BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang 3.1.1 Pertanggungjawaban negara - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG

3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang

3.1.1 Pertanggungjawaban negara

  Pertanggungjawaban negara muncul akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Pertanggungjawaban muncul diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional, suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara, bahkan memperlakukan warga asing dengan seenaknya.

  Munculnya konsep tanggung jawab negara bisa dilihat dari adanya prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip tersebut suatu negara yang haknya telah

  23

  dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggung jawaban. Tanggung jawab negara timbul karena negara sebagai subjek hukum, pihak yang dapat

  24

  dibebani hak dan kewajiban yang diatur hukum. Subjek hukum adalah pihak

  25 yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.

  Perihal tanggung jawab negara berpedoman pada suatu draft yang dihasilkan oleh Komisi hukum internasional (International Law Commission 23 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997.

  hlm. 541 24 Sugeng Istanto, h.15-16.

  25 Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 16

  40

  /ILC), sebuah badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1947, melakukan studi dan kodifikasi soal tanggung jawab negara.

  Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional

  (internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional dapat berupa

  melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu :

  1. Diatribusikan kepada negara melalui hukum internasional

  2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12).

  Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan

  (coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah secara internasional.

  Hukum humaniter internasional mengatur mengenai kewajiban negara dalam kaitanya dengan kejahatan perang, kewajiban pertama adalah negara diwajibkan membentuk aturan nasional dalam negaranya untuk mengatur mengenai kejahatan perang di dalam aturannya diwajibkan mengatur mengenai pelaku kejahatan perang, dimana aturan tersebut harus bersifat universal tanpa memandang kewarganegaraan pelaku maupun pihak yang menyuruh lakukan kejahatan perang, yang dilakukan didalam atau diluar wilayah negara tersebut, Aturan tersebut tercakup dalam beberapa instrument internasional, yaitu:

  a) Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan korban perang dalam konflik bersenjata internasional. “Ketentuan dalam konvensi yang berkaitan dengan pelanggarn berat menurut bagian ini akan diberlakukan aturan sesuai

  26

  pelanggaran berat menurut protokol ini . Kewajiban negara mengatur dalam .’’ tingkat nasional, suatu negara mempunyai kewajiban untuk saling membantu berkaitan dengan pelanggaran berat, dimungkinkan juga melalui kerjasama dalam

  27 ekstradisi.

  b)

  Konvensi Jenewa I, II, III, IV tentang perlindungan korban perang . “Pihak dalam konvensi ini memberlakukan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana yang efektif bagi orang, yang melakukan, atau orang yang memerintahkan apabila melakukan pelanggaran berat sesuai definisi yang

  28 didalam pasal ini.

  Dengan ketentuan tersebut maka aturan kejahatan perang yang ada dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 ditambah dengan Protokol Tambahan I menjadi aturan yang seharusnya diterapkan oleh Negara dalam aturan hukum nasionalnya.

  c) Konvensi Den Haag 1954 tentang perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata, kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghukum dan memberikan sanksi atas seseorang apapun itu

  26 Pasal 85 ayat (1) PT I

  27 Pasal 88 Protokol Tambahan 1977

  28 Pasal 49 KJ I, Pasal 50 KJ II, Pasal 129 KJ III, Pasal 146 KJ IV kewarganegaraanya yang telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran berkaitan dengan perlindungan budaya pada konflik bersenjata.

  d) The Statue of the International Criminal Court (ICC)

  The statue affirm that national courts have primary responsibility for

  29 trying such crimes The jurisdiction of the ICC is complementary to that of state:it may be exercised solely when a state is unable genuinely to carry out the investigation or prosecution of alleged criminals under its jurisdiction, or

  30 is unwilling to do so.

  If they wish to avail themselves of their own courts jurisdiction, the states Parties must have suitable legislation enabling them to bring these persons to trial in accordance with the requirements of the statute.The States Parties are also obliged to coorporate fully with the ICC in its

  31

investigation and prosecution of crimes within its jurisdiction.

