BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) - PENGARUH EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) -

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)

  Tanaman cabai merupakan salah satu komoditi penting yang berasal dari Meksiko (Kusandriani 1996; Suwandi 1996). Menurut Suwandi (1996), tanaman cabai diperkenalkan ke Asia pada abad 16 oleh pengembara Portugis dan Spanyol dari Amerika Selatan dalam perjalanan dagangnya dan menyebar sampai ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

  Menurut Cronquist (1981) cabai merah keriting diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Species : Capsicum annum L.

  Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, di antaranya kalori, protein, lemak, karbohidarat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C. Tanaman cabai merah (C. annum L.), merupakan salah satu komoditi holtikultura yang tergolong tanaman semusim. Tanaman cabai merah keriting dihasilkan dari proses persilangan atau disebut tanaman hibrida (Sastradiharja, 2011).

  5 Cabai merah merupakan herba tegak, 1 tahun atau menahun, sering kuat dan bercabang lebar, tinggi 1-2,5 m. Pada bagian batang yang muda berambut halus.

  Daunnya tersebar 2-3 helai dengan ukuran yang berbeda, panjang tangkai daun 0,5- 2,5 cm dan helaian daunnya berbentuk bulat telur memanjang atau elips bentuk lanset pada bagian pangkal meruncing sedangkan bagian ujungnya runcing. Pada bagian bunganya mengangguk dengan tangkai 10-18 mm. Bunga cabai ini memiliki kelopak yang berusuk berbentuk lonceng, gundul, panjangnya 2-3 mm dan memepunyai 5 gigi. Mahkotanya berbentuk roda, terbagi menjadi 5, tinggi tabung 2 mm, tepian terbentang luas, dengan garis tengah 1,5-2 cm dan taju berbentuk runcing. Selain itu juga memiliki kepala sari yang semula ungu kemudian berubah menjadi hijau perunggu (van Steenis dkk, 2008). Buah cabai merah keriting berwarna hijau pada saat masih muda dan berwarna merah pada saat panen. Permukaan buah rata, licin dan yang sudah matang berwarna cerah mengkilat (Indroprahasto dan Madyasari, 2005). Panjang buah berkisar 9-15 cm, diameternya 1-1,75 cm dan berat bervariasi antara 7,5-15 g/buah. Letak buah menggantung pada percabangan atau ketiak daun (Sastradiharja, 2011).

  Di Indonesia terdapat 14 varietas hibrida cabai merah yang tersebar, salah satu varietasnya adalah TM 999. Varietas ini merupakan golongan hibrida yang memiliki bentuk tanaman tegak dengan tinggi 100-140 cm. Umur tanaman mulai berbunga pada 65 HST dan umur panen 90 HST. Bentuk kanopi bulat, warna batang hijau, warna kelopak bunga hijau, warna tangkai bunga hijau, mahkota berwarna putih, kepala putik putih. Helaian daun 5-6 dengan bentuk buah yang ramping dan ujung runcing, kulit buah mengkilat pada buah muda berwarna hijau tua dan buah tua berwarna merah (Prajnanta, 1991).

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Cabai

  Menurut Setiadi (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan cabai antara lain : persiapan tanam (meliputi tempat pembenihan dan benih), perawatan semaian, dan lokasi budidaya.

  Tanaman cabai baik ditanam pada daerah rendah maupun pegunungan pada akhir musim penghujan/menjelang musim kemarau (Maret-April). Tanaman ini tidak tahan terhadap air hujan dan baik ditanam pada jenis tanah lempung dibandingkan tanah liat. Untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas yang tinggi, cabai menghendaki tanah yang subur, gembur, kaya akan organik, tidak mudah becek (menggenang), bebas cacing (nematoda), dan penyakit tular tanah. Kisaran pH tanah yang baik adalah 5,5-6,8. Tanaman cabai dikenal sebagai tanaman sayuran yang dapat tumbuh pada rentang suhu yang cukup luas, yakni pada kisaran 15-32° C, dengan suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 24-28° C. Selain itu tanaman cabai juga membutuhkan adanya cahaya matahari yang merupakan sumber energi utama bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia dan memiliki pengaruh tidak kalah pentingnya dengan suhu. Pada tanaman cabai pada umumnya cahaya yang dibutuhkan adalah selama 12 jam/hari (Sastradiharja, 2011).

