tidak terbatas ruang dan waktu. Walau demikian lembaga tersebut tetap berpengaruh terhadap pembelajaran sosial yang setiap pribadi memiliki ikatan dalam kehidupan bermasyarakat, Arrasyid dkk (2008 : 11).

Masyarakat Melayu sendiri merupakan lembaga yang tradisinya bermula pada segi kosmologi, yang dahulunya berpegang pada mitos dan fantasi. Namun, seiring perkembangan zaman serta masuknya ajaran agama Islam membuat kosmologi yang baru, kepercayaan yang menjadi material dan empiris. Walau tidak begitu terikat dengan kosmologi yang baru filosopis jati diri masyarakat Melayu masih melekat dan dapat dijumpai melalui karya-karya sastra Melayu seperti pantun, gurindam, syair, manuskrip Melayu, dan khazanah sastra Melayu lainnya. Hingga


(64)

menghasilkan masyarakat Melayu yang berpagarkan adat istiadat bersendikan agama dan berpayungkan budaya sehingga terwujudnya etika serta estetika dalam dunia Melayu.

Jati diri manusia Melayu tergambar dari sifat dan prilaku dikehidupan bermasyarakat, ciri yang menyatakan tidak terikat oleh waktu, memiliki ambisi yang sederhana, keinginan dan tindakan yang terbatas, berpatok pada masa lalu, tidak begitu memandang masa depan, menjaga hubungan bermasyarakat bukan hidup untuk berkompetisi, memiliki rasa iri hati adalah sifat manusia Melayu. Sifat hidup di dunia hanya sebagai berziarah, tempat singgah sementara tidak serta-merta mengolah kehidupan dunia adalah sifat manusia Melayu yang telah dipengaruhi Islam. Orang Melayu akan menghindar saat terjadi perdebatan apalagi hingga terjadi kontak fisik yang menimbulkan permusuhan, mereka cenderung mengalah, memendamnya dalam hati untuk meredam amarah, lalu menjaga air muka orang dengan cara menyindir secara halus merupakan ciri dari orang Melayu.

2.3 Sastra dan Antropologi

Antropologi adalah kajian tentang seluk-beluk manusia yang mencakup beberapa aspek dalam kehidupan, sementara sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang dituangkan dalam karyanya. Karya sastra itu merupakan sebuah karya imajinatif. Sebagai salah satu dari tiga ilmu “social humaniora” Antropologi Sastra jelas membahas permasalahan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam aspek-aspek kebudayaan. Batas sastra dan antropologi sangat tipis. Kedua kajian tersebut berbeda pada permukaan namun esensinya sama. Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek etnografi kehidupan manusia. Sebaliknya, tidak sedikit


(65)

Mengkaji manusia berarti mengamati dan mempelajari manusia dari semua bentuk segi kehidupan tak terkecuali jati diri manusia. Jati diri yang menonjol pada diri manusia akan mencerminkan prilaku dan watak manusia. Manusia yang kognitif akan menciptakan kemudahan bagi diri sendiri dan orang lain bukan sebaliknya.

2.4 Sejarah Antropologi Sastra

Dalam buku ‘Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif’’, karya Kutha Ratna, (2011 : 10) isu mengenai hubungan antara sastra dan antropologi pertama kali muncul dalam kongres ‘Folklore and Literary

Anthropology’ (Poyatos, 1988: xi-xv) yang berlangsung di Calcutta (1987) diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Oleh karena itu, tidak secara kebetulan buku yang diterbitkan pertama kali diberikan subjudul ‘A new Interdisiplinary Approach to People, Signs, and Literature.’ Meskipun demikian Payatos, mengakui bahwa sebagai istilah baik sebagai antropologi sastra maupun sastra antropologi pertama kali dikemukakan dalam sebuah tulisannya yang dimuat

dalam semiotica (21:3/4 tahun 1977) berjudul “Form and Function of Nonverbal Communication in the Novel: A New Perspective of the Author-Character-Reader Relationship.” Dalam hubungan ini perlu disebutkan sebuah tulisan singkat berjudul

Toward an Anthropology of Literature” (Rippere, 1970) di dalamnya di jelaskan peranan bahasa dalam karya sastra, yaitu bahasa yang lebih banyak berkaitan dengan konteksnya terhadap realitas, sehingga makna bahasa jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang diucapkan.