  In addiction, they must repress offences againts the administration of justice by the ICC ehich have been commited in their territory or by one of 32 their nationals.

  Dalam penjelasanya negara yang telah menjadi pihak Statuta berarti memiliki kewajiban untuk mengakui bahwa negara, bukan ICC, memiliki tanggung jawab utama dalam mengadili para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Tidak hanya negara yang memiliki kewajiban untuk mengadili pelaku kejahatan internasional, namun ICC juga dapat mengadilinya hanya apabila negara tersebut tidak mampu dan tidak mau melaksanakan kewajibanya. Jika ICC menjadi pelengkap suatu negara dalam sistem pengadilan internasional, maka negara tersebut harus melaksanakan tanggung jawabnya. Negara harus membuat dan menegakkan hukum nasionalnya yang mengatur kejahatan terhadap hukum internasional. Ukraina berkewajiban 29 30 Preambule Statuta Roma 1998 31 Ibid, Pasal 17 32 Ibid, Pasal 86 Ibid, Pasal 70 (4)

  untuk mengamankan peta navigasi udaranya dengan menerapkan zona larangan terbang di atas wilayah tempat konflik bersenjata terjadi.

3.1.2 Tanggung jawab individu

  Individu mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan oleh individu itu sendiri, atau mereka yang melakukan, atau mereka yang memerintahkan, atau mereka yang membantu orang lain untuk melakukan kejahatan perang. Dalam konvensi Jenewa terdapat istilah persons.

  Persons yang dimaksud adalah warga negara, baik warga negara dari negaranya

  sendiri maupun warga negara lawan yang terikat untuk memenuhi ketentuan dalam Konvensi Jenewa. Bagi orang / person yang melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi pidana efektif, tidak hanya pelaku kejahatan yang terikat tetapi juga orang / person yang menyuruh melakukan kejahatan perang. Tidak ada ketentuan yang menyebut pertanggungjawaban bagi orang yang gagal mencegah terjadinya

  33 pelanggaran.

  Pertanggung jawaban pidana secara individu sudah ada saat dibentuknya Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, sejak saat itu individu sebagai pihak dalam pengadilan internasional/tersangka kejahatan internasional. Sejarah dan perkembangan awal dari prinsip individual responsibility dihadapan pengadilan internasional yang menjadi dasar ICTY, ICTR, dan Konvensi Jenewa 1949 untuk mengadopsi sistem pertanggungjawaban individu dalam hal kejahatan internasional. Pasal 25 Statuta Roma 1998 menjelaskan mengenai ketentuan yuridiksi atau orang, seorang yang melakukan kejahatan didalam juridiksi 33 Jean S. Pictet, 1995,.op.cit., hlm.364 buku Dr Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H.,

  M.Hum Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hlm 129 mahkamah bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman atas pelanggaran yang dia lakukan. Pertanggung jawaban individu berlaku sama terhadap semua orang tanpa ada pembedaan, meskipun dia seorang kepala negara atau pemerintahan atau parlemen, Statuta Roma 1998 tidak mengecualikan seseorang dari tanggung jawab pidana dibawah statuta ini. Pejabat negara akan

  34 bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang dilakukan atas nama Negara.

3.2 Penegakan Hukum Atas Kejahatan Perang

  Penegakan hukum kejahatan perang terdapat dua macam penegakan yaitu penegakan tidak langsung dan pengadilan langsung. Penegakan tidak langsung melalui proses pengadilan di tingkat nasional, dengan menerapkan intrumen nasional dalam hukum internasional dan penegakan langsung melalui proses pengadilan internasional.