2.1.2 Gangguan atau Kendala pada Tanaman Cabai

  Selain diperlukannya biaya yang besar dan ketelatenan oleh petani, kendala lain yang dihadapi oleh petani dalam budidaya cabai yaitu adanya gangguan penyakit atau hama pada tanaman cabai tersebut (Mujahid, 2012).

  a. Hama yang menyerang pada tanaman cabai Hama yang menyerang pada tanaman cabai yang selama ini petani alami adalah berupa hama trips (Thrips parvispinus karny) dan ulat grayak (Spodoptera

  litura

  F.). Hama thrips sudah tidak asing lagi bagi para petani cabai. Thrips yang menyerang cabai tergolong sebagai pemangsa segala jenis tanaman. Dengan panjang tubuh sekitar ± 1 mm, serangga ini tergolong sangat kecil tetapi masih dapat dilihat dengan mata telanjang. Thrips biasanya menyerang bagian daun muda dan bunga.

  Serangan paling parah biasanya terjadi pada musim kemarau, tetapi tidak menutup kemungkinan pada saat musim hujan bisa juga terjadi serangan. Gejala yang dapat dikenali dari kehadiran hama ini adalah adanya strip-strip pada daun dan berwarna keperakan. Adanya noda keperakan itu tidak lain akibat adanya luka dari cara makan hama thrips. Dalam beberapa waktu kemudian, noda tersebut akan berubah warna menjadi coklat muda. Yang paling membahayakan dari thrips adalah selain dia sebagai hama perusak, juga sebagai carrier atau pembawa bibit penyakit (berupa virus) yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabai. Untuk itu, apabila mampu mengendalikan hama thrips, tidak hanya memberantas dari serangan hama tetapi juga dapat mencegah penyebaran penyakit akibat virus yang dibawanya (Mujahid, 2012).

  Ulat grayak tidak berbeda dengan jenis ulat lain yang juga suka makan daun. Namun keistimewaannya adalah saat memasuki stadium larva, hama ini termasuk hewan yang sangat rakus. Hanya dalam waktu yang tidak lama, daun-daun cabai bisa rusak olehnya. Ulat yang setelah dewasa berubah menjadi sejenis ngengat ini akan memakan daun-daunan pada masa larva untuk menunjang perkembangan metamorfosis-nya. Ulat grayak tidak hanya menyerang tanaman cabai saja melainkan juga tanaman pisang, bawang, pepaya, kentang, padi, kacang dan lain-lain (Semangun, 1994).

  b. Penyakit yang menyerang tanaman cabai Penyakit yang menyerang pada tanaman cabai antara lain penyakit layu bakteri, penyakit bercak daun dan penyakit bercak bakteri. Pada penyakit layu bakteri merupakan penyakit nomor dua setelah antraknosa, diaman penyakit layu ini disebabkan oleh bakteri Pseudomonas colanacearum. Penyakit ini ditandai adanya layu pada tanaman cabe yang mengalami kesembuhan pada waktu sore hari, tetapi lama kelamaan kelayuannya terjadi secara keseluruhan dan menetap. Bakteri ini biasanya ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa tanaman, pengairan, nematoda atau alat-alat pertanian. Selain itu bakteri ini mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah dalam keadaan tidak aktif. Bakteri layu cepat meluas terutama di tanah dataran rendah, gejala kelayuan yang mendadak seringkali tidak bisa diantisipasi. Tanaman yang sehat tiba

  • –tiba saja layu yang dalam waktu tidak sampai 3 hari besoknya langsung mati. Penyakit bercak daun merupakan penyakit yang disebabkan oleh Phytoptora capsici. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak-bercak berupa bulatan seperti cacar pada daun. Bila dibiarkan akan menyebabkan daun-daun cabai gugur sehingga pertumbuhan kurang optimal. Gejala pada daun tersebut ternyata baru serangan awal saja karena bila dibiarkan, akan
menyerang batang, tangkai daun serta tangkai bunga. Seperti halnya layu bakteri, cendawan Cercospora capsici penyebab bercak daun ini dapat bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman. Sedangkan yang terakhir penyakit bercak bakteri ini disebabkan oleh Xanthomonas campetres. Tanaman cabai yang terserang penyakit ini awalnya terlihat memiliki bercak sirkuler berukuran kecil, kemudian timbul bisul berwarna hijau pucat yang ditengahnya melekuk kedalam. Patogen ini menyerang daun, buah, dan batang. Di tempat terserang tampak bintik-bintik berwarna cokelat di tengah dan dikelilingi lingkaran klorosis tidak beraturan. Gejala sangat jelas terlihat di permukaan daun sebelah atas. Di buah, gejala serangan ditandai adanya bercak cokelat (Semangun,1994).

