KETAHANAN KULTIVAR CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

(1)

(2)

ABSTRAK

KETAHANAN KULTIVAR CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby

PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

Oleh Theodora Engko

Cabai merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan karena mengandung kapsidiol, vitamin A, dan vitamin C. Salah satu kendala menurunnya produksi cabai adalah adanya penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici(Syd.) Butler &Bisby.

Biasanya antraknosa menyerang daun tanaman cabai, namun dapat pula menyerang buah tanaman cabai. Cara yang paling mudah untuk mengendalikan penyakit ini adalah dengan penggunaan atau penanaman kultivar-kultivar yang resisten (tahan) terhadap jamur C. capsici(Syd.) Butler &Bisby, karena menggunakan sedikit biaya dan tenaga kerja.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kultivar cabai rawit (Capsicum frutescent L.) yang tahan terhadap jamur C. capsici (Syd.) Butler & Bisby penyebab penyakit antraknosa. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung, pada bulan September 2012-bulan Januari 2013. Rancangan percobaan yang digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu 3 kultivar cabai (cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit jemprit), dengan ulangan sebanyak 9 kali. Dilakukan analisis ragam, apabila terjadi perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah Awal Munculnya Gejala, Intensitas Serangan, dan Tinggi Tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultivar cabai rawit jengki (C2) lebih resisten terhadap jamur C.capsici (Syd.) Butler &Bisby penyebab antraknosa dibandingkan dengan kultivar cabai rawit putih (C1) dan kultivar cabai rawit jemprit (C3).


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Pemikiran ... 5

E. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)... 8

1. Iklim ... 11

2. Tanah... 12

3. Air ... 12

4. Faktor Biotik ... 12

B. Penyakit Antraknosa ... 12

C. Pengendalian Penyakit Antraknosa ... 16

III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

B. Alat dan Bahan ... 17

C. Pelaksanaan Penelitian ... 18

1. Pembuatan Media Potato Dexstrose (PDA)…... 18

2. Pembuatan Biakan Murni Jamur C. capsici (Syd.)Butler&Bisby ………... 18

3. Pembuatan Suspensi Konidia Jamur………. 19

4. Penyemaian Benih…... 19


(6)

1. Awal Munculnya Gejala………... 20 2. Intensitas Serangan pada Tanaman Cabai Rawit

(Capsicum frutescent L.)………... 21 3. Tinggi Tanaman Cabai Rawit

(Capsicum frutescent L.)………... 22 E. Analisis Data... 22

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan... 23 1. Awal Munculnya Gejala Jamur

C. capsici (Syd.) Butler & Bisby... 23 2. Intensitas Serangan Jamur

C. capsici (Syd.) Butler & Bisby... 25 3. Tinggi Tanaman Cabai Rawit

(Capsicum frutescent L.)... 27 B. Pembahasan... 32

1. Awal Munculnya Gejala Jamur

C. capsici (Syd.) Butler & Bisby... 32 2. Intensitas Serangan Jamur

C. capsici (Syd.) Butler & Bisby... 33 3. Tinggi Tanaman Cabai Rawit

(Capsicum frutescent L.)... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 38 B. Saran... 38

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak

dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang tinggi dan memiliki beberapa manfaat kesehatan. Salah satunya berfungsi dalam mengendalikan kanker karena mengandung lasparaginase dan capcaicin. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung (Prajnanta, 2001). Selain sebagai bumbu masak, buah cabai juga digunakan sebagai bahan campuran industri makanandan untuk peternakan (Setiadi, 2000).

Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung kapsidiol, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari (Prajnanta, 2001).


(8)

Hingga kini telah dikenal lebih dari 12 jenis cabai. Namun demikian, yang paling banyak dibududayakan oleh petani hanya beberapa saja, yakni : cabai rawit, cabai merah, paprika, dan cabai hias. Cabai rawit terdiri dari cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit jemprit (Tjahjadi, 1991).

Usaha bercocok tanam cabai masih sangat menguntungkan bagi masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan cabai tercatat pada kisaran 3kg/kapita/tahun. Apabila jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta, berarti per tahunnya dibutuhkan sebanyak 750.000 ton (Warisno dan Dahana, 2010). Pada tahun 2009 produksi cabai di Indonesia mencapai 7,04 ton/ha, sedangkan pada tahun 2010 produksi cabai di Indonesia mencapai 3,83 ton/ha (BPS, 2011). Salah satu kendala menurunnya produksi cabai adalah adanya gangguan penyakit yang dapat menyerang sejak tanaman disemaikan sampai tanaman dipanen. Gangguan penyakit pada tanaman cabai sangat kompleks, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Bahkan dapat

menyebabkan kerugian yang cukup besar (Duriat, dkk. 2009).

