BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Medis 1. Masa Nifas - Afri Kustiowati BAB II

  a. Definisi Masa Nifas Masa Nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra- hamil. Lama masa nifas ini 6-8 minggu. Batasan waktu nifas yang paling sedikit (minimum) tidak ada batasnya, bahkan bisa jadi dalam waktu yang relatif pendek darah sudah keluar, sedangkan batasan maksimumnya adalah 40 hari (Hanifa, 2007; hal 5).

  Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Saleha, 2009; hal 4).

  Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai 6 minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan (Bobak, 2002; hal 1).

  Jadi Masa Nifas (puerperium) adalah masa setelah keluarnya placenta sampai alat alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas berlangsung selama 6 minggu atau 40 hari.

  b. Tahapan dalam masa nifas 1) Puerperium dini Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.

  Dalam agama Islam dianggap telah bersih dan bekerja setelah 40 hari.

  2) Puerperium intermedial Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu.

  3) Remote puerperium Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi.

  Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan, tahunan (Ambarwati, 2009; hal 3-4).

  c. Program dan kebijakan tehnis Kebijakan Program Nasional Masa Nifas Pemerintah melalui

  Departemen Kesehatan, juga telah memberian kebijaan dalam hal ini, sesuai dengan dasar kesehatan pada ibu pada masa nifas, yakni paling sedikit 4 kali kunjungan pada masa nifas. Tujuan kebijakan tersebut ialah : 1) Untuk menilai kesehatan ibu dan kesehatan bayi barulahir.

  2) Pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya gangguan kesehatan ibu nifas dan bayinya.

  3) Mendeteksi adanya kejadian-kejadian ada masa nifas. 4) Menangani berbagai masalah yang timbul dan mengganggu esehatan ibu maupun bayinya pada masa nifas (Prawirohardjo,

  2002; hal 23-24)

  d. Asuhan Kunjungan Masa Nifas Normal

  Tabel 1. Asuhan Kunjungan Nifas Normal (Ambarwati, 2009; hal 4-5) KUNJUNGAN WAKTU ASUHAN I 6 – 8 Jam Post

  a. Mencegah perdarahan masa nifas

partum karena atonia uteri.

  b. Pemantauan keadaan umum ibu.

  c. Melakukan hubungan antara bayi dan ibu (Bonding Attatcment).

  d. ASI ekslusif.

  II

  a. Memastikan involusi uterus berjalan partum normal, uterus berkontraksi, fundus dibawah umbilicus dan tidak ada tanda- tanda perdarahan abnormal.

  b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi dan perdarahan abnormal.

  c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang cukup.

  d. Memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi.

  e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit.

  III

  2 Minggu Post

  a. Memastikan involusi uterus berjalan Partum normal, uterus berkontraksi, fundus dibawah umbilicus dan tidak ada tanda- tanda perdarahan abnormal.

  b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi dan perdarahan abnormal.

  c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang cukup.

  d. Memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi.

  e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit.

  IV

  6 Minggu Post

  a. Menanyakan pada ibu tentang penyulit- Partum penyulit yang di alami.

  b. Memberikan konseling untuk KB secara dini, imunisasi, senam nifas, dan tanda- tanda bahaya yang dialami oleh ibu dan bayi. e. Perubahan Fisiologis Masa Nifas Setelah ibu melahirkan akan mengalami banyak perubahan– perubahan salah satunya adalah sistem reproduksi.

  1) Involusi uterus Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos uterus.

  a) Proses involusi uterus adalah sebagai berikut : (1) Autolysis

  Autolysis meruakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uteri. Enzim proteolitik akan memndekkan jaringan otot yang telah sempat mengendur hingga 10 kali panjangnya dari semula dan lima kali lebar dari semula selama selama kehamilan. Sitoplasma yang berlebih akan tercerna sendiri sehingga tertinggal jaringan fibro elastic dalam jumlah renik sebagai bukti kehamilan (Obstetri fisiologi; hal 315-316).

  (2) Atrofi jaringan Jaringan yang berfoliferasi dengan adanya estrogen dalam jumlah besar, kemungkinan mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap penghentian produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain perubahan atrofi pada otot-otot uterus, lapisan desidua akan mengalami atrofi dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi endometrium yang baru (Sulistyawati, 2009; hal 73). (3) Efek Oksitosin (kontraksi)

  Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume intrauterine yang sangat besar. Hormon oksitosin yang dilepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu proses hemostatis.

  Kontraksi dan retraksi otot uterin akan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan. Luka bekas perlekatan plasenta memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total.

  Selama 1 sampai 2 jam pertama postpartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi teratur.

  Karena itu penting sekali menjaga dan mempertahankan kontraksi uterus pada masa ini. Suntikan oksotosin biasanya diberikan secara intravena atau intramuskuler segera setelah kepala bayi lahir. Pemberian ASI segera setelah lahir akan merangsang pelepasan oksitosin karena isapan bayi pada payudara (Anggraini, 2010; hal 34-35).

  2) Bagian bekas implantasi plasenta

  a) Bekas implantasi plasenta segera setelah plasenta lahir seluas 12 x 5 cm, permukaan kasar dimana pembuluh darah besar bermuara.

  b) Pada pembuluh darah terjadi pembentukan trombosis disamping pembuluh darah tertutup karena kontraksi otot rahim.

  c) Bekas luka implantasi dengan cepat mengecil, pada minggu ke- 2 sebesar 6 – 8 cm dan pada akhir masa nifas sebesar 2 cm.

  d) Lapisan endometrium dilepaskan dalam bentuk jaringan nekrosis bersama dengan lokia.

  e) Luka bekas implantasi plasenta akan sembuh karena pertumbuhan endometrium yang berasal daro tepi luka dan lapisan basalis endometrium.

  f) Luka sembuh sempurna pada 6 – 8 minggu postpartum (Obstetri fisiologi, hal 316).