2.1.3 Antraknosa

  Antraknosa merupakan penyakit yang selalu ditemukan dan hampir selalu terjadi di setiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa ini disebabkan oleh jamur

  

Colletotrichum capsici . Penyakit antraknosa atau dalam bahasa Jawanya patek ini

sangat merugikan petani cabai, karena bisa menurunkan hasil panen 20-90 %.

  Penyakit ini dapat berkembang dengan pesat apabila kelembaban udara cukup tinggi yaitu lebih dari 80 % RH dengan suhu 32 C, apalagi jika terpacu lahan budidaya yang terdapat banyak gulma. Selain menyebabkan penurunan hasil, penyakit ini juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen. Penurunan hasil akibat antraknosa dapat mencapai 50 % atau lebih (Amilin, et al., 1995 dan Semangun, 2004).

  Nurhayati (2006), menyatakan bahwa untuk mengatasi antraknosa telah digunakan fungisida yang alami antara lain dengan menggunakan ekstrak daun sirih, kulit jeruk, daun nimba, brotowali dan biji jarak.

Gambar 2.1 Cabai yang terserang antrakosa a.

   Klasifikasi Colletotrichum capsici

  Penyakit antraknosa pada tanaman cabai (C. capsici) merupakan penyakit yang menjadi kendala utama dalam usaha budidaya cabai. Klasifikasi jamur C. capsici pada tanaman cabai (C. annum) menurut Singh (1998), diklasifikasikan sebagai berikut :

  Kingdom: Fungi Divisio : Aschomycotina Classis : Pyrenomycetes Ordo : Sphaeriales Famili : Polystigmataceae Genus : Colletotrichum Spesies : C. capsici

  

C. capsici sebagai patogen penyakit antraknosa dapat menyerang pada setiap

  bagian tanaman. Serangan pada batang dan daun tidak menimbulkan masalah yang berarti bagi tanaman, tetapi dari bagian inilah penyakit dapat berkembang ke buah dan menimbulkan masalah yang sangat serius. Buah yang terserang akan menimbulkan gejala bercak bewarna hitam dan dapat berkembang menjadi busuk lunak. Serangan yang berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering, keriput dan buah menjadi rontok ke tanah (Semangun, 1994).

b. Morfologi Colletotrichum capsici

   C. capsici semula disebut Colletotrichum nigrum yang diduga juga sama

  dengan Vermicularia capsici. Jamur ini mempunyai banyak aservulus, tersebar di wilayah kutikula atau pada permukaan, garis tengahnya sampai 100 µ m, berwarna hitam dengan mempunyai banyak seta. Setanya berwarna coklat tua, mempunyai sekat, kaku, dan bentuknya meruncing ke atas dengan ukuran 75 - 100x2-6,2 µ m. Konidium hialain, berbentuk tabung (silindris), 18,6 -25,0 x 3,5-5,3 µ m, ujung-ujungnya tumpul atau bengkok seperti sabit. Jamur membentuk banyak sklerotium dalam jaringan tanaman sakit atau dalam medium biakan (Semangun, 1994).

c. Siklus Hidup

  Siklus hidup dari jamur C. capsici yang terdapat pada tanaman Cabai (Capsicum

  

annum L.) yaitu berawal dari buah masuk menginfeksi biji. Pada umumnya jamur

  ini menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah yang sakit. Jamur ini juga menyerang daun dan batang, hingga buah tanaman dan dapat mempertahankan dirinya dalam sisa-sisa tanaman sakit. Kemudian konidium dari jamur ini akan disebarkan oleh angin (Semangun, 1994).

d. Gejala Serangan

  Gejala serangan yang ditimbulkan oleh jamur C. capsici yang terdapat pada tanaman cabai yaitu mula-mula berbentuk bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap (Semangun, 1994).