Hal yang dapat menyebabkan kerugian langsung pada petani, antara lainadanya penyakit yang dapat mengurangi kuantitas dan kualitas hasil, peningkatan biaya produksi, dan mengurangi kemampuan usaha tani (Semangun, 1996).


(9)

Penyakit antraknosa adalah penyakit yang sering menyerang tanaman cabai. Salah satu penyebab penyakit antraknosa adalah jamur Colletotrichum capsici(Syd.) Butler &Bisby. Biasanya antraknosa menyerang daun tanaman cabai, namun dapat pula menyerang buah tanaman cabai (Warisno dan Dahana, 2010).Gejala pada daun berupa klorosis, dan berupa bercak kecil berwarna putih dan lama-lama tumbuh membesar. Adapun gejala pada buah berupa bercak kecil yang selanjutnya dapat tumbuh lebih besar. Bercak yang terbentuk umumnya melekuk atau agak cekung, dan dimulai dari

terbentuknya aservulus jamur yang berwarna hitam pada bagian tengah yang biasanya membentuk lingkaran yang berlapis (Martoredjo, 2009).

Serangan antraknosa dapat terjadi kapan saja. Namun serangan terhebat terjadi ketika curah hujan mulai meninggi, sedangkan saat musim kering, penyakit antraknosa jarang ditemukan. Antraknosa dapat dikendalikan dengan menanam kultivar tanaman cabai rawit yang tahan terhadap penyakit antraknosa.

Bagipetani cara yang paling mudah untuk mengendalikan penyakit

antraknosa adalah dengan penggunaan atau penanaman kultivar-kultivar yang resisten (tahan), sebab dengan cara ini petani tidak banyak menyediakan penambahan (ekstra) biaya, serta tenaga kerja untuk mengendalikan penyakitantraknosa (Djafarudin, 2000).


(10)

Banyak macam penyakit yang tidak dapat dikendalikan dengan cara-cara lain, dan hanya dapat dikendalikan dengan hasil yang memuaskan setelah

didapatkannya jenis-jenis tanaman yang tahan terhadap penyakit. Ketahanan suatu kultivar dapat diperoleh dengan seleksi massa, berikut dengan inokulasi serta seleksi alam yang berat ataupun inokulasi buatan (Djafarudin, 2000).

Dipandang dari sudut ekonomi, cara dengan menanam kultivar yang tahan adalah penghematan tenaga dan biaya untuk pengendalian serta pengurangan kerugian atau resiko berkurangnya produksi, sehingga pemakaian jenis yang tahan terhadap penyakit adalah cara yang paling baik (Djafarudin, 2000).

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang

ketahanan tanaman dalam upaya memperoleh kultivar cabai rawit yang tahan terhadap jamur C. capsici (Syd.) Butler & Bisby penyebab penyakit

antraknosa, sehingga membantu para petani untuk meningkatkan hasil produksi cabai rawit.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuikultivar cabai rawit yang tahan terhadap jamur C. capsici (Syd.) Butler & Bisby penyebab penyakit


(11)

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bisamendapatkan kultivar tanaman cabai rawit yang tahan terhadap jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby penyebab

penyakit antraknosa, sehingga membantu para petani mendapatkan kualitas cabai rawit yang baik guna meningkatkan produksi cabai rawit.

D. Kerangka Pemikiran

Cabai merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, biasanya risiko kegagalan dari tanaman tersebut juga tinggi. Demikian juga halnya dengan tanaman cabai, beberapa hama atau patogen dapat menggagalkan hasil panen. Kadang-kadang gangguan alam (hujan) juga dapat menggagalkan panen.

Masalah yang sering dihadapi dalam budidaya tanaman cabai , diantaranya adalah menurunnya mutu cabai, yang disebabkan oleh penyakit

tanaman.Antraknosa adalah penyakit yang umum dijumpai pada tanaman cabai, penyakit ini merupakan penyakit yang penting pada pertanaman

cabai.Tingkat serangan yang berat menyebabkan kegagalan panen buah cabai. Salah satu penyebab penyakit ini adalah C. capsici (Syd.) Butler &Bisby. Gejala antraknosapada daun berupa klorosis dan bercak-bercak putih yang kemudian meluas, sedangkan gejala buah mula-mula berupa bercak cokelat kehitaman, meluas dan kemudian menyebabkan buah busuk dan lunak. Terlihat titik-titik hitam yang terdiri dari seta dan konidia pada pusat bercak.


(12)

Serangan berat menyebabkan buah cabai menjadi kering, mengkerut, dan berwarna coklat.