  3) Perubahan normal pada uterus selama postpartum

  

Tabel 2. Perubahan uterus masa nifas ( Sulistyawati, 2009; hal 74)

Involusi uteri Tinggi Fundus uteri Berat uterus Diameter uterus Palpasi servik

  

Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gr 12,5 cm Lembut/lunak

7 hari (minggu 1) Pertengahan antara pusat dan shympisis

  500 gr 7,5 cm 2 cm 14 hari (minggu 2) Tidak terbatas 350 gr 5 cm 1 cm 6 minggu Normal 60 gr 2,5 cm menyempit Involusi uteri dari luar dapat diamati yaitu dengan memeriksa fundus uteri dengan cara : a) Segera setelah persalinan, fundus uteri 2 cm dibawah pusat, 12 jam kemudiankembali 1 cm diatas pusat dan menurun, kira-kira 1 cm tiap hari.

  b) Pada hari ke dua setelah persalinan tinggi fundus uteri 1 cm dibawah pusat. Pada hari ke 3 – 4 tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat. Pada hari 5 – 7 tinggi fundus uteri tidak teraba.

  Bila uterus tidak mengalami atau terjadi kegagalan dalam proses involusi disebut dengan subinvolusi. Subinvolusi dapat disebabkan oleh infeksi dan tertinggalnya sisa plasenta /perdarahan berlanjut atau postpartum haemorrhage (Wulandari, 2009; hal 77).

Gambar 2.1 Perubahan Uterus Masa Nifas Sumber : Ambarwati 2009; hal 77

  f. Adaptasi Psikologis Ibu Masa Nifas Pada masa nifas, wanita banyak mengalami perubahan selain fisik yaitu antara lain wanita meningkat emosinya. Pada masa ini wanita mengalami transisi menjadi orang tua. Fase yang dilalui oleh ibu postpartum :

  1) Takhing in Yaitu terjadi fantasi, intstrospeksi, proyeksi dan penolakan.

  Perhatian ibu terutama terhadap kebutuhan dirinya, mungkin pasif dan ketergantungan. Ciri-cirinya : a) Terjadi pada 2-3 hari setelah melahirkan.

  b) Bersifat passive dan tergantung, segala energinya difokuskan pada kekhawatiran tentang badannya.

  c) Ibu mungkin bercerita tentang pengalamannya.

  d) Istirahat tidur dan tidak terganggua adalah sangat enting arena kelelahan.

  e) Kadang bu tidak menginginkan montak dengan bayinya, tetapi buka berarti tida menyayangi bayinya, bu hanya sedang mengenang pengalaman melahirkan.

  Pada masa nifas ini, bidan harus menggunaan pendekatan yang empatik agar ibu dapat melewati fase ini dengan baik. Ibu hanya ingin didengakan dan diperhatikan. Kemampuan mendengarkan (listening skill) dan menyediakan waktu yang cukup merupakan dukungan yang tidak ternilai bagi ibu. Kehadiran suami dan keluarga sangat diperlukan pada masa ini. Dengan demkian, hendaknya bidan menganjurkan suami dan keluarga untuk memberikan dukungan moril.

  Bidan juga harus siaga dan waspada mengobservasi perubahan wanita pada fase ini, karena dapat terjadi sikap bermusuhan baik lisan/verbal maupun non verbal, tidak adanya interaksi, adanya mentar negative dan kekecewaan terhadap jenis kelamin yang tidak diharapkan.

  2) Taking on/taking hold Yaitu meniru dan role play. Cirinya :

  a) Terjadi pada 3-10 setelah melahirkan

  b) Ibu menjadi khawatir akan kemampuan merawat bayi dan menerima tanggung jawabnya sebagaai seorang ibu yang makin besar

  c) Ibu memfokuskan dirinya dalam mengambil kembali control akan fungsi tubuhnya sendiri misal BAB,BAK dll d) Ibu mempunyai perasaan sangat sensitive sehingga mudah tersinggung dan gampang marah e) Ibu mencoba keteramplan merawat bayinya

  Dukungan moril sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri ibu. Bagi bidan, fase ini merupakan kesempatan yang baikk untuk memberikan berbagai penyuluhan dan pendidikan kesefiatan yang diperlukan ibu nifas.

  3) Letting go

  a) Terjadi pada 10 hari setelah melahiran/setelah ibu ulang dari RS.

  b) Ibu mengambil tanggung jawab dalam merawat bayi

  c) Ibu menyesuaikan diri dengan kebutuhan ketergantungan bayinya d) Berkurang otonomi dirinya e) Berkurang ketergantungannya pada orang lain

  f) Mulai terjadi postpartum blues Pendidikan pada fase taking on dapat dilanjutkan pada fase ini. Dukungan suami dan eluarga dapat membantu merawat bayi, mengerjakan urusan rumah tangga sehingga bu tida terlalu terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup sehingga mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat bayinya( Sujiyatini, 2010; hal 27 ).

  g. Pengeluaran pervaginam Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas. Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nektrotik dari dalam uterus. Lochea mempunyai bau amis/anyir seperti darah menstruasi, meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lochea yang berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi.

  Proses keluarnya darah nifas atau lochea terdiri atas 4 tahapan : 1) Lochea Rubra / Merah (kruenta)

  Lochea ini muncul pada hari 1 sampai hari ke 4 masa postpartum. Cairan yang keluar berwarna merah karena berisi darah segar, jaringa sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, lanugo, (rambut bayi) dan mekonium.

  2) Lochea Sanguinolenta Cairan yang keluar berwarna merah kecoklatan dan berlendir.

  Berlangsung dari hari ke 4 sampai ke 7 postpartum.

  3) Lochea Serosa Lochea ini berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum, leukosit dan robekan/laserasi plasenta. Muncul pada hari ke 7 sampai ke 14 post partum. 4) Lochea Alba/Putih

  Mengandng leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati. Lochea alba bisa berlangsung 2 sampai 6 minggu postpartum (Roestam, 1998; hal 116)

  h. Proses laktasi dan menyusui Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Laktasi merupakan bagian integral dari siklus reproduksi mamalia termasuk manusia. Masa laktasi mempunyai tujuan meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan meneruskan pemberian ASI sampai anak umur 2 tahun secara baik dan benar serta anak mendapatkan kekebalan tubuh secara alamiah.