3.2.1 Penegakan hukum di pengadilan nasional

  Kedaulatan Negara merupakan sesuatu hal yang penting yang dimiliki oleh suatu negara. Negara mempunyai wewenang yang eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu yang ada di wilayahnya. termasuk hak dan kewajiban untuk mengadili individu yang melakukan pelanggar hukum humaniter internasional,

  Kedaulatan negara tidak bersifat mutlak mana kala persoalan menjadi urusan bersama, dalam kasus penembakan pesawat ini telah menimbulkan kerugian bagi penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata. Persoalan yang demikian tidak hanya menjadi urusan negeri suatu negara, namun

  34 Pasal 27 Statuta Roma 1998 telah menjadi persoalan bersama sehingga hukum internasional dapat terlibat didalamnya.

  Ukraina dianggap sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap aksi penembakan pesawat MH-17, mempunyai tanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional diwilayahnya diatur pada laporan International Law

  Commission dalam rancanganya Article 14

  :” Every State has the duty to conduct

  its relations with other States in accordance with the principle that the sovereignty of each State is subject to the supremacy of international law

  ’. Konsep kedaulatan negara oleh hukum internasional harus berimplikasi pula kebalikan, negara harus menghormati ketentuan hukum internasional untuk menjamin kepentingan nasional negara lainya. Negara mempunyai kewajiban memberikan pelayanan terhadap setiap penerbangan yang melintas diwilayahnya, pelayanan berupa panduan mengenai kondisi didarat dan informasi cuaca. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan melalui fasilitasnya dengan hal itu maka secara tidak langsung akan terwujud pelaksaanaan penerbangan dengan aman, meskipun penembak Malaysia Airlines MH-17 adalah

  

35

  pemberontak separatis pro Rusia, pemerintah Ukraina tetap mempunyai tanggung jawab untuk aksi ini, terkait lokasi wilayah jatuhnya pesawat yang masih diwilayah negara Ukraina.

  Negara yang warganya turut menjadi korban dapat melakukan penuntutan terhadap Ukraina, Sebagian besar penumpang di penerbangan MH17 dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur adalah warga negara Belanda selain itu 35

   international.sindonews.com/ Dikira Pesawat Ukraina, Ini Pengakuan Penembak MH17 diakses pada 7 Januari 2015 terdapat juga warga negara Australia, Malaysia, Indonesia, Filipina, Inggris,

36 Jerman, Belgia dan Kanada. Keluarga korban penembakan pesawat MH-17 juga

  dapat meminta pertanggung jawaban Ukraina dengan menuntut negara ukraina ke pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa, Ukraina dianggap ceroboh untuk tidak menutup wilayah udaranya, kelalaian dari Ukraina ini menyebabkan kematian 298 orang.

  Penuntutan terhadap negara Ukraina juga bisa dilakukan negara korban dengan melalui mekanisme, ICJ International Court of Justice (ICJ) atau kita kenal juga dengan istilah Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu lembaga dalam hukum internasional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara negara dengan negara. Jika persoalan penembakan pesawat yang dituntut itu adalah Ukraina sebagai negara serta yang menuntut adalah negara yang mengalami kerugian atas aksi penembakan tersebut maka persoalan dapat diselesaikan di International Court of Justice. Yuridiksi mahkamah ini mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa antar negara atau lebih, pada

  Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang bisa menyerahkan sengketanya ke Mahkamah, dengan kata lain subjek hukum internasional lainya seperti organisasi internasional, perusahaan multilateral orang perorangan, pihak yang bersengka tidak bisa meminta Mahkamah untuk menyelesaikan sengketanya.

  International Criminal of Justice (ICJ) merupakan organ judisial dari PBB

  mempunyai tugas untuk menangani sengketa yang berupa Contentious cases 36

  newsandfeaturesonindonesia.blogspot.com/Presiden Rusia Vladimmir Putin Salahkan Ukraina atas Jatuhnya Pesawat Malaysia maupun yang berupa Advisory proceedings. Contentious cases adalah kasus yang berupa sengketa antar negara sedangkan Advisory proceedings adalah kasus dimana organ-organ lain PBB meminta advisory opinions terhadap suatu masalah internasional. Negara yang menjadi anggota PBB adalah anggota dari statuta ICJ.