Untuk mengendalikan penyakit antraknosa tersebut diperlukan kultivar tanaman cabai rawit yang tahan terhadap penyakit antraknosa, dengan cara menanam kultivar yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Penanaman kultivar yang tahan terhadap serangan antraknosa dapat menghemat tenaga dan biaya untuk pengendalian serta pengurangan kerugian atau resiko berkurangnya hasilsehingga pemakaian jenis yang tahan adalah cara yang paling baik

Kultivar cabai rawit yang digunakan pada penelitian ini adalah cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit jemprit. Masing-masing dari kultivar tersebut memiliki keistimewaan. Kultivar cabai rawit putih memiliki pertumbuhan yang cepat, sedangkan kultivar cabai rawit jengki memiliki kapsidiol yang terakumulasi dengan baik, dan kultivar cabai rawit jemprit dapat menahan serangan jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby tetapi tidak dapat menekan pertumbuhan jamur tersebut karena kapsidiol tidak

terakumulasi dengan baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Maryono (2011), sudah dilakukan uji ketahanan kultivar cabai dengan menggunakan mulsa plastik, namun belum banyak penelitian yang ada di Lampung dengan menggunakan beberapa kultivar cabai rawit yang tahan terhadap serangan antraknosa. Untuk itu


(13)

perlu dilakukan penelitian ini agar dapat membantu para petani meningkatkan produksi tanaman cabai.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat kultivar cabai rawit yang tahan terhadap jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisbypenyebab penyakit antraknosa.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensL.)

Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman cabai rawit adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Anak Kelas : Asteridae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae Marga : Capsicum

Jenis : Capsicum frutescent L.

Tinggi tanaman cabai 50-150cm, batang pokok yang tua berkayu. Cabai rawit termasuk berumur panjang (perennial) dapat hidup 2-3 tahun, asal dipelihara dengan baik dan unsur hara tercukupi. Daunnya bulat telur, dasarnya lebih lebar, ujung menyempit dan meruncing, warna daun hijau muda, permukaan bawah berbulu, lebar 0,5-5 cm, panjang 1-10 cm, panjang tangkai 0,5-3,5 cm (Pracaya, 1994).


(15)

Bunganya kecil, terletak pada ujung ranting, jumlahnya satu atau dua kadang-kadang lebih. Tangkai bunga tegak, panjangnya 1,5-2,5 cm, warnanya hijau muda. Kelopak bunga kecil, berbentuk bintang sudut 5, warnanya hijau kekuningan. Mahkota bunga warna kuning-kehijauan atau kekuningan, garis tengah 0,5-1 cm, bentuk bintang bersudut 5-6. Benangsari 5 buah, tegak, warna kepala sari ungu (Pracaya, 1994).

Buah cabai rawit kecil, berbentuk kerucut, ujung runcing, tegak, dan

tangkainya panjang; panjang buah 1-3 cm, garis tengah 0,3-1 cm, bila masak warnanya merah cerah, oranye atau putih kekuningan, mengkilat (Pracaya, 1994).

Cabai rawit dapat ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi, tergantung dari kultivarnya. Tanah yang cocok untuk tanaman cabai adalah tanah yang gembur dan subur. Apabila ditanam di tempat yang kurang cocok, cabai mudah sekali terserang hama dan penyakit. Penyakit yang merugikan misalnya penyakit akar, penyakit bercak daun, penyakit antraknosa, dan lain-lain (Pracaya, 1994).

Hingga kini telah dikenal lebih dari 12 jenis cabai. Namun demikian, yang paling banyak dibududayakan oleh petani hanya beberapa saja, yakni : cabai rawit, cabai merah, paprika, dan cabai hias. Menurut Tjahjadi (1991), cabai rawit terdiri dari cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit


(16)

jemprit(Gambar 1, 2, dan 3).Buah tanaman cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit jemprit dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Cabai Rawit Putih

Gambar 2. Cabai Rawit Jengki


(17)

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan tanaman cabai. Faktor- faktor tersebut antara lain: iklim, tanah, air, dan faktor biotik seperti gangguan hama dan patogen, serta tumbuhan pengganggu.

1. Iklim

Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai meliputi sinar matahari, curah hujan, kelembaban, suhu udara, angin, dan penguapan. Tanaman cabai sangat memerlukan sinar matahari, apabila kurang mendapat sinar matahari di persemaian atau pada awal

pertumbuhannnya, tanaman cabai akan mengalami etiolasi, jumlah cabang sedikit dan akibatnya buah cabai yang dihasilkan akan berkurang, karena bunga cabai akan muncul dari setiap cabang (Tjahjadi, 1991). Cahaya matahari penting bagi tanaman untuk fotosintesis, pembentukan bunga, serta pembentukan dan pemasakan buah cabai (Prajnanta, 2001).

Curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan kegagalan panen. Buah-buah muda yang tertimpa hujan terus-menerus juga akan rontok. Tanaman cabai dapat tumbuh dengan baik di daerah yang mempunyai kelembaban udara yang tinggi sampai sedang. Suhu rata-rata yang baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai antara 18-30oC. Angin yang bertiup cukup keras akanmerusak tanaman cabai, karena akan mematahkan ranting, menggugurkan bunga dan buah, bahkan dapat merobohkan tanaman. Penguapan yang tinggi dapat menyebabkan produksi cabai menurun (Tjahjadi, 1991).


(18)

2. Tanah

Tanaman cabai tidak memerlukan struktur tanah yang khusus, tapi banyak mengandung bahan organik, baik dari jenis tanah liat atau tanah pasir, sangat baik untuk pertumbuhan tanaman. Penambahan bahan organik, seperti pupuk kandang atau kompos, sangat baik untuk tanaman cabai (Tjahjadi, 1991).

3. Air

Peranan air sangat penting dalam proses fotosintesis dan proses respirasi. Air berfungsi mengisi cairan tubuh tanaman, dan sebagai pelarut unsur hara yang terdapat di dalam tanah (Prajnanta, 2001).

4. Faktor Biotik

Selain faktor-faktor abiotik di atas, yang perlu diperhatikan juga adalah faktor biotik. Hama, patogen, dan gulma adalah faktor biotik yang sering menggagalkan panen cabai (Tjahjadi, 1991).

B. Penyakit Antraknosa

Di Indonesia berbagai jenis hama, penyakit, dan gulma juga tak kalah

pentingnya, yang senantiasa mengganggu produksi pertanian. Masalah hama, penyakit, dan gulma tidak hanya menurunkan produksi, tetapi juga

menyebabkan produksi tidak mantap. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama dan penyakit tidak saja mempengaruhi petani secara perorangan, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri, maupun untuk dijual, tetapi juga


(19)

mempengaruhi persediaan makanan, ekonomi nasional, dan ekonomi dunia (Djafarudin, 2000).

Penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai adalah jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby, C. Gloeosporioides (Penz.) Sacc.danGloeosporium piperatumEll. et. Ev. (Semangun, 2000). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia di mana ada tanaman cabai. Penyakit ini biasa timbul di lapangan ataupun pada buah cabai yang sudah dipanen (Pracaya, 1994).

Penyakit antraknosa yang menyerang buah muda atau masak, akan

menimbulkan bercak-bercak pada buah, dan bercak ini kian lama akan kian melebar. Pada akhirnya, seluruh buah akan dipenuhi bercak tersebut dan lama-lama buah akan mengerut, mengering, warna buah berubah menjadi kehitaman, dan membusuk. Jika menyerang bagian tanaman yang lain, biasanya dimulai dari bagian ujung atau pucuk tanaman. Sebagaimana pada buah, serangan awal hanya timbul bercak kecil, lama-lama akan melebar ke bawah dan akhirnya meliputi seluruh bagian tanaman yang lain. Mula-mula bagian cabang yang diserang lebih awal akan mati dulu, kemudian disusul oleh bagian yang lain. Akhirnya seluruh bagian tanaman akan mati (Setiadi, 1992).

Jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby mula-mula pada buah cabai yang sudah masak kelihatan bercak kecil cekung yang berkembang sangat cepat, garis tengah bisa mencapai 3-4 cm pada buah yang besar. Bercak cekung ini


(20)

berwarna merah-tua sampai coklat-muda. Buah berubah menjadi busuk-lunak, mula-mula berwarna merah kemudian menjadi coklat-muda seperti jerami (Pracaya, 1994).

Klasifikasi jamur C.capsici (Syd.) Butler &Bisby menurut Alexopoulus and Mims (1979) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Myceteae

Divisi : Amastigomycota Anak Divisi : Mycotina

Kelas : Deuteromycotina Anak Kelas : Coelomycetidae Bangsa : Melanconiales Suku : Melanconiaceae Marga : Colletotrichum

Jenis : Colletotrichumcapsici (Syd.) Butler &Bisby

Siklus hidup dari jamur C.capsici (Syd.) Butler &Bisbyyang terdapat pada tanaman cabai yaitu berawal dari buah masuk menginfeksi biji. Jamur ini umumnya menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah yang sakit. Jamur ini juga menyerang daun dan batang, hingga buah tanaman dan dapat mempertahankan dirinya dalam sisa-sisa tanaman sakit. Kemudian konidium dari jamur ini akan disebarkan oleh angin (Anonim, 2009).

Gejala adalah perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh tumbuhan itu sendiri, sebagai akibat dari adanya penyebab penyakit (Semangun,


(21)

1996).Gejala serangan yang ditimbulkan oleh jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby yang terdapat pada tanaman cabai yaitu mula-mula berbentuk bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap.