Gambar 2.2 Anatomi Payudara Sumber : Anatomi payudara (Roesli, 2005).

  1) Kandungan ASI Susunan air susu kurang lebih yaitu Protein 1 – 2 %, Lemak 3 – 5 %, Gula 6,5 – 8 %, dan Garam 0,1 – 0,2 %. Susunan ini berbeda dari ibu ke ibu dan pada seorang ibupun berbeda dari waktu ke waktu.

  Hal-hal yg mempengaruhi susunan air susu ialah : dieet, gerak badan (mengurangi protein), serta keadaan jiwa. Banyaknya air susu sangat tergantung pada banyaknya cairan yg diminum ibu. Juga beberapa obat mempengaruhi banyaknya air susu, misalnya belladonna dan atropin mengurangi air susu. Berbagai obat diminum ibu keluar dengan air susu seperti opiat, atropin, salicylat, jodid, bromid, timah, air rasa dan juga alkohol (obstetri fisiologi,hal 319-320).

  Pada hari-hari pertama ( 2 – 4 jam), payudara sering terasa penuh dan nyeri disebabkan bertambahnya aliran darah ke payudara bersama dengan ASI mulai di produksi dalam jumlah banyak (Ambarwati, 2009; hal 47).

  2) Faktor yang mempengaruhi jumlah ASI Pada ibu normal dapat menghasilkan ASI kira-kira 550-1000 ml setiap hari. Jumlah ASI tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

  a) Makanan Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh makanan yang dimakan ibu, apabila makanan ibu secara teratur dan cukup mengandung gizi yang diperlukan akan mempengaruhi produksi ASI, karena kelenjar pembuat ASI tidak dapat bekerja dengan sempurna tanpa makanan yang cukup. Untuk membentuk produksi ASI yang baik, makanan ibu harus memenuhi jumlah kalori, protein, lemak, dan vitamin serta mineral yang cukup selain itu ibu dianjurkan minum lebih banyak kurang lebih 8-12 gelas/hari.

  b) Ketenangan jiwa dan pikiran Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan, ibu yang selalu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan tidak akan terjadi produksi

  ASI. Untuk memproduksi ASI yang baik harus dalam keadaan tenang.

  c) Penggunaan alat kontrasepsi Pada ibu yang menyusui bayinya penggunaan alat kontrasepsi hendaknya diperhatikan karena pemakaian kontrasepsi yang tidak tepat dapat mempengaruhi produksi ASI.

  d) Perawatan payudara Dengan merangsang buah dada akan mempengaruhi hypopise untuk mengeluarkan hormon progesteron dan estrogen lebih banyak lagi dan hormon oxytocin.

  e) Anatomis Buah dada Bila jumlah lobus dalam buah dada berkurang, lobuluspun berkurang. Dengan demikian produksi ASI juga berkurang karena sel-sel acini yang menghisap zat-zat makan dari pembuluh darah akan berkurang.

  f) Fisiologis Terbentuknya ASI dipengaruhi hormon terutama prolaktin ini merupakan hormon laktogenik yang menentukan dalam hal pengadaan dan mempertahankan sekresi air susu.

  g) Faktor istirahat Bila kurang istirahat akan mengalami kelemahan dalam menjalankan fungsinya dengan demikian pembentukan dan pengeluaran ASI berkurang. h) Faktor isapan anak Bila ibu menyusui anak segera jarang dan berlangsung sebentar maka hisapan anak berkurang dengan demikian pengekuaran ASI berkurang. i) Faktor obat-obatan

  Diperkirakan obat-obatan yang mengandung hormon mempengaruhi hormon prolaktin dan oxytocin yang berfungsi dalam pembentukan dan pengeluaran ASI. Apabila hormon- hormon ini terganggu dengan sendirinya akan mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran ASI (Wulandari, 2009; hal 27- 29). i. Kontraindikasi Pemberian ASI

  Ada beberapa kontraindikasi pemberian ASI yaitu : 1) Bayi yang kontraindikasi galaktosemia.

  Dalam hal ini bayi tidak mempunyai enzim galaktase sehingga galaktosa tidak dapat pecah. Beyi demikian juga juga tidak boleh minum susu formula. 2) Ibu dengan HIV/AIDS yang dapat memberikan PASI yang telah memenuhi syarat AFASS (Acceptable, Feasable, Affordable,

  Sustainable, and Save).

  3) Keadaan ibu yang kurang baik (melahirkan dengan bedah sesar, infeksi berat, anemia berat).

  4) Ibu dengan penyakit jantung yang apabila menyusui dapat terjadi gagal jantung.

  5) Ibu yang memerlukan terapi dengan obat-obat tertentu (anti kanker).

  6) Ibu yang memerlukan pemeriksaan dengan obat-obat radioaktif perlu menghentikan pemberian ASI kepada bayinya selama 5x waktu paruh obat. Setelah itu, bayi boleh menyusu lagi. Sementara itu, ASI tetap diperah dan dibuang agar tidak mengurangi produksi (Saefudin, 2007; hal 382-383).

  Masalah menyusui pada masa nifas dini antara lain puting susu nyeri pada awal menyusui, puting susu lecet, payudara bengkak atau bendungan ASI, Mastitis atau Abses payudara.

  a. Pengertian Bendungan air susu adalah terjadinya pembengkakan payudara bilateral dan secara palpasi teraba kelas, kadang terasa nyeri serta seringkali disertai peningkaatan suhu badan ibu, tetapi tidak terdapat tanda-tanda kemerahan dan demam (Sarwono, 2009; hal 652).

  Bendungan air susu (Engorgement of the breast) adalah pembendungan ASI karena penyempitan dukrus laktiferus atau oleh kelenjar-kelenjar yang tidak dikosongkan dengan sempurna atau karena kelainan pada puting susu. Keluhan adalah payudara bengkak, keras, panas, dan nyeri. Penanganan sebaiknya dimulai selama hamil dengan perawatan payudara untuk mencegah terjadinya kelainan-kelainan (Anggraini, 2010; hal 104).