Ada dua istilah yang muncul yakni antropologi sastra (Antropology of literature) dan sastra antropologi (Literary Antropology). Terdapat pada tulisan di buku karangan Kutha Ratna, dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai dan


(66)

demikian isi yang terkandung di dalamnya, yang dibicarakan dalam antropologi sastra adalah analaisis karya sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur antropologi. Sebaliknya, sastra antropologi adalah analisis antropologi melalui karya sastra, atau analisis antropologi dalam kaitannya dengan unsur-unsur sastra.

Antropologi sastra, antropologi merupakan gejala sekunder, sebagai instrument, sebaliknya sastra antropologi yang menjadi gejala primer sekaligus instrument adalah karya sastra itu sendiri. Jadi, antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Dalam perkembangannya juga mengikuti perkembangan sosiologi sastra yang semula hanya berkaitan dengan masyarakat yang ada dalam karya sastra kemudian meluas pada masyarakat sebagai latar belakang penciptaan sekaligus penerimaan.

Sastra dan Antropologi sudah jelas berkembang pesat, dalam waktu yang relatif lama. Meskipun demikian, perkembangan yang lebih signifikan kedua disiplin tampak jelas sejak ditemukannya teori-teori mutakhir awal abad ke-20. Perkembangan sastra dimulai sejak diperkenalkannya teori-teori formalisme dan strukturalisme tahun 1915 di dunia Barat. Di Indonesia teori-teori yang dimaksudkan mulai dikenal tahun 1960-an, sekaligus membedakan analisis terhadap karya sastra menjadi tiga kelompok, yaitu: teori, sejarah, dan kritik sastra. Teori dan metode antropologi (Koentjaraningrat dalam Ratna, 1974: 14, 31; 1980: 1-5) mengalami perkembangan pesat sekitar tahun 1930-an yang kemudian memperoleh kesepakatan dalam International Symposium on Antropology di Amerika Serikat (1951). Simposium dilakukan untuk merumuskan tujuan-tujuan antropologi yang baru.


(67)

2.5 Pendekatan Antropologi Sastra

Ratna (2012 : 52) Memaparkan, antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai pelengkap. Penggunaan teori Antropologi sastra sebagai metode pembahasan objek tidak terlepas dari adanya dukungan unsur-unsur lain dari berbagai peralatan, termasuk si pelaku dari aspek kebudayaan.

Secara defenitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos) dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, karya sastra, dan karya seni lainnya.

Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu: buah pikiran (ide), kegiatan atau aktivitas, dan pencapaian, atas dasar pemikiran bahwa sistem kultural suatu suku tersimpan di dalam peninggalan manusia, maka jelas antropologi sastra merupakan metode yang sangat penting untuk mengetahui jati diri budaya pada suatu kelompok masyarakat.

Berdasarkan pada sebuah pengistilahan bahwa karya sastra itu adalah imajinatif. Tetapi perlu diketahui justru dalam poin itulah nilai-nilai antropologis dipermain-mainkan. Selebihnya, disitulah letak fokus penelitian antropologi sastra. Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisipliner yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dikarenakan oleh ilmu antropologi dengan ilmu sastra sama-sama mempermasalahkan relevansi manusia


(68)

dengan kebudayaannya, Aspek itulah yang menghubungkan batas-batas penelitian di antara antropologi dan sastra.

Antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arketipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Penelitian antropologi sastra menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat, seperti tradisi bela diri. Penelitian antropologi sastra adalah penelitian yang membahas struktur manusia yang dikaji dari sudut kehidupan untuk memahami sifat prilakunya dalam sebuah aspek kebuadayaan, khususnya yang bersifat lisan.

Ratna (2012: 65) menyatakan dalam aplikasi teori pendekatan antropologi sastra adalah; bermula dari mendiskrifsikan pelaksanaan suatu aspek budaya yang diteliti atau dikaji. Lalu memahami tujuan dan kebermanfaatan pelaksanaannya bagi pendukung dan pemilik budaya. Selain itu, mengetahui segala aspek atau benda-benda yang menyertainya, yaitu syarat-syarat pelaksanaannya. Sekaligus memberi tafsiran dari masing-masing benda yang menyertai. Tafsiran berdasarkan pemahaman seseorang, masyarakat, dan etnik dari penutur, pendukung, dan pemilik aspek budaya tersebut. Langkah-langkah ini memberi kesimpulan bahwa aspek budaya tertentu dapat menggambarkan sebagai karakter atau jati diri kolektif dari suatu masyarakat.

