BAB II TINJAUAN PUSTAKA - DWI NOFIANA RAHMAWATI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitiana Terdahulu Penelitian terdahulu yang mendasari penelitin yang akan dilakukan oleh

  

peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Monalisa, (2012) dengan judul

“Pengalaman Ibu Merawat Anak Penderita Asma Yang Mengalami Masalah

Kualitas Hidup”. Tujuan dari penelitian tersebut untuk melihat gambaran

subyektivitas pengalaman seorang ibu memahami pandangan mereka terhadap

masalah yang ditemukan selama merawat anak penderita asma, serta

bagaimana ibu melakukan pendekatan dengan objek masalah dan

mengatasinya.

  Desain penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi, pengambilan sampel menggunakan teknik

purposive sampling dengan ukuran sampel tujuh orang rentang usia 28-36

tahun yang tinggal di salah satu daerah di provinsi jambi. Hasil penelitian

tersebut adalah kehadiran seorang ibu sangat penting untuk mendukung anak

penderita asma dalam aktivitas sehari-harinya, namun untuk memberikan

dukungan tersebut seorang ibu juga memerlukan informasi yang berguna

dalam merawat anak penderita asma di rumah saat terjadi kekambuhan.

  Winangsit A(2014) meneliti pengaruh pendidikan kesehatan terhadap

perubahan tingkat pengetahuan dan sikap keluarga dalam memberikan

perawatan pada penderita asma di desa sruni musuk boyolali. Desain studi

menggunakan quasi eksperimental, subyeknya adalah keluarga penderita asma

di desa sruni boyolali. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportional

random sampling. Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya pengaruh

pendidikan kesehatan keluarga dan sikap keluarga dalam memberikan

perawatan pada penderita asma.

  Aliya, R. (2015) pada penelitiannya yang berjudul “Pengaruh

Pemberian Konseling Apoteker Terhadap Hasil Terapi Pasien Asma Anak

diBalai Pengobatan Penyakit Paru- Paru (BP4) Yogyakarta” menunjukan

bahwa konseling yang diberikan apoteker mampu memberikan kemajuan hasil

terapi berupa penurunan frekuensi serangan pada pasien asma anak umur 5-12

tahun. Penelitian tersebut menggunakan metode quasi eksperimental dengan

desain pretest-postestonly dengan subyek penelitian adalah anak usia 5-12

tahun yang datang ke Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4).

  Penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu “persepsi pasien asma

terhadap konseling yang diberikan oleh apoteker di apotek wilayah Kabupaten

Purbalingga”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

persepsi pasien asma terhadap konseling yang telah mereka dapatkan dari

apoteker terkait pengobatan penyakitnya serta mengetahui hubungan antara

karakteristik responden dengan perseps terhadap konseling yang diberikan

oleh apoteker di apotek. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional

dengan desain penelitian cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan

teknik purposive sampling. Data dikumpulkan melalui survey langsung ke

apotek di wilayah Kabupaten Purbalingga menggunakan yang diberikan

kepada pasien asma yang memenuhi kriteria. Analisis data menggunakan

analisis univariatuntuk mengahasilkan persentase dan karakteristik ditribusi

dari setiap responden dan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar

variabel.

B. Landasan Teori

  1. Definisi Persepsi Menurut Robbin, persepsi merupakan sebagai proses dimana orang dapat mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensasi yang dirasakan dengan tujuan untuk memberi makna terhadap suatu lingkungan (Notoatmodjo, 2010).

  Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium. Dengan persepsi individu dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal yang ada di dalam diri individu yang bersangkutan.

  Ada banyak faktor yang akan menyebabkan stimulus dapat masuk

  

dalam perhatian kita. Faktor-faktor ini dapat kita bagi menjadi dua

kelompok besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal

merupakan faktor yang melekat pada suatu objek, sedangkan faktor

eksternal merupakan faktor yang terjadi bila ada stimulus dari orang yang

mempresentasikan hal tersebut.

1. Faktor Eksternal

a. Kontras: cara paling mudah untuk menarik perhatian seseorang yaitu dengan kontras baik pada warna, ukuran, bentuk atau gerakan.

  1) Kontras warna: jika kita mendaki gunung maka kita harus memakai pakaian yang berwarna mencolok seperti warna

jingga, supaya memudahkan pencarian bila kita tersesat.

