T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Motivasi Belajar Melalui Konseling Kelompok Gestalt Anak PPA Immanuel IO968 Salatiga Kelompok Usia 1219 Tahun T1 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1

Motivasi Belajar

2.1.1

Pengertian Motivasi Belajar

Motivasi merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan
anak di dalam belajar. Begitu pentingnya peran motivasi, maka banyak ahli yang
mendefinisikan apa arti dari motivasi, bagaimana mengembangkan motivasi,
apakah macam-macam motivasi tersebut menentukan prestasi yang dicapai anak,
dan bagaimana pendidik dalam memberikan penghargaan hingga meningkatkan
motivasi tersebut
Kata Motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti
bergerak (move). Ide tentang pergerakan ini tercermin dalam ide-ide (common
sense) mengenai motivasi, seperti sebagai sesuatu yang membuat kita memulai


pengerjaan tugas, menjaga diri kita tetap mengerjakannya dan membantu diri kita
menyelesaikannya (Schunk, 2012) .Motivasi menjelaskan apa yang membuat
orang melakukan sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu
mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi
digunakan untuk menjelas keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan),
intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan dan penyelesaian atau prestasi yang
sesungguhnya (Pintrich, dalam Schunk 2012). Motivasi adalah proses
memberikan

semangat,

arah,

dan

kegigihan

perilaku.

Motivasi


dapat
8

9memengaruhi apa yang kita pelajari, kapan kita belajar, dan bagaimana cara kita
belajar (Schunk, 1995). Anak yang termotivasi memelajari suatu topik cenderung
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas yang diyakininya akan membantu dirinya
belajar belajar, seperti memperhatikan pelajaran secara seksama, secara mental
mengorganisasikan dan menghafal materi yang harus dipelajari, mencatat untuk
memfasilitasi aktivitas belajar berikutnya, memeriksa level pemahamannya dan
meminta bantuan ketika dirinya tidak memahami materi tersebut. Selain itu, anak
juga memiliki keterlibatan yang lebih banyak dalam aktivitas belajarnya, rasa
ingin tahu yang tinggi, mencari bahan-bahan yang berhubungan dengan materi,
mau berusaha ekstra untuk menyelesaikan tugas-tugas, dan ada rasa senang ketika
mau belajar. Motivasi belajar adalah suatu hubungan resiprokal dengan
pemelajaran dan kinerja: yakni, motivasi memengaruhi pemelajaran dan kinerja,
dan hal-hal yang dilakukan dan dipelajari oleh murid memengaruhi motivasinya
(Pintrich, 2003; Schunk 1995)
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah
aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan.

Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategis yang
berkaitan dalam mencapai ntujuan belajar tersebut (Pintrich, dalam Schunk 2012 :
142)
2.1.2 Macam-macam Motivasi
Dilihal dari sumbernya Meece (dalam Schunk, 2012) mengemukakan
terdapat 2 jenis motivasi yaitu :
a) Motivasi Intrinsik
9

Motivasi intrinsik mengacu pada motivasi melibatkan diri dalam
sebuah aktivitas karena adanya dorongan dalam dirinya untuk melakukan
tanpa diminta oleh orang lain. Individu-individu yang termotivasi secara
intrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka mendapati bahwa tugas
tersebut bukanlah sebuah beban akan tetapi merupakan sebuah hal yang
menyenangkan. Terdapat dua motivasi intrinsik yaitu :
1. Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman optimal
Pengalaman yang optimal kebanyakan terjadi ketika orang
merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu
aktivitas serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap
tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.

2. Motivasi Intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan personal
Murid ingin percaya bahwa mereka melalukan sesuatu
karena kemauannya sendiri, bukan karena kesuksesan atau
imbalan eksternal. Minat intrinsik siswa akan meningkat jika
mereka mempunyai pilihan dan peluang untuk mengambil
tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka.
b) Motivasi Ekstrinsik,
Motivasi Ektrinsik adalah motivasi melibatkan diri dalam sebuah
aktivitas sebagai suatu cara mencapai sebuah tujuan. Rangsangan dari luar
itu berupa reward atau punishmen. Misalnya seseorang belajar karena akan
ada ujian dengan harapan akan mendapatkan nilai baik, sehingga dipuji

10

oleh guru dan temannya atau mendapatkan reward yang dijanjikan oleh
orang tuanya apabila ujiannya mendapatkan nilai yang baik.
2.1.3 Aspek-Aspek Motivasi Belajar
Terdapat beberapa aspek dalam motivasi, menurut Schunk (1995:65).
antara lain yaitu :
a. Minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran

Minat adalah sebuah keinginan, kehendak dan kesukaan yang
dilakukan memang karena dari dalam diri benar-benar suatu hal yang
menyenangkan. Kegiatan yang diminati seseorang terus diperhatikan
dengan rasa senang. Minat dibentuk melalui perhatian dan belajar. Apabila
seseorang memperhatikan sesuatu hal secara sukarela dan cenderung untuk
mengingatnya, maka apa yang diingatnya tersebut merupakan petunjuk
munculnya minat. Maka dari itu minat adalah gejala kejiwaan subjek
terhadap suatu objek yang menunjukan kecenderungan yang tetap untuk
memperhatikan dan melihat objek tersebut.
b. Semangat siswa untuk melakukan tugas-tugas belajar
Siswa memiliki semangat, kemauan untuk mengerjakan tugas
dengan maksimal, dan apabila mendapati kesulitan siswa tidak mudah
putus asa ataupun merasa tidak mampu. Akan ada usaha yang akan
dilakukan ketika menghadapi hambatan, seperti halnya bertanya kepada
teman, mencari dari sumber-sumber lain seperti halnya internet, buku