  Payudara Bengkak ( Engorgement ) adalah dimana keadaan payudara terasa lebih penuh/tegang dan nyeri sekitar hari ketiga atau keempat sesudah melahirkan akibat stasi divena dan pembuluh limfe, tanda bahwa ASI mulai banyak disekresi. Sering terjadi pada payudara yang elastisitasnya kurang. Bila tidak dikeluarkan, ASI menumpuk dalam payudara sehingga areola menjadi lebih menonjol, puting lebih datar dan sukar diisap bayi. Kulit payudara nampak lebih merah mengkilat, ibu demam, dan payudara terasa nyeri sekali (Sulistyawati, 2009; hal 33).

  Jadi, Bendungan ASI dapat disimpulkan dimana keadaan payudara yang bengkak disebabkan tidak lancar atau sedikitnya ASI yang dikeluarkan dari pada yang tersedia dalam payudara. Hal ini bisa menjadi masalah berlanjut jika penanganan dalam asuhan ibu dengan bendungan ASI ini tidak segera ditangani lebih lanjut.

  b. Etiologi 1) Posisi mulut bayi dan puting susu ibu salah 2) Produksi ASI berlebihan 3) Terlambat menyusui 4) Pengeluaran ASI yang jarang 5) Waktu menyusui yg terbatas (Ambarwati, 2009; hal 47).

  c. Patofisiologi Payudara bengkak disebabkan karena menyusui yang tidak kontinyu, sehingga sisa ASI terkumpul pada daerah duktus. Hal ini dapat terjadi pada hari ke tiga setelah melahirkan. Selain itu, penggunaan bra yang ketat serta keadaan puting susu yang tidak bersih dapat menyebabkan sumbatan pada duktus (Prawirohardjo, 2005; hal 354).

  Tersumbatnya duktus laktiferus bisa satu atau lebih biasanya disebabkan oleh pemakaian BH yang terlalu ketat, tekanan jari-jari ibu ketika menyusui, dan terjadinya penyumbatan karena ASI terkumpul tidak segera dikeluarkan, sehingga terjadi keadaan payudara bengkak (suherni, 2009; hal 55).

Gambar 2.3 Sumber : Kurniasih 2008

  Perlu dibedakan antara payudara bengkak dengan payudara penuh. Pada payudara bengkak: payudara odem, sakit, puting susu kencang, kulit mengkilat walau tidak merah, dan ASI tidak keluar kemudian badan menjadi demam setelah 24 jam. Sedangkan pada payudara penuh: payudara terasa berat, panas dan keras. Bila ASI dikeluarkan tidak ada demam.

  Selama 24 jam hingga 48 jam pertama sesudah telihatnya sekresi lakteal, payudara sering menagalami distensi menjadi keras dan berbenjol-benjol. Keadaan ini yang disebut dengan bendungan air susu atau caked breast, sering menyebabkan rasa nyeri yang cukup hebat dan bisa disertai dengan kenaikan suhu. Kelainan tersebut menggambarkan aliran darah vena normal yang berlebihan dan penggembungan limfatik dalam payudara, yang merupakan prekusor reguler untuk terjadinya laktasi. Keadaan ini bukan merupakan overdestensi sistem lakteal oleh air susu (Widyasih, 2009; hal 136).

  d. Faktor predisposisi yang menyebabkan Bendungan ASI Ada sejumlah factor yang dapat meningkatan terjadinya bendungan ASI, yaitu : 1) Umur wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita bendungan

  ASI daripada wanita dibawah umur 21 tahun dan diatas 35 tahun, hal tersebut dikarenaan pada wanita berumur 21-35 tahun merupakan masa reproduksi yang sangat rentan dengan masalah menyusui (Adiningsih, 2003; hal 40).

  2) Paritas Primipara ditemukan sebagai factor resiko terjadinya bendungan ASI pendapat lain yang menjelasan adanya hubungan paritas dengan kejadian bendungan ASI adalah Hanifa, 2005 berpendapat bahwa terjadinya bendungan ASI pada sebagian primipara dkarenakan infeksi yang terjadi melalui luka pada putting susu (Adiningsih, 2003; hal 45).

  3) Kurang pengetahuan tekhnik menyusui yang benar Wanita dengan bendungan ASI sebelumnya yang disebaban karena tekhnik menyusui yang tidak benar cenderung dapat berulang, hal tersebut dikarenakan tekhnik menyusui yagn tidak benar belum diperbaiki (Maryunani, 2009;hal 94).

  4) Paritas tinggi Komplikasi pada saat persalinan yang dapat memicu terjadinya bendungan ASI adalah pada persalinan dengan SC, hal tersebut dapat menyebakan terjadinya bendungan pada payudara karena ASI tidak langsung diberikan. mengungapkan bahwa terjadinya bendungan ASI yaitu payudara tidak disusukan secara adekuat, bra yang terlalu ketat, uting susu lecet yang menyebabkan terjadinya infeksi, asupan gizi ibu kurang, istirahat tida cukup dan terjadi anemia, pengisapan yang tidak efektif dan pengeluaran ASI yang kurang baik pada payudara yang besar, terutama pada bagian bawah payudara yagn menggantung (Sulistyawati, 2009; hal 47 ). 5) Gizi

  Gizi buruk merupakan factor predisposisi terjadinya bendungan ASI. Antoksidan, Vit E, Vit A dan selenium terbukti dapat mengurangi terjadinya bendungan ASI yang disebabkan kurangnya gizi pada ibu yang berakibat produksi ASI yang kurang (Ambarwati, 2009; hal 27).

  6) Factor kekebalan ASI Factor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan dalam payudara, apabila factor kekebalan rendah maka dapat mengakibatkan terjadinya bendungan ASI (Adiningsih, 2003; hal 32).