Jika cuaca kering, serangan jamur C.capsici (Syd.) Butler &Bisby hanya membentuk bercak kecil yang tidak meluas. Bila kondisi kelembaban udara tinggi, serangan jamur C.capsici (Syd.) Butler &Bisbyakan berkembang cepat. Apabila serangan telah masuk ke dalam stadium yang dapat dikatakan berat, maka seluruh buah akan mengering dan mengkerut, dan buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami (Semangun, 2000).

Gambar 4. Buah Cabai yang terserang penyakit antraknosa akibat infeksi jamur C. capsici (Syd.) Butler & Bisby(Sumber : Anonim b, 2011).


(22)

C. Pengendalian Penyakit Antraknosa

Penyakit terpenting yang menyerang tanaman di Indonesia adalah penyakit Antraknosa karena dapat menyebabkan kerusakan sejak dari persemaian sampai tanaman berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak (Syamsudin, 2002).

Cara yang paling mudah untuk mengendalikan penyakit di lapangan adalah dengan penggunaan atau penanaman kultivar-kultivar yang resisten (tahan), sebab dengan cara ini petani cabai tidak banyak menyediakan penambahan (ekstra) biaya, serta tenaga kerja untuk mengendalikan penyakit pada cabai. Banyak macam penyakit yang tidak dapat dikendalikan dengan cara-cara lain, dan hanya dapat dikendalikan dengan hasil yang memuaskan setelah

didapatkannya jenis-jenis tanaman yang tahan. Ketahanan suatu kultivar dapat diperoleh dengan seleksi massa, berikut dengan inokulasi serta seleksi alam yang berat ataupun inokulasi buatan (Djafarudin, 2000).

Dipandang dari sudut ekonomi, cara dengan menanam kultivar yang tahan adalah penghematan tenaga dan biaya untuk pengendalian serta pengurangan kerugian atau resiko berkurangnya hasil, kalau sekiranya terjadi kesalahan-kesalahan, sehingga pemakaian jenis yang tahan adalah cara yang paling baik (Djafarudin, 2000).


(23)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung, pada bulan September 2012 sampai bulan Januari 2013.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, cawan petri,labu erlenmeyer, beaker glass, pipet tetes, gelas ukur, gelas objek, gelas penutup, corong, jarum ose, alumunium foil, kertas saring, tissu, kapas, lampu spirtus, autoklaf, oven, inkubator, mikroskop, vortex mixer, mistar, gunting, pinset, pengaduk, hot plate, lemari es, korek, pot plastik,

hemositometer, dan polybag.

Bahan yang digunakan adalah media PDA, alkohol 70%, beberapa kultivar benih cabai rawit yang diperoleh dari toko pertanian, cabai yang terserang penyakit, tanah steril, dan pupuk kandang. Bahan untuk pembuatan media PDA adalah kentang, aquades, agar-agar, dan dekstrosa.


(24)

C. Pelaksanaan dan Penelitian

a. Pembuatan Media Potato Dekstrosa (PDA)

Kentang seberat 500 gr dikupas, dibersihkan, dan dipotong-potong. Kemudian direbus dalam 500 ml aquades selama 2 jam dan selanjutnya disaring. Air dari rebusan kentang yang didapat ditambah dexstrose 20 gr dan agar-agar 15 gr, kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga homogen. Ditambahkan aquades sampai volume larutan menjadi 1000 ml. Media yang telah siap dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditutup dengan kapas, dan ditutup dengan alumunium foil. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1 atm, selama 15 menit. Setelah media dingin, dapat disimpan dalam lemari es untuk penggunaan selanjutnya (Ganjar dkk, 1999).

b. Pembuatan Biakan Murni JamurCollectotrichum capsici(Syd.) Butler &Bisby

Buah cabai merah yang diperoleh dari pasar yang sudah terkena penyakit antraknosa dimasukkan dalam plastik. Permukaan buah cabai disterilisasi dengan alkohol sampai kering dan bersih. Antara bagian yang sakit dan sehat dipotong 0,5 cm x 0,5 cm, kemudian diletakkan pada cawan petri yang berisi media PDA. Jamur yang tumbuh pada media PDA tersebut diisolasi dan dimurnikan serta diidentifikasi sehingga diperoleh isolat jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby, kemudian dipindahkan ke dalam tabung reaksi berisi media PDA, kemudian diberi label tanggal, dan diinkubasi selama 5 hari.


(25)

c. Pembuatan Suspensi Konidia Jamur

Biakan jamur yang telah ditumbuhkan pada media PDA yang berumur 7 hari diambil, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml aquades steril, dihomogenkan dengan vortex mixerselama beberapa menit. Kemudian suspensi jamur diambil dengan pipet volumetri dan dihitungjumlah konidia dengan menggunakan hemositometer. Bila terlalu padat jumlahnya, dilakukan pengenceran sehingga diperoleh kepadatan suspensi jamur 1 x 106 sel/ml. Dilakukan berulang-ulang agar diperoleh stok suspensi konidia.

d. Penyemaian Benih

Tiga kultivar cabai rawit dicuci bersih dengan aquades steril, ditiriskan dalam cawan petri steril yang dialasi dengan kertas saring steril.

