BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan Kewarganegaraan - PERAN GURU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn) DALAM MENCEGAH KENAKALAN REMAJA (Studi Deskriptif di SMK Negeri 3 Purwokerto) - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan Kewarganegaraan Secara bahasa Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan)

  oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan (Azra) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

  (Soemantri et al dalam Taniredja 2009:2) Istilah Pendidikan Kewargaan pada sisi lain identik dengan

  Pendidikan Kewarganegaraan, namun di sisi lain. Istilah Kewargaan menurut Rosyada (2003:6): “Secara substantif tidak hanya mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, namun juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society)”.

  Pendidikan kewarganegaraan telah banyak melalui perkembangan dan perubahan. Perlu disadari bahwa pendidikan kewarganegaraan yang berkembang dari waktu-kewaktu memiliki tujuan untuk membentuk karakter dan sikap warga negara yang baik. Agar setiap warga negara diarahkan pada perilaku yang positif. Creshore, Education (Sumantri, 2001:281) menjelaskan bahwa:

  “Pelajaran civic mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika serikat dalam rangka “meng-Amerikakan” bangsa Amerika atau terkenal dengan istilah “Theori of Americanition”. Seperti yang diketahui bangsa Amerika Serikat berasal dari berbagai bangsa yang datang ke Amerika Serikat untuk menjadi warga Amerika serikat.

  Untuk menyatukan warga Amerika Serikat menjadi satu bangsa , maka pelajaran Civics di ajarkan di sekolah-sekolah. Dalam taraf tersebut pelajaran Civics membicarakan masalah goverment, hak dan keawajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari Ilmu politik”.

  Kehadiran program PKn dalam kurikulum di sekolah-sekolah di Indonesia dapat dikatakan masih muda apabila dibandingkan dengan kehadirannya di Amerika Serikat pada tahun 1790. Di Indonesia pelajaran Civics, setelah Indonesia merdeka baru dimulai pada tahun 1950. Hal ini terjadi karena sejak tahun 1945-1950 bangsa Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya (Revolusi fisik). Dalam garis-garis program pelajaran untuk SMA terdapat pelajaran Kewarganegaraan, yang dikatakan bahwa kewarganegaraan yang diberikan disamping Tata negara adalah tugas dan kewajiban warga negara terhadap pemerintah, masyarakat, keluarga dan diri sendiri.

  Setelah Dekrit presiden 5 Juli 1959, pelajaran Civics dipakai untuk memberi pengertian tentang pidato kenegaraan Presiden ditambah dengan Pancasila, sejarah pergerakan, hak dan kewajiban warga negara. Pada tahun 1961 istilah “Kewarganegaraan” diganti dengan “Kewargaan negara” atas prakarsa Dr. Suhardjo. S.H. maksud pergantian tersebut untuk disesuaikan dengan pasal 26 ayat (2) UUD 1945 dan menitik beratkan pada “warga”. Yang mengandung pengertian akan hak dan kewajibannya terhadap negara. Tetapi istilah “Kewargaan negara” baru dipakai secara resmi pada tahun 1967 dengan instruksi Direktorat jendral Pendidikan Dasar No 31 tahun 1967.

  Pada tahun 1975 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara diganti dengan Pendidikan Moral Pancasila. Mata pelajaran ini memiliki dasar konstitusional, yaitu ketetapan MPR No IV/MPR/1973 (tentang GBHN) yang menyatakan:

  “Untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum di semua tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila, dan unsur-unsur yang cukup untuk meneruskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda”.

  Kemudian kurikulum 1975 digantikan dengan kurikulum 1994 yaitu Pendidikan Moral Pancasila digantikan dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Seperti yang tercantum dalam Dekdikbud, (Taniredja 2011:192) yang menyebutkan bahwa:

  “Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah tahun 1994, dikenal dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang diartikan sebagai mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral, yang berakar pada budaya bangsa Indonesia”.

  Nilai luhur dan moral tersebut diharapkan ada dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku yang dimaksud adalah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan dan kesatuan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan dan golongan, sehingga perbedaan pemikiran, pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  Perkembangan berikutnya dengan keluarnya Undang-Undang No

  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka PPKn diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Di dalam pasal 3 Undang- Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menandaskan bahwa:

  “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

  Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampu mencapai tujuan pendidikan itu, di dalam proses pembelajarannya selalu menekankan nilai- nilai moral dan karakter yang baik untuk peserta didiknya.