2) Kontras ukuran: cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan iklan, dimana mereka akan membuat papan iklan yang besar untuk menarik perhatian. 3) Kontras bentuk: jika kita berbadan gemuk kemudian kita berkumpul diantara orang yang berbadan kurus maka kita akan cepat menjadi perhatian.

4) Kontras gerakan: gerakan akan menarik perhatian kita jika benda-benda lainnya diam.

  

b. Perubahan intestinal: suara yang pelan berubah menjadi keras, atau

cahaya yang awalnya redup menjadi terang akan menarik perhatian kita.

  

c. Pengulangan: iklan yang sering diulang-ulang akan menarik

perhatian kita, walupun sering sekali membuat kita merasa marah dibuatnya.

d. Sesuatu yang baru: suatu stimulus yang baru akan lebih menarik perhatian kita dari pada sesuatu apa yang sudah kita ketahui.

  e. Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak: suatu stimulus yangmenarik perhatian orang banyak maka akan menarik perhatian kita.

2. Faktor Internal

  a. Pengalaman atau pengetahuan: pengalaman atau pengetahuan yangdimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterprestasikan stimulus yang kita peroleh. Pengalaman masa lalu maka akan mempengaruhi perubahan interprestasi.

  b. Harapan: harapan terhadap sesuatu akan mempengaruhi persepsi akan adanya stimulus yang ada.

  c. Kebutuhan: kebutuhan akan mempengaruhi stimulus tersebut dapat masuk dalam rentang perhatian kita dan kebutuhan ini akan menginterprestasikan stimulus secara berbeda.

  d. Motivasi: motivasi akan mempengaruhi persepsi seseorang.

  e. Emosi: emosi seseorang akan mempengaruhi persepsi terhadap stimulus yang ada. Emosi takut juga akan mempengaruhi persepsi kita terhadap rasa sakit.

  f. Budaya: seseorang dengan latar belakang budaya yang sama akan menginterprestasikan orang-orang dalam kelompoknya secara berbeda, namun akan mempersepsikan orang-orang diluar kelompoknya sebagai sama saja (Notoatmodjo, 2010).

  2. PASIEN

a. Definisi Pasien

  Sesuai dengan definisi yuridis formal yang terdapat di Undang-Undang, disebutkan bahwa pasien adalah seorang individu yang mencari atau menerima perawatan medis.

  3. ASMA

a. Definisi Asma

  Asma merupakan gangguan inflamasi pada jalan napas yang ditandai oleh obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan terhadap berbagai bentuk rangsangan (Astuti, 2015). Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperresponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokontriksi, edema dan hipersekresi kelenjar yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi.

  Asma dapat di klasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma maka semakin tinggi tingkat pengobatan (Sukandar Elin Yulinah et al, 2009).

  Tabel 2. 1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit Derajat asma Gejala Fungsi Paru

  I. Intermiten Siang hari <2 kali per minggu Malam hari <2 kali per bulan Serangan singkat Tidak ada gejala antar serangan Intensitas serangan bervariasi Variabilitas

  APE < 20%

  VEP1 >80% nilai prediksi APE >80% nilai terbaik

  II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu,

tetapi < 1 kali per hari

Malam hari > 2 kali per bulan Serangan dapat mempengaruhi aktifitas Variabilitas

  APE 20 - 30%

  VEP1 >80% nilai prediksi APE >80% nilai terbaik

  III. Persisten Sedang Sianghari ada gejala Malam hari > 1 kali per minggu Serangan mempengaruhi aktifitas Serangan >2 kali per minggu Serangan berlangsung berhari-hari Sehari-hari menggunakan inhalasi

β2-agonis short acting

Variabilitas

  APE > 30%

  VEP1 60- 80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik

  IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala Setiap malam hari sering timbul gejala

Aktifitas fisik terbatas

Sering timbul serangan

  Variabilitas APE > 30%

  VEP1 <60% nilai prediksi APE <60% nilai terbaik

  Sumber : DepKes RI, 2007.