Kemudian benih dipindahkan ke cawan petri yang telah diberi kapas dan dialasi dengan kertas merang.Setelah tumbuh dua daun, bibit cabai rawit dipindahkan ke polybag kecil dengan diameter polybag 9,75 cm dan tinggi polybag 19 cm. Masing-masing polybag berisi 3 bibit cabai rawit.

e. Penanaman

Sebanyak 30 polybag kecil dengan diameter 9,75 cm dan tinggi 19 cm, diisi dengan media tanah (campuran tanah : pupuk kandang = 1 : 1). Bibit yang sudah tumbuh dua daun dipindahkan ke media tanam, masing-masing polybag berisi 3 bibit cabai rawit.


(26)

f. Inokulasi Jamur Collectotrichum capsici(Syd.) Butler &Bisby Masing-masing kultivar cabai rawit yang tumbuh dan berumur 21 hari dengan 5-6 daun sejati disemprot dengan suspensi jamur C. capsici (Syd.) Butler &Bisby,20 cm di atas tanaman, kemudian disungkup dengan plastik selama 1 hari untuk menghindari kontaminasi dari luar atau menginfeksi tanaman lain. Untuk kontrol, tanaman disemprot dengan air aquades steril. Kemudian diamati gejala yang nampak (Denoyes and Baudry,

1995).Pengamatan dilakukan selama 18 hari.

D. Parameter Pengamatan

1. Awal Munculnya Gejala

Gejala adalah perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh tumbuhan itu sendiri, sebagai akibat dari adanya penyebab penyakit (Semangun, 1996). Waktu yang dilakukan untuk mengamati awal munculnya gejala adalah setelah penyemprotan suspensi jamur C.capsici (Syd.) Butler &Bisby dilakukan. Gejala yang diamati adalah bercak-bercak pada tanaman cabai rawit, perubahan warna, dan tekstur atau bentuk dari tanaman cabai rawit tersebut. Bercak-bercak pada tanaman cabai rawit meliputi nekrosis (matinya bagian tumbuhan), hidrosis, klorosis, layu, gosong, mati pucuk, dan busuk.


(27)

2. Intensitas Serangan pada Tanaman Cabai Rawit (C. frutescent L.) Metode yang digunakan untuk menghitung intensitas serangan mengacu pada metode Sudjono dan Sudarmadi (1989), dengan rumus:

4

IS = ( Σ ni x vi ) / 4 N x 100% i

Keterangan :

IS : Intensitas Serangan (%)

Ni: Banyaknya tanaman/bagian tanaman yang terserang pada skori

vi : Nilai skor ke i

N : Banyaknya tanaman/bagian tanaman yang diamati.

Skor penyakit yang digunakan adalah sebagai berikut : Skor penyakit 0 :Tidak ada infeksi

Skor penyakit 1 :Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang terserang mencapai 10% - 25%

Skor penyakit 2 :Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang terserang lebih besar dari 25% - 50%

Skor penyakit 3 :Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang terserang lebih besar dari 50% - 75%


(28)

3. Tinggi Tanaman Cabai Rawit (C. frutescent L.)

Tinggi tanaman cabai rawit (C. frutescent L.) diukur dengan

menggunakan penggaris dari akar sampai ujung batang. Pengukuran dilakukan sebelum penyemprotan (hari ke-21) dan hari ke-39.

E. Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu 3 kultivar cabai (cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit jemprit), dengan ulangan sebanyak 9 kali. Dilakukan analisis ragam, apabila terjadi perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.


(29)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. kultivar cabai rawit jengki (C2) lebih resisten terhadap jamur C.capsici

(Syd.) Butler &Bisby penyebab antraknosa dibandingkan dengan kultivar cabai rawit putih (C1) dan kultivar cabai rawit jemprit (C3)

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan buah yang berasal dari kultivar yang sama dengan metode ekstrak batang kembang sungsang (Gloriosa superba L.).


(30)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2009. Hama dan Penyakit Pada Tanaman.

http://en.forkus.com/d/hama–dan-penyakit-pada-tanaman.htm. Diakses1 Mei 2012.

Anonim b. 2011. Antraknosa. http://id.wikipedia.org/wiki/antraknosa. Diakses1 Mei 2012.

Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. Academic Press. London.

Alexopoulus, C.J. and C.W.Mims. 1979. Introductory Micology. John Willey and Sons, Inc. New York. 869 Hlm.

Badan Pusat Statistika. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. http://dds.bps.go.id. Diakses 23 April 2013.

