JATI DIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALA (1)

JATI DIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALAM TRADISI
BELADIRI SILAT LINTAU DI KEDATUKAN BATANG KUIS: KAJIAN
ANTROPOLOGI SASTRA

DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA

: RENDY NOVRIZAL

NIM

: 080702018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPERTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI SASTRA MELAYU

MEDAN
2014

JATI DIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALAM TRADISI
BELADIRI SILAT LINTAU DI KEDATUKAN BATANG KUIS: KAJIAN
ANTROPOLOGI SASTRA

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan Oleh

NAMA

: RENDY NOVRIZAL

NIM

: 080702018
Disetujui Oleh :


Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Wan Syaifuddin, MA. Ph.D
NIP 196509091994031004

Dra. Rosita Ginting, M.Hum
NIP 195905201986012002

Diketahui Oleh :
Depertemen Sastra Daerah
Ketua

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum.

PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panita Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan

Sastra Melayu pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Hari / Tanggal : ..............................................................................................

Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A
NIP 195110131976031001

No.

Nama

Tanda Tangan

1.

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum

........................


2.

Dra. Herlina, M.Hum

........................

3.

Prof. Syaifuddin, M.A. Ph.D

........................

4.

Dra. Rosita Ginting, M.Hum

........................

5.


Dra. Rozana Mulyani, M.Hum

........................

Disetujui Oleh :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
MEDAN
2014

Depertemen Sastra Daerah
Ketua

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum.
NIP 196207161988031002

ABSTRAK

Rendy Novrizal, 2014. Judul Skripsi : Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang

Dalam Tradisi Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis: Kajian
Antropologi Sastra.
Penelitian ini berjudul Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi
Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis penelitian menggunakan metode
yang bersifat Kualitatif Naturalistik sedangkan dalam analisis teks dan konteks
menggunakan pendekatan antropologi sastra dengan teknik pengumpulan data,
observasi, dan dokumentasi menggunakan daftar tanya atau kuisuoner. Pada
dasarnya teks dan konteks Silat Lintau bermakna sebagai jati diri masyarakat Melayu
Serdang di Kedatukan Batang Kuis, penelitian menunjukan bahwa jati diri
masyarakat Serdang di Batang Kuis ialah berbahasa Melayu, beradat istiadat, dan
beragama Islam. Penelitian menunjukan setiap jurus Silat Lintau menggambarkan
bahwa masyarakat melayu di Serdang mempunyai karakter masyarakat yang lebih
mendahulukan kesabaran dari pada gerak emosional. Selain itu masyarakat Melayu
Serdang di Batang Kuis kehidupannya menghindari sifat-sifat yang berkompetisi,
menjauhi angan-angan yang tinggi, dan pantang mencari lawan.
Antropologi sastra merupakan pendekatan arketipal, yaitu kajian karya sastra yang
menekankan pada warisan budaya masa lalu. Penelitian antropologi sastra
menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang
berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi
pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat, seperti yang

terdapat pada tradisi bela diri Silat Lintau.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmad-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara Medan.
Skripsi ini berjudul Jati Diri Masyarakat Melayu Serdang Dalam Tradisi
Beladiri Silat Lintau Di Kedatukan Batang Kuis: Kajian Antropologi Sastra.
Dalam Skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu :
Bab I : Pendahuluan, Bab II : Kajian Pustaka, Bab III : Metode Penelitian, Bab VI :
Jatidiri Masyarakat Melayu Serdang, Bab V : Saran dan Kesimpulan.
Pemilihan judul ini merupakan wujud perilaku serta sifat orang Melayu Negeri
Serdang di Kedatukan Batang Kuis pengguna Silat Lintau. Terwujudnya skripsi ini
bukanlah semata-mata jerih payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang memberikan bantuan
moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dalam waktu tiga bulan. Hal ini dapat

dilaksanakan berkat bantuan berbagai pihak yaitu Kepala Desa Pekan Batang Kuis,
Masyarakat desa Batang Kuis, Depertemen Sastra Daerah, dosen pembimbing,
rekan, teman, dan sahabat serta orang tua saya.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna.
Oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangundari para pembaca. Semoga skripsi ini berguna bagi pembaca,
terutama bagi penulis.

Medan, Mei 2014
Penulis,

Rendy Novrizal
080702018

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Depertemen Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah
bersedia membimbing sekaligus memberikan masukan kepada penulis.
3. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A. Ph.D, selaku pembimbing I penulis yang telah
banyak meluangkan waktu dan tenaga, serta banyak menginspirasi penulis
guna menyelesaikan skripsi, sebab di bawah bimbingan beliaulah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Rosita Ginting, M.Hum, selaku pembimbing II penulis yang dengan
sabar dan penuh kasih sayang membimbing penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5. Segenap Dosen / staf pengajar Depertemen Sastra Daerah dan Fakultas Ilmu
Budaya Sumatera Utara yang telah membantu dan membimbing penulis demi
kelancaran dalam menyelesaikan perkuliahan penulis.
6. Kepada yang teristimewa Ayahanda Peltu Ahmad Junaidi (Alm) dan Ibunda
tersayang Mila Wati, yang penuh cinta kasih berkorban segala-galanya untuk
penulis, mendidik, membesarkan dan mendoakan penulis dari buaiyan hingga
sampai saat ini tanpa keluh-kesah serta tanpa pamrih, hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada abangda yang tersayang Dirham Agus Salim yang menyarankan
untuk mengangkat Silat Lintau sebagai pembahasan judul skripsi ini,

Abangda tersayang Hendra Lazuardi beserta istri kakanda Kamaliah yang
sangat membantu dalam materi dan motivasi.
8. Kepada Syafitriyani Nasution SS wanita yang begitu mencintai penulis
dengan setulus hati, yang begitu besar berpengaruh untuk perjalanan hidup
penulis, memberikan dukungan tidak ternilai, tanpa lelah, terus berdiri,
menyokong saat penulis terpuruk, jatuh, serta memberikan kekuatan dan
ketenangan bagi penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya.
9. Kepada rekan-rekan stambuk 2008, Bobby Heryawan SS, Surya Dharma,
Hasudungan, Fakhrizal Fahri SS, Mustaqim Tanjung SS, Rahmad Fadlan
Syahdi SS, Ardiani Tarigan SS, Fitri Armaya Sari SS, Pinky SS, Nadila SS,
Widya SS, Rama Astika SS, dan rekan 2008 lainnya.
10. Kepada adik-adik ku tersayang yang selalu menghalangi dalam pengerjaan
skripsi penulis, Mahara Lisna, Lestari Ramadhani, Rini salsa Bella, Faizatul
Zuhra, Cherly Fika, Fanny Sihombing, Ricky Yudistira, Lisa Andriyani,
Alawiyah, Ika Lia Juliana, kepada abang senior Bambang Riyanto SS, dan
Firman Syahputra.
11. Kepada teman-teman organisasi Teater O, komunitas Sejamaltat, rock O,