11

pedoman lain, ataupun bertanya kepada lingkungan sekitar yang dirasa
mampu untuk memberikan pengajaran.

c. Tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas belajar
Ketika mendapatkan tugas anak lebih memprioritaskan untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya terlebih dahulu dibandingkan untuk
kegiatan lainnya karena tanpa ada rasa tanggung jawab anak juga tidak
akan mendapatkan hasil yang maksimal pula. Anak akan tidak akan
mengutamakan tugasnya, lebih bahayanya anak akan merasa biasa apabila
anak belum mengerjakan tugas yang seharusnya mereka selesaikan.
d. Rasa senang dalam mengerjakan tugas dari guru
Bagi siswa tugas dari guru kadang tidak menyenangkan. Hal tersebut
dikarenakan anak merasa bahwa keadaan fisik capek, merasa bahwa
seharusnya waktunya bermain bukan malah mengerjakan tugas. Padahal
dengan adanya tugas yang diberikan, anak diberikan pelajaran untuk
meningkatkan motivasi belajarnya ketika di luar sekolah akan tetapi
banyak yang merasa bahwa ini satu hal yang mengakibatkan anak merasa
tambah beban ketika di luar sekolah.
e. Reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
Proses interaksi antara guru dengan siswa dapat terjadi karena guru
memberikan stimulus dan siswa bereaksi terhadap stimulus yang diberikan
oleh guru. Interaksi aktif antara guru dengan siswa di kelas dapat dilihat
12


ketika guru sedang mengajar di kelas, siswa bertanya dan guru menjawab.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi di dalam kelas
dapat dilihat pada saat sesi tanya jawab antara guru dan siswa ketika
terjadi komunikasi dua arah antara guru dan siswa untuk membahas materi
pelajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek motivasi
belajar adalah tanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas belajar,
semangat siswa untuk melaksanakan tugas-tugas belajar, minat dan
perhatian siswa terhadap mata pelajaran, rasa senang dalam mengerjakan
tugas dari guru, serta reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang
diberikan guru.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Faktor-faktor

yang mempengaruhi

motivasi

belajar menurut


Zimmerman (dalam Schunk 2012: 158) ada enam faktor yaitu: 1) sikap, 2)
kebutuhan, 3) rangsangan, 4) afeksi, 5) kompetensi, 6) penguatan. Berikut
adalah penjelasan dari masing-masing faktor yaitu:
a. Sikap
Sikap mempengaruhi motivasi karena respon yang dihasilkan oleh
sikap akan memberi pengaruh terhadap tujuan perilaku. Respon yang
ditimbulkan sikap, baik menyenangkan ataupun tidak menyenangkan
terhadap suatu objek akan mempengaruhi arah motivasi terhadap objek
tersebut. Salah satu contoh kasusnya adalah apabila seorang siswa
13

memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran matematika, sebagai
hasil dari sikap tersebut siswa memiliki respon menyenangkan terhadap
mata pelajaran tersebut sehingga ia memiliki tujuan untuk menguasai
mata pelajaran tersebut. Sebagai hasilnya akhirnya siswa memiliki
motivasi

untuk


mempelajari

matematika.

Akan tetapi

apabila

sebaliknya siswa tetap tidak akan memiliki sikap positif terhadap mata
pelajaran matematika karena siswa tersebut tidak memiliki sikap yang
positif sehingga tidak aka nada niatan untuk berusaha belajar mata
pelajaran matematika.
b. Kebutuhan
Kebutuhan merupakan kondisi yang dialami oleh individu sebagai
kekuatan internal yang memandu siswa untuk mencapai tujuan.
Semakin kuat seseorang merasakan kebutuhan, semakin besar
peluangnya untuk mengatasi perasaan yang menekan di dalam
memenuhi kebutuhannya. Tekanan ini dapat diterjemahkan ke dalam
suatu keinginan ketika individu menyadari adanya perasaan dan
berkeinginan


untuk

mencapai

tujuan

tertentu.

Apabila

siswa

membutuhkan atau menginginkan sesuatu untuk dipelajari, mereka
cenderung sangat termotivasi. Apabila kebutuhan yang paling rendah
telah relatif terpenuhi setelah itu baru muncul motivasi untuk memenuhi
kebutuhan pada jenjang selanjutnya . Jadi, kebutuhan pada jenjang
terendah harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum munculnya motivasi
untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya.
14


c. Rangsangan
Setiap siswa memiliki keinginan untuk mempelajari sesuatu dan
memiliki sikap positif terhadap materi pelajaran. Apabila mereka tidak
menemukan proses pembelajaran yang merangsang maka akan
mengakibatkan siswa yang pada mulanya termotivasi untuk belajar
pada akhirnya menjadi bosan dan perhatiannya akan menurun, misalnya
apabila guru menggunakan metode belajar yang sama terus menerus
maka siswa akan merasa bosan dan menjadi tidak termotivasi.
d. Afeksi
Konsep

afeksi

berkaitan

dengan

pengalaman

emosional-

kecemasan, kepedulian, dan pemilikan dari individu atau kelompok
pada waktu belajar. Siswa merasakan sesuatu saat belajar, dan emosi
siswa tersebut dapat memotivasi perilakunya kepada tujuan, misalnya
siswa memiliki emosi yang negatif saat kegiatan belajar maka hal
tersebut akan menurunkan motivasi belajarnya. Sebaliknya apabila
emosi yang muncul adalah emosi positif seperti rasa senang dan rasa
tertantang maka siswa akan termotivasi dalam kegiatan belajarnya.
Afeksi dapat menjadi motivator intrinsik. Apabila emosi bersifat positif
pada waktu kegiatan belajar berlangsung, maka emosi mempu
mendorong siswa untuk belajar keras. Integritas emosi dan berpikir
siswa itu dapat mempengaruhi motivasi belajar dan menjadi kekuatan