  Dengan begitu negara yang ingin menuntut Ukraina (negara lokasi penembakan pesawat MH-17) bisa menyerahkan kasusnya kepada International Criminal of

  Justice (ICJ) harus dengan adanya special agreement, terdapat rujukan kepada ICJ

  jika terjadi sengketa dalam suatu perjanjian internasional, dan dengan cara menerima compulsory jurisdiction dari ICJ.

  Negara yang warga negaranya turut menjadi korban penembakan berhak mengadili individu yang dianggap melanggar hukum humaniter internasional, misalnya negara Belanda, akan dimungkinkan pelaksanaan sanksi terhadap individu dengan menggunakan aturan hukum Belanda, International Criminal

  Act

  19 Juni 2003, dalam undang-undang ini diatur mengenai masalah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam aturan ini tidak menjelaskan kualifikasi kejahatan perang seperti pada Pasal 5 ayat 1 International Criminal

  Act 2003 yang mengatur pelanggaran berat seperti dalam pasal 8 Statuta roma

  1998, pelanggaran berat yang sesuai dengan Protokol Tambahan I, aturan tesebut secara jelas membahas mengenai pelanggaran hukum dan kebiasaan perang, meskipun pada prinsipnya semua negara di dunia berhak mengadili pelaku kejahatan perang sesuai dengan prinsip universal, semua negara mempunyai kewajiban untuk menerapkan prinsip universal atas kejahatan perang. Negara harus mencari dan menghukum atau mengekstradisi orang yang didakwa melakukan kejahatan perang. Kewajiban disebutkan oleh Konvensi Den Haag, diatur mengenai kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan, misalnya menghukum pelaku dan melaksanakan sanksi pidana atas seseorang yang melanggar hukum humaniter di konflik bersenjata tanpa melihat kewarganegaraanya.

3.2.2 Penegakan hukum di pengadilan internasional

3.2.2.1 Ad Hoc Tribunal

  Tribunal ad hoc diawali dengan dua pengadilan internasional setelah

  berakhirnya Perang Dunia II, yaitu Military Tribunal for Nuremberg dan International Millitary for Far East , diikuti oleh ICTY dan ICTR.

  a. Pengadilan internasional Nuremberg dan Pengadilan internasional Tokyo

  Nuremberg Trial atau disebut juga Pengadilan Nuremberg merupakan

  sebuah pengadilan militer internasional yang dibentuk oleh empat kekuatan besar sekutu, yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Perancis.

  Nuremberg Trial sendiri adalah hasil dari gagasan pemimpin negara-negara

  sekutu untuk mengadili petinggi Nazi Jerman ke hadapan pengadilan militer internasional. Gagasan dan proses pembentukan mahkamah ini berlangsung ketika perang masih berkecamuk. Bersamaan dengan situasi perang yang sudah mulai berbalik, dimana Jerman mengalami kekalahan di banyak pertempuran, pada saat itu juga pemimpin negara-negara sekutu mulai mempersiapkan suatu mekanisme hukum untuk menunut dan mengadili para penjahat perang.

  Gagasan pembentukan pengadilan internasional untuk penjahat perang Jepang selama Perang Dunia II muncul dari negara-negara sekutu. Pada bulan Desember 1945, empat negara sekutu yang berkepentingan atas Jepang pasca Perang Dunia II mengadakan pertemuan di Moskow (Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan China). Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Jepang selama perang berlangsung.2. Pengadilan internasional Yugoslavia dan pengadilan internasional Rwanda

  International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) adalah

  sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda.

  Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993. Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undang- undang perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan.

  Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini.

  Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada 2010.

  ICTR atau Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda dibentuk pada tahun 1994 oleh Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

  Pengadilan ini bertujuan untuk mengusut/memproses dan menghukum beberapa tersangka yang diduga kuat telah terlibat melakukan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa Pembantaian Massal di Rwanda tahun 1993.

  Pengadilan ini dibentuk berdasarkan Resolusi 955 tahun 1994 dan berada dibawah kewenangan Dewan Keamanan PBB. Menyadari bahwa pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan yang dilakukan di Rwanda, dan bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dibuat Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dengan resolusi 955 dari 8 November 1994. Tujuan dari langkah ini adalah untuk berkontribusi dalam proses rekonsiliasi nasional di Rwanda dan untuk pemeliharaan perdamaian di wilayah tersebut.

  Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda didirikan untuk penuntutan orang yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda antara tanggal 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994. Hal ini juga dapat menangani penuntutan warga negara Rwanda yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran semacam hukum internasional lainnya yang dilakukan di wilayah negara tetangga pada periode yang sama. Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda diatur oleh negara, yang dilampirkan Resolusi Dewan Keamanan 955. Peraturan prosedur dan bukti, yang diadopsi para hakim sesuai dengan Pasal 14 Statuta, membangun kerangka kerja yang diperlukan untuk fungsi sistem peradilan.

  Kedua pengadilan tersebut merupakan organ tambahan Dewan Keamanan hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada para terdakwa hanya hukuman seumur hidup. Pengadilan ICTY dan ICTR mengabaikan prinsip non bis

  in idem , pengadilan ini bisa mengadili tersangka yang telah diadili sebelumnya oleh pengadilan lokal.

  Pengadilan ad hoc ini berdiri karena beberapa alasan, yang pertama adalah

  unable factor ini menekankan kepada kondisi sebuah negara tempat terjadinya

  pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang tidak mampu menjalankan sebuah proses pengadilan.

  Kedua adalah unwilling, factor ini menekankan keadaan politik wilayah negara tempat terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Negara yang tidak mempunyai political will enggan membuat upaya hukum agar pelaku kejahatan perang dapat diadili melalui proses pengadilan.

  Untuk menyelidiki pelanggaran hukum humaniter internasional dalam kasus penembakan pesawat MH-17 dimungkinkan untuk dibuat sebuah pengadilan ad hoc, pengadilan ad hoc dapat dibentuk atas inisiatif para negara korban untuk mengadili pelaku penembakan pesawat MH-17, pengadilan ini sifatnya tidak permanen dan pembentukan dimaksudkan hanya untuk sementara waktu, hakim yang menangani kasus juga bersifat sementara hakim tersebut memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksaa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

3.2.2.2 Pengadilan yang bersifat Permanen (International Criminal Court)

  Tidak hanya negara yang terlibat saja yang mengatur tentang penegakan kejahatan perang, dunia internasional pun juga mempunyai sebuah mahkamah pidana internasional (ICC), pembentukan ICC yang menjadi dasar secara eksplisit menegaskan bahwa pelaku kejahatan paling serius yang menyangkut perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum dan penghukuman secara keseluruhan tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum dan penghukuman secara efektif harus dilakukan melalui tindakan- tindakan pada level nasional dan melalui peningkatan kerjasama internasional .

  Ketika sudah ada Mahkamah pidana internasional (ICC) yang mengatur mengenai kejahatan perang maka persoalan yang muncul adalah hubungan antara mahkamah pidana internasional dengan hukum domestik negara. ICC tidak bersifat untuk menggantikan pengadilan nasional, namun sifatnya hanya sebagai pelengkap bagi sistem pidana nasional terutama jika prosedur pengadilan untuk mengadili kejahatan dibawah yuridiksi ICC tidak tersedia atau tidak dapat diselenggarakan secara benar. ICC tetap mengakui kewenangan pengadilan domestik untuk menangani tindakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.

  Melalui artikel 17 Statuta Roma juga menjelaskan mengenai superiotas ICC terhadap pengadilan nasional dalam kondisi tertentu. Menurut artikel 17 Statuta Roma suatu kasus akan dinyatakan dapat diterima oleh ICC apabila seperti berikut ini: a) Ada unwillingness atau inability negara yang seharusnya memiliki yuridiksi penyelidikan dan penuntutan dalam suatu kasus, meskipun proses penyelidikan

  37 dan penuntutan terhadap pelaku sedang berjalan di pengadilan nasional.