Cingciripit, Idola, Pimpto dan komunitas Cetanan yang belum dibentuk,
Syahriski Fahri Abda Sinaga, Joko Saputra, Zainul Ma’rif, Robisam, dan
Muhammad Iksanuddin.
12. Kepada keluarga besar Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah Batak-Melayu
(IMSAD) yang banyak memberikan dorongan hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
13. Kepada Bapak Kepala Desa dan Masyarakat desa Pekan Kec. Batang Kuis
yang telah memberi bantuan berupa izin dan informasi kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih
setulus-tulusnya. Semoga kelak skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Mei 2014
Penulis

Rendy Novrizal
080702018

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK.................................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii

UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................... iii
DAFTAR ISI............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1

Tradisi Kecendikiaan Sastra Melayu Tradisi......................... 7

2.2

Jati Diri Masyarakat Melayu..................................................9

2.3

Sastra dan Antropologi......................................................... 10

2.4

Sejarah Antropologi Sastra................................................... 11

2.5

Pendekatan antropologi sastra............................................... 13

BAB III METODE PENELITIAN
3.1

Desain Penelitian.................................................................. 15

3.2

Sumber Data.......................................................................... 15

3.3

Instrumen Penelitian............................................................. 16

3.4

Teknik Pengumpulan data..................................................... 16
3.4.1

Teknik Observasi....................................................... 16

3.4.2

Teknik kuisioner........................................................ 18

3.4.3
3.5

Teknik Dokumentasi.................................................. 18

Teknik Analisis Data............................................................. 18
3.5.1

Reduksi Data............................................................. 19

3.5.2

Sajian Data................................................................ 19

3.5.3

Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)........................... 19

BAB IV JATI DIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALAM
TRADISI SILAT LINTAU
4.1 Sejarah Ringkas Dan Wilayah Penyebarannya........................... 21
4.1.1 Sejarah Ringkas........................................................... 21
4.1.2 Wilayah Penyebaran.................................................... 22
4.2 Guru Dan Pewaris...................................................................... 23
4.2.1 Guru............................................................................ 23
4.2.2 Pewaris....................................................................... 24
4.3 Tahap Dan Syarat Pelaksanaan................................................. 26
4.3.1 Tahap.........................................................................

26

4.3.2 Syarat.........................................................................

41

4.4 Makna Teks Dan Konteks .......................................................

47

4.4.1 Makna Teks...............................................................

47

4.4.2 Makna Konteks.........................................................

54

4.5 Jati Diri Masyarakat Melayu....................................................

59

4.5.1 Masyarakat Dan Agama...........................................

58

4.5.2 Sifat Budaya.............................................................

63

4.5.2 Sifat Kebahasaan.......................................................

64

BAB V SARAN DAN KESIMPULAN
5.1 Saran dan Kesimpulan………………………………………

68

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................

71

DATA INFORMAN.................................................................................

74

LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto Wawancara penelitian
Lampiran 2. Surat Keterangan dari Kepala Desa
Lampiran 3. Surat Pengantar Penelitian Fakultas
Lampiran 4. Surat Pengantar Penelitian Jurusan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menurut Semi (2003) Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan karya
seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya. Cara pandang pengarang, wilayah, geografi budaya,

waktu, dan juga berbagai faktor lain, merupakan konteks dari suatu karya sastra.
Artinya sastra juga mempunyai ikatan terhadap budaya dari suatu masyarakat dan
kehidupan pengarangnya. Berdasarkan hal di atas, Soemarjan dan Sumardi (2001)
hubungan sastra dengan kebudayaan sangat nyata, karena kebudayaan merupakan
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Pengkajian sastra, khususnya kesusastraan Melayu, terbagi dalam dua bentuk
yaitu, sastra lisan dan sastra tulisan, Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat
kita temukan dalam masyarakat dan diwariskan secara turun-memurun. Wiget
(dalam Lauter, 1994), Sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar dan
pendengarnya turut melakukan evaluasi terhadap cara penyajian dan isi penceritaan.
Menurut Othman (1998) lingkup dan objek kajian sastra lisan sangat luas.
Salah satu genre sastra lisan ialah tradisi pertahanan diri dari suatu masyarakat.
Umpamanya genre bela diri Silat Lintau yang sangat populer dalam masyarakat
Melayu Serdang. Cara sang guru yang menurunkan ilmu, jurus, dan lainnya
merupakan sastra lisan yang secara langsung terjadi di tengah-tengah masyarakat
Melayu Serdang Kedatukan Batang Kuis. Pada pengkajian genre bela diri dapat
diungkapkan jati diri dari suatu masyarakat. Hal ini menurut Othman (1999)
Kandungan teks dan konteksnya tidak terlepas dari kosmologi masyarakat Melayu.
Mengetahui jati diri dalam tradisi bela diri Silat lintau tersebut Salah satu
pendekatan yang digunakan dalam ilmu kajian sastra adalah Antropologi sastra.
Antrophos adalah manusia, sedangkan logos adalah ilmu, Antropologi sastra adalah
ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Menurut Koentjaraningrat (2000) antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat

serta kebudayaan yang dihasilkan. dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik
serta kebudayaan termasuk cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, dan kandungan nilai
yang dihasilkan sehingga setiap manusia memiliki perbedaaan yang satu dengan
yang lainnya.
Hal ini membuat kelangsungan hidup suatu bahasa tergantung oleh dinamika
kehidupan budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, budaya yang
ada disekeliling bahasa akan ikut menentukan wajah dari suatu tekstual tersebut,
sebab pada hakikatnya manusia dan budaya tak akan pernah lepas, ketika manusia
mendiami suatu wilayah pasti akan terbentuk sebuah kebudayaan tempat para
manusia membuat suatu karya seni, bahasa, agama, ekonomi, teknologi, dan
kesenjangan sosial, kebudayaan tersebut juga akan berubah seiring dengan
bertambahnya waktu serta kemajuan zaman. Maka secara sederhana, manusia adalah
pelaku budaya, sedangkan budaya adalah objek yang dilakukan oleh manusia.
Ilmu budaya dasar yang di sebut juga sebagai Basic Humanities berasal dari
bahasa latin yang di sebut dengan “humanus”, yang memiliki arti manusiawi,
berbudaya, dan halus. Pada umumnya, humanities mencakup filsafat, teologi, seni,
dan cabang-cabangnya seperti sejarah, dan sastra, maka dari itu humanities menjadi
ilmu kemanusiaan dan kebudayaan, seni termasuk sastra yang penting dalam
humanities karena seni merupakan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang normative,
dan bukan sebagai formulasi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, di samping itu sastra
memiliki peranan yang jauh lebih penting karena sastra menggunakan bahasa.
Sementara bahasa mempunyai kemampuan untuk menampung hampir semua
pernyataan kegiatan manusia untuk memahami dirinya sendiri yang akhirnya

melahirkan filsafat untuk memahami alam semesta dan akhirnya menciptakan ilmu
pengetahuan.
Proses pembentukan jati diri manusia yang terdapat di Indonesia berakar dari
proses mitologi kesukuan yang berdiam di nusantara sebagai bentuk penafsiran
dengan latar etnik yang beragam terhadap sumber budaya etnik. Oleh karena itu,
kita seharusnya mengenal mitologi Minang, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar,
Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara, sebab dalam mitologi
kesukuan tersebut banyak terdapat nilai-nilai sastra etnik yang mempengaruhi
prilaku dan membentuk sifat menjadi ciri dari manusia di Indonesia.
Pengaruh jati diri pada sastra jelas berawal dari proses keintelektualan etnik,
diikuti perkembangan zaman dan kelompok masyarakat. Dengan kata lain, jati diri
yang telah ada banyak dipengaruhi oleh para pengarang dari berbagai kelompok
etnik di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya. Sastra adalah salah
satu syarat dalam membentuk jati diri, di dalam kajian sastra dan karya sastra selalu
mengangkat komponen karakteristik manusia, baik dari segi psikologis, sosiologis,
serta kepribadian manusia, karya sastra tersebut jelas mengungkap bahwa jati diri
manusia adalah objek dari kajian sastra.
Dalam peraturan Silat Lintau seorang Guru Silat Lintau untuk menerima
murid memberikan syarat membawa sebilah pisau belati, kain putih setinggi badan,
dan piring batu putih tanpa motif, Setelah syarat terpenuhi barulah proses latihan
dilaksanakan. Latihan pertama dilakukan di gelanggang atau di rumah panggung,
gerakan pertama melakukan pertarungan dengan posisi duduk, sebab posisi berdiri
akan dipelajari di tahap selanjutnya. Pertama sekali yang dipelajari adalah kuncian
Lintau yang terbagi menjadi 16 bagian jurus, yaitu ; 4 jenis elakan pada tumbuk, 4

jenis elakan pada tikam/cucuk, 4 jenis elakan pada tetak, dan 4 jenis elakan pada
simbor, lalu ada mantera dan doa-doa yang digunakan, seperti doa mohon
keselamatan yang dipanjatkan pada yang maha kuasa.
Setelah mahir dalam posisi duduk selanjutnya gerakan setengah berdiri yang
mengantarkan pada tahap turun gelanggang, di sini ada persyaratan yang harus
dibawa, yaitu ayam jantan yang belum pernah kawin, dengan ciri belum memiliki
jengger dan keluruknya pendek, namun mempunyai taji dikedua kakinya bersama
pulut kuning dan intinya, lalu dipanggil pemuka adat kepala desa dan ulama yang
ada di kampung tersebut untuk meresmikan murid turun tanah/turun gelanggang,
ayam tersebut akan dihidangkan bersama pulut untuk disantap bersama sebagai
meresmikan bahwa sudah sah turun gelanggang, tulang-belulang ayam akan
dibungkus dengan kain putih ditanam ditengah lapangan tempat nantinya berlatih
Lintau. Makna dari ayam yang dibawa sebagai syarat adalah kita berasal dari Allah
S.W.T dan akan kembali kepada-Nya, lalu pulut memiliki arti banyak namun tetap
bersatu.
Dalam latihan turun tanah akan di pelajari ilmu langkah satu papan, yang
maksudnya mundur selangkah, maju selangkah atau menghindari serangan dan
mengambil langkah untuk menyerang balik, langkah ini tidak langkah mati sebab
berakibat fatal untuk diri sendiri jika tidak diperhatikan penggunaan langkah
tersebut, penilaian guru kepada murid tentang pengamalan silat lintau akan menjadi
generasi penerus guru yang di beri nama si “De” atau “Da” (seperti seorang asisten
atau wakil) berikutnya apabila sang guru mangkat atau meninggal dunia dengan
meninggalkan belati dan kain putih pemberian sang guru tersebut berarti si De
tersebut berhak mengajarkan Lintau dan menjadi seorang guru.

Berdasarkan uraian di atas menunjukan adanya hubungan antara tradisi kajian
sastra, jati diri, dan keberadaan silat lintau dalam masyarakat Melayu khususnya
Melayu Serdang yang berada di Kedatukan Batang Kuis, oleh karena itu penelitian
ini mengkaji tentang pendekatan antropologi sastra, sebab antropologi tidak hanya
membahas manusia dari sisi biologisnya saja namun juga komponen karakter dari
jati diri untuk menyingkap ideologi manusia sebagai mahluk hidup.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana latar dan tahap pelaksanaan/penggunaan Silat Lintau.
2. Apa makna teks dan konteks yang terkandung dalam Silat Lintau.
3. Bagaimana jati diri masyarakat Serdang di Kedatukan Batang Kuis
berdasarkan kajian teks dan konteks pelaksanaan/penggunaannya.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan tahap pelaksanaan yang terkandung dalam Silat Lintau
sebagai pembentukan jati diri Masyarakat Serdang di Kedatukan Batang Kuis.
2. Untuk mengetahui makna teks dan konteks yang terkandung dalam Silat
Lintau.
3. Mengetahui terbentuknya jati diri masyarakat serdang di kedatukan Batang
1.1

Kuis berdasarkan kajian teks dan konteks pelaksanaan Silat Lintau.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Memberikan masukan dalam pengembangan seni dan budaya, khususnya
seni beladiri

2) Memberikan pemahaman mengenai tahapan yang berperan dalam
pembentukan jati diri melalui seni beladiri Silat Lintau
3) Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi sastra
dan budaya dengan tinjauan antropologi sastra.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Tradisi Kecendikiaan Sastra Melayu Tradisi
Syaifuddin (2014) mengemukakan, tradisi keintelektualan Melayu dapat

dilihat pada kesusasteraan yang terdiri dari bentuk lisan dan tulisan. Bentuk lisan dan
tulisan berkembang secara terus-menerus selaras dengan perkembangan zaman.