  7) Ibu yang bekerja diluar rumah Menurut Sulistyawati (2003; hal 33) menjelaskan bahwa akibat bendungan ASI karena interval antara menyusui yang panjang dan keurangan waktu untuk pengeluaran ASI yang tidak adekuat.

  e. Tanda dan Gejala Payudara yang mengalami pembengkakan tersebut sangat sulit disusui oleh bayi, karena kalang payudara lebih menonjol, puting lebih datar dan sulit diisap oleh bayi. Kulit pada payudara nampak lebih mengkilat, ibu merasa demam, dan payudara terasa nyeri. Oleh karena itu, sebelum disusukan pada bayi, ASI harus diperas dengan tangan atau pompa terlebih dahulu agar payudara lebih lunak sehingga bai lebih mudah menyusu (Soleha, 2009; hal 106).

  f. Penatalaksanaan 1)

  Konseling Cara Perawatan Payudara Adapun bahan dan alat yang harus disiapkan untuk perawatan payudara itu antara lain : a) Minyak kelapa / Baby oil secukupnya

  b) Kapas secukupnya

  c) Dua baskom berisi air (hangat dan dingin)

  32

  d) Bengkok

  e) Waslap dan handuk bersih

  f) BH yang bersih 2)

  Cara Pengurutan :

  a) Kedua telapak tangan yang telah diolesi minyak diletakkan diantara payudara

Gambar 2.4 Sumber : suherni (2009; hal 32)

  b) Pengurutan 1: dimulai dari atas, ke samping, telapak kiri kearah kanan dan sebaliknya, ke samping, melintang kebawah kemudian payudara diurut ke depan (arah puting).

Gambar 2.5 Sumber : Anggraini (2009; hal 167)

  c) Pengurutan 2: telapak tangan kanan menopang payudara kiri, tangan kanan sisi kelingking mengurut payudara kearah puting susu (20-30 kali)

Gambar 2.6 Sumber : Anggraini (2010; hal 167)

  d) Pengurutan 3 : telapak tangan kanan menopang payudara, tangan lainnya menggenggam, mengurut payudara dari pangkal ke puting susu.

  e) Memakai Bra / BH yang menyokong payudara

Gambar 2.7 Sumber : Suherni (2009; hal 40)

  3) Teknik Menyusui bayi Yang Benar a) Sebelum menyusui ASI di kelarkan sedikit untuk mengolesi putting dan areola, bermanfaat sebagai desinfektan dan menjaga kelembaban putting

Gambar 2.8 Sumber : Suherni (2009; hal 34)

  b) Bayi di letakan menghadap perut ibu /payudara

Gambar 2.9 Sumber : Suherni (2009; hal 36 )

  c) Ibu duduk /berbaring dengan santai ,bila duduk usahakan kaki jangan menggantung dan punggung bersandar pada kursi

Gambar 2.10 Sumber : Suherni (2009; hal 34) d) Bayi di pegang pada belakang bahunya dengan satu lengan, kepla bayi terletak pada lengkung siku dan bokong bayi di tahan dengan telapak tangan

  e) Satu tangan bayi di letakan dibelakang badan ibu

Gambar 2.11 Sumber : Saleha (2009; hal 36)

  f) Perut bayi menempel ; pada tubuh ibu dan kepala bayi menghadap payudara g) Telinga dan lengan bayi terletak satu garis lurus

  h) Ibu menatap bayi dengan kasih sayang

Gambar 2.12 Sumber : suherni (2009; hal 33)

  i) Payudara di pegang dengan ibu jari di atas dan jari lain menompang di bawah, jangan menekan putting susu saja j) Bayi diberi rangsangan agar membuka mulut dengan menyentuhkan puting pada pipi bayi /menyentuh sisi mulut bayi

Gambar 2.13 Sumber : Suherni (2010; hal 36)

  k) Setelah bayi membuka mulut dengan cepat kepala bayi di dekatkan dengan payudara ibu puting dan aerolanya dimasukkan pada mulut bayi l) Usahakan agar sebagian besar areola masuk dalam mulut bayi, sehingga putting berada di langit – langit dan lidah bayi menekan sempurna ASI keluar .

Gambar 2.14 Sumber : Suherni (2009; hal 40)

  4) Mengurangi rasa nyeri sebelum dan sesudah menyusui dengan cara : a) Memessase payudara dan ASI diperas dengan tangan sebelum menyusui

Gambar 2.15 Sumber : Suherni (2009; hal 34)

  b) Membasahi puting susu dengan ASI agar bayi mudah untuk menyusui c) Kompres dingin payudara ibu sebelum menyusui

Gambar 2.16 Sumber : Suherni (2009; hal 37)

  d) Susukan payudara ibu yang sakit agar ASI lancar dan menurunkan ketegangan pada payudara

  Gambar 2.17 Sumber : Suherni (2009; hal 33)

  e) Pakai BH yang menyangga payudara,

Gambar 2.18 Sumber : Soetjiningsih (2009; hal 89)

  g. Terapi dan Pengobatan Menurut Ari Sulistyawati (2009; hal 33 - 35) adalah : 1) Anjurkan ibu untuk tetap menyusui bayinya tanpa jadwal atau semau bayi.

  2) Anjurkan ibu untuk melakukan post natal breast care. 3) Lakukan pengompresan dengan air hangat sebelum menyusui dan kompres dingin sesudah menyusui untuk mengurangi rasa nyeri serta Gunakan BH yang menopang. 4) Berikan parasetamol 500 mg untuk mengurangi rasa nyeri dan menurunkan panas .

  h. Peran dan tanggung jawab bidan Secara singkat peran dan tanggung jawab bidan adalah sebagai berikut : 1) Berkomunikasi dengan klien untuk memberikan saran, dukungan, dorongan dan penyuluhan untuk memfasilitasi kemampuan ibu dalam memberikan ASI.

  2) Memastikan bahwa posisi bayi menyusu sudah benar dan ibu dapat diharapkan untuk melakukannya sendiri dengan baik.

  3) Mengobservasi dan membimbing ibu dalam menyelesaikan masalah yang ada, jika tepat.