  “Objek studi Civics dan Civic Education adalah warga negara dalam organisasi kemasyarakatan, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan dan negara. Termasuk dalam objek studi Civics ialah: (a) tingkah laku, (b) tipe pertumbuhan berpikir, (c) potensi yang ada dalam setiap diri warga negara, (d) hak dan kewajiban, (e) cita-cita dan aspirasi, (f) kesadaran (patriotisme, nasionalisme, pengertian internasional, moral Pancasila), (g) Usaha, kegiatan, partisipasi, tanggung jawab”. (Lokakarya Metodologi Pendidikan Kewarganegaraan, 1973 dalam Sumantri, 2001:276)

  Harapannya Pendidikan kewarganegaraan dapat mencerminkan hubungan perilaku warga negara dalam kehidupannya dengan manusia lain dan alam sekitarnya. Struktur keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Departemen Pendidikan Nasional (Taniredja , 2011: 33) Secara makro terdiri dari:

  1) Dimensi pengetahuan kewarganegaraaan (civic Knowledge) yang menyangkut bidang politik , hukum dan moral.

  2) Dimensi ketrampilan kewarganegaraan (civics skill) yaitu yang menyangkut ketrampilan dalam berpartisipasi didalam kehidupan berbangsa dan bernegara

  3) Dimensi nilai kewarganegaraan (civic value) materi mengarah pada penanaman nilai, kepercayaan serta sikap kewarganegaraan yang baik.

  Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang bersumber dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Selain itu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

  Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi untuk membina pemahaman dan kesadaran warga negara terhadap hubungannya dengan negara, dan sesama warga negara lainnya, sehingga mereka mengetahui, menghayati, dan dapat melaksanakan dengan baik apa yang menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara.

  Secara umum PKn bertujuan membentuk warga negara yang baik (to be a good citizenship) dan pembentukan karakter bangsa yang baik. Ini sejalan dengan pendapat Djahiri (Herlina, 2008) yang mengemukakan bahwa secara khusus PKn itu bertujuan untuk:

  “Membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan, agama dan perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beranekaragaman kebudayaan dan kepentingan, perilaku pendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat ataupun kepentingan diatas melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

  Berdasarkan tujuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pengajaran PKn adalah untuk menanamkan, mengembangkan dan membina sikap nilai, moral dan norma Pancasila dan UUD 1945 kepada peserta didik agar dapat dipahami, diyakini dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara secara benar dan penuh keyakinan.

B. Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) 1. Pengertian Guru

  Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008:469), guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Dalam bahasa arab disebut mua`lim dan dalam bahasa Inggris teacher itu memang memiliki arti kata sederhana yakni ”A

  person whose occupation is teaching others” artinya guru adalah orang

  yang pekerjaannnya mengajar orang lain (McLeod, 1989 dalam syah, 2010:222).

  Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Guru mempunyai tugas untuk memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan melalui pemberian materi pelajaran di kelas, selain itu juga guru mempunyai kewajiban untuk memberikan pengetahuan mengenai nilai, moral, dan norma yang baik sehingga diharapkan dapat diaplikasikan oleh peserta didik dalam perilaku di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

  Guru merupakan salah satu komponen dari pendidikan, yang mana pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk merubah baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun perilaku atau tingkah laku pelajar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (2003:2) bahwa pendidikan adalah,

  “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. guru menjadi unsur yang berperan penting di dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan, seperti yang dikemukakan Syaodih (Mulyasa, 2010:13) bahwa:

  “Guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakan bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Pendidikan sekarang ini dekembangkan dengan sistem desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah”.

  Simon dan Alexander (Mulyasa, 2010:13) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, ‘Dua kunci penting dari peran guru dalam keberhasilan pembelajaran yaitu jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru’.

  Guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual, emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Ini sejalan dengan pendapat Usman (2002:4), apabila dikelompokkan tugas guru terdiri dari 3 jenis, yaitu tugas dalam bidang profesi, tugas dalam bidang kemasyarakatan, dan tugas kemanusiaan.

  1) Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup; mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; melatih berarti mengembangkan ketrampilan- ketrampilan pada siswa.

  2) Tugas guru dalam bidang kemasyarakatan tidaklah terbatas, guru pada hakekatnya merupakan komponen yang strategis yang memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor penting yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih lagi pada era kontemporer ini.

  3) Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orangtua kedua. Ia harus menark simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya.