Sastra lisan misalnya yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya
melalui proses sosialisasi anggota masyarakat ia menjadi satu unsur local genius
kebijaksanaan di suatu tempat. Ia juga memperhatikan kekreatifan dan kebijaksanaan
berfikir anggota masyarakatnya sejak zaman belum mengenal tulisan.
Bentuk-bentuk sastra lisan itu misalnya cerita pelipur lara, cerita jenaka,
cerita nasihat, cerita binatang, mitos, legenda, cerita asal-usul dan lain-lain. Bentukbentuk ucapan lisan yang lain seperti pantun, peribahasa, simpulan bahasa, pepatahpetitih, seloka, dan seumpamanya (yang kemudiannya didokumentasikan dalam
bentuk tulisan), menampakkan ciri-ciri akal budi dan kebijaksanaan orang Melayu
menangani segala sikap dan prilaku kehidupan yang dihasilkan oleh proses
pengintelektualan orang Melayu sepanjang zaman.
Sejarah

keagungan

perkembangan

pusat-pusat

keintelektualan

dan

kesusasteraan Melayu yang bertulis mulanya pada era empayar Sriwijaya sekitar
tahun 650-1200, Srivijaya merupakan pusat kebudayaan Melayu tertua yang
memainkan peranan penting dalam perkembangan keintelektualan dan kesusasteraan
Melayu tradisional. Walaupun karya-karya kesusasteraan zaman ini umumnya ditulis
dalam bahasa Sanskrit, namun terdapat juga bentuk penulisan dalam bahasa Melayu
Kuno seperti yang tercatat di atas batu-batu bersurat. Walau bagaimanapun, hasil
kesusasteraan yang bertulis di atas bahan-bahan yang lain tidak kedapatan atau
ditemui.
Keagungan kerajaan Sriwijaya secara langsung telah mencetuskan
perkembangan hasil-hasil kesusasteraan Melayu mengikut tahap perkembangan
kerajaan dan kemampuan pengarang-pengarangnya di istana-istana raja Melayu.
Istana-istana raja Melayu merupakan pusat kegiatan keintelektualan dalam tamadun

Melayu Islam. Setelah Empayar Srivijaya muncul kerajaan Pasai sekitar tahun 12501524, pada jaman Pasai kegiatan kesusasteraan pula lebih banyak dikaitkan dengan
kegiatan kerajaan ini sebagai kerajaan Melayu yang pertama menerima dan memeluk
agama Islam di Alam Melayu. Di sini muncul bahasa Melayu persuratan yang
bertindak sebagai wahana atau alat untuk penyebaran agama dan kesusasteraan
Islam, dan tulisan Jawi merupakan tulisan yang digunakan dalam kesusasteraan
Melayu. Hasil-hasil kesusasteraan dipenuhi dengan ciri kesusasteraan agama
khususnya sastera kitab, riwayat hidup Nabi Muhammad, cerita nabi-nabi, para
sahabat, pahlawan dan sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai. Namun sastra lisan
dan hasil karya pada zaman pengaruh Hindu masih dikekalkan.
Lalu perkembangan kesusastraan Melayu tidak berhenti di situ, beberapa
kerajaan seperti Melaka sekitar tahun 1400-1511; diikuti kesusasteraan zaman Johor
1528-1779; kesusasteraan zaman Palembang sekitar tahun 1650-1824; kesusasteraan
di Patani sekitar tahun 1500-1900; di Brunei bermula dengan pemerintahan sultan
ketiganya yaitu Sultan Sharif Au (1425-143 2); dan di Riau sekitar tahun 1673
sehingga tahun 1911, ikut menyumbangkan karya-karya kesusatraan melalui
cedikiawan kerajaannya.
Ciri-ciri keintelektualan dan kesusasteraan Melayu memasuki abad ke-20
sehingga sekarang telah di pengaruhi oleh ideologi dan pemahaman barat yang
membawa pengaruh sekularisme, nasionalisme, realisme dan humanisme dalam cara
berfikir dan pengungkapan orang-orang Melayu, lalu di tambah lagi dengan
kembalinya pengaruh kebangkitan Islam yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad
Abduh (1849-1905), Mufti Mesir (1888- 1889) yang bersama-sama dengan
Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) telah mempelopori gerakan Islam yang terkenal

dengan

nama

Gerakan

Salafiah

dan

menerbitkan

majalah-majalah

yang

menganjurkan pemahaman islam di masa itu.

2.2

Jati Diri Masyarakat Melayu
Dalam batasan yang sebenarnya definisi masyarakat sendiri tidak berbentuk

secara fisik, namun abstrak atau bersifat fiktif disebabkan karena hanya berupa
gambaran saja sebab lembaga ini dapat dijumpai dimana saja tidak terbatas ruang
dan waktu. Walau demikian lembaga tersebut tetap berpengaruh terhadap
pembelajaran sosial yang setiap pribadi memiliki ikatan dalam kehidupan
bermasyarakat, Arrasyid dkk (2008 : 11).
Masyarakat Melayu sendiri merupakan lembaga yang tradisinya bermula
pada segi kosmologi, yang dahulunya berpegang pada mitos dan fantasi. Namun,
seiring perkembangan zaman serta masuknya ajaran agama Islam membuat
kosmologi yang baru, kepercayaan yang menjadi material dan empiris. Walau tidak
begitu terikat dengan kosmologi yang baru filosopis jati diri masyarakat Melayu
masih melekat dan dapat dijumpai melalui karya-karya sastra Melayu seperti pantun,
gurindam, syair, manuskrip Melayu, dan khazanah sastra Melayu lainnya. Hingga
menghasilkan masyarakat Melayu yang berpagarkan adat istiadat bersendikan agama
dan berpayungkan budaya sehingga terwujudnya etika serta estetika dalam dunia
Melayu.
Jati diri manusia Melayu tergambar dari sifat dan prilaku dikehidupan
bermasyarakat, ciri yang menyatakan tidak terikat oleh waktu, memiliki ambisi yang
sederhana, keinginan dan tindakan yang terbatas, berpatok pada masa lalu, tidak