15

terpadu yang positif, sehingga akan menimbulkan kegiatan belajar yang
efektif.
e. Kompetensi
Kompetensi merupakan merupakan karakteristik yang menonjol
bagi seseorang dan menjadi cara-cara berprilaku, berfikir, dalam segala
situasi, dan berlangsung dalam periode tertentu.
Siswa secara intrinsik termotivasi untuk menguasai lingkungan dan
mengerjakan tugas-tugas secara berhasil agar menjadi puas. Dalam
situasi pembelajaran, rasa kompetensi pada diri siswa itu akan timbul
apabila menyadari bahwa pengetahuan atau kompetensi yang diperoleh
telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Perolehan kompetensi
dari belajar baru itu selanjutnya menunjang kepercayaan diri, yang
selanjutnya dapat menjadi faktor pendukung dan motivasi belajar yang
lebih luas, misalnya seorang siswa yang mampu menguasai matematika
akan lebih termotivasi untuk mempelajari matematika dari pada siswa
yang tidak menguasainya.
f. Penguatan
Penguatan merupakan peristiwa yang mempertahankan atau
meningkatkan kemungkinan respon. Penggunaan peristiwa penguatan
yang efektif, seperti penghargaan terhadap hasil karya siswa, pujian,
penghargaan sosial, dan perhatian, dinyatakan sebagai variabel penting
di dalam perancangan pembelajaran. Penguatan positif akan mendorong
16

perilaku siswa diulang, sedangkan penguatan negatif akan mencegah
siswa mengulang perilaku yang tidak diinginkan, misalnya dengan
memberikan siswa pujian pada saat siswa mendapat nilai yang baik dan
memberikan teguran saat siswa melanggar peraturan sekolah.
Penguatan-penguatan tersebut akan mempengaruhi kecenderungan
perilaku yang selanjutnya muncul.
Dalam kegiatan belajar faktor-faktor di atas akan mempengaruhi
motivasi belajar, sehingga berdampak pada proses belajar. Kontrol
terhadap faktor-faktor tersebut diperlukan sehingga dapat memberi
pengaruh positif terhadap motivasi belajar.
2.1.5 Cara Meningkatkan Motivasi Belajar
Motivasi mempengaruhi proses belajar serta hasil belajar siswa, menurut
Meece ( dalam Schunk 2012 : 160) strategi memotivasi siswa dalam belajar
adalah sebagai berikut:
a. Menghindari penekanan berlebihan pada motivasi ekstrinsik

Penekanan

yang

berlebihan

pada

motivasi

ekstrinsik

mengakibatkan siswa akan menjadi tidak mandiri dalam kegiatan
belajarnya. Kaitannya dengan pengaturan diri siswa yang diajari
mengatur dirinya sendiri akan terlepas dari ketergantungan terhadap
motivasi eksternal.

17

b. Penyandaran diri pada minat dan nilai intrinsik siswa

Teori

kebutuhan

dan

motivasi

menekankan

pentingnya

penyandaran diri pada minat dan nilai intrinsik siswa. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara melibatkan siswa dalam proses pembelajaran,
contohnya dengan menggunakan nama siswa, atau menggunakan
kegiatan dalam kehidupan sehari-hari siswa sebagai contoh. Selain itu
siswa dibebaskan untuk mengembangkan minatnya dan nilai-nilai
intrinsiknya. Kaitannya dengan pengaturan diri, siswa yang diberi
kebebasan untuk mengatur kegiatan belajarnya sendiri maka ia akan
bebas mengembangkan minat dan nilai intrinsik dalam kegiatan
belajarnya karena kendali atas kegiatan belajar ada pada dirinya sendiri.
Dengan demikian motivasi belajar siswa dapat meningkat.
c. Meyakini kapabilitas siswa dan memusatkan perhatian pada faktor-

faktor yang dapat diubah
Ada banyak hal yang dibawa siswa ke sekolah, yang tidak dapat
banyak diubah oleh guru. Sebagai contoh guru hanya memiliki sedikit
pengaruh terhadap kepribadian siswa, kehidupan dirumahnya serta
pengalaman

masa

kecilnya.

Sayangnya,

sebagian

guru

hanya

memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek semacam ini, dan perhatian
semacam itu kebanyakan tidak produktif. Oleh karena itu untuk
meningkatkan motivasi belajar siswa guru harus fokus pada kapabilitas
siswa dan memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang dapat diubah.
Faktor-faktor yang tidak dapat diubah dari seorang siswa contohnya
18

adalah kelemahan fisik siswa serta watak yang dimiliki siswa. Untuk itu
guru harus fokus pada aspek-aspek yang dapat diubah misalnya,
kedisiplinan, keteraturan, ketekunan serta kemandirian.
d. Menciptakan situasi belajar yang memiliki feeling tone positif