  Melihat pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga tugas guru tersebut tidak bisa berdiri sendiri, ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis, antara tugas yang diemban dengan tugas lainnya harus saling mendukung sehingga tugas yang diemban guru dapat dikerjakan dengan baik. Dengan demikian guru diharapkan dapat menghasilkan anak didik yang berkualitas yang nantinya menjadi manusia yang bertanggungjawab baik terhadap dirinya, negaranya maupun agamanya.

  Dengan demikian, tugas guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja, guru yang baik harus bisa menjadi orang tua kedua bagi peserta didiknya, dimana ia bertanggung jawab atas segala sikap dan perilaku anak didiknya. Oleh sebab itu, masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat di lingkungannya.

  Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas guru tersebut, seorang guru dituntut beberapa kemampuan yakni, berwawasan luas, menguasai bidang ilmunya dan kemampuan mentransfer atau menerangkan kembali kepada siswa, mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut masyarakat banga serta memiliki ketrampilan sesuai bidang ilmu yang dimilikinya.

2. Peran Guru Pendidikan Kewarganegaraan

  Dalam proses belajar mengajar di kelas guru berperan menjadi orang yang secara langsung mentransfer ilmu dan pemikirannya.

  Menurut pendapat Wrighman (Usman, 2010:4) Peran guru adalah “Terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya”.

  Aspek tingkah laku menjadi salah satu tujuan peubahan dalam proses pembelajaran, dunia pendidikan diharapkan tidak hanya menjadi wadah dalam memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi juga sebagai proses pembentukan karakter siswa. Menurut Suparlan (2006:52) ada tujuh kaidah dalam proses pembelajaran dan pengajaran yang harus diperhatikan oleh guru:

  1. Opportunity to Learn (Kesempatan untuk belajar dan melakkan sendiri) Proses belajar mengajar harus memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa. Pengalaman belajar itu harus memungkinkan siswa unuk mengamati, memilih, dan menggunakan proses-proses nyata, produk dan ketrampilan dan nilai-nilai yang mereka harapkan. Proses belajar mengajar harus memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa, tidak hanya secara verbalistis menerima informasi dari guru.

  2. Connection and Challenge (Kaitan dan Tantangan) Pengalaman belajar siswa harus terkait dengan pengetahuan yang telah dimliki, kecakapan, dan nilai-nilai yang diharapkan untuk dikuasai dan dimiliki oleh siswa. Pengalaman belajar siswa harus memiliki kaitan dengan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran akan menarik jika memiliki kaitan dengan kebutuhan dan kehidupan sehari-hari siswa serta difasilitasi oleh guru agar siswa tertantang untuk menerapkannya.

  3. Action and Reflection (melakukan sendiri dan menghayati sendiri) Pengalaman belajar akan lebih bermakna jika siswa diberkan kesempatan untuk melakukan, menghayati, dan kalau memungkinkan dapat menemukan kesimpulan sendiri. Dengan melakukan sendiri siswa akan memperoleh penghayatan yang tidak mungkin mereka lupakan dalam kehidupannya.

  4. Motivasi and Purpose (motivasi dan tujuan) Pengalaman harus menarik minat siswa, dan siswa memahami dengan jelas tujuan mereka memperoleh pengalaman belajar itu.

  Para siswa akan lebih tertarik untuk mempelajari sesuatu jika mereka mengetahui apa tujuan dan relevansinya dengan kehidupan.untuk itu sejak awal perencanaan pembelajaran sebaiknya para siswa sudah mulai dilibatkan dalam merancang pembelajaran, dan melaksanakan prosesnya secara mandiri, sehingga mereka memperoleh kesempatan secara optimal untuk menilai keberhasilannya.

  5. Inclusivity and Defference (Inclusivitas dan Perbedaan) Pengalaman harus menghargai dan mengakmodasi perbedaan diantara siswa. Semua siswa harus merasakan bahwa mereka menjadi satu bagian yang tak terpisahkan. Guru harus memperhatikan perbedaan gaya belajar dan perbedaan individual (individual defferencies) siswa. Guru harus menyadari adanya latar belakang perbedaan sosial ekonomi, dan kecepatan belajar, dan sosial budaya siswa.

  6. Autonomy and collaboraciton (otonomi da colaborasi) Pengalaman belajar harus dapat meningkatkan siswa untuk belajar, baik secara mandiri maupun secara berkolaborasi. Ada saatnya siswa harus menguasai konsep dan mampu mempraktekkannya secara mandiri. Namun pada saat yang lain mereka harus mampu melaksanakannya secara bekerjasama. Melakukan keterlibatan yang lebih luas dalam berbagai kegiatan yang diberikan oleh guru, para siswa akan memperoleh pengalaman untuk menghargai prinsip kemandirian, dan sekaligus menghargai betapa pentingnya nilai kebersamaan dan kerjasama.