37 Statuta Roma 1998, Art.17 (1).a.

  b) Negara yang memiliki yuridiksi memutuskan untuk tidak menuntut seorang tersangka pelaku kejahatan internasional dan keputusan itu merupakan akibat dari

  38 unwillingness atau innability negara tersebut.

  c) Proses pemeriksaan pengadilan (termasuk pengadilan nasional) terhadap tersangka pelaku kejahatan internasional dalam suatu kasus dimaksudkan untuk melindungi tersangka pelaku dati tanggungjawab pidana (shielding from

  39 criminality responsibility ).

  d) Proses pemeriksaan pengadilan (termasuk pengadilan nasional) terhadap tersangka pelaku kejahatan internasional dalam suatu kasus tidak berlangsung

  

40

secara independen ataupun imparsial.

  International Criminal Court berbeda dengan Mahkamah Internasional

  yang merupakan peradilan tetap, organ hukum utama PBB, ICC bukan merupakan organ PBB, berbeda dengan ICJ, ICJ menangani perkara hukum antar negara sedangkan ICC hanya menuntut dan mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi permasalahan bagi masyarakat internasional.

  Pada statuta dijelaskan bahwa statuta hanya mempunyai Yuridiksi atas individu yang berusia diatas delapan belas tahun keatas setelah statuta mulai berlaku , yuridiksi ICC terbatas oleh waktu dan geografis. ICC tidak dapat mengadili suatu kasus / kejahatan yang terjadi sebelum ICC dibentuk dan ICC tidak dapat mengadili kejahatan yang telah terjadi diluar batas wilayah negara 38 39 Statuta Roma 1998, Art.17 (1).b. 40 Statuta Roma 1998, Art.20 (3).a Statuta Roma 1998, Art.20 (3).b

  Sesuai dengan Pasal 13 Statuta ICC memberlakukan Yuridiksi terhadap tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 5 jika: a. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan melimpahkanya kepada Jaksa Penuntut oleh negara pihak; b. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan dilimpahkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan yang bertindak atas dasar Bab

  VII Piagam PBB;

  c. Jaksa Penuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan berkaitan dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta.

  d. Ada tiga pihak yang dapat mengajukan suatu perkara tindak pidana ke Jaksa Penuntut, yaitu negara pihak pada Statuta, Dewan Keamanan PBB, dan Prakarsa Jaksa Penuntut itu sendiri.

  Dalam ICC, yuridiksi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Yuridiksi adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiki oleh pengadilan, yang memberi kekuasaan pada pengadilan itu untuk memeriksa kasus, menerapkan hukum, dan mengambil keputusan atasnya, ada empat kriteria yang menentukan yuridiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan, wilayah, waktu, materi perkara dan

  41 person yang dapat dicakup oleh suatu pengadilan.

  Yuridiksi Ratione materiae ICC adalah yuridiksi ICC yang meliputi kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida, dan agresi, kualifikasi kejahatan dalam Statuta Roma tidak berbeda jauh dari Statuta ICTY dan ICTR, perbedaannya pengaturan dalam Stuta Roma lebih rinci. 41 Arie Siswanto, Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, PT.

  Rajagrafindo Persada, h. 39

  Kejahatan Perang termasuk dalam Yuridiksi ICC karena kejahatan perang merupakan kejahatan Internasional yang ada sejak lama , dan kejahatan perang merujuk pada tindakan tertentu yang merupakan pelangggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. International Criminal Court memiliki yuridiksi atas kejahatan tersebut begitu suatu negara menjadi peserta dalam Statuta Roma degan meratifikasi atau menyetujui statuta tersebut.

  Yuridiksi Ratione Personae adalah Yuridiksi ICC mengenai tentang siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakan kejahatan di mata masyarakat Internasional dan organ yudisial yang bersangkutan. Statuta Roma menjelaskan bahwa ICC memiliki yuridiksi atas orang, ICC tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadilii legal persons termasuk negara dan organisasi internasional, orang yang melakukan pelanggaran yang secara material masuk dalam yuridiksi ICC harus menanggung pertanggungjawaban secara

  42 individual.