Untuk memotivasi siswa dalam belajar suasana pembelajaran harus
dibuat semenarik mungkin sehingga siswa memiliki perasaan yang
positif terhadap kegiatan belajar di kelas. Proses pembelajaran yang
menarik tercipta apabila siswa dilibatkan secara aktif dalam kegiatan
belajarnya. Siswa akan tertarik terhadap kegiatan belajarnya apabila
tujuan dan strategi belajar yang digunakan sesuai dengan minat
belajarnya. Oleh karena itu salah satu cara menciptakan feeling tone
yang positif dalam kegiatan belajar adalah dengan membebaskan siswa
mengatur kegiatan belajarnya sendiri misalnya dengan pengaturan
tujuan belajar serta strategi belajar oleh dirinya sendiri. Contoh cara
untuk membangun feeling tone yang positif di dalam adalah dengan
menjalin keakraban antara guru dan murid, membangun komunikasi dua
arah di kelas serta materi pembelajaran yang dimodifikasi agar menarik
minat siswa.
Untuk meningkatkan motivasi belajar diperlukan peran guru serta
siswa itu sendiri. Oleh karena itu untuk memotivasi kegiatan belajar
siswa salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melibatkan
siswa secara aktif mengatur kegiatan belajarnya sendiri. Siswa yang
diajari mengatur kegiatan belajarnya akan meningkat motivasi
19

2.2 Konseling Kelompok Gestalt
2.2.1 Konseling Kelompok
Konseling kelompok dikembangkan dalam proses konseling didasarkan
atas

pertimbangan

bahwa pada dasarnya kelompok dapat membantu

memecahkan masalah individu atau sejumlah individu yang bermasalah.
Konseling kelompok sebagai salah satu bentuk konseling dipandang memiliki
kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan konseling individual. Kelebihan
tersebut antara lain adalah kemampuannya dalam membantu menangani suatu
permasalahan yang timbul dengan lebih efisien tanpa mengesampingkan
efektifitasnya. Sisi efisien yang dimaksud adalah kemampuan konseling
kelompok

dalam

menghemat waktu, biaya, dan tenaga konselor dalam

membantu dan mengatasi

permasalahan-permasalahan

siswa

yang banyak

timbul di kehidupannya (Winkel, 2006)
Konseling kelompok menurut Corey (2012: 28) adalah “preventive as well as
remedial aims. Generally, the counseling group has specific focus which maybe
educational, career social and personal. Group works emphasizes interpersonal
comunication of counscoius thought, feelings, and behavior wihin here and now
time frame. Counseling group are often problem oriented, and the members

largely determine their content and aims.”
Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai suatu layanan yang dapat
mencegah atau memperbaiki baik pada bidang pribadi,sosial belajar ataupun karir.
Konseling

kelompok

menekankan

pada

komunikasi

interpersonal

yang

,melibatkan pikiran, perasaan dan perilaku dan menfokuskan paa saat ini dan
20

sekarang. Konseling kelompok biasanya berorientasi pada masalah dan anggota
kelompok sebagaian besar dipengaruhi oleh isi dan tujuan mereka.
2.2.2 Pengertian konseling kelompok Gestalt
Kata gestalt berasal dari bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti
form, shape, configuration, whole; dalam bahasa Indonesia berarti “bentuk” atau

“konfigurasi”, “hal”, “peristiwa”, “pola”, “totalitas”, atau “bentuk keseluruhan”
Terapi ini diprakarsai oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an.
Pendekatan

ini

mengajarkan

konselor

dan

konseli

metode

kesadaran

fenomenologi, yaitu bagaimana memahami, merasakan, dan bertindak serta
membedakannya dengan interpretasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman
masa lalu.
Menurut Pearls (1995) individu itu selalu aktif sebagai keseluruhan.
Individu bukanlah jumlah dari bagian-bagian atau organ-organ semata. Individu
yang sehat adalah yang seimbang antara ikatan organisme dengan lingkungan.
Karena itu pertentangan antara keberadaan sosial dengan biologis merupakan
konsep dasar terapi gestalt.
Terapi gestalt menekankan pada “apa” dan “bagaimana” dari pengalaman
masa kini untuk membantu klien menerima perbedaan-perbedaan mereka. Konsep
pentingnya adalah holisme, proses pembentukan figur, kesadaran, unfinished
business dan penolakan, kontak dan energi.
Selain itu, terapi gestalt juga menekankan pada pentingnya tanggung
jawab

21

diri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Eleaner O‟Leary dalam Konseling dan
Psikoterapinya Stephen Palmer bahwa:
“Bertanggung jawab pada diri sendiri adalah inti terapi gestalt. Klien
dibantu untuk berpindah dari posisi ketergantungan pada orang lain,
termasuk pada terapis, ke keadaan yang bisa mendukung diri sendiri. Klien
didorong untuk melakukan banyak hal secara mandiri. Awalnya klien
melihat perasaan, emosi, dan masalahnya sebagi sesuatu di luar dirinya;
digunakan frasa-frasa seperti “ia membuat aku merasa sangat bodoh‟.
Klien tidak bertanggung jawab atas dirinya, dan dalam pandangannya tak
ada yang bisa dilakukan terhadap situasi itu kecuali menerima begitu saja.
Klien tidak melihat dirinya telah punya masukan atau kendali atas
kehidupannya. Klien dibantu menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas
hal yang taerjadi pada dirinya. “Dialah yang harus memutuskan apakah
harus mengubah situasi kehidupannya atau membiarkan tidak berubah.”
Jadi, terapi gestalt adalah sebuah terapi yang didasari oleh aliran
psikoanalisis, fenomenologis, dan eksistensialisme, serta psikologi gestalt yang
mengutamakan pada tanggung jawab diri dan keutuhan atau totalitas organisme
seorang individu, individu bukanlah organisme yang terpotong-potong pada
bagian tertentu dalam menjalani kehidupannya.
2.2.3 Pandangan Tentang Manusia
Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa individu
dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka
menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia
22

sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memiliki masalah karena
menghindari masalah. Oleh karena itu pendekatan gestalt mempersiapkan
individu dengan intervensi dan tantangan untuk membantu konseli mencapai
integrasi diri dan menjadi lebih autentik.
Area yang paling penting yang harus diperhatikan dalam konseling
menurut pendekatan ini adalah pemikiran dan perasaan yang individu alami pada
saat sekarang. Perilaku yang normal dan sehat terjadi bila individu bertindak dan
bereaksi sebagai organisme yang total, yaitu memiliki kesadaran pada pemikiran,
perasaan dan tindakan pada masa sekarang. Banyak orang yang memisahkan
kehidupannya dan berkonsentrasi serta memfokuskan perhatiannya pada poin poin
dan kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupannya. Hal ini menyebabkan
fragmentasi dalam diri yang dapat terlihat dari gaya hidup yang tidak efektif yang
berakibat pada produktifitasyang rendah bahkan membuat masalah kehidupan
yang lebih serius. Menurut Pendekatan Gestalt, area yang paling penting yang
harus diperhatikan dalam konseling adalah pemikiran dan perasaan yang individu
alami pada saat sekarang.
Pendekatan gestalt berpendapat bahwa individu yang sehat secara mental
adalah:
a. Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh
berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat mengganggu perhatian
individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas mengalami dan
mengenali kebutuhannya dan alternatif potensi lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya.
23

b. Individu yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan frustasi
tapi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada pencampuran
dengan fantasi-fantasi.
c. Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat
diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan.
d. Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya. Individu
yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure) pada satu waktu
sambil menghubungkannya dengan kebutuhan yang lain (the ground),
sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga Gestalt yang sudah
lengkap.
Menurut Pearl (1995), individu menyebabkan dirinya terjerumus pada
masalah-masalah tambahan karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik
pada kategori di bawah ini:
a. Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan
memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan.
b. Confluence, yaitu individu yang terlalu banyak memasukkan nilai-nilai
lingkungan pada dirinya, sehingga mereka kehilangan pijakan dirinya dan
kemudian lingkungan yang mengontrol dirinya.
c. Unfinished business, yaitu orang yang memiliki kebutuhan yang tidak
terpenuhi, perasaan yang tidak terekspresikan dan situasi yang belum
selesai yang mengganggu perhatiannya (yang mungkin dimanifestasikan
dalam mimpi).

24

d. Fragmentasi, yaitu orang yang mencoba untuk menemukan atau menolak
kebutuhan, seperti kebutuhan agresi.
e. Topdog/underdog,

orang

yang

mengalami

perpecahan

dalam

kepribadiannya, yaitu antara apa yang mereka pikir “harus” dilakukan
(topdog) dan apa yang meeka “inginkan” (underdog).
f. Polaritas/dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “bingung dan tidak
dapat berkata-kata (speecheless)” pada saat terjadi dikotomi pada dirinya
seperti antara tubuh dan pikiran (body and mind), antara diri dan
lingkungan

(self-external

world),

antara

emosi

dan

kenyataan

(emotionreality) dan sebagainya.
Terdapat lima tipe polaritas, yaitu sebagai berikut:
a) Polaritas fisik, yaitu polaritas maskulin dan feminin.
b) Polaritas emosi, yaitu polaritas antara kesenangan dan kesakitan,
antara kesenangan (excitement) dan depresi, serta antara cinta dan
benci.
c) Polaritas mental, yaitu polaritas antar ego orang tua dan ego anak,
antara eros (perasaan) dan logos (akal sehat), serta antara yang
harus dilakukan (topdog) dan yang diinginkan (underdog).
d) Polaritas spiritual, yaitu polaritas antara keraguan intelektual dan
dogma agama.
e) Polaritas interindividual, yaitu polaritas antara laki-laki dan
perempuan

25

Menurut Pearl (1995), area yang paling penting yang harus
diperhatikan dalam konseling adalaha pemikiran dan perasaan yang individu
alami pada saat sekarang.
Menurut Perls, manusia yang sehat adalah mereka yang dapat bertindak
secara produktif dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan pemeliharaan,
dan secara intuitif bergerak menuju pertumbuhan dan pemeliharaan diri (selfpreservation). Setiap manusia dapat menangani dengan berhasil masalah dalam

hidupnya jika mereka tahu siapa dirinya dan dapat mengorganisasikan
(mengintegrasikan) semua kemampuannya ke dalam suatu rajutan tindakantindakan yang efektif. Oleh karena itu, dalam konseling, konselor perlu perlu
mengarahkan konseli untuk mengembangkan kesadaran (awareness), menemukan
dukungan dari dalam dirinya sendiri (inner support), dan mengembangkan
perasaan mampu (self-sufficiency) sehingga mereka dapat mengakui bahwa
kemampuan yang mereka butuhkan untuk membantu dirinya pada dasarnya
berada di dalam diri mereka sendiri dan bukan di dalam diri orang lain (konselor)
Manusia dapat melakukan banyak cara untuk mencapai kesadaran, salah satunya
adalah dengan melakukan kontak dengan lingkungan. Kontak ini dilakukan
melalui tujuh fungsi indera, yaitu melihat, mendengar, menyentuh, berbicara,
bergerak, tersenyum, dan merasakan. Melalui kontak dengan lingkungan
seseorang dapat belajar tentang diri dan lingkungan, dan itu akan membantunya
untuk merasa menjadi bagian dari lingkungan, di samping memperoleh batasan
yang lebih jelas tentang siapa dirinya. Orang yang menghindari kontak dengan
lingkungan mungkin merasa bahwa mereka melindungi dirinya, tetapi sebenarnya
26