  4) Membuat pencatatan yang baik (Ruth Johnson,2004; hal 296). i. Penanganan Bendungan ASI di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata

  • – Purbalingga

  

PROTAP PELAKSANAAN BENDUNGAN ASI

TANDA-TANDA Payudara bengkak Nyeri ,lesu ASI keluar sedikit o Suhu badan >38 C

  

Periksa payudara

Kompres air hangat dan lakukan

pemijatan ringan pada payudara

  Keluarkan ASI sedikit

Stimulasi rangsangan oxytosin pada puting

dan Kompres dengan air dingin

lanjutkan meyusui

  

Beri obat penurun panas dan istirahat

  Gambar 2.19 Protap pelaksanaan bendungan ASI di RSUD Purbalingga

  1. Teori Manajemen Varney manajemen Varney terdiri dari 7 langkah yang berurutan dimana setiap langkah disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan data dasar berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk kerangka berfikir lengkap yang dapat dipecah menjadi langkah- langkah tertentu dan ini bisa berubah sesuai dengan bagaimana keadaan pasien. Ketujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut: Langkah I: Pengumpulan Data dasar Adalah pengumpulan data dasar untuk mengevaluasi keadaan pasien.

  Data dasar ini termasuk riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dar pemeriksaan panggul sesuai dengan kebutuhannya, meninjau catatan terbaru atau catatan rumah sakit sebelumnya, meninjau data laboratorium dan membandingkan dengan hasil studi singkatnya, langkah pertama ini mengumpulkan semua informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi pasien. Bidan mengumpulkan data dasar awal yang lengkap meskipun bila pasien mengalami komplikasi yang perlu dikonsultasikan kepada dokter meskipun dalam manajemen kolaborasi.

  Langkah II: Identifikasi Masalah Diagnosa dan Kebutuhan Pada langkah ini data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan menjadi masalah atau diagnosa spesifik yang sudah diidentifikasikan.

  Kata masalah dan diagnosa keduanya digunakan karena beberapa masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnosa tetapi sungguh membutuhkan penanganan yang dituangkan kedalam sebuah rencana asuhan terhadap pasien. Masalah sering berkaitan dengan pengalaman wanita yang diidentifikasikan oleh bidan sesuai dengan pengarahan bidan. Masalah ini sering menyertai diagnosa.

  Diagnosa yang ditegakkan dalam lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur.

  Standar nomenklatur diagnosa kebidanan:

  a. Diakui dan telah disahkan oleh profesi

  b. Berhubungan langsung dengan praktik kebidanan

  c. Memiliki ciri khas kebidanan

  d. Didukung oleh klinikal judgement dalam lingkup praktik kebidanan

  e. Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan Langkah III: Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial

  Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang terbaru.

  Langkah ini membutuhkan antisipasi pencegahan bila memungkinkan menunggu sambil mengamati dan bersiap-siap bila hal tersebut benar- benar terjadi. Pada langkah ini penting sekali melakukan asuhan yang aman.

  Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera Langkah keempat mencerminkan kesinambungan dan proses manajemen kebidanan. Data-data baru senantiasa dikumpulkan dan dievaluasi. Beberapa data mengidentifikasi situasi yang gawat dimana bidan harus bertindak segera untuk kepentingan keselamatan jiwa ibu atau anak.

  Langkah V : Merencanakan Asuhan yang Menyeluruh Merencanakan asuhan yang menyeluruh ditentukan oleh langkah- langkah sebelumnya, langkah ini merupakan lanjutan dari masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi, pada langkah informasi/ data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang sudah terlihat dari kondisi pasien atau dari setiap masalah yang berkaitan tetapi juga berkaitan dengan kerangka pedoman antisipasi bagi wanita tersebut yaitu tentang apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya, penyuluhan, konseling dan rujukan untuk masalah-masalah sosial, ekonomi, kultural, atau masalah psikologis bila diperlukan.

  Dengan perkataan lain, asuhan terhadap wanita tersebut sudah meneakup setiap hal yang berkaitan dengan semua aspek asuhan kesehatan. Setiap rencana asuhan haruslah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu oleh bidan dan wanita tersebut, agar dapat dilaksanakan dengan efektif karena wanita tersebutlah yang pada akhirnya akan melaksanakan rencana tersebut. Oleh karena itu, pada langkah ini tugas bidan adalah merumuskan rencana asuhan sesuai dengan pembahasan reneana bersama wanita tersebut kemudian membuat kesepakatan bersama sebelum melaksanakannya.

  Langkah VI: Melaksanakan Perencanaan Langkah keenam adalah pelaksanaan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah 5. Pelaksanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian oleh wanita tersebut, bidan atau anggota tim lainnya. Jika bidan tidak melakukannya sendiri, ia tetap memikul tanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya (yaitu memastikan agar langkah-langkah tersebut benar-benar terlaksana). Dalam situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter dan keterlibatannya dalam manajemenasuhan bagi pasien yang mengalami komplikasi, bidan juga bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang efisien akan menyingkat waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dari asuhan pasien. Langkah VII : Evaluasi

  Langkah terakhir ini sebenamya adalah merupakan mengecekkan apakah rencana asuhan tersebut yang ameliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan, benar-benar telah terpenuhi kebutuhannya akan bantuan sebagaimana telah diidentifikasi di dalam masalah dan diagnosa.

  Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar efektif dalam pelaksanaannya dan dianggap tidak efektif jika memang benar tidak efektif.

  Ada kemungkinan bahwa sebagian rencana tersebut telah efektif sedang sebagian lain tidak. Langkah-langkah proses manajemen pada umumnya merupakan pengkajian yang memperjelas proses pemikiran yang mempengaruhi tindakan serta berorientasi. (Varney, 1997; hal 643).

  Metode Pendekumentasian secara SOAP meliputi :

  a. Subjektif 1) Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien dengan anamnesa.

  2) Data yang didapatkan dari klien maupun keluarga sebagai suatu keadaan dalam situasi dan kejadian.

  3) Informasi tidak dapat ditentukan oleh bidan maupun petugas kesehatan lain seeara indeoendent tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi.

  b. Objektif 1) Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium, dan test diagnostic lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung assessment. 2) Data yang didapat diobservasi dan diukur

  Data yang dikumpulkan meliputi

  a) KU, Tanda-tanda Vital, BB dan TB

  b) Status present

  c) Status obstetrikus

  c. Assessment Suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari individu tentang masalah kesehatan sebagai dasar memberikan intervensi/ tindakan kebidanan. 1) Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interprestasi data subjektif dan data objektif.