BBPP-Lembang. 2011. Cabe Rawit.

http://www.bbpp- lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/671-cabe-rawit-si-mungil-yang-pedas. Diakses 19 Mei 2013.

Catalina, M. Dolores, and M. Emilia. 2010. Capsidiol Its Role in The Resistance of Capsicum anunum to Phytophthora capsici.

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1399-3054.1996.tb06679.x/abstract. Diakses 13 Mei 2013.

Cronquist, A. 1981. An Integrated System Of Clasification Of Flowering Plants. Columbia University Press. New York. 1262 Hlm.

Denoyes, B., and A. Baudry. 1995. Species Identification and Pathogenecity Study of French ColletotrichumStrains Isolated From Strawberry Using Morphologycal and Cultural Characteristics. Phytopathology 85:53-57. Djafaruddin. 2000. Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. PT Bumi


(31)

Ganjar, I., R.A. Samson, dan K.Twel I – Vermeulen, A. Oetari, dan I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gersang, E.M. Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai (Capsicum Anum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian Mulsa Plastik. 2008. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Indratmi, D. 2006. Kajian Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa pada Buah Mangga dan Apel dengan Khamir Debaromyces sp. dan

Schizosaccaromyces sp.Universitas Muhammadyah Malang. Jawa Tengah.

Kim, K. D., B. J. Oh, and J. Yang. 1999. Differential Interactions of a Colletotrichum gloeosporiodes Isolate With Green and Red Paper Fruit. Phytoparasitica 27 (2) : 1-10.

Martoredjo, T. 2009. Ilmu Penyakit Pascapanen. PT Bumi Aksara. Jakarta. Maryono, Tri. 2011. Colletotrichum Pada Antraknosa Cabai Di Lampung Dan

Patogenesitas. Universitas Lampung. Lampung. Pracaya. 1994. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta.

Prusky, D., S. Freeman., Martin, and B. Dickman. 2000. Colletotrichum Host Specificity, Pathologi, and Host Pathogen Interaction. APS Press. The American Pathologi Society. USA.

Prajnanta, Final. 2001. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. Semangun, Haryono. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada

University. Yogyakarta.

Semangun, Haryono. 2000. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Setiadi. 1992. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Setiadi. 2000. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudjono, S. dan Sudarmadi. 1989. Teknik Pengamatan Hama dan Penyakit. Pendidikan Program Diploma Satu Pengendalian Hama Terpadu. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.


(32)

Pascasarjana/S3. IPB.

Tjahjadi, Nur. 1991. Bertanam Cabai. Kanisius. Yogyakarta.

Warisno dan Kres Dahana. 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yoshida, S., S. Hiradate., Y. Fuji, and A. Shirata. 2000. Colletotrichum dematium:Produces Phytotoxins in Antracnose Lesions of Mulberry Leaves. Phytopahology. 90:285-291.


(1)

21

2. Intensitas Serangan pada Tanaman Cabai Rawit (C. frutescent L.) Metode yang digunakan untuk menghitung intensitas serangan mengacu pada metode Sudjono dan Sudarmadi (1989), dengan rumus:

4

IS = ( Σ ni x vi ) / 4 N x 100% i

Keterangan :

IS : Intensitas Serangan (%)

Ni: Banyaknya tanaman/bagian tanaman yang terserang pada skori

vi : Nilai skor ke i

N : Banyaknya tanaman/bagian tanaman yang diamati.

Skor penyakit yang digunakan adalah sebagai berikut : Skor penyakit 0 :Tidak ada infeksi

Skor penyakit 1 :Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang terserang mencapai 10% - 25%

Skor penyakit 2 :Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang terserang lebih besar dari 25% - 50%

Skor penyakit 3 :Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang terserang lebih besar dari 50% - 75%


(2)

22

3. Tinggi Tanaman Cabai Rawit (C. frutescent L.)

Tinggi tanaman cabai rawit (C. frutescent L.) diukur dengan

menggunakan penggaris dari akar sampai ujung batang. Pengukuran dilakukan sebelum penyemprotan (hari ke-21) dan hari ke-39.

E. Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu 3 kultivar cabai (cabai rawit putih, cabai rawit jengki, dan cabai rawit jemprit), dengan ulangan sebanyak 9 kali. Dilakukan analisis ragam, apabila terjadi perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. kultivar cabai rawit jengki (C2) lebih resisten terhadap jamur C.capsici

(Syd.) Butler &Bisby penyebab antraknosa dibandingkan dengan kultivar cabai rawit putih (C1) dan kultivar cabai rawit jemprit (C3)

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan buah yang berasal dari kultivar yang sama dengan metode ekstrak batang kembang sungsang (Gloriosa superba L.).


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2009. Hama dan Penyakit Pada Tanaman.

http://en.forkus.com/d/hama–dan-penyakit-pada-tanaman.htm. Diakses1 Mei 2012.