mereka sedang membentuk hambatan pertumbuhan dan aktualisasi diri. Konseling
gestalt juga menekankan pada pentingnya manusia untuk mengambil tanggung
jawab pribadi bagi kehidupannya sendiri, tidak menyerahkan nasibnya pada orang
lain atau lingkungan, dan tidak menyalahkan orang lain bagi kekecewaan atau
kegagalannya.
2.2.4 Tujuan Konseling Gestalt
Tujuan konseling gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan konseli
untuk membantu konseli dalam:
a. Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka
melakukannya. Kesadaran itu termasuk di dalamnya, insight, penerimaan
diri,

pengetahuan

tentang

lingkungan,

tanggung

jawab

terhadap

pilihannya.
b. Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain.
c. Memiliki kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan perasaan,
pikiran dan keyakinan dirinya.
Terapi gestalt ini juga bertujuan mendampingi klien dalam mencapai
kesadaran dari pengalaman momen ke momen dan memperluas kapasitas dalam
memilih. Yang mana tujuan terapi bukanlah analisis melainkan integrasi.

27

2.2.5 Peran dan Fungsi Konselor Pada Konseling Gestalt
Dalam proses konseling gestalt, konselor memiliki peran dan fungsi
yang unik, yaitu:
a. Konselor memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh,
hambatan energi, dan hambatan untuk mencapai keasadaran yang ada pada
konseli.
b. Konselor adalah “artistic partisipant” yang memiliki peranan dalam
menciptakan hidup baru konseli.
c. Konselor berperan sebagai projection screen.
d. Konselor harus dapat membaca dan menginterpretasi bentuk-bentuk
bahasa yang dilontarkan konseli.
2.2.6 Tahap-Tahap Konseling Gestalt
Proses konseling gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel.
Tiap-tiap tahap memiliki prioritas dan tujuan tertentu yang membantu konselor
dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap pertama (the beginning phase)
Pada tahap ini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk
meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis,
mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli
untuk mengembangkan dukungan pribadi (personal support) dan
lingkungannya (Joyce & Sill 2011 dalam Safari 2005, p. 84-85)
Secara garis besar, proses yang dilalui dalam konseling pada tahap
pertama adalah:
28

a) Menciptakan tempat yang aman dan nyaman (safe container ) untuk
proses konseling.
b) Mengembangkan hubungan kolaboratif (working alliance).
c) Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran
kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologis.
d) Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e) Membangun sebuah hubungan yang dialogis.
f) Meningkatkan self-support, khususnya dengan konseli yang memiliki
proses diri yang rentan.
g) Mengidentifiksi dan mengklarifikasikan kebutuhan-kebutuhan konseli
dan tema-tema masalah yang muncul.
h) Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
i) Mempertimbangkan isu-isu budaya dan isu-isu lainnya yang memiliki
perbedaan potensial antara konselor dan konseli serta mempengaruhi
proses konseling.
j) Konselor mempersiapkan rencana untuk menghadapi kondisi-kondisi
dari konseli, seperti menyakiti diri sendiri, kemarahan yang berlebihan,
dan sebagainya.
k) Bekerjasama dengan konseli untuk membuat rencana konseling.
b. Tahap kedua (clearing the ground)
Pada tahap ini konseling berlanjut pada strategi-strategi yang lebih
spesifik. Konseli mengeksplorasi berbagai introyeksi, berbagai modifikasi

29

kontak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor adalah
secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan keberanian konseli
mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam rangka
katarsis

dan

menawarkan

konseli

untuk

melakukan

berbagai

eksperimentasi untuk meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab
pribadi dan memahami unfinished business. Adapun proses tahap ini
meliputi:
a) Mengeksplorasi introyeksi-introyeksi dan modifikasi kontak.
b) Mengatasi urusan yang tidak selesai (unfinished business).
c) Mendukung ekspresi-ekspresi konseli atau proses katarsis.
d) Melakukan eksperimentasi perilaku baru dan memperluas pilihanpilihan bagi konseli.
e) Terlibat secara terus menerus dalam hubungan yang dialogis.
c. Tahap ketiga (the existentian encounter )
Pada tahap ini ditandai dengan aktifitas yang dilakukan konseli
dengan mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat
perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase
tersulit

karena

pada

tahap

ini

konseli

menghadapi

kecemasan

kecemasannya sendiri, ketidak pastian dan ketakutan-ketakutan yang
selama ini terpendam dalam diri. Selain itu konseli menghadapi perasaan
terancam yang kuat disertai dengan perasaan kehilangan harapan untuk
hidup yang lebih mapan. Pada fase ini konselor memberikan dukungan
dan motivasi berusaha memberikan keyakinan ketika konseli cemas dan
30

ragu-ragu menghadapi masalahnya. Pada tahap ini terdapat beberapa
langkah yaitu:
a) Menghadapi hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi
diri organismik klien untuk berkembang.
b) Memiliki kembali bagian dari diri konseli yang tadinya hilang atau
tidak diakui.
c) Memuat suatu keputusan eksistensial untuk hidup dan terus berjalan.
d) Bekerja secara sistematis dan teru-menerus dalam mengatasi
keyakinan konseli yang destruktif, tema-tema kehidupan klien yang
negatif.
e) Memilih hidup dengan keberanian menghadapi ketidakpastian.
f) Berhubungan dengan makna-makna spiritual.
g) Mengalami