  7. Supportive Environment (lingkungan yang mendukung) Sekolah dan ruang kelas harus diatur sedemikian rupa sehingga aman, nyaman, dan kondusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang efektif. Para siswa memerlukan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga mereka dapat belajar dengan resiko yang amat kecil dari bahaya karena luka atau resiko yang lebih besar.

  Dalam pasal 40 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan memiliki kewajiban sebagai berikut:

  1) Menciptakan suasan pendidikan yang bermakna, menyenagkan, kreatif, dinamis dan dialogis,

  2) Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan

  3) Memberi keteladanan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

  Menurut kajian yang dilakukan oleh Pullias dan Young, Maman, Yelon dan Weinstein (Mulyasa, 2010:37), dapat diidentifikasikan sedikitnya ada 19 peran guru, yakni:

  1) Guru sebagai pendidik

  2) Guru sebagai pengajar

  3) Guru sebagai pembimbing

  4) Guru sebagai pelatih

  5) Guru sebagai penasihat

  6) Guru sebagai pembaharu, (innovator)

  7) Guru sebagai model dan teladan

  8) Guru sebagai pribadi

  9) Guru sebagai peneliti

  10) Guru sebagai pendorong kreativitas

  11) Guru sebagai pembangkit pandangan

  12) Guru sebagai pekerja rutin

  13) Guru sebagai pemindah kemah

  14) Guru sebagai pembawa cerita

  15) Guru sebagai aktor

  16) Guru sebagai emansipator

  17) Guru sebagai evaluator

  18) Guru sebagai pengawet

19) Guru sebagai kulminator.

  Guru PKn memiliki tugas dan peran yang lebih dari guru mata pelajaran lain. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawabnya untuk membentuk perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara yang baik. Tugas guru PKn bukan hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga mentransfer nilai-nilai yang diharapkan dapat dipahami, disadari, dan diwujudkan dalam perilaku baik siswa. Senada dengan pendapat Soemantri (Herlina, 2008:26) bahwa:

  “Guru PKn harus banyak berusaha agar siswa-siswanya mempunyai sikap yang baik, kecerdasan yang tinggi, serta ketrampilan yang bermanfaat. Oleh karna itu guru PKn harus dapat memanfaatkan fungsinya sebagai penuntun moral, sikap serta memberikan dorongan kearah yang lebih baik.” Sejalan dengan pendapat Suparlan (2006:35) bahwa peran dan fungsi guru menampilkan hal-hal sebagai berikut:

  1) Guru sebagai educator, fungsinya mengembangkan kepribadian, membimbing, membina budi pekerti, memberikan pengarahan.

  2) Guru sebagai manager, fungsinya mengawal pelaksanaan tugas dan fungsi berdasarkan ketentuan dan perundang- undangan yang berlaku.

  3) Guru sebagai Administrator, fungsinya membuat daftar presensi, membuat daftar penilaian, melaksanakan teknis administrasi sekolah

  4) Guru sebagai Supervisor, fungsinya memantau, menilai, memberikan bimbingan

  5) Guru sebagai Leader, fungsinya mengawal pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tanpa harus mengikuti secara kaku ketentuan dan perundangan yang berlaku

  6) Guru sebagai Inovator, fungsinya melakukan kegiatan kreatif, menemukan strategi, metode, cara-cara atau konsep-konsep yang baru dalam pengajaran

  7) Guru sebagai Motivator, fungsinya memberikan dorong kepada siswa untuk dapat belajar lebih giat, memberikan tugas kepada siswa sesuai dengankemampuan dan perbedaan individual peserta didik.

  8) Guru sebagai Dinamisator, fungsinya memberikan dorongan kepada siswa dengan cara menciptakan suasana lingkungan

  9) Guru sebagai Evaluator, fungsinya menyusun instrumn penilaian, melaksanakan penilaian dalam berbagai bentuk dan jenis penilaian, menilai pekerjaan siswa

  10) Guru sebagai Fasilitator, fungsinya memberikan bantuan teknis, arahan atau petunjuk kepada peserta didik.

  Guru diharapkan memiliki peran dan fungsi sebagai seorang guru dengan baik. Guru PKn sebagai pembimbing dan pembina moral siswa harus berusaha untuk membentuk siswa yang mampu bersikap dan berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai nilai, moral dan norma yang berlaku di masyarakat, serta harus dapat membantu atau mengarahkan siswa dalam mengimplementasikan nilai- nilai yang telah diperoleh dalam kehidupannya di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat umum.