  Yuridiksi Teritorial adalah yuridiksi ICC terhadap kejahatan yang dilakukan: (1) didalam wilayah negara peserta; (2) diwilayah negara yang menerima yuridiksi atas dasar pernyataan ad hoc; (3) di wilayah yang ditentukan oleh dewan keamanan PBB. Secara Umum Statuta Roma 1998 menjelaskan bahwa ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangan diwilayah negara Pihak Statuta Roma 1998, namun ICC juga dapat menjalankan fungsi dan kewenangan

  43

  di wilayah bukan negara pihak selama dibuat perjanjianya. Statuta Roma juga mengatur bahwa yuridiksi teritorial ICC tergantung pada inisiatif pengajuan kasus 42 43 Statuta Roma 1998, Art.25.2 Statuta Roma 1998, Art.4.2 ke ICC , suatu kasus jika dirujuk ke penuntut ICC oleh negara dalam pihak Statuta Roma atau hal itu diselidiki karena inisiatif dari penuntut umum maka Statuta Roma mensyaratkan agar negara tempat dilakukan pelanggaran atau tempat

  44 kewarganegaraan pelaku haruslah pihak dalam Statuta Roma 1998.

  Sementara apabila kasus dirujuk ke penuntut umum oleh dewan keamanan PBB yang mengambil tindakan dalam kerangkab Bab VII Piagam PBB maka tidak perlu dilihat dari negara mana pelaku berasal dan dimana pelanggaran tersebut terjadi , karena ICC dapat menerapkan yuridiksinya.

  Yuridiksi Ratione Temporis adalah yuridiksi organ yudisial dapat dibatasi oleh waktu, seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar tindakan yang oada waktu dilakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana.Bagi negara yang menjadi pihak dalam statuta Roma setelah statuta memiliki kekuatan berlaku, statuta roma menentukan bahwa ICC memiliki yuridiksi hanya terhadap perbuatan yang dilakukan setelah berlakunya statuta Roma 1998 bagi negara yang

  45 bersangkutan kecuali negara itu menyatakan lain.

  ICC tidak memilili kewenangan untuk menangani kasus sebelum tanggal 1 Juli 2002 berdasarkan artikel 11 Statuta Roma 1998. Pada artikel 23 mengatakan ‘’a person convicted by the court may be punished only in accordance with this

  statute.” Pada artikel 24 juga diatur bahwa tidak seorang pun dapat dimintai

  pertanggung jawaban pidana berdasarkan ketentuan statuta atas perbuatan yang dilakukan sebelum berlakunya stuta. ICC tidak akan mengadili suatu kasus jika kasus sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yuridiksi 44 45 Statuta Roma 1998, Art.12.2 Statuta Roma 1998, Art.11.2 atas kasus tersebut, bersifat complementarity sebab apabila yuridiksi nasional menggunakan kewenanganya terhadap penegakan hukum bagi pelaku dan apabila penegakan tersebut gagal maka ICC menggunakan yuridiksinya, ICC akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan.

  Negara Ukraina merupakan tempat terjadinya kejahatan dan Ukraina tidak termasuk negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma 1998, berkaitan dengan itu, ICC boleh melakukan yuridiksinya bila negara yang diwilayahnya terjadi kejahatan yang disangkakan (negara berkenaan dengan wilayahnya) dan negara yang warga negaranya disangka telah melakukan (negara berkenaan dengan nasionalitas tersangka) adalah negara peserta statuta.

  Ukraina mempunyai deklarasi yang menyatakan persetujuan untuk menyelesaikan konfliknya melalui juridiksi International Criminal Court dengan

  46 dasar Declaration of Verkhovna Rada of Ukraine (the Parliament of Ukraine) .

  Sesuai dengan Pasal 12 paragraf 3 Statuta Roma: Apabila penerimaan dari suatu negara yang bukan merupakan peserta dari Statuta negara boleh dengan deklarasi menundukan diri sama dengan pendaftar, meneriima keberlakuan dari yuridiksi Mahkamah berkenaan dengan tindak pidana tersebut. Negara yang menerima harus bekerja sama dengan Mahkamah tanpa ada penundaan atau pengecualian.