2.2 Fungisida

  Fungisida adalah zat kimia yang digunakan untuk mengendalikan cendawan (fungi). Fungisida umumnya dibagi menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi, yakni fungisida nonsistemik, sistemik, dan sistemik local.

  Pada fungisida, terutama fungisida sistemik dan non sistemik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan aktifitas fungisida terhadap jasad sasarannya.

  Fungisida nonsistemik tidak dapat diserap dan ditranslokasikan didalam jaringan tanaman. Fungisida nonsistemik hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan tanaman (Chaube, 2006).

  Fungisida sistemik diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya melalui pembuluh angkut maupun melalui jalur simplas (melalui dalam sel). Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Bahan aktif hanya akan terserap ke sel-sel jaringan yang tidak terlalu dalam dan tidak sampai masuk hingga pembuluh angkut (Chaube, 2006).

  Penggunaan fungisida yang berbahan dasar kimia, selama ini telah banyak digunakan oleh para petani cabai. Hasilnya memuaskan namun fugsisida sistemik dan nonsistemik ini harganya relatif mahal dan berdampak buruk bagi lingkungan. Biofungisida bersifat ramah lingkungan sehingga aman bagi lingkungan, manusia dan hewan karena tidak menyisakan residu bahan kimia yang berbahaya di dalam tanah, sangat baik untuk pertanian organik (Prapagdee et al., 2008).

  Ekstrak tumbuhan dapat digunakan sebagai biofungisida. Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, teroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin yang bersifat toksik pada dosis tinggi (Lenny, 2006). Minyak atsiri dari beberapa tumbuhan bersifat aktif sebagai antibakteri dan anti jamur (Yuharmen et al., 2002). Hasil penelitian menunjukkan beberapa ekstrak tumbuhan dapat mengontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur dan memberikan efek penghambatan perkecambahan spora jamur (Alam

  

et al., 2002). Tanaman yang sudah banyak digunakan sebagai fungisida alami antara

  lain daun nimba, daun sirkaya, daun/buah mengkudu, bawang merah, daun/buah sirsak, kecubung, daun kemangi, rimpang lengkuas. Ekstrak lengkuas diketahui mampu menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus spp (Purwoko dan Soesanti, 2008). Penelitian Sundari dan Winarno (2000) menunjukkan bahwa infus ekstrak etanol rimpang lengkuas yang berisi minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen yaitu Tricophyton, Microsporum gypseum, dan Epidermo flocassum.

2.4 Lengkuas (Alpinia galanga L.)

2.4.1 Deskripsi Lengkuas (Alpinia galanga L.)

  Klasifikasi tanaman lengkuas berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan menurut Conqruist (1981) adalah : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Alpinia Jenis : Alpinia galanga. L.

Gambar 2.2 Rimpang lengkuas

  Rimpang lengkuas berukuran besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris, diameter 2-4 cm, dan bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat, mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya berwarna putih. Daging rimpang yang sudah tua berserat kasar. Apabila dikeringkan, rimpang berubah menjadi agak kehijauan dan seratnya menjadi keras dan liat (Abuanjeli, 2010).

  Bentuk batang lengkuas tegak, tersusun oleh pelepah-pelepah daun yang bersatu membentuk batang semu, berwarna hijau agak keputih-putihan. Batang muda keluar sebagai tunas dari pangkal batang tua (Abuanjeli, 2010).

  Daun tunggal berwarna hijau, bertangkai pendek tersusun berseling. Daun disebelah bawah dan atas biasanya lebih kecil daripada yang ditengah. Bentuk daun lanset memanjang dan ujungnya runcing, pangkal tumpul dengan tepi daun rata. Pertulangan daun menyirip, panjang daun sekitar 20-60 cm, dan lebarnya 4-15 cm. Pelepah daun kira-kira 15-30 cm, beralur dan berwarna hijau (Abuanjeli, 2010).

  Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk lonceng, berbau harum, berwarna putih kehijauan atau putih kekuningan. Ukuran perbungaan kurang lebih 10-30 cm x 5-7 cm. Jumlah bunga dibagian bawah tandan lebih banyak daripada di bagian atas, panjang bibir bunga 2,5 cm, berwarna putih dengan garis miring warna merah muda pada tiap sisi. Mahkota bunga yang masih kuncup pada bagian ujungnya berwarna putih, sedangkan pangkalnya berwarna hijau (Abuanjeli, 2010).

