BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA Repository - UNAIR REPOSITORY

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERIUSIONAL DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA

S K R I P S L

H E R U P R A S E T Y O

O L E H

  

P A K U L T A 3 H U K U M U l - i l V E R S I T A S A I R L A M C j G A

S U R A B A Y A

1 9 8 3

  

BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL

DALAM HASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA

SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK MENCAPAI GELAR. SARJANA HUKUM

  HERU PRASETYO NO. POKOK 037710344

tfAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

S U R A B A Y A

  1 9 8 3.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

O L E H

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

KATA PEfoGANTAR Dengan mengucap puji dan syukur yang tak terhingga

ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, serta

berkat petunjukNya, maka selesailah saya menyusun skripsi

ini dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi salah satu

syarat untuk mencapai gelar sarjana di lingkungan Pakul-

tas Hukum Universitas Airlangga.

  Saya menyadari bahwa skripsi ini memang jauh dari sempurna. Karenanya ada harapan pada diri saya bahwa pe­ nulisan ini bukan merupakan suatu karya yang terakhir,

akan tetapi kiranya dapat dijadikan dasar dalam mengemban

segala tugas kehidupan yang dinamis untuk menyongsong ha-

ri esok yang lebih cemerlang.

  Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat : \ 1. bapak Dr. J.E. Sahetapy, S.H. Dekan Fakultas Hukum

  Universitas Airlangga beserta staf; 2. bapak J. Hendy Tedjonagoro, S.H. sebagai perabimbing pertama dan bapak Kermawan PS. Notodipoero, S.H. seba­ gai pembimbing kedua yang telah sudi meluangkan waktu- nya untuk memberikan bimbingan hingga selesainya skrip­ si ini;

  3. para Dosen dan Asisten di lingkungan Fakultas Kukum Universitas Airlangga yang telah membekali saya dengan ilmu pengetahuan yang berguna;

  4

  • * ayah dan ibu tercinta yang telah membiayai, mendorong,

    dan member! doa restu selaraa belajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga;

  5

. serta segenap handai taulan dan teman-teman yang tidak

sedikit memberikan bantuan balk materiil maupun moril aehingga saya dapat menyelesaikan kuliah.

  Akhir kata, dengan segala kekurangan yang ada se- moga skripsi ini dapat berraanfaat bagi siapa; saja; .

  Surabaya, 22 Agustus 1983 Penulis iv

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  DAFIAR ISI

  Hal am an

  KATA P E N G A N T A R ................................. ‘ iii DAPTAR ISI v PENDAHULUAN . . • . ..........................

  1 BAB

  I IINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBAJAKAN PESA- WAI UDARA' . . . . . . . . .

  11 1. Rumusan Yuridis Pembajakan Pesawat . Udara * ...........................

  11

  2. Perbedaaa Aspek Hukum Antara Pembajak- an Pesawat Udara dan Pembajakan Kapal Laut . . ..........................

  19 BAB

  II YURISDIKSI DALAM MENGADILI PELAKU PEMBA­ JAKAN PESAWAT U D A R A ............ ..

  22

  1. Yurisdiksi Mengadili Pembajak Menurut Hukum Internasional.................

  22

  2. Yurisdiksi Mengadili Pembajak Pesawat U d a r a ...............................

  24

  a. Wewenang Negara Di Mana Pesawat Didaftarkan . . . ...............

  27

  b. Wewengan Negara Yang Didarati Pesa­ wat Yang Dibajak Beserta Pembajak Di D a l a m n y a .....................

  31

  c. Wewenang Negara Di Mana Perusahaan yang Menyewa Pesawat Mempunyai

  T

  Tempat Uaaha Utama Atau Tempat Ting- gal T e t a p .........................

  IV LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN DAN PENANG- GU1ANGAN PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA . . .

  63 DAPTAR BACAAii

  54 KESIKPULAN DAN .................................

  2. Eewajiban. Negara-Negara Dalam Menang- gulangi Pembajakan Pesawat Udara Ber­ dasarkan. Konvensi ...................

  51

  1. Usaha Negara-Negara Mencegah Terjadi- nya Pembajakan Pesawat Udara • . . .

  50

  46 BAB

  32

  2. Penolakan Ekstradisi Berdasarkan Alasan Politik ...................

  37

  1. Daaar-Dasar Ekstradisi Dalam Masalah Pembajakan Pesawat Udara .........

  37

  33 BAB III EKSTRADISI PELAKU PEMBAJAKAN PESAWAT U D A R A ......................... ..

  d. Wewenang Negara Di Mana Pembajak Di- . ~ k e t e m u k a n .........................