sebuah

hubungan

perbaikan

yang

terus

menerus

berkembang (Joyce & sill 2001 dalam safari 2005, p. 87)
d. Tahap keempat (integration)
Pada tahap ini konseli sudah mulai mengatasi krisis-krisis yang
dialami sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri (self),
pengalaman dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru. Konseli
telah mampu menerima ketidakpastian, kecemasan dan ketakutannya, serta
menerima tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Tahap ini terdiri dari
beberapa langkah di antaranya yaitu:
a) Membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman
baru dan insight baru.
31

b) Memfokuskan pada pembuatan kontrak relasi yang memuaskan.
c) Berhubungan dengan masyarakat dan komunitas secara luas.
d) Menerima ketidakpastian dan kecemasan yang dapat menghasilkan
makna-makna baru.
e) Menerima tanggung jawab untuk hidup ( Joyce dan Sill 2001 dalam
Safaria 2005, p. 88).
e. Tahap kelima (ending)
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara
mandiri tanpa supervisi konselor. Tahap pengakhiran ditandai dengan
proses sebagai berikut:
a) Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan
konseling yang telah usai.
b) Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
c) Merayakan apa yang telah dicapai.
d) Menerima apa yang belum tercapai.
e) Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis di masa depan.
f) Membiarkan pergi dan terus melanjutkan kehidupan ( Joyce dan Sill
2001 dalam Safaria 2005, p. 88).

32

2.2.7

Teknik dan Ketrampilan Konseling Gestalt
Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat

digunakan dalam konseling gestalt, antara lain:
a. Kursi Kosong
Teknik kursi kosong bertujuan untuk membantu mengatasi konflik
interpersonal dan intrapersonal (Thompson, et.sl., 2004, p. 191). Pada
teknik ini konselor menggunakan dua kursi. Konselor meminta konseli
untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudian
berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Dialog dilakukan secara
berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi
akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara
lebih real. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaannya
tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh (Corey, 1986, p.
136). Teknik kursi kosong merupakan intervensi yang kuat, yang dapat
digunakan untuk membantu konseli segala umur yang memiliki konflik
dengan orang ketiga yang tidak hadir dalam proses konseling. Teknik ini
biasanya digunakan pada kasus-kasus seperti : introyeksi diri orang tua
versus diri anak, bagian diri yang bertanggung jawab versus bagian diri
yang implusif, orang yang puritan versus orang yang ekspresif, orang yang
agresif versus orang yang pasif, diri yang otonom versus diri yang
tergantung, anak baik versus anak nakal, orang yang bekerja keras versus
orang yang menghindari pekerjaan (Corey, 1986, p. 136)
33

Greenberg dan Malcolm (2002) menjelaskan empat langkah
dalam menggunakan teknik kursi kosong, yaitu :
a) Konseli

mengidentifikasi

orang

yang

menjadi

sumber

unfinished business.

b) Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan
merespon.
c) Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya
resolusi untuk menyelesaikan unfinished business.
d) Konseli memahami unfinished business dari figure to ground
dalam kesadaran konseli ( Thompson, et. al,. 2004, p. 192)
b. Topdog versus Underdog
Topdog adalah perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai dengan
nilai dan norma moral (righteous), authoritarian, dan mengetahui yang
terbaik. Topdog adalah orang yang menggunakan kekuatannya untuk
menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata “kamu harus”
dan “kamu tidak boleh”. Sementara itu, underdog manipulative dengan
menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi. Underdog bekerja
dengan kata “ saya mau” dan mencari alasan seperti “ saya sudah berusaha
keras” (Thompson, et. al., 2004, p. 190).
Teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi
konflik antara “yang saya inginkan” dan “yang seharusnya”. Satu kursi
menjadi topdog (yang seharusnya) dan kursi yang lain menjadi underdog
(yang saya inginkan). Konseli diminta untuk mengatakan argumen yang
34

terbaik dengan posisi topdog (yang seharusnya) dan pindah ke kursi
underdog (yang saya inginkan). Kemudian konseli diminta untuk
berargumen sampai mencapai poin dimana konseli mencapai integrasi dari
apa yang seharusnya (topdog) dan apa yang diingkan (underdog)
(Thompson, el.al., 2004, p.190).
c. Membuat Serial
Membuat serial adalah latihan gestalt yang melibatkan individu
untuk berbicara atau melakukan sesuatu kepada orang lain dalam
kelompok. Tujuan teknik ini adalah untuk melakukan konfrontasi,
mengambil resiki, untuk membuka diri, melatih tingkah laku baru untuk
melakukan perubahan (Corey, 1986, p. 137)
d. Saya bertanggung jawab atas … “
Teknik ini bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan
mempersonalisasi perasaan dan tingkah laku serta mengambil tanggung
jawab atas perasaan dan tingkah lakunya. Konseli diminta untuk mengisi
bagian kosong seperti cara mengevaluasi tanggung jawab personal dan
bagaimana konseli mengatur hidupnya.
e. Bermain Proyeksi (Playing Projection)
Dinamika proyeksi adalah individu yang melihat secara jelas pada orang
lain apa yang tidak ingin dilihat dan menerima dalam dirinya. Individu
tersebut bekerja keras untuk menolak perasaannya dan menyalahkan orang
lain atas kejadian yang terjadi pada dirinya. Teknik ini biasanya dilakukan
dalam seting kelompok, namun bisa juga diberikan pada seting individual
35