  PKn bertujuan untuk membina dan membelajarkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki rasa kebangsaan yang kuat, mampu membina serta melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat yang berbangsa dan negara.

C. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Remaja

  Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin

  Adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang

  berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Dalam Islam secara etimologi, kalimat remaja berasal dari Murahaqoh, kata kerjanya adalah

  Raaahaqo yang berarti Al-iqtirab (dekat), secara etimologi berarti

  mendekati kematangan secara fisik, akal, dan jiwa serta sosial. (Al- Mighwar. 2006:55).

  Kata remaja mengandung beraneka kesan. Ada yang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, sementara ada pihak lain menganggap bahwa remaja merupakan kelompok yang sering menyusahkan orang-orang tua. Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap. Perkembangan menuju kedewasaan memerlukan perhatian kaum pendidik secara sungguh-sungguh. Remaja merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Orang tua sibuk dengan pemikiran tentang anaknya yang sedang meninggkat remaja. Guru kadang gembira menghadapi anak didiknya yang berprestasi, kadang pusing akan menghadapi anak didiknya yang berperangai kurang terpuji, menganggu dan meremehkan peraturan dan disiplin sekolah.

  Ada beberapa pendapat yang menyatakan rentang usia remaja antara lain menurut pendapat Hurlock (Mapiarre, 1982:25) membagi rentang usia remaja ‘antara 13-21, yang di bagi pula dalam masa remaja awal usia 13/14 sampai 17 tahun, dan remaja akhir usia 17 sampai 21 tahun’.

  Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, remaja adalah suatu masa dimana:

  1) Individu berkembang dari saat pertamakali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya.

  2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

  3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri

  (Muangman, 1980 dalam Sarwono, 2000:9) Usia remaja pada anak sekolah (SMP/SMA/SMK) masuk dalam tingkatan masa remaja awal, Ciri Khas masa remaja awal adalah:

  1) Kestabilan keadaan perasaan dan emosi

  2) Hal sikap dan moral paling menonjol menjelang remaja akhir

  (15-17 tahun) 3)

  Memiliki kemampuan mental dan kecerdasan yang mulai sempurna.

  4) Status remaja awal sangat sulit ditentukan

  5) Banyak permasalahan yang dihadapi

6) Masa remaja awal adalah masa yang kritis. (Mapiarre.

  1982:32) 2.

   Pengertian Kenakalan Remaja

  Istilah kenakalan remaja atau Juvenil deliquency secara etimologis dapat dijabarkan bahwa: “Juvenil berarti anak sedangkan deliquency berarti kejahatan. Dengan demikian pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak. Jika menyangkut subyek/pelakunya, maka menjadi Juvenile

  deliquency yang berarti penjahat anak atau anak jahat”.

  (Sudarsono, 2008:10).

  Secara garis besar kenakalan remaja diartikan sebagai perbuatan dan tingkah laku yang merupakan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesusilaan dan menimbulkan persoalan bagi yang lain. Dalam lingkungan sekolah kenakalan remaja adalah sikap yang tercermin dalam perilaku yang dianggap menimbulkan masalah di sekolah dan melanggar aturan sekolah.

  Sedangkan menurut M. Gold dan J. Petronio (Sarwono, 2011:250) mendefiniskan kenakalan remaja (Juvenil Deliquency) adalah

  “Tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman”.

  Masalah kenakalan remaja bukanlah masalah baru untuk diperbincangkan. Masalah ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Perbedaan kenakalan remaja pada setiap masa berbeda dalam versinya karena pengaruh lingkungan kebudayaan dan sikap mental masyarakat pada masanya. Tingkah laku yang baik pada masa sekarang mungkin dianggap nakal oleh masyarakat terdahulu.

  Banyak permasalahan yang timbul pada masa remaja. Menurut intensitasnya, rentang remaja bermasalah dapat digambarkan dalam tiga kategori utama yaitu bermasalah wajar yang berkaitan dengan ciri-ciri masa remaja, bermasalah menengah yang berkaitan dengan tanda-tanda bahayanya, dan bermasalah taraf kuat yang mencakup bermasalah yang pasif dan bermasalah yang agresif.

  Menurut pedoman 8 Bakolak Inpres No 6/1971 dalam Willis (1986:59) kenakalan remaja adalah ’kelainan tingkah laku, perbuatan, atau tindakan remaja yang bersifat asosial bahkan anti sosial yang melanggar norma-norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat’. Sedangkan menurut Dr. Kusumanto (Willis, 1986:59)

  ”Juvenile Deliquency atau kenakalan remaja adalah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syaray-syarat dan pendapat- pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan”.

  Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kenakalan remaja itu ialah tindak perbuatan sebagian remaja yang bertentangan dengan hukum, agama dan norma-norma masyarakat sehingga akibatnya dapat merugikan orang lain, mengganggu ketentraman umum dan juga merusak dirinya sendiri. Kenakalan remaja yang terjadi disekolah terjadi karena pergaulan siswa yang tidak sesuai, menemui kelompok-kelompok teman yang berbeda sifat dan karakter. Setiap siswa dituntut untuk menyesuaikan dirinya, agar bisa diterima dan merasa nyaman dalalam menjalani kehidupannya. Salah satunya dalam lingkungan sekolah, waktu yang dihabiskan remaja sebagian besar adalah disekolah, sifat dan karakter yang remaja baik positif maupun negatif selain dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, dan masyarakat, juga dipengaruhi oleh pergaulan disekolah.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

  Menurut Willis (1986: 61) Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tingkah laku kenakalan remaja antara lain: 1)

  Faktor yang ada dalam diri anak sendiri

  a) Predisposing factor, yaitu faktor kelaianan yang dibawa sejak lahir seperti cacat keturunan fisik maupun psikis b)

  Lemahnya kemampuan pengawasan diri terhadap lingkungan.

  c) Kurangnya kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

  d) Kurang sekali dasar-dasar keagamaan di dalam diri, sehingga sukar mengukur norma luar atau memilih norma yang baik di lingkungan masyarakat. Dengan perkataan lain anak yang demikian amat mudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik.

2) Sebab-sebab kenakalan yang berasal dari lingkungan keluarga.

  a) Anak kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orang tua.

b) Lemahnya keadaan ekonomi orang tua.

  c) Kehidupan keluarga yang tidak harmonis/keluarga broken home

3) Kenakalan remaja yang berasal dari lingkungan masyarakat.

  a) Kurangnya pelaksanaan ajaran-ajaran agama secara konsekuen.

  b) Masyarakat yang kuran memperoleh pendidikan c) Kurangnya pengawasa kepada remaja

  d) Pengaruh norma-norma baru dari luar

  4) Sebab-sebab kenakalan remaja yang bersumber dari sekolah

  a) Faktor guru

  b) Faktor fasilitas pendidikan

  c) Norma-norma pendidikan dan kekompakkan guru

  d) Kekurangan guru

  Untuk melakukan tindakan pencegahan yang tepat perlu dipahami faktor-faktor yang menjadi penyebab kenakalan remaja yang dilakukan siswa. Remaja di dalam pergaulannya memerlukan penyesuaian agar di terima di lingkungannya. Termasuk di dalam lingkungan sekolah, siswa perlu menyesuaikan diri dengan gurunya, mata pelajaannya, teman sebaya dan juga dengan keadaan lingkungan sekolahnya. Menurut Willis (1986: 46) Penyesuaian diri siswa dengan guru :

  1) Penyesuaian ini banyak tergantung kepada sikap guru dalam menghadapi siswa-siswanya. Guru yang banyak memahami tentang perbedaan individual siswa karena itulah guru akan lebih mudah mengadakan pendekatan terhadap berbagai masalah yang dihadapi siswanya. Berarti seorang guru hendaklah memperdalamnya tentang psykologi dan ilmu mendidik, terutama ilmu psykologi remaja. Guru yang datang kesekolah hanya didorong oleh tarikan materi (gaji) tanpa rasa tanggung jawab, biasanya bersikap tak mau tahu tentang permasalahan individu siswanya. Guru seharusnya bersikap bersahabat terhadap siswanya, dengan bersahabat guru akan memperoleh informasi tentang keluhan siswanya, keinginan mereka dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.