  Buahnya merupakan buah buni, berbentuk bulat, keras, ketika muda berwarna hijau-kuning, setelah tua berubah menjadi hitam kecoklatan, berdiameter ± 1 cm.

  Ada juga yang buahnya berwarna merah, bijinya kecil-kecil berbentuk lonjong dan berwarna hitam (Sinaga, 2000.

2.4.2 Kandungan Kimia Lengkuas

  Lengkuas dikenal mengandung senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid dan fenol. Pada golongan terpenoid senyawa yang terkandung kurang lebih 1% minyak atsiri berwarna kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48%, sineol 20%-30%, eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen dan s-pinen (Mc Vicar, 1994).

  Terpenoid dikenal sebagai kelompok utama pada tanaman sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C

  5 H 8 )n atau dengan satu unit

  isopren. Jumlah n menunjukkan klasifikai pada terpenoid yang dikenal dengan monoterpen, seskwiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen dan politerpen. Struktur terpenoid ada yang berbentuk siklik dan ada yang tidak (Wallis, 1981).

  Kandungan kimia utama dari rimpang lengkuas adalah fenol yang merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang umumnya ditemukan didalam vakuola sel.

  Senyawa fenol memiliki beberapa sifat antara lain mudah larut dalam air, cepat membentuk kompleks dengan protein dan sangat peka terhadap oksidasi enzim.

  Komponen bioaktif pada golongan Zingiberaceae golongan fenol yang terbanyak adalah jenis flavonoid yang merupakan golongan febolik terbesar. Pada golongan flavonoid dikenal golongan flavonol. Komponen flavonol yang banyak tersebar pada tanaman misalnya yang terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuerstin, dan mirisetin. Salah satu golongan flavonoid adalah kalkon. Kalkon adalah komponen yang berwarna kuning terang. Komponen lainnya yang ditemukan pada

  

Alpinia adalah flavonon. Komponen flavonon dan dihidroflavonol dikenal sebagai

  senyawa yang bersifat fungistatik dan fungisida dan yang terdapat pada tumbuhan

  

Alpinia dan Kaempferia dari golongan Zingiberaceae adalah alpinetin (Hezmela,

2006).

  4.2.3 Penggunaan Lengkuas

  Tanaman lengkuas dikenal sebagai tanaman penghasil bahan pewangi dan penambah flavor masakan. Rimpang yang muda dan segar dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan masakan. Rimpang lengkuas yang berwarna putih pemanfaatanya banyak digunakan pada bidang pangan. Rimpang lengkuas selama ini dikenal sebagai pengempuk daging dalam masakan dan digunakan sebagai salah satu rempah bagi berbagai jenis bumbu masakan tradiional Indonesia (Heyne, 1987).

  Lengkuas yang biasanya digunakan untuk pengobatan untuk pengobatan adalah jenis lengkuas merah. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lainnya disebutkan, lengkuas merah mempunyai sifat antijamur dan antikembung. Efek farmakologi ini umumnya diperoleh dari rimpang yang mengandung basonin, eugenol, galangan dan galangol. Basonin dikenal memiliki efek merangsang semangat, eugenol sebagai antijamur C. albicans, antikejang, analgetik, dan anastetik, galangan meredakan rasa lelah, meredakan rasa lelah dan antimutagenik, sementara galangol dapat merangsang semangat dan menghangatkan tubuh. Khasiat rimpang lengkuas juga sudah dibuktikan secara ilmiah melalui berbagai penelitian sebagai antijamur, terutama pada penyakit kulit seperti panu (Hezmela, 2006). Ekstrak lengkuas diketahui mampu menghambat pertumbuhan koloni kapang dermatofit pada kelinci (Gholib dan Kusumaningtyas, 2007). Penelitian lain oleh Soesanti dan Purwoko (2008) yaitu ekstrak rimpang lengkuas yang mampu menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus sp.