  APE:arus puncak ekspirasi FEV1 : Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik.

  b. EpidemiologiAsma Sampai saat ini, penyakit asma masih menunjukan prevalensi yang tinggi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukan bahwa kekerapan asma semakin

  Asma merupakan sepuluh besar meningkat terutama di negara maju. penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000 (Antariksa, 2009).

  c. PatofisiologiAsma Asma ditandai dengan konstraksi spastik dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara, seseorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila bereaksi dengan antigen spesifik. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronchus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut akan meningkat, alergen bereaksi dengan antibody yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamine, zat anafilaksis yang bereaksi lambat dengan faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran nafas menjadi meningkat (Prasetyo, 2010).

  d. Faktor Risiko Asma Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga(DepKes RI, 2007).

  e. Gejala Klinis Asma Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversible dengan

  atau tanpa pengobatan. Gejala asma awal berupa batuk disertai sesak nafas (terutama pada malam atau dini hari), dahak sulit keluar, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya dan rasa berat di dada. Gejala asma yang lebih berat dapat mengancam keadaan jiwa penderitanya, diantaranya serangan batuk yang hebat, sesak napas berat hingga tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, dimulai dari sekitar mulut) dan kesadaran menurun (DepKes RI, 2007). f. Diagnosis Asma Diagnosis

  asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter (DepKes RI, 2007)

  g. Penatalaksanaan Asma Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma yaitu:: 1) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma.

  2) Mencegah eksaserbasi akut. 3) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin.

  4) Menghindari efek samping. 5) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel.

  6) Mencegah kematian karena asma (DepKes RI, 2007).

  Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit asma. Asma dikatakan terkontrol bila : 1) Gejala minimal (sebaiknya tidak ada) termasuk gejala malam. 2) Tidak ada keterbatasan aktifitas termasuk exercise. 3) Variasi harian APE kurang dari 20%. 4) Nilai APE normal atau mendekati normal. 5) Efek samping obat minimal (tidak ada). 6) Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat.

  Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu :

  a) Medikasi (obat-obatan) : obat asma dikelompokan menjadi dua golongan yaitu : obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan obat-obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.

  b) Tahapan pengobatan.

  c) Penanganan asma mandiri (DepKes RI, 2007).

  Tabel 2. 2 Pendekatan bertahap penanganan asma pada anak diatas 5 tahun dan dewasa Derajat Asma Pengobtan yang diperlukan untuk kontrol jangka panjang Persisten Berat Pengobatan utama

  • Dosistinggi inhalasi kortikosteroid Inhalasi β2 kerja panjang
  • Kortikosteroid tablet atau sirup (2mg/kg/hari, tidak boleh melebihi 60 mg/hari. Pemakaian berulang dapat mereduksi kortikosteroid sistemik dan untuk pemeliharaan gunakan kortikosteroid dosis tinggi Persisten sedang Pengobatan utama

    Dosis rendah menengah inhalasi -

    kortikosteroid dan inhalasi β2 agonis kerja panjang

  Alternatif pengobatan

Meningkatkan inhalasi kortikosteroid -

dengan range dosis sedang, atau

  • Dosis rendah sampai tinggi inhalasi kortikosteroid dan salah satu modifikasi leukotrin atau teofilin (Jika dibutuhkan khususnya pada pasien dengan eksaserbasi parah ) Persisten ringan Pengobatan utama

    Meningkatkan inhalasi kortikosteroid -

    dengan range dosis sedang dan ditambah inhalasi β2 agonis kerja panjang Intermiten Pengobatan utama
  • Dosis rendah inhalasi kortikosteroid

  Alternatif pengobatan

Koromolin, leukotrin, nedocromil atau -

sustained reles teofilin dengan konsentrasi serum 5-15 mcg/ml

Tidak dibutuhkan pengobatan harian -

Eksaserbasi akan terjadi dalam waktu -

lama dengan fungsi paru normal dan tidak ada gejala. Direkomendasikan kortikosteroid sistemik.

  Sumber : Sukandar Elin Yulinah et al, 2009.

  Tabel 2. 3 Obat asma yang dapat diserahkan tanpa resep dokter (Obat Wajib Apotek) No. Kelas terapi Golongan Nama obat Indikasi Jumlah tiap jenis obat per pasien

  1. Obat Saluran Obat asma Aminofilin Asma Maksimal 3 Pernafasan Supp supp Ketotifen Asma Maksimal 20 tablet Terbutalin Asma Inhaler

  1 SO4 tabung Salbutamol Asma Maksimal 20 tablet 2 . Obat saluran Sekretolitik Bromheksin Mukolitik Maksimal 20 pernafasan Mukolitik tablet Karbosistein Mukolitik Maksimal 20 tablet Asetilsistein Mukolitik Maksimal 20 tablet Oksolam Mukolitik Maksimal 20 sinitrat tablet Sumber: KemenKes RI, 1990

  4. KONSELING

  a. Definisi Konseling konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkanmasalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan (DepKes RI, 2007). Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya (Depkes RI, 2004).