  2) Penyesuaian diri terhadap mata pelajaran

  Kurikulum hendaklah disesuaikan dengan umur, tingkat kecerdasan dan kebutuhan siswa. Jika Dengan demikian siswa akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan mata pelajaran yang diberikan kepadanya. Tetapi hal ni juga bergantung dengan guru, yaitu kemampuan menggunakan metode mengajar yang tepat, pemahaman psikologi anak sikap loyal terhadap pendidikan, berwibawa dll. 3)

  Penyesuaian diri terhadap teman sebaya

  Hal ini penting bagi perkembangan siswa, terutama perkembangan sosial. Teman sebaya adalah kelompok anak- anak yang hampir sama umur, kelas dmn motivas pergaulannya. Didalam prgaulan dengan teman sebaya seseorang akan dikritik jika mempunyai sikap yang tidak sesuai dengan dengan nilai-nilai/norma-norma yang ada dalam kelompok tersebut. Penyesuaian diri siswa mutlak perlu, harapannya ketika siswa mendapat kesulitan atau permasalahan dapat diselesaikan dengan jalan yang benar. Apabila permasalahan siswa tidak dapat diselesaikan dikhawatirkan siswa tidak dapat terkendali, dan beralih pada perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan aturan disekolah yang menjurus pada kenakalan siswa. Jensen (Sarwono, 2011:256) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis:

  1) Kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti : perkelahian, perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.

  2) Kenakalan yang menmbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain

  3) Kenakala sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.

  4) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai siswa dengan cara membolos sekolah, melanggar aturan-aturan sekolah.

  Pada usia remaja perilaku-perilaku kenakalan melawan status ini memang belum termasuk perbuatan melanggar hukum, akan tetapi apabila remaja ini kelak menjadi dewasa, pelanggaran status ini apabila berlanjut akan mengarah kepada perilaku kenakalan yang lebih besar di masyarakat nantinya.

D. Peran Guru PKn dalam Mencegah Kenakalan Remaja

  Sasaran utama guru PKn adalah membawa anak didiknya menjadi manusia yang memiliki rasa kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemantri (1976:35) bahwa:

  “Guru PKn harus banyak berusahaagar siswa-siswanya mempunyai siap yang baik, kecerdasan yang tingi, serta ketrampilan yang bermanfaat. Oleh karena itu guru PKn haru dapat memanfaatkan fungsinya sebagai penutun moral, sikap serta memberi dorongan kearah yang lebih baik”.

  Guru PKn dituntut bukan hanya sebagai pemberi materi pelajaran saja, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pembinaan moral dan perilaku yang sesuai dengan nilai, moral dan norma yang berlaku dimasyarakat, sehingga akan terbentuk warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Sehubungan dengan itu guru diharapkan mampu berperan membina moral agar kenakalan-kenakalan siswa yang terjadi di sekolah bisa dicegah. Dalam proses pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas guru PKn diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran, siswa dapat berperilaku sesuai apa yang diharapkan, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab, sehingga kenakalan yang dilakukan siswapun bisa diminimalisir.

  Salah satu peran guru yang dapat meninggkatkan sikap dan perilaku pelajar adalah keteladanan yang baik. Adanya keteladanan yang baik dari guru dapat berpengaruh terhadap pembentukan sikap moral dan perilaku pelajar. Setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang bisa diteladani anak didiknya baik itu dari segi sikap maupun penampilannya. Teladan yang baik dari guru akan menumbuhkan sikap dan perilaku pelajar yang baik dalam pergaulannya dilingkungan sekolah. Akan tumbuh keiasaan-kebiasaan positif dalam diri siswa sehingga siswa akan menghindari perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan-aturan sekolah.

  Pencegahan kenakalan yang dilakukan siswa, guru PKn harus mengadakan pendekatan yang humanistis, demokratis dan bersahabat dengan siswa, sehingga akan lebih efektif dalam mencegah kenakalan remaja di sekolah karena pada usia mereka memerlukan perlakuan dan perhatian khusus dari orang-orang disekitarnya, disini guru PKn diharapkan bisa tampil sebagai seorang sahabat bagi pelajar tetapi tidak menghilangkan kewibawaan sebagai guru.

E. Hasil Penelitian Sebelumnya yang Relevan 1. Hasil Penelitian Rudi Yana Hidayat (2012) dengan Judul Peran Guru PKn dalam Membentuk Karakter Siswa Menjadi Warga Negara yang Baik.

  Masalah disiplin siswa di sekolah memang menjadi prioritas utama dalam rangka menciptakan ketertiban sekolah. Data yang diperoleh yaitu sebelum menerapkan aturan penegakkan disiplin siswa, maka para guru harus terlebih dahulu berperilaku disiplin baik terhadap aturan sekolah maupun dalam mengajar. Sanksi terberat yaitu dikeluarkan dari sekolah cukup mampu mengurangi keterlibatan siswa dalam kegiatan-kegiatan pelanggaran seperti tawuran, keterlibatan dalam penyalahgunaan obat terlarang atau seks bebas.

  Semua guru berusaha menggunakan metode pengajaran yang paling efektif untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa.