Anonim b. 2011. Antraknosa. http://id.wikipedia.org/wiki/antraknosa. Diakses1 Mei 2012.

Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. Academic Press. London.

Alexopoulus, C.J. and C.W.Mims. 1979. Introductory Micology. John Willey and Sons, Inc. New York. 869 Hlm.

Badan Pusat Statistika. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. http://dds.bps.go.id. Diakses 23 April 2013.

BBPP-Lembang. 2011. Cabe Rawit.

http://www.bbpp- lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/671-cabe-rawit-si-mungil-yang-pedas. Diakses 19 Mei 2013.

Catalina, M. Dolores, and M. Emilia. 2010. Capsidiol Its Role in The Resistance

of Capsicum anunum to Phytophthora capsici.

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1399-3054.1996.tb06679.x/abstract. Diakses 13 Mei 2013.

Cronquist, A. 1981. An Integrated System Of Clasification Of Flowering Plants. Columbia University Press. New York. 1262 Hlm.

Denoyes, B., and A. Baudry. 1995. Species Identification and Pathogenecity Study of French ColletotrichumStrains Isolated From Strawberry Using Morphologycal and Cultural Characteristics. Phytopathology 85:53-57. Djafaruddin. 2000. Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. PT Bumi


(5)

Duriat, A.S., dan S.G. Sastrosiswojo.2009. Pengendalian Hama Penyakit

Terpadu Pada Agribisnis Cabai. Penerbit Swadaya, Jakarta. Hal:

98-99.

Ganjar, I., R.A. Samson, dan K.Twel I – Vermeulen, A. Oetari, dan I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gersang, E.M. Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai (Capsicum Anum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian

Mulsa Plastik. 2008. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Indratmi, D. 2006. Kajian Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa pada Buah

Mangga dan Apel dengan Khamir Debaromyces sp. dan

Schizosaccaromyces sp.Universitas Muhammadyah Malang. Jawa

Tengah.

Kim, K. D., B. J. Oh, and J. Yang. 1999. Differential Interactions of a Colletotrichum gloeosporiodes Isolate With Green and Red Paper

Fruit. Phytoparasitica 27 (2) : 1-10.

Martoredjo, T. 2009. Ilmu Penyakit Pascapanen. PT Bumi Aksara. Jakarta. Maryono, Tri. 2011. Colletotrichum Pada Antraknosa Cabai Di Lampung Dan

Patogenesitas. Universitas Lampung. Lampung.

Pracaya. 1994. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta.

Prusky, D., S. Freeman., Martin, and B. Dickman. 2000. Colletotrichum Host

Specificity, Pathologi, and Host Pathogen Interaction. APS Press. The

American Pathologi Society. USA.

Prajnanta, Final. 2001. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. Semangun, Haryono. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada

University. Yogyakarta.

Semangun, Haryono. 2000. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University. Yogyakarta.

Setiadi. 1992. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Setiadi. 2000. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sudjono, S. dan Sudarmadi. 1989. Teknik Pengamatan Hama dan Penyakit. Pendidikan Program Diploma Satu Pengendalian Hama Terpadu. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.


(6)

Syamsudin. 2002. Pengendalian Penyakit Terbawa Benih Pada Tanaman Cabai

Merah (Capsicum annum L.) Menggunakan Agen Biokontrol Dan

Ekstrak Botani. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program

Pascasarjana/S3. IPB.

Tjahjadi, Nur. 1991. Bertanam Cabai. Kanisius. Yogyakarta.

Warisno dan Kres Dahana. 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yoshida, S., S. Hiradate., Y. Fuji, and A. Shirata. 2000. Colletotrichum

dematium:Produces Phytotoxins in Antracnose Lesions of Mulberry


Dokumen yang terkait

Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian Mulsa Plastik

0 80 121

Uji Efektifitas Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) Dan Daun Serai (Adropogon nardus L.) Terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd) Butler dan Bisby) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) Di Lapangan

4 80 94

PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby) PADA BUAH CABAI (Capsicum annuum L.)

1 17 25

KETAHANAN KULTIVAR CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

8 110 31

UJI DAYA BIOFUNGISIDA EKSTRAK UMBI KEMBANG SUNGSANG (Gloriosa superba L.) TERHADAP PERKEMBANGAN JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

0 2 18

Pengaruh Ekstrak Kompos Bokashi Dan Konvensional Terhadap Patogen Colletotrichum aapsici (Syd.) Butlr & Bisby Penyebab Penyakit Antraknosa Pada Cabai

0 9 54

Minyak Nilam sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) pada Buah Cabai

0 3 37

Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Pencegahan Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) Buah Cabai Merah

0 3 41

Potensi Jamur Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)

0 0 16

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

0 0 13