  Konseling pasien merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian, karena apoteker sekarang tidak hanya berorientasi pada obat (drug oriented), tetapi juga harus berorientasi kepada pasien (patient oriented) sehingga terwujud konsep pharmaceutical care. Tujuan dari konseling adalah meningkatkan keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko efek samping, meningkatkan cost effectivitness dan menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi (Depkes RI, 2006). Prinsip dasar konseling adalah menjalin hubungan atau korelasi antara apoteker dengan pasien sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela dalam rangka meningkatkan keberhasilan terapi.

  b. Aspek Konseling Berdasarkan Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di sarana kesehatan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina

  Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depertemen Kesehatan RI tahun 2006, aspek yang harus disampaikan dalam melaksanakan konseling antara lain:

  1) Deskripsi dan kekuatan obat, apoteker harus memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk sediaan dan cara pemakaian, nama dan zat aktif obat serta kekuatan obat.

  2) Jadwal dan cara penggunaan, penekanan dilakukan untuk obat dengan instruksi khusus seperti waktu minum sebelum atau sesudah makan, pantangan obat dengan makanan. 3) Mekanisme kerja obat, banyaknya obat yang multi indikasi mengharuskan apoteker dapat memilih mekanisme mana yang harus dijelaskan sesuai dengan indikasi obat dan penyakit/gejala yang sedang diobati. 4) Dampak gaya hidup, apoteker harus menanamkan kepercayaan pada pasien mengenai perubahan gaya hidup untuk meningkatkan kepatuhan pasien. 5) Penyimpanan, cara penyimpanan obat harus diberitahukan kepada pasien terutama obat-obat yang harus disimpan pada temperatur kamar, adanya cahaya dan lainnya. 6) Efek potensial yang tidak diinginkan, apoteker sebaiknya menjelaskan mekanisme atau alasan terjadinya efek samping sederhana. Penjelasan dilakukan terutama untuk obat yang menyebabkan perubahan warna urin, kekeringan mukosa mulut dan lainnya (Depkes RI, 2006).

  Konseling dapat dilakukan kepada semua pasien, akan tetapi karena keterbatasan waktu pelaksanaan konseling dilakukan kepada pasien dengan keadaan khusus, yaeperti : 1) Pasien dengan penyakit kronik seperti : diabetes, TB dan asma. 2) Pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pngobatan. 3) Pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pemantauan. 4) Pasien dengan multirejimen obat. 5) Pasien lansia. 6) Pasien pediatrik melalui orang tua atau pengasuhnya. 7) Pasien yang mengalami masalah berkaitan dengan obat (Depkes RI, 2006). c. Tahapan-tahapan Konseling Kegiatan konseling memerlukan beberapa tahapan yang meliputi: 1) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.

  2) Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Question, yaitu :

  a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?

  b) Apa yang dijlaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?

  c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi obat tersebut? 3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat. 4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat. 5) Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.

  Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan formulir sesuai ketepatan peraturan (Astuti, 2015).

5. APOTEKER

  a. Definisi Apoteker Menurut KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004

  Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Menurut definisi tersebut seorang apoteker merupakan lulusan perguruan tinggi farmasi yang memenuhi ciri profesi yaitu memiliki pengetahuan yang jelas dan pendidikan khusus berbasis keahlian pada jenjang perguruan tinggi (Depkes RI, 2004). b. Tugas dan Fungsi Apoteker di Apotek Apoteker yang melaksanakan pengabdiannya di apotek mempunyai tugas melaksanakan pelayanan kefarmasian, memimpin dan melakukan pengawasan atas seluruh aktivitas apotek sesuai peraturan perundangan yang berlaku dengan fungsi sebagai berikut : 1) Melakukan asuhan kefarmasian dengan kegiatan : 2) Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dokter, dokter gigi dan dokter hewan.