Menurut Osman (1976) pun analisis antropologi sastra tidak bermakna akan mengenepikan aspek-aspek budaya. Oleh karena itu, analisis struktur atau teks hanya akan menjadi bermakna sekiranya dikaitkan dengan budaya masyarakat itu sendiri.


(69)

Dengan kata lain, analisis antropologi sastra memahami struktur atau teks dan konteks, dalam penelitian budaya dari suatu masyarakat.


(70)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Menurut Semi (2003) Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Cara pandang pengarang, wilayah, geografi budaya, waktu, dan juga berbagai faktor lain, merupakan konteks dari suatu karya sastra. Artinya sastra juga mempunyai ikatan terhadap budaya dari suatu masyarakat dan kehidupan pengarangnya. Berdasarkan hal di atas, Soemarjan dan Sumardi (2001) hubungan sastra dengan kebudayaan sangat nyata, karena kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Pengkajian sastra, khususnya kesusastraan Melayu, terbagi dalam dua bentuk yaitu, sastra lisan dan sastra tulisan, Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita temukan dalam masyarakat dan diwariskan secara turun-memurun. Wiget (dalam Lauter, 1994), Sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar dan pendengarnya turut melakukan evaluasi terhadap cara penyajian dan isi penceritaan.

Menurut Othman (1998) lingkup dan objek kajian sastra lisan sangat luas. Salah satu genre sastra lisan ialah tradisi pertahanan diri dari suatu masyarakat. Umpamanya genre bela diri Silat Lintau yang sangat populer dalam masyarakat Melayu Serdang. Cara sang guru yang menurunkan ilmu, jurus, dan lainnya merupakan sastra lisan yang secara langsung terjadi di tengah-tengah masyarakat


(71)

diungkapkan jati diri dari suatu masyarakat. Hal ini menurut Othman (1999) Kandungan teks dan konteksnya tidak terlepas dari kosmologi masyarakat Melayu.

Mengetahui jati diri dalam tradisi bela diri Silat lintau tersebut Salah satu pendekatan yang digunakan dalam ilmu kajian sastra adalah Antropologi sastra. Antrophos adalah manusia, sedangkan logos adalah ilmu, Antropologi sastra adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Menurut Koentjaraningrat (2000) antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. dapat disimpulkan bahwa pengertian dari antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan termasuk cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, dan kandungan nilai yang dihasilkan sehingga setiap manusia memiliki perbedaaan yang satu dengan yang lainnya.

Hal ini membuat kelangsungan hidup suatu bahasa tergantung oleh dinamika kehidupan budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, budaya yang ada disekeliling bahasa akan ikut menentukan wajah dari suatu tekstual tersebut, sebab pada hakikatnya manusia dan budaya tak akan pernah lepas, ketika manusia mendiami suatu wilayah pasti akan terbentuk sebuah kebudayaan tempat para manusia membuat suatu karya seni, bahasa, agama, ekonomi, teknologi, dan kesenjangan sosial, kebudayaan tersebut juga akan berubah seiring dengan bertambahnya waktu serta kemajuan zaman. Maka secara sederhana, manusia adalah pelaku budaya, sedangkan budaya adalah objek yang dilakukan oleh manusia.

Ilmu budaya dasar yang di sebut juga sebagai Basic Humanities berasal dari


(72)

berbudaya, dan halus. Pada umumnya, humanities mencakup filsafat, teologi, seni, dan cabang-cabangnya seperti sejarah, dan sastra, maka dari itu humanities menjadi ilmu kemanusiaan dan kebudayaan, seni termasuk sastra yang penting dalam humanities karena seni merupakan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang normative, dan bukan sebagai formulasi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, di samping itu sastra memiliki peranan yang jauh lebih penting karena sastra menggunakan bahasa. Sementara bahasa mempunyai kemampuan untuk menampung hampir semua pernyataan kegiatan manusia untuk memahami dirinya sendiri yang akhirnya melahirkan filsafat untuk memahami alam semesta dan akhirnya menciptakan ilmu pengetahuan.