  2.4.3 Pengujian Aktifitas Antijamur

  Pengujian aktivitas antijamur merupakan cara untuk menentukan kerentanan jamur terhadap suatu zat antijamur. Beberapa faktor yang mempengaruhi aktifitas antijamur secara in vitro antara lain adalah pH lingkungan, komponen media, stabilitas zat antijamur, ukuran inokulum, masa inkubasi, dan aktivitas metabolisme mikroorganisme (Asmaedy, 1991). Menurut Ganiswara (1995), metode pengujian aktivitas antijamur in vitro berdasarkan prinsipnya dibagi menjadi : a. Metode Difusi

  Pada metode difusi, zat anti jamur ditentukan aktifitasnya berdasarkan kemampuan berdifusi pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji.

  Dasar pengamatannya adalah dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan (daerah bening yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan jamur) yang terbentuk disekeliling zat antijamur. Metode ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara cakram dan sumur (Ganiswara, 1995).

  1) Cara cakram (disc) Pada cara ini dipergunakan cakram kertas aring yang mengandung suatu zat anti jamur dengan kekuatan tertentu yang diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37% C selama 7 sampai 14 hari. Pengamatan dilakukan terhadap daerah bening yang tebentuk disekeliling kertas cakram yang menunjukkan zona hambatan pertumbuhan jamur (Ganiswara, 1995).

  2) Cara sumur Pada cara ini dipergunakan cakram kertas saring yang mengandung suatu zat antijamur dengan kekuatan tertentu yang diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37° C selama 7 samapi 14 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling sumur (Ganiswara, 1995).

  b. Metode Dilusi Pada metode ini zat antijamur dicampur dengan media agar yang kemudian diinokulasi dengan jamur uji. Pengamatan dilakukan dengan melihat tumbuh atau tidaknya jamur dalam media. Aktifitas zat antijamur ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat minimum (KHM), yaitu konsentrasi hambatan terkecil dari zat antijamur yang dapat menghambat pertumbuhan jamur uji. Metode ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara penipisan lempeng agar dan pengenceran tabung.

  1) Cara penipisan lempeng agar Pada cara ini, zat uji diencerkan sehingga diperoleh suatu larutan uji yang mengandung 100µg/ml, larutan ini sebagai larutan sediaan. Dari larutan sediaan dibuat secara serial penipisan larutan uji dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam media agar yang masih cair, kemudian dituang ke dalam cawan petri. Jamur uji diinokulasikan setelah agar membeku dan kering. Zat diinkubasi pada suhu 37% C selama 7 sampai 14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM (Ganiswara, 1995).

  2) Cara pengenceran tabung

  Prinsip dari cara ini adalah penghambatan pertumbuhan jamur dalam pembenihan cair oleh suatu zat antijamur yang dicampur ke dalam pembenihan. Zat uji diencerkan secara serial dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam media cair, kemudian diinokulasi dengan jamur uji dan diinkubasi pada suhu 37° C selama 7 sampai 14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM (Ganiswara, 1995).

Dokumen yang terkait

Uji Virus Mosaik Ketimun-Satelit RNA-5 Dalam Memproteksi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)

0 23 12

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA ISOLAT KHAMIR DAN BAHAN PEMBAWA TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annum L.)

0 5 2

RUH PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA DENGAN ISOLAT KHAMIR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annum L.)

0 4 2

PENGARUH BERBAGAI TINGKAT FRAKSI EKSTRAK DAUN MENGKUDU (Morinda citrifolia L) TERHADAP PERTUMBUHAN Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annum L) SECARA IN VITRO

3 20 39

KETAHANAN KULTIVAR CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

1 20 32

PENGARUH BERBAGAI TINGKAT FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle L.) dan DAUN BABADOTAN (Ageratum conyzoides) TERHADAP Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annum L.) SECARA IN VITRO

1 12 32

KETAHANAN KULTIVAR CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

8 110 31

PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN NIMBA ( Azadirachta indica A.) DAN DAUN JARAK ( Jatropha curcas L.) TERHADAP DIAMETER KOLONI DAN JUMLAH SPORA JAMUR Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI ( Capsicum annum L.)

1 22 38

PENGARUH APLIKASI BIOFERTILIZER TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DAN CABAI KERITING (Capsicum annum L.) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14

PENGARUH EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle) TERHADAP PERTUMBUHAN Colletotrichum capsici PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annum L.) ASAL DESA MANIMBAHOI KABUPATEN GOWA

0 0 79