  3) Melakukan skrining resep dari segi administratif, kesesuaian farmasetik (bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian) dan pertimbangan klinis ( adanya alergi, efek samping, kesesuaian dosis, durasi dan jumlah obat). 4) Melaksanakan peracikan obat dan penyerahan obat. 5) Memilihkan obat bagi pasien yang akan melakukan swamedikasi. 6) Melaksanakan konsultasi dan edukasi kepada pasien dengan resep dokter ataupun swamedikasi. 7) Melaksanakan promosi dan edukasi program kesehatan daripemerintah. 8) Melakukan kunjungan rumah atau pelayanan residensial (home care). 9) Melakukan pengelolaan sumber daya di apotek dengan kegiatan : a) Memimpin dan mengawasi tugas karyawan.

  b) Membuat struktur organisasi dan uraian tugas karyawan.

  c) Membuat perencanaan pengadaan obat.

  d) Membuat kebijakan tentang penyimpanan obat di apotek.

  e) Membuat laporan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

  f) Membuat pembukuan keuangan (DepKes RI,2004). c. Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Asma Pengobatan asma merupakan long term medication, oleh karena itu kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat yang dapat timbul pada tahapan berikut(Depkes RI, 2006) : 1) Rancangan Pengobatan (Care Plane)

  Dalam tim terpadu, peran apoteker adalah memberikan rekomendasi pemilihan obat yang tepat berdasarkan kondisi pasien yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil diagnosis dokter.

2) Implementasi Pengobatan :

  a) Menyediakan obat (drug supply management)

  b) Pemberian informasi dan edukasi

  Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti dan memahami rejimen pengobatan yang diberikan sehingga pasien dapat lebih berperan aktif dalam pengobatan yang dapat meningkatkan kepatuhan mereka dalam menggunakan obat.

  Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita asma dan keluarganya antara lain : 1) Agar penderita asma memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan mengganggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga. 2) Untuk membantu pasien asma agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yangg mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar jumlah hari sakit dapat ditekan. 3) Agar penderita asmadapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat.

4) Agar penderitaasma dapat lebih produktif dan bermanfaat.

5) Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluarga ataupun negara.

  Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan kerjasama penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan asma dapat disampaikan dalam konseling. Namun dalam penyampaiannya harus mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya.

6. APOTEK

  a. Definisi Apotek Menurut KepMenKes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004,

  Apotek adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan kefarmasian, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut definisi tersebut dapat diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Depkes RI, 2004).

  Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidispliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberikan pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

  b. Sarana Apotek Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek, apotek harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktifitas pelayanan hal ini berguna untuk menunjukan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan obat. Selain itu apotek juga harus memiliki : 1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

  2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3) Ruang tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja kursi, lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. 4) Ruang racikan. 5) Tempat pencucian alat (Depkes RI, 2004).

  Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009 pasal 5, pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi : 1) Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi. 2) Pekerjaan kefarmasian dalam produk sediaan farmasi. 3) Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan farmasi. 4) Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi. c. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Dalam meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian yang berdasarkan pharmaceutical care di apotek, dibutuhkan tenaga apoteker yang profesional. Dengan diterapkannya standar pelayanan kefarmasian di apotek ini diharapkan tujuan dapat dicapai secara maksimal. Adapun pelayanan kefarmasian di apotek sebagai berikut : 1) Pelayanan resep

  Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

  a) Persyaratan administratif : (1) Nama, Sip dan alamat dokter.

  (2) Tanggal penulisan resep. (3) Tanda tangan / paraf dokter penulis resep. (4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.

  (5) Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta. (6) Cara pemakainan yang jelas. (7) Informasi lainnya.

  b) Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

  c) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. 2) Penyiapan obat.

  a) Peracikan, Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur mengemas dan memberikan etiket pada wadah.

  b) Etiket, etiket harus jelas dan dapat dibaca.

  c) Kemasan, obat yang diserahkan dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

  3) Informasi Obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.

  Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

  Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti oleh pasien. Informasi obat pada pasien meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 4) Konseling

  Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien, terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau pengobatan obat yang salah. Untuk pasien yang menderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. 5) Monitoring penggunaan obat

  Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya. 6) Promosi dan edukasi

  Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus meberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu memberikan informasi antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lain.

  7) Pelayanan residensial (home care) Apoteker sebagai care giver diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktifitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan atau medication record (Depkes RI, 2004).