begitu memandang masa depan, menjaga hubungan bermasyarakat bukan hidup
untuk berkompetisi, memiliki rasa iri hati adalah sifat manusia Melayu. Sifat hidup
di dunia hanya sebagai berziarah, tempat singgah sementara tidak serta-merta
mengolah kehidupan dunia adalah sifat manusia Melayu yang telah dipengaruhi
Islam. Orang Melayu akan menghindar saat terjadi perdebatan apalagi hingga terjadi
kontak fisik yang menimbulkan permusuhan, mereka cenderung mengalah,
memendamnya dalam hati untuk meredam amarah, lalu menjaga air muka orang
dengan cara menyindir secara halus merupakan ciri dari orang Melayu.
2.3

Sastra dan Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang seluk-beluk manusia yang mencakup

beberapa aspek dalam kehidupan, sementara sastra adalah ungkapan pribadi manusia
yang dituangkan dalam karyanya. Karya sastra itu merupakan sebuah karya
imajinatif. Sebagai salah satu dari tiga ilmu “social humaniora” Antropologi Sastra
jelas membahas permasalahan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam
aspek-aspek kebudayaan. Batas sastra dan antropologi sangat tipis. Kedua kajian
tersebut berbeda pada permukaan namun esensinya sama. Banyak hal dalam karya
sastra yang memuat aspek etnografi kehidupan manusia. Sebaliknya, tidak sedikit
karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra.
Mengkaji manusia berarti mengamati dan mempelajari manusia dari semua
bentuk segi kehidupan tak terkecuali jati diri manusia. Jati diri yang menonjol pada
diri manusia akan mencerminkan prilaku dan watak manusia. Manusia yang kognitif
akan menciptakan kemudahan bagi diri sendiri dan orang lain bukan sebaliknya.
2.4

Sejarah Antropologi Sastra

Dalam buku ‘Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif’’, karya Kutha Ratna, (2011 : 10) isu mengenai hubungan antara
sastra dan antropologi pertama kali muncul dalam kongres ‘Folklore and Literary
Anthropology’ (Poyatos, 1988: xi-xv) yang berlangsung di Calcutta (1987)
diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Oleh karena itu, tidak
secara kebetulan buku yang diterbitkan pertama kali diberikan subjudul ‘A new
Interdisiplinary Approach to People, Signs, and Literature.’ Meskipun demikian
Payatos, mengakui bahwa sebagai istilah baik sebagai antropologi sastra maupun
sastra antropologi pertama kali dikemukakan dalam sebuah tulisannya yang dimuat
dalam semiotica (21:3/4 tahun 1977) berjudul “Form and Function of Nonverbal
Communication in the Novel: A New Perspective of the Author-Character-Reader
Relationship.” Dalam hubungan ini perlu disebutkan sebuah tulisan singkat berjudul
“Toward an Anthropology of Literature” (Rippere, 1970) di dalamnya di jelaskan
peranan bahasa dalam karya sastra, yaitu bahasa yang lebih banyak berkaitan dengan
konteksnya terhadap realitas, sehingga makna bahasa jauh lebih luas dibandingkan
dengan apa yang diucapkan.
Ada dua istilah yang muncul yakni antropologi sastra (Antropology of
literature) dan sastra antropologi (Literary Antropology). Terdapat pada tulisan di
buku karangan Kutha Ratna, dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai dan
demikian isi yang terkandung di dalamnya, yang dibicarakan dalam antropologi
sastra adalah analaisis karya sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur antropologi.
Sebaliknya, sastra antropologi adalah analisis antropologi melalui karya sastra, atau
analisis antropologi dalam kaitannya dengan unsur-unsur sastra.

Antropologi sastra, antropologi merupakan gejala sekunder, sebagai
instrument, sebaliknya sastra antropologi yang menjadi gejala primer sekaligus
instrument adalah karya sastra itu sendiri. Jadi, antropologi sastra adalah analisis dan
pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Dalam
perkembangannya juga mengikuti perkembangan sosiologi sastra yang semula hanya
berkaitan dengan masyarakat yang ada dalam karya sastra kemudian meluas pada
masyarakat sebagai latar belakang penciptaan sekaligus penerimaan.
Sastra dan Antropologi sudah jelas berkembang pesat, dalam waktu yang
relatif lama. Meskipun demikian, perkembangan yang lebih signifikan kedua disiplin
tampak jelas sejak ditemukannya teori-teori mutakhir awal abad ke-20.
Perkembangan sastra dimulai sejak diperkenalkannya teori-teori formalisme dan
strukturalisme tahun 1915 di dunia Barat. Di Indonesia teori-teori yang dimaksudkan
mulai dikenal tahun 1960-an, sekaligus membedakan analisis terhadap karya sastra
menjadi tiga kelompok, yaitu: teori, sejarah, dan kritik sastra. Teori dan metode
antropologi (Koentjaraningrat dalam Ratna, 1974: 14, 31; 1980: 1-5) mengalami
perkembangan pesat sekitar tahun 1930-an yang kemudian memperoleh kesepakatan
dalam International Symposium on Antropology di Amerika Serikat (1951).
Simposium dilakukan untuk merumuskan tujuan-tujuan antropologi yang baru.

2.5

Pendekatan Antropologi Sastra
Ratna (2012 : 52) Memaparkan, antropologi sastra adalah analisis

interdisiplin terhadap karya sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi.

Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya
antropologi itu sendiri sebagai pelengkap. Penggunaan teori Antropologi sastra
sebagai metode pembahasan objek tidak terlepas dari adanya dukungan unsur-unsur
lain dari berbagai peralatan, termasuk si pelaku dari aspek kebudayaan.
Secara defenitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra
dengan relevansi manusia (anthropos) dengan melihat pembagian antropologi
menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka
antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan
karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah,
hukum, adat-istiadat, karya sastra, dan karya seni lainnya.
Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh
manusia, yaitu: buah pikiran (ide), kegiatan atau aktivitas, dan pencapaian, atas dasar
pemikiran bahwa sistem kultural suatu suku tersimpan di dalam peninggalan
manusia, maka jelas antropologi sastra merupakan metode yang sangat penting untuk
mengetahui jati diri budaya pada suatu kelompok masyarakat.
Berdasarkan pada sebuah pengistilahan bahwa karya sastra itu adalah
imajinatif. Tetapi perlu diketahui justru dalam poin itulah nilai-nilai antropologis
dipermain-mainkan. Selebihnya, disitulah letak fokus penelitian antropologi sastra.
Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisipliner yang paling baru dalam
ilmu sastra. Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dikarenakan oleh ilmu
antropologi dengan ilmu sastra sama-sama mempermasalahkan relevansi manusia
dengan kebudayaannya, Aspek itulah yang menghubungkan batas-batas penelitian di
antara antropologi dan sastra.

Antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arketipal, yaitu kajian
karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Penelitian
antropologi sastra menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan
etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra
dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat,
seperti tradisi bela diri. Penelitian antropologi sastra adalah penelitian yang
membahas struktur manusia yang dikaji dari sudut kehidupan untuk memahami sifat
prilakunya dalam sebuah aspek kebuadayaan, khususnya yang bersifat lisan.
Ratna (2012: 65) menyatakan dalam aplikasi teori pendekatan antropologi
sastra adalah; bermula dari mendiskrifsikan pelaksanaan suatu aspek budaya yang
diteliti atau dikaji. Lalu memahami tujuan dan kebermanfaatan pelaksanaannya bagi
pendukung dan pemilik budaya. Selain itu, mengetahui segala aspek atau bendabenda yang menyertainya, yaitu syarat-syarat pelaksanaannya. Sekaligus memberi
tafsiran dari masing-masing benda yang menyertai. Tafsiran berdasarkan pemahaman
seseorang, masyarakat, dan etnik dari penutur, pendukung, dan pemilik aspek budaya
tersebut. Langkah-langkah ini memberi kesimpulan bahwa aspek budaya tertentu
dapat menggambarkan sebagai karakter atau jati diri kolektif dari suatu masyarakat.
Menurut Osman (1976) pun analisis antropologi sastra tidak bermakna akan
mengenepikan aspek-aspek budaya. Oleh karena itu, analisis struktur atau teks hanya
akan menjadi bermakna sekiranya dikaitkan dengan budaya masyarakat itu sendiri.
Dengan kata lain, analisis antropologi sastra memahami struktur atau teks dan
konteks, dalam penelitian budaya dari suatu masyarakat.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Disain Penelitian

Arikunto (2010 : 50) menyatakan, metode penelitian adalah strategi umum
yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan guna menjawab
persoalan yang dihadapi. Hal ini menyimpulkan bahwa metode penelitian adalah
suatu cara untuk mencapai kebenaran dengan mengumpulkan dan menganalisis data
yang diperlukan guna mencapai tujuan.
Disain penelitian atau dapat juga disebut metode penelitian adalah suatu cara
untuk mencari kebenaran dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang
diperlukan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian penelitian ini menggunakan
Pendekatan Kualitatif Naturalistik dengan teknik pengumpulan data seperti observasi
kuesioner (angket) dan dokumentasi.

3.2 Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari : Pertama, sumber data berupa
informan yaitu masyarakat Melayu Serdang yang bermukim Desa Payagambar
Kecamatan Batang Kuis. Kedua, sumber data berupa suasana mencakup kehidupan
sehari-hari, balai masyarakat, interaksi antara masyarakat sekitar dan tempat
berkumpul/kerumunan yang berpotensi akan informasi tantang penelitian, serta
buku-buku yang berkaitan dengan Silat Lintau.
3.3 Instrumen Penelitian
Dalam suatu penelitian instrumen sangat memegang peranan yang penting.
Berhasil atau tidak suatu penelitian ditentukan oleh instrumen yang digunakan dalam
penelitian. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat rekam suara
(voice/audio recording) dan alat rekam gambar (video recording) beserta kuisioner

berupa pertanyaan. Pertanyaan diberikan kepada masyarakat yang terkait seputar
mengenai Silat Lintau untuk memahami jati diri masyarakat yang ada di Kedatukan
Batang Kuis tersebut, pertanyaan ini berisi tentang pemaparan secara deskriptif Silat
Lintau tersebut, sedangkan dalam hal ini angket yang diteliti berdasarkan pendapat
Hasan (2011: 10) angket digunakan agar peneliti memperoleh tanggapan masyarakat.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian sesuai dengan maksud tujuan teknik ini digunakan untuk
mendapat informasi yang diharapkan, lalu pengumpulan data dilakukan melalui
teknik sebagai berikut:
3.4.1 Teknik Observasi
Maksud observasi sendiri adalah sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan
pencatatan yang dilakukan dengan tersusun terhadap objek ditempat terjadi atau
berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang diselidiki,
teknik ini disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah
pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa yang akan
diselidiki identitas peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau
rangkaian photo (Rachman, 2004: 77)
Berkaitan dengan observasi Kartono (2003: 57) mengemukakan, observasi
adalah studi yang sengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala
alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Teknik observasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik observasi dengan menerapkan pencatatan berkala
atau insidental record dimana pencatatan dilakukan menurut urutan kejadian dan

urutan waktu yang tidak dilakukan secara terus menerus melainkan pada waktu
tertentu dan mempunyai batas pula, pada jangka waktu yang ditetapkan untuk tiaptiap kali pengamatan.
Peneliti menggunakan teknik observasi baik langsung maupun yang tidak
langsung yang didasari beberapa alasan sebagai berikut:
1. Banyak gejala yang dapat diselidiki dengan observasi sehingga hasilnya
akurat sulit dibantah.
2. Banyak objek yang hanya bersedia diambil datanya dengan cara observasi.
3. Kejadian yang serempak hanya dapat diamati dan dicatat secara serempak
pula dengan memperbanyak observer.
4. Banyak kejadian yang dipandang kecil yang tidak dapat ditangkap oleh
alat pengumpul data yang lain, ternyata sangat menentukan hasil
penelitian justru diungkap oleh observasi (Rachman, 2004:80)
Berkaitan dengan jenis observasi yang digunakan peneliti menggunakan
metode observasi langsung yaitu, di Serdang kedatukan Batang Kuis tepatnya di desa
payagambar, sedangkan yang dijadikan fokus observasi dalam penelitian ini adalah
silat lintau untuk memahami jati diri masyarakat Melayu dalam tradisi beladiri.
3.4.2 Teknik Kuesioner
Kuesioner berisi beberapa pertanyaan untuk masyarakat sebagai responden.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada bertujuan memperoleh data tentang pandangan
mereka pada Silat Lintau serta penggunannya dalam penelitian tersebut.
3.4.3 Teknik Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, agenda dan
lain sebagainya (Arikunto, 2006:236). Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi
dilakukan dengan cara peneliti mengumpulkan data-data melalui pencatatan atau
data-data tertulis yang ada di desa Payagambar Kecamatan Batang Kuis.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
model analisis mengalir, yang meliputi tiga komponen, yaitu 1) reduksi data; 2)
penyajian data; dan 3) penarikan simpulan (Verifikasi). Analisis model mengalir
mempunyai tiga komponen yang saling terjalin dengan baik, yaitu sebelum, selama
dan sesudah pelaksanaan pengumpulan data, (Suwondo, 2001: 128). Penjelasannya
sebagai berikut.