  Dengan begitu negara Ukraina mengakui Yuridiksi pengadilan untuk mengidentifikasi kejahatan, menuntut, dan mengadili kasus yang ada di territorial Ukraina, disamping itu negara yang tidak meratifikasi Statuta kasusnya dapat 46

  Recognition Juristiction diakses pada 10 Desember 2014 dibawa ke pengadilan jika dewan keamanan PBB meminta pengadilan untuk melakukan investigasi situasi kejahatan pelanggaran hukum internasional. ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut kejaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut, diatur dalam pasal 16 Statuta Roma 1998.

3.3 Pengadilan Campuran

  Hybrid Model atau disebut dengan Internationalised Domestic Criminal Tribunals, adanya komposisi campuran antara elemen domestic dan internasional,

  adanya perpaduan atau penggabungan antara unsur lokal/nasional dan internasional yang terdapat didalam pengadilan ini misalnya untuk para personilnya (seperti jaksa, hakim, pengacara), sistem hukum yang diterapkan (hukum nasional maupun internasional), dana operasionalnya bersumber dari

  47

  negara yang bersangkutan maupun bantuan dari luar negri. Pengadilan ini ditunjukan untuk menjawab kesenjangan antara pengadilan nasional dan internasional, masalah utama pengadilan adalah kurang kredibilitas dan inkompeten, sementara pengadilan internasional memiliki keterbatasan dalam hal

  48 kewenangan dan mandat.

  Penyelesaian sengketa melalui pengadilan campuran (hybrid) digunakan pada beberapa kasus diantaranya adalah kasus mengenai perang sipil di Sierra Leone dan Kamboja serta dalam kasus internal armed conflict yang terjadi di 47 Lina Hastuti, Op.,Cit. h.89 dikutip dari Andret Sujatmoko I., Tanggung Jawab Negara

  Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya. h.977

48 Ibid, h.90.

  Timor-Timor dan Kosovo. Pengadilan ini terbentuk berdasarkan latar belakang

  

49

politik dan dasar hukum pendiriannya.

  Pada kasus penembakan MH-17 jenis pengadilan ini dapat diterapkan dengan pembentukan panel di Ukraina, panel tersebut memiliki yuridiksi eksklusif atas kejahatan perang dan kejahatan serius yang terjadi wilayah Ukraina. Panel khusus tersebut nantinya berkedudukan di pengadilan wilayah Ukraina, pengadilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding. Pengadilan tersebut yang menyelidiki kejahatan perang dan kejahatan serius lainya termasuk penembakan pesawat MH-17, panel tersebut hanya meliputi kejahatan yang dilakukan dalam periode konflik ukraina serta memiliki yuridiksi yang meliputi seluruh wilayah Ukraina.

  Dalam melaksanakan yuridiksinya dapat diterapkan hukum yang berlaku di Ukraina dan ketentuan hukum internasional seperti Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1998, meskipun sebenarnya penyelidikan yang nanti dipimpin langsung oleh Ukraina akan membentuk kondisi yang tidak adil.

  49 Law Review “Hybrid courts” diakses pada 10 Februari 2015

Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENEGAKAN HUKUM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF (ZEE) DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

0 5 19

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP PRESIDEN SUDAN UMAR AL-BASIR ATAS KEJAHATAN PERANG DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN MENURUT STATUTA ROMA 1998

0 8 19

BAB II PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Da

0 0 39

BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 75

BAB I Latar Belakang - PERLINDUNGAN HUKUM CAGAR BUDAYA BAWAH AIR PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN - PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KERUGIAN KONSUMEN PENGGUNA BAGASI PESAWAT UDARA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18

BAB III AKIBAT HUKUM OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PTN-BH DITINJAU DARI BEBERAPA ASPEK - OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 58

BAB III PERAN MASYARAKAT INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN PENGUNGSI SURIAH 3.1 Kondisi Suriah - PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL (STUDI KASUS PENGUNGSI SURIAH) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 22

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 8

BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM HUMANITER - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 31