  2) Diagnosa / masalah 3) Antisipasi diagnosa lain / masalah potencial

  d. Planning 1) Pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada analisa kebidanan. Berisi perencanaan yang meliputi :

  a) Asuhan

  b) Pendidikan esehatan

  c) Terapi

  d) Kolaborasi

  e) Rujukan

  f) Tindak lanjut

  2. Menegemen Asuhan Kebidanan Varney Penerapan Manajemen Kebidanan menurut Varney, meliputi pengkajian, interpretasi data, diagnosa potensial dan tindakan antisipasi segera untuk mencegahnya, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.

  Langkah 1 : Pengkajian (Pengumpulan data dasar) Pengkajian atau pengkajian data dasar adalah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan untuk mengevaluasi keadaan pasien. Merupakan langkah pertama untuk mengumpulkan semua informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi pasien.

  A. Data Subyektif

  1. Biodata yang mencakup identitas pasien

  a. Nama Nama jelas dan lengkap, bila perlu nama panggilan sehari- hari agar tidak keliru dalam memberikan penanganan

  (Sulistyawati, 2009; hal 111).

  b. Umur Umur ditanyakan untuk menetukan pasien termasuk kedalam faktor resiko atau tidak. Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita bendungai ASI daripada wanita di bawah umur 21 tahun dan di atas 35 tahun, hal tersebut dikarenakan pada wanita berumur 21-35 tahun merupakan masa reproduksi yang sangat rentan dengan masalah menyusui (Adinigsih, 2003; hal 154).

  c. Agama Agama ditanyakan untuk mengetahui perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang berhubungan dengan agama, kebiasaan dan kepercayaan dapat menunjang namum tidak jarang dapat menghambat perilaku hidup sehat (Sulistyawati, 2009; hal 111).

  d. Pendidikan Berpengaruh dalam tindakan kebidanan dan untuk mengetahuin sejauh mana tingkat itelektualnya, sehingga bidan dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya teutama tentang teknik perawatan ibu nifas dan metode menyusui (Sulistyawati, 2009;hal 112).

  e. Suku/bangsa Berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari.

  Adat yang sangat mempengaruhi terhadap pemberian ASI yaitu ibu nifas pantang makan makanan daging, telur, ikan dan goreng-gorengan karena dipercaya akan menghambat penyembuhan luka persalinan dan makanan ini akan membuat ASI menjadi lebih amis. Dengan demikian jika ibu nifas tidak makan makanan yang bergizi atau kurang protein, maka produksi ASI dapat berkurang (Saleha, 2009; hal 128).

  f. Pekerjaan Menurut Sulistyawati (2003; hal 33) menjelaskan bahwa akibat bendungan ASI karena interval antara menyusui yang panjang dan kekurangan waktu untuk pengeluaran ASI yang tidak adekuat misalnya bagi ibu yang bekerja diluar rumah dan para ibu yang sibuk dengan kegiatannya.

  g. Alamat Ditanyakan untuk mempermudah hubungan dengan pasien apabila diperlukan dalam keadaan mendesak, dan mengetahui alamat yang lebih jelas dalam melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui hasil dari perawatan yang telah diberikan (Sulistyawati, 2009; hal 112).

  2. Keluhan Utama Untuk mengetahui masalah yang dihadapi ibu yang berkaitan dengan masa nifas, misalnya ibu postpartum dengan masalah menyusui (Sulistyawati, 2009; hal 111).

  3. Riwayat Kesehatan Masalah menyusui pada keadaan khusus adalah ibu yang melahirkan dengan bedah sesar, ibu yang menderita AIDS(HIV+), dan ibu yang menderita hepatitis B.

  a. Bedah sesar Pada ibu yang mengalami bedah sesar dengan pembiusan umum, tidak memungkinkan dapat segera menyusui bayinya karena ibu belum sadar akibat obat biusnya. Jika ibu sudah sadar maka secepatnya disusukan dengan bantuan tenaga medis. Pada ibu yang mengalami pembedahan tidak dengan pembiusan umum, kontak dengan bayi melalui proses menyusui dapat sesegera mungkin dilakukan (Sulistyawati, 2009; hal 46-47).

  b. ibu yang menderita AIDS(HIV+) AIDS pada ank-anak muncul bersama dengan AIDS pada orang dewasa. Pada orang dewasa, penularan umumnya melalui 3 cara, yaitu hubungan seksualdengan penderita, penularan parenteral melalui transfusi darah, dan jarum suntik yang dipakai bersama-sama dengan penderita, sedangkan bagi perinatal, ibu yang menularkan kepada bayinya.

  Dugaan faktor menyusui sebagai risiko penderita AIDS bagi bayi atau anak dimulai dari adanya laporan dari beberapa Negara (Australia, Prancis, AS dan Zaire) tentang ibu yang mendapat transfusi setelah persalinan karena berbagai sebab.

  Ternyata, bayinya terinfeksi oleh HIV. Berdasarkan laporan inilah, kemudian diduga ASI dapat menjadi media penularan HIV, bahkan ada laporan juga bahwa HIV dapat diisolasi dari ASI.

  Keputusan akhir mengenai boleh tidaknya ibu dengan AIDS untuk menyusui bayinya diserahkan kebijakannya kepada masing-masing negara, namun WHO menganjurkan untuk tetap menyusui, terutama bagi negara-nagara berkembang. Bayi diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama. Dan observasi selama ini, penularan sebelum usia ini masih sangatlah rendah (Sulistyawati, 2009; hal 47-48).

  c. Ibu menderita penyakit hepatitis B Menurut Americans Academy of pediatricians, seorang ibu dengan HbsAg+ dapat menyusui bayinya setelah bayinya diberi imunisasi hepatitis B. Memang, HbsAg+ ditemukan juga dalam ASI, tetapi belum ada laporan adanya penularan melalui ASI. Kolostrum ternyata juga tidak mengandung virus hepatitis. Pada penelitian terhadap pengidap hepatitis B, ternyata kadar HbsAg+ darah pada anak-anaknya tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan anak dari ibu yang tidak mengidap virus hepatitis B. Selain itu, dalam ASI terdapat zat protektif, terutama limfosit yang menghasilkan SigA dan interferon yang dapat membunuh kuman hepatitis B. Program imunisasi global menganjurkan vaksinasi hepatitis diberikan segera setelah bayi lahir atau paling tidak dalam 24 jam setelah bayi lahir (Sulistyawati, 2009; hal 48-49).