3.5.1 Reduksi Data
Langkah ini memungkinkan data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang
terperinci. Dan data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan
penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan
masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini tentang jati diri masyarakat melayu
serdang dalam tradisi beladiri Silat Lintau. Informasi-informasi yang mengacu pada
permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.

3.5.2 Sajian Data

Langkah ini data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur
dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis
sehingga diperoleh deskripsi tentang karakter masyarakat.
3.5.3 Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)
Tahap ini dibuat kesimpulan tentang hasil dan data yang diperoleh sejak awal
penelitian. Kesimpulan dari ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian
kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang diperoleh benar-benar valid.
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus-menerus
mulai dan awal, saat penelitian berlangsung, sampai akhir penelitian.

BAB IV
JATIDIRI MASYARAKAT MELAYU SERDANG DALAM TRADISI
BELADIRI SILAT LINTAU

4.1 Sejarah Ringkas Dan Wilayah Penyebarannya
4.1.1 Sejarah Ringkas
Sinar dan Syaifuddin (2004:29) mengungkapkan bahwa Kedatukan Batang
Kuis merupakan bagian dari wilayah dan kekuasaan Kesultanan Serdang. Di wilayah
Kedatukan Batang Kuis terdapat luhak-luhak (Lurah), kampung, dusun, dan lorong.
Terdapatnya sebuah Kedatukan, dalam sistem ketatanegaraan atau sistem beraja
Melayu sama dengan kerajaan kecil dalam sebuah kesultanan. Datuk berkuasa penuh
atas kemaslahatan rakyatnya, apalagi kelangsungan adat resamnya, datuklah yang
bertanggungjawab. Dalam ungkapan Melayu dinyatakan bahwa “ rakyat bagai akar,
datuk pohonnya”. Maknanya seorang datuk harus arif dan bijaksana atas adat
masyarakatnya. Sultan serta rakyat akan murka bila datuk mengeyampingkan adat
dalam kebijakannya.
Dalam Kesultanan Serdang, tepatnya pada kedatukan Batang Kuis hingga kini
masyarakatnya masih menghormati datuk yang dikukuhkan oleh sultan. Tugas datuk
menjalankan mandat sultan, yaitu untuk memimpin kelompok-kelompok kecil dalam
susunan masyarakat tersebut. Selain itu, ia harus mampu menjaga kelangsungan
aspek-aspek adat, seperti kesenian, sastra, dan ritual-ritual yang ada di dalam
masyarakatnya, termasuklah tradisi bela diri Silat Lintau.
Dalam masyarakat Melayu di Kedatukan Batang Kuis, menurut informan
bernama Khairan silat dapat diartikan silaturrahmi, sedangkan raganya dapat
diartikan sebagai mencari lawan. Manakala

jiwanya mencari teman. Menurut

informan silat diperkirakan menyebar di nusantara semenjak abad ke-7 masehi. Akan

tetapi asal mulanya belum dapat dipastikan. Meskipun demikian, silat saat ini telah
diakui sebagai budaya tradsi Melayu dalam pengertian yang luas.
Menurut Khairan yang akrab dipanggil Siteng, Sejarah silat wujud juga di
daerah Minangkabau, khususnya di desa Lintau Kabupaten Tanah Datar. Mereka
memberi arti Silat (silek) Lintau adalah suatu teknik/seni beladiri yang dimiliki oleh
masyarakat yang telah diwariskan sejak turun-temurun. Dikarenakan sifat orang
Minagkabau yang suka merantau, dengan sendirinya membuat Silek Lintau bisa
berkembang. Sebagian pendapat keadaan di atas yang membuat seni Silek Lintau
berkembang sampai di Kesultanan Serdang.
4.1.2 Wilayah Penyebaran
Di kesultanan Serdang sendiri Silat Lintau pertama datang dari daerah pesisir,
yaitu pesisir Pantai Labu dan Pantai Cermin dibawa oleh para perantau, mushafir,
dan pedagang. Silat atau ‘silek’ diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan,
Tanah Datar, di kaki Gunung Marapi pada abad XI. Penuturan informan bernama
Khairan yang merupakan seorang guru Silat Lintau di desa Batang Kuis Pekan,
Kecamatan Batang Kuis mengatakan bahwa Silat Lintau dibawa oleh Syekh Batu
Mandi, dari Minangkabau, di wilayah kaki gunung Merapi sebelum masa kolonial
penjajahan Belanda.
Penyebarannya melalui pedagang yang merantau hingga ke tanah Melayu,
lalu Silat Lintau digunakan sebagai bela diri oleh masyarakat dan disebarkan pada
orang-orang yang berada di Kesultanan Serdang di Kedatukan Batang Kuis. Saat itu
Silat Lintau digunakan oleh para pedagang dan mushafir yang merantau untuk
mempertahankan diri dari pembajak dan perampok kampung. Seiring perkembangan