Proses pembentukan jati diri manusia yang terdapat di Indonesia berakar dari proses mitologi kesukuan yang berdiam di nusantara sebagai bentuk penafsiran dengan latar etnik yang beragam terhadap sumber budaya etnik. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara, sebab dalam mitologi kesukuan tersebut banyak terdapat nilai-nilai sastra etnik yang mempengaruhi prilaku dan membentuk sifat menjadi ciri dari manusia di Indonesia.

Pengaruh jati diri pada sastra jelas berawal dari proses keintelektualan etnik, diikuti perkembangan zaman dan kelompok masyarakat. Dengan kata lain, jati diri yang telah ada banyak dipengaruhi oleh para pengarang dari berbagai kelompok etnik di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya. Sastra adalah salah satu syarat dalam membentuk jati diri, di dalam kajian sastra dan karya sastra selalu mengangkat komponen karakteristik manusia, baik dari segi psikologis, sosiologis,


(73)

Dalam peraturan Silat Lintau seorang Guru Silat Lintau untuk menerima murid memberikan syarat membawa sebilah pisau belati, kain putih setinggi badan, dan piring batu putih tanpa motif, Setelah syarat terpenuhi barulah proses latihan dilaksanakan. Latihan pertama dilakukan di gelanggang atau di rumah panggung, gerakan pertama melakukan pertarungan dengan posisi duduk, sebab posisi berdiri akan dipelajari di tahap selanjutnya. Pertama sekali yang dipelajari adalah kuncian Lintau yang terbagi menjadi 16 bagian jurus, yaitu ; 4 jenis elakan pada tumbuk, 4 jenis elakan pada tikam/cucuk, 4 jenis elakan pada tetak, dan 4 jenis elakan pada simbor, lalu ada mantera dan doa-doa yang digunakan, seperti doa mohon keselamatan yang dipanjatkan pada yang maha kuasa.

Setelah mahir dalam posisi duduk selanjutnya gerakan setengah berdiri yang mengantarkan pada tahap turun gelanggang, di sini ada persyaratan yang harus dibawa, yaitu ayam jantan yang belum pernah kawin, dengan ciri belum memiliki jengger dan keluruknya pendek, namun mempunyai taji dikedua kakinya bersama pulut kuning dan intinya, lalu dipanggil pemuka adat kepala desa dan ulama yang ada di kampung tersebut untuk meresmikan murid turun tanah/turun gelanggang, ayam tersebut akan dihidangkan bersama pulut untuk disantap bersama sebagai meresmikan bahwa sudah sah turun gelanggang, tulang-belulang ayam akan dibungkus dengan kain putih ditanam ditengah lapangan tempat nantinya berlatih Lintau. Makna dari ayam yang dibawa sebagai syarat adalah kita berasal dari Allah S.W.T dan akan kembali kepada-Nya, lalu pulut memiliki arti banyak namun tetap bersatu.

Dalam latihan turun tanah akan di pelajari ilmu langkah satu papan, yang maksudnya mundur selangkah, maju selangkah atau menghindari serangan dan mengambil langkah untuk menyerang balik, langkah ini tidak langkah mati sebab


(1)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Depertemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia membimbing sekaligus memberikan masukan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A. Ph.D, selaku pembimbing I penulis yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga, serta banyak menginspirasi penulis guna menyelesaikan skripsi, sebab di bawah bimbingan beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Rosita Ginting, M.Hum, selaku pembimbing II penulis yang dengan sabar dan penuh kasih sayang membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Dosen / staf pengajar Depertemen Sastra Daerah dan Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara yang telah membantu dan membimbing penulis demi kelancaran dalam menyelesaikan perkuliahan penulis.

6. Kepada yang teristimewa Ayahanda Peltu Ahmad Junaidi (Alm) dan Ibunda tersayang Mila Wati, yang penuh cinta kasih berkorban segala-galanya untuk penulis, mendidik, membesarkan dan mendoakan penulis dari buaiyan hingga sampai saat ini tanpa keluh-kesah serta tanpa pamrih, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.