  

vi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

PEKDAHULUAN Sampai saat ini, penerbangan sipil internasional merupakan sarana angkutan yang amat. penting di dunia dise- babkan kecepatan dan efisiensinya. Mengingat fungsi pe­

nerbangan ini, .maka perlu adanya jaminan keselamatan ter­

hadap pesawat, penumpang, dan awak pesawatnya demi kelan-

caran penerbangan tersebut* Memang, hingga saat ini bahaya-bahaya operasional dan gangguan alam atas kesela­

matan penerbangan relatif sudah dapat diatasi dengan ke-

majuan tehnologi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi adalah

eangat ironis apabila bahaya-bahaya yang datang dari manusialah yang sangat sukar untuk diatasi.^

  Bahaya-bahaya itu timbul karena penguasaan pesawat secara melawan hukum oleh pembajak-pembajak atau tindakan

lain yang mengganggu keselamatan penerbangan dan sarana

penerbangan, misalnya dengan menempatkan bom di pesawat

udara, pen^rusakan atau penghancuran sarana penerbangan

dengan jalan sabotase.

  Meskipun dalam beberapa kasus .pembajakan, data yang menunjukkan jumlah penumpang yang terkena akibat langsung

adalah relatif kecil, namun dapat diperkirakan bahwa yang

Agrawala, Aircraft Hijacking and Internatio­

nal Law. Bombay : N.M. Tripathy Private Ltd., 1973, h. 13

  1

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

menjadi korban pembajakan itu telah. mewakili hampir semua

negara di dunia, seningga dapat ditarik kesimpulan bahwa

pembajakan pesawat udara merupakan masalah dunia dan hu­ kum internasional.

  1. Permasalahan Penerbangan sipil internasional merupakan sarana penghubung antar negara, maka akibat pembajakan itu tidak hanya dirasakan oleh satu negara saja, akan tetapi akibat tersebut dapat dirasakan oleh banyak negara di dunia, dan

sebagai dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang RI No-

mor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963,

Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 pada

  

Alinea II, baiiwa kejahatan penerbangan wajib dinyatakan

sebagai suatu perbuatan pidana yang menimbulkan kepriha-

tinan bagi seluruh umat manusia, sehingga pencegahan ser­

ta pemberantasannya perlu diusahakan oleh setiap negara

dengan mengancam hukuman yang berat bagi si pelaku di ma-.

  2

napun ia berada. Jadi di sini pembajakan pesawat udara

dianalogikan seperti pembajakan kapal di laut, yaitu me­

rupakan "delict jure gentium", yang pada dasarnya pelaku

pembajakan dapat ditangkap, diadili, dan dihukum oleh.

  ^Chiair Ali, Himpunan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan tentang Ekstradisi, Ke.ianatan Penerbangan, Ke- janatan Narkotika, Interpol, Persetu.juan Ker.jasama di Bi- aang Peractilan, Bina Uipta, Bandung, flesember 1980r h.177 Dibandingkan dengan pembajakan kapal di laut, maka pembajakan pesawat udara merupakan masalah yang baru, sebab kwantitas dan kwalitas pembajakan pesawat udara mulai berkembang dengan pesat sejak sekitar tahun i960

di mana sebagian besar mempunyai motif politik. Hanya se-

bagian kecil saja yang mempunyai motif kriminal seperti

  3 'S.K. Agrawala, loc. cit.

  semua negara atas dasar "bahwa pembajakan adalah "hostis humani generis" atau musuh seluruh umat manusia. Akan tetapi melihat tempat dilakukan, motif pembajakan, dan

korbannya, maka masyarakat dunia memandang pembajakan pe­

sawat udara secara yuridis berbeda dengan pembajakan ka­

pal di laut, meskipun dalam beberapa hal ada sedikit per-

samaan. Oleh karenanya perlu ditelaah, apakan yang dimak-

sud dengan pembajakan pesawat udara itu, dan aspek-aspek

hukum apa yang membedakan pembajakan pesawat udara dengan

pembajakan kapal.'di laut ?.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  • * perampasan harta benda dan permintaan uang tebusan, Berhubung hampir semua korban pembajakan ini ada­ lah pesawat-pesawat udara dari penerbangan sipil milik

    negara, maka negara-negara dalam masyarakat internasional

    sepakat untuk menentukan yurisdiksi dalam mengadili pem­

    bajak yang tertangkap. Dasar pemikiran untuk menentukan

    yurisdiksi ini adalah pandangan masyarakat dunia yang tidak lagi memandang pembajakan pesawat udara sebagai

  4 suatu "delict jure gentium", tetapi merupakan perbuatan pidana biasa yang diancam dengan hukuman yang berat.^ Sehingga dalam menangani masalah ini dipakai asas "aut punire, aut dedere", yaitu penjahat harus dihukum oleh

negara teritorial atau diserahkan kepada negara yang ber­

wenang untuk menjalankan yurisdiksi terhadap pelaku keja­

hatan tessebut. Namun karena sebagian besar pembajakan pesawat udara mempunyai motif politik, pesawat yang men­

jadi korban pembajakan, dan negara-negara yang berkepen-

tingan dengan pembajakan tersebut sering bertentangan

satu dengan lainnya, maka pertanyaan mengenai negara mana

yang berwenang mengadili pembajak, masih