waktu penyebaran terjadi karena para perantau tersebut menetap dan menikah pada
masyarakat yang berada di Serdang.
4.2 Guru Dan Pewaris
4.2.1 Guru
Daud (2001) menyatakan bahwa istilah guru dalam budaya masyarakat
Melayu seseorang yang mempunyai keahlian tentang sesuatu dan berjiwa sosial
terhadap masyarakatnya. Sebagian masyarakat menafsirkan bahwa guru orang
yang mempunyai kekuatan supranatural atau seseorang yang mempunyai
kekuatan gaib atau mistik. Terkadang ia dapat juga disebut pawang atau orang
pintar.
Dalam bela diri Silat Lintau istilah guru hampir sama artinya seperti hal
tersebut di atas. Seorang informan yang bernama Khairan menuturkan,
bahwasanya dalam mempelajari Silat Lintau awal sekali harus ditenungkan oleh
seorang guru. Hal ini, guru terlebih dahulu memahami sifat dan niat si murid yang
akan mendapat pelajaran atau akan dilatih.1
Selanjutnya seorang itu di bimbing oleh guru secara bertahap. Ini dilakukan
karena hal-hal tertentu sang murid dapat saja berpindah-pindah sebelum
menuntaskan pembelajaran. Namun, apabila sang murid dapat menyelesaikan
pembelajaran dengan baik atau tidak berpindah ke daerah lain, ia akan diberi
mandat menjadi penerus atau besar kemungkinan ia menjadi guru.
Berdasarkan pengakuan seorang informan bernama Siteng, Guru pertama
ialah Ok Habibbullah (1921-2001). Ia saudara dari Ok Khairil adalah murid

1 Khairan, 2014, Desa Pekan, Batang Kuis, Senin, 10 Februari

pertama Silat Lintau di Batang Kuisi. Selain itu tercatat sebagai Nazir (pengurus
sekaligus Imam) di Masjid Jamik, serupa dengan Imam Atok Ojang (1934-2009)
yang merupakan guru Silat Lintau. Mereka juga merupakan Imam Mesjid Jamik
di Kampung Niaga Batang Kuis. Manakala guru ke tiga informan adalah Atok
Akhiruddin atau Atok Jenggot (1932-2010). Beliau seorang veteran militer yang
berjuang di daerah Serdang.2
Menurut informan bernama Bateh Atok Akhiruddin pernah mendapat piagam
penghargaan dari presiden Republik Indonesia Kedua, yaitu Soeharto sebagai
pahlawan perang. Melalui anaknya Atok Jenggot memberikan pisau belati tanda
turunnya mandat guru kepada informan, beliau memiliki rumah keluarga dan
berdomisili di Kampung Niaga.3

4.2.2 Pewaris
Menurut Yusmar (2006) istilah pewaris dalam budaya Melayu sama dengan
murid. Dengan kata lain berpengertian seorang yang menerima dan belajar
tentang sesuatu, seperti belajar tentang bela diri dan melakukan hentakan di dalam
menari pada peristiwa adat ritual.
Menurut informan bernama Wanda yang juga merupakan keponakan Siteng,
pewaris atau murid dalam bela diri Silat Lintau akan di tempah secara lahir dan
batin. Penempaan ini melalui proses pelatihan yang diajarkan oleh Guru. Mulai
dari syarat hingga aturan-aturan perguruan yang diberikan untuk menjadi seorang

2 Andak Khairan, 2014, Desa Pekan Kec. Batang Kuis, Senin, 10 Februari
3 Bateh, 2014, Percakapan di warung, Kampung Niaga Kec. Batang Kuis, selasa,
11 Februari

pesilat. Peraturan ini semata-mata bukan atas kehendak Guru. Namun, sudah ada
sejak Silat Lintau di bawa dan disebarkan.4
Sejak awal murid harus memahami latar pelaksanaan dan penggunaan Silat
Lintau. Ini disampaikan agar segala kemampuan yang didapat tidak digunakan
kepada hal-hal yang menzalimi makhluk Allah. Murid harus dapat mengartikan
mengapa setiap pemula harus berada di dalam rumah panggung hal itu merupakan
syarat pertama.
Menurut informan yang bernama Siteng selaku guru yang pernah
mengajarkan Silat Lintau, syarat untuk mempelajari Silat Lintau ialah, membawa
sebilah pisau belati bergagang kayu bersarungkan kulit, piring batu cekung
berbentuk mangkuk berwarna putih tanpa motif satu buah, kain sarung putih
setinggi badan sang murid, lalu guru akan berpesan pada khalayak yang ingin
belajar Silat Lintau, pertama-tama Silat Lintau bukanlah di pakai untuk melawan
atau durhaka kepada Allah dan kedua orang tua, melawan guru, sesama murid
Silat Lintau, mencari masalah, menjual, atau memulai perkelahian.
Dalam arti sempit hanya membeli ketika ada yang memulai untuk bertarung,
setelah pesan dan amanat tersebut di sampaikan barulah di mulai latihan Silat
Lintau dengan kuda-kuda awalan duduk.
Menurut Khairan, ia sendiri pernah menjadi guru dan melatih sekitar 15
orang di Desa Batang Kuis Pekan dan halaman rumahnya sendiri sebagai tempat
berlatih. Hingga saat ini beliau tidak lagi melatih karena kesibukan dalam bekerja.
Salah satu dari murid yang diajarkannya ialah Muni Syarah, anak perempuan

4 Wanda, 2014, Desa Telaga Sari, Kuala Namo, Sabtu, 15 Februari

berusia 14 tahun nomor dua dari empat bersaudara. Muni satu-satunya anak dari
informan yang belajar Silat Lintau padanya.
Muni sudah sampai tahap turun gelanggang dan pernah mengisi acara di
acara pernikahan kakak sepupunya, namun karena guru sudah berhenti mengajar
sejak 3 tahun lalu Muni pun sudah mulai lupa dengan jurus dan gerakan-gerakan
Silat Lintau tersebut. Selain Muni ada Agam keponakan informan yang berusia 16
tahun, Agam juga mahir hingga tahap turun gelanggang, dia juga sebagai lawan
tanding saat mengisi acara pernikahan kakak sepupunn

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

PENGARUH TERPAAN LIRIK LAGU IWAN FALS TERHADAP PENILAIAN MAHASISWA TENTANG KEPEDULIAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT MISKIN(Study Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Pada Lagu Siang Seberang Istana)

2 56 3

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN AKTUALISASI DIRI PADA KARYAWAN

1 27 2

PENYESUAIAN DIRI LANSIA ( PADA SUBYEK DENGAN STATUS SOSIAL EKONOMI RENDAH )

0 27 2

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PENGARUH KONFLIK PEREBUTAN LAHAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA NIPAH KUNING KECAMATAN MESUJI KABUPATEN MESUJI LAMPUNG TAHUN 2012

9 59 54

SIKAP MASYARAKAT KOTA PALEMBANG TERHADAP PEMINDAHAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PASAR 16 ILIR PALEMBANG KE PASAR RETAIL JAKABARING

4 84 128