(Corey, 1986, p. 138). Pada konseling ini konselor meminta konseli yang
sering berkata bahwa ia tidak dapat mempercayai orang lain untuk
bermain peran sebagai orang yang tidak bisa dipercaya. Dengan bermain
peran, konseli diharapkan dapat menemukan tingkat ketidakpercayaannya
pada orang lain. Dengan kata lain konselor meminta konseli untuk
berusaha mengukur berdasarkan kalimat yang ia lontarkan tentang
seberapa besar dan berat tingkat ketidakpercayaannya kepada orang lain
(Corey, 1986, p. 138).
f. Pembalikan
Asumsi teknik ini adalah bahwa gejala dan tingkah laku tertentu
sering kali merepresentasikan impuls-impuls yang ditekan dan late nada
dalam diri individu. Teknik ini bertujuan untuk mengajak konseli
mengambil resiko terhadap ketakutan, kecemasan, dan melakukan kontak
dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan. Untuk itu
konselor meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan
dari apa yang dikatakan.
g. Latihan Gladiresik
Menurut Perls, pikiran individu banyak diulang-ulang. Individu
cenderung mengulang fantasi-fantasi yang individu rasa bahwa itu adalan
harapan-harapan dari lingkungannya. Sehingga ketika individu berada
dalam lingkungan tersebut, ia menjadi ketakutan, cemas karena ia tidak
akan dapat menampilkan apa yang diharapkan oleh lingkungannya. Teknik
ini dapat diterapkan melalui permainan sharing. Individu diminta untuk
36

mengatakan pada orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakana
dan ulang-ulang secara internal dalam dirinya. Dengan mengatakan secara
verbal kepada orang lain, konseli dapat membedakan fantasi dan
kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspetasi orang lain. Hal ini
membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan
disukai orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk
mencapainya (Corey, 1986, p. 138)
h. Latihan melebih-lebihkan
Teknik ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada
tanda-tanda bahasa tubuh. Gerakan, postur tubuh, ekspresi wajah, dan
gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang memiliki makna yang
signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk mengulang kembali
secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring
dengan tingkah laku tertentu.
i. Tetap pada perasaan
Sebagian besar konseli cenderung melarikan diri dari perasaan
yang tidak menyenangkan dan menghindari situasi yang mengarahkan
pada perasaan yang tidak menyenangkan. Pada teknik ini konselor
meminta konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan kesakitan dan
merasakannya pada proses konseling.. Konselor mendorong konseli untuk
merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan
menghadapi, mengkonfrontasi dan mengalami perasaan tidak saja dapat
membuat konseli menjadi lebih berani, tetapi juga membangkitkan
37

keinginan untuk menguasai kesakitan. Hal ini dimungkinkan karena konseli
membuka diri untuk mengalami kesakitan dan membuka jalan untuk
melangkah ke arah yang lebih positif (Corey, 1986, p. 139)

j. Bahasa “Saya”
Konselor mendorong konseli untuk menggunakan kata “saya”
ketika konseli mengeneralisasikan kata “kamu” dalam berbicara. Contohnya
ketika konseli berkata “kamu tau bahwa kamu tidak mengerti matematika”.
Konseli diminta untuk mengganti kata kamu dengan saya, “saya tau bahwa
saya tidak mengerti matematika”. Ketika konseli berusaha mengganti dengan
kata “saya” diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan bagaiman
pasangan itu menjadi serasi. Teknik ini bertujuan membantu konseli

bertanggung jawab atas perasaan, pikiran dan tingkah lakunya (Thompson,
et.al., 2004, p.188).
2.3 Hasil Penelitian Yang Relevan
Berikut mengenai penelitian terdahulu yang menjadi landasan bagi
penelitian ini :
Setiawan (2007) melakukan penelitian terhadap anak yang mempunyai
motivasi belajar yang rendah dengan judul “Meningkatkan motivasi belajar
anak dengan menggunakan layanan konseling kelompok gestalt pada anak kelas
VII SMP Negeri 2 Semarang” Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi
belajar anak sebelum memperoleh layanan berupa konseling kelompok, sebesar
35,6% kategori rendah. Setelah diberi layanan konseling kelompok gestalt,

motivasi belajar anak meningkat menjadi kategori sedang sebesar 61,4%. Hal
ini menunjukkan layanan konseling kelompok dapat meningkatkan motivasi
38

belajar pada anak kelas VII di SMP 2 Negeri Semarang. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sebelum diberikan
layanan konseling kelompok gestalt motivasi belajar anak sebesar 35,6 %
kategori rendah. Setelah diberikan layanan konseling kelompok Gestalt
motivasi belajar anak sebesar 61,4%. Sehingga terjadi peningkatan motivasi
belajar setelah diadakan layanan konseling kelompok Gestalt.
2.4 Kerangkan Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Post-Test

Motiva
si
belajar
lemah
dan
agak
lemah

Kelompok
Eksperimen

Treatment

Hasil

Konseling
Kelompok

Gestalt
Kelompok
Kontrol

Tanpa
Treatment

Hasil

Dibandingkan
Meningkatkan/
Tidak

Sebelum melakukan sebuah penelitian, dilakukan pre test terlebih dahulu
untuk mengetahui motivasi belajar anak PPA Immanuel kelompok usia 12-19 tahun.
Setelah mengetahui hasil pretes didapatkan sebagian besar pada kategori lemah dan
agak lemah, kemudian dilanjutkan untuk membagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dilanjutkan dengan memberikan
treatment konseling kelompok gestalt kepada kelompok eksperimen. Setelah semua
treatment selesai diberikan, dilakukan post test untuk mengetahui perbedaan hasil

dari kelompok eksperimen yang diberikan treatment dengan kelompok kontrol yang
tidak diberikan treatment.
39

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100