(2)

7. Kepada abangda yang tersayang Dirham Agus Salim yang menyarankan untuk mengangkat Silat Lintau sebagai pembahasan judul skripsi ini, Abangda tersayang Hendra Lazuardi beserta istri kakanda Kamaliah yang sangat membantu dalam materi dan motivasi.

8. Kepada Syafitriyani Nasution SS wanita yang begitu mencintai penulis dengan setulus hati, yang begitu besar berpengaruh untuk perjalanan hidup penulis, memberikan dukungan tidak ternilai, tanpa lelah, terus berdiri, menyokong saat penulis terpuruk, jatuh, serta memberikan kekuatan dan ketenangan bagi penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya. 9. Kepada rekan-rekan stambuk 2008, Bobby Heryawan SS, Surya Dharma,

Hasudungan, Fakhrizal Fahri SS, Mustaqim Tanjung SS, Rahmad Fadlan Syahdi SS, Ardiani Tarigan SS, Fitri Armaya Sari SS, Pinky SS, Nadila SS, Widya SS, Rama Astika SS, dan rekan 2008 lainnya.

10.Kepada adik-adik ku tersayang yang selalu menghalangi dalam pengerjaan skripsi penulis, Mahara Lisna, Lestari Ramadhani, Rini salsa Bella, Faizatul Zuhra, Cherly Fika, Fanny Sihombing, Ricky Yudistira, Lisa Andriyani, Alawiyah, Ika Lia Juliana, kepada abang senior Bambang Riyanto SS, dan Firman Syahputra.

11.Kepada teman-teman organisasi Teater O, komunitas Sejamaltat, rock O, Cingciripit, Idola, Pimpto dan komunitas Cetanan yang belum dibentuk, Syahriski Fahri Abda Sinaga, Joko Saputra, Zainul Ma’rif, Robisam, dan Muhammad Iksanuddin.

12.Kepada keluarga besar Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah Batak-Melayu (IMSAD) yang banyak memberikan dorongan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(3)

13.Kepada Bapak Kepala Desa dan Masyarakat desa Pekan Kec. Batang Kuis yang telah memberi bantuan berupa izin dan informasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya. Semoga kelak skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Mei 2014 Penulis

Rendy Novrizal 080702018


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

UCAPAN TERIMA KASIH... iii

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tradisi Kecendikiaan Sastra Melayu Tradisi... 7

2.2 Jati Diri Masyarakat Melayu... 9

2.3 Sastra dan Antropologi... 10

2.4 Sejarah Antropologi Sastra... 11


(5)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian... 15

3.2 Sumber Data... 15

3.3 Instrumen Penelitian... 16

3.4 Teknik Pengumpulan data... 16

3.4.1 Teknik Observasi... 16

3.4.2 Teknik kuisioner... 18

3.4.3 Teknik Dokumentasi... 18

3.5 Teknik Analisis Data... 18

3.5.1 Reduksi Data... 19

3.5.2 Sajian Data... 19

3.5.3 Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)... 19

BAB IV JATI DIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALAM TRADISI SILAT LINTAU 4.1 Sejarah Ringkas Dan Wilayah Penyebarannya... 21

4.1.1 Sejarah Ringkas... 21

4.1.2 Wilayah Penyebaran... 22

4.2 Guru Dan Pewaris... 23

4.2.1 Guru... 23

4.2.2 Pewaris... 24

4.3 Tahap Dan Syarat Pelaksanaan... 26

4.3.1 Tahap... 26


(6)

4.4 Makna Teks Dan Konteks ... 47

4.4.1 Makna Teks... 47

4.4.2 Makna Konteks... 54

4.5 Jati Diri Masyarakat Melayu... 59

4.5.1 Masyarakat Dan Agama... 58

4.5.2 Sifat Budaya... 63

4.5.2 Sifat Kebahasaan... 64

BAB V SARAN DAN KESIMPULAN 5.1 Saran dan Kesimpulan……… 68

DAFTAR PUSTAKA... 71

DATA INFORMAN... 74 LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Wawancara penelitian

Lampiran 2. Surat Keterangan dari Kepala Desa Lampiran 3. Surat Pengantar Penelitian Fakultas Lampiran 4. Surat Pengantar Penelitian Jurusan