  d. Ibu dengan Diabetes Bayi dari ibu dengan diabetes sebaiknya diberikan ASI, namun perlu dimonitor kadar gula darahnya (Ambarwati, 2009; hal 54).

  e. Ibu dengan TBC paru Kuman TBC tidak melalui ASI sehingga bayi boleh menyusu. Ibu perlu diobati secara adekuat dan diajarkan pencegahan penularan pada bayi dengan menggunakan masker. Bayi tidak langsung diberi BCG oleh karena efek proteksinya tidak langsung terbentuk. Walaupun sebagian obat antituberkulosis melalui ASI, bayi tetap diberi INH dengan dosis penuh senagai profilaksis. Setelah 3 bulan pengobatan secara adekuat biasanya ibu sudah tidak menularkan lagi dan setelah itu pada bayi dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya negatif terapi INH dihentikan dan bayi diberi vaksinasi BCG (Ambarwati, 2009; hal 53-54).

  4. Riwayat perkawinan Yang perlu dikaji adalah berapa kali menikah, status menikah syah atau tidak, karen bila melahirkan tanpa status yang jelas akan berkaitan dengan psikologisnya sehingga akan mempengaruhi proses nifas/menyusui, yaitu Ibu bisa saja tidak peduli dengan bayinya dan tidak mau menyusui bayinya (Ambarwati, 2009; hal 129).

  5. Riwayat Obstetrik

  a. Menstruasi Data ini tidak secara langsung berhubungan dengan masa nifas, namun dari data yang diperoleh dari pasien, akan mendapatkan gambaran tentang keadaan dasar dari organ rerduksinya, seperti menarghe, siklus, volume, keluhan saat menstruasi (Sulistyawati, 2009; hal 112).

  b. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu.

  Dikaji untuk mengetahui keadaan pasien saat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya. Berhubungan dengan gangguan pada masa nifas ibu mengatakan ada masa nifas sebelumnya pernah menderita bendungan ASI. ada kemungkinan bendungan ASI ini bisa terulang kembali, hal tersebut dikarenakan teknik menyusui yang tidak benar belum diperbaiki (Maryunani, 2009; hal 94). c. Riwayat kehamilan sekarang Diperlukan pengkajian adalah ibu berapa kali ibu memeriksakan kehamilannya, terapi yang diperoleh, dan pendidikan kesehatan yang diperoleh. Karena informasi yang diperoleh seputar masalah menyusui juga bisa diperoleh ketika hamil (Maryunani, 2009; hal 32).

  d. Riwayat persalinan sekarang Tanggal persalinan, jenis persalinan , jenis kelamin anak, keadaan bayi meliputi Panjang Badan, Berat Badan, penolong persalinan. Hal ini perlu dikaji untuk mengetahui apakah proses persalinan mengalami kelainan atau tidak yang bisa berpengaruh pada masa nifas saat ini (Ambarwati, 2009; hal 134).

  e. Riwayat nifas sekarang Perlu dikaji untuk mengetahui keadaan ibu setelah melalui proses persalinan. Misalnya saja ibu yang melahirkan dengan bedah sesar. Jika pembiusan dilakukan secara umum maka jelas saja ASI tidak bisa langsung diberikan pada bayi, hal itu dapat menjadi faktor terjadinya bendungan ASI (Sulistyawati, 2009; hal 46).

  6. Riwayat KB Untuk mengetahui apakah pasien pernah ikut KB dengan kontrasepsi jenis apa, berapa lama, adakah keluhan selama menggunakan kontrasepsi serta rencana KB setelah masa nifas ini dan beralih ke kontrasepsi apa (Wulandari, 2009; hal 28).

  Metode hormonal, khususnya kombinasi oral (estrogen- progesteron) bukanlah pilihan pertama bagi ibu yang menyusui.

  Oleh karena itu janganlah menganjurkannya kurang dari 6 minggu pasca persalinan. Umumnya bagi ibu menyusui tidak perlu melakukan sampai saat itu, karena dapat mempersingkat lamanya pemberian ASI, akibatnya hormon steroid dalam jumlah kecil ditemukan dalam ASI ( Saleha, 2010; hal 115-116).

  7. Kehidupan Sosial Budaya Untuk mendapatkan data ini, bidan sangat perlu untuk melakukan pendekatan terhadap keluarga pasien, terutama orang tua. Hal penting yang biasanya mereka anut kaitannya dengan masa nifas adalah menu makan untuk ibu nifas, misalnya ibu nifas harus pantang makanan yang berasal dari daging, ikan, telur, dan goreng-gorengan karena dipercaya akan menghambat penyembuhan luka persalinan dan makanan ini akan membuat ASI menjadi lebih amis.

  Adat ini akan sangat merugikan pasien karena justru pemulihan kesehatannya akan terhambat. Dengan banyaknya jenis makanan yang harus ia pantang maka akan mengurangi juga nafsu makannya sehingga asupan makanan yang seharusnya lebih banyak dari biasanya malah semakin berkurang.

  Produksi ASI juga akan berkurang karena volume ASI sangat dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang berkualitas dan kuantitasnya cukup (Sulistyawati,2009; hal 121).

  8. Data Psikososial Untuk mengetahui respon ibu dan keluarga terhadap bayinya.

  Wanita mengalami banyak perubahan psikologis selama masa nifas sementara ia menyesuaikan diri menjadi seorang ibu. Cukup sering ibu menunjukan depresi ringan beberapa hari setelah melahirkan. Depresi tersebut sering disebut sebagai postpartum blues. Postpartum blues sebagian besar merupakan perwujudan fenomena psikologis yang dialami oleh wanita yang terpisah dari keluarga dan bayinya. Hal ini sering terjadi diakibatkan oleh sejumlah faktor.

  Penyebab yang paling menonjol adalah :