  Melalui metode yang digunakan, para guru berkeyakinan dapat juga menyisipkan pendidikan karakter di dalam pembelajarannya kepada siswa. Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMP N 113 Jakarta menggunakan media lembar kerja siswa (LKS). Melalui cara ini guru berkeyakinan para siswa dapat aktif untuk membaca dan mempelajari materi pelajaran dan aktif dalam diskusi. Namun berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti pada kegiatan belajar mengajar (KBM), siswa lebih bersifat pasif dan kegiatan komunikasi antara guru dan siswa lebih bersifat satu arah dari guru kepada siswa.

  Beberapa kendala yang dihadapi guru PKn dalam usaha membentuk karakter warga negara yang baik. Kendala dari siswa, lebih disebabkan karena kondisi kejiwaan siswa yang masih remaja dan bersifat labil, kurangnya keinginan mereka untuk membaca buku pelajaran. Lingkungan masyarakat tidak mencerminkan sikap disiplin, banyak tokoh yang justru tidak memberikan/tidak mempunyai karakter yang baik. Sedangkan kendala dari guru lebih disebabkan karena keterbatasan waktu yang diberikan untuk mengajar serta kurangnya referensi yang dapat dijadikan guru untuk membantu memberikan penjelasan kepada siswa.

  Upaya guru PKn untuk mengatasi kendala dalam pembentuk karakter warga negara yang baik, upaya untuk mengatasi kendala melalui kegiatan, seperti dengan latihan pramuka, kegiatan olah raga, dengan kegiatan tersebut secara tidak langsung akan tertanam nilai-nilai sosial dan sportifitas akan tertanam langsung dalam diri siswa, namun berdasarkan pengamatan walaupun kegiatan ekstrakulikuler diwajibkan masih banyak siswa tidak ikut dalam kegiatan tersebut walaupun mereka telah memilih salah satu ekstrakuler tesebut.

2. Hasil Penelitian yang Dilakukan oleh Rina Sopiah (2009) dengan Judul Pengaruh Mata Pelajaran Pkn Terhadap Perilaku Siswa dalam Bermasyarakat

  Pembinaan perilaku siswa melalui pembelajaran PKn dapat berpengaruh terhadap perilaku siswa dalam meningkatkan sosialisasi dengan lingkungannya, baik itu dalam keharmonisan dengan keluarganya, keakraban dalam pergaulan dengan temannya, dan selalu berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat.

  Perilaku siswa dalam bermasyarakat dapat dipengaruhi dari lingkungan sekitarnya, baik dari keluarga, Sekolah, teman dalam pergaulannya, maupun lingkungan masyarakat tempat tinggalnya.

  Pembinaan perilaku siswa melalui pembelajaran PKn terhadap perilaku bermasyarat mereka dipengaruhi dari lingkungan luar Sekolah.

  Dengan demikian, diharapkan siswa memiliki pengalaman yang berkesinambungan antara aspek yang dipelajari di Sekolah dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa di Sekolah.

3. Hasil Penelitian Nur Iswayanti (2008) dengan Judul Peran Guru

  

Dalam Membentuk Akhlak Mulia pada Murid Sekolah Dasar Al-

Irsyad Al-Islamiyah 02 Purwokerto

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Iswayanti menyimpulkan bahwa pembentukan akhlak mulia dilakukan dengan melalui pembiasaan dan pendidikan dasar yaitu pendidikan aqidah yang bertujuan membentuk aqidah yang lurus. Upaya yang dilakukan guru dalam menapai tujuan tersebut melalui kegiatan belaja mengajar dikelas. Didalam penyampaian materi dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan islam. Tindakan guru juga harus mencerminkan sikap yang sesuai dengan ajaran islam. Faktor pendukung dalam pembentukan akhlak mulia antara lain adanya dukungan dari para orang tua siswa, profil dari guru-gurunya yang memiliki kompetensi yang tinggi terhadap pendidikan, program-program yang relativ cukup berkembang. Sedangkan faktor penghambat dalam proses pembentukan akhlak mulia ini antara lain karena masih adanya orang tua yang tidak searah dengan sistem pembelajaran dan latar belakang orang tua, sehingga kurang adanya kerjasama antara orang tua dengan guru, selain itu banyak program-program kreativitas yang telah direncanakan tetapi sumbr dana masih terbatas.

  Perlu adanya pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai islam, pembiasaan murid untuk selalu berakhlak mulia yaitu sopan santun dalam perilaku dan ucapan, selain itu perlu adanya kerjasama antara orang tua dan guru untu memudahkan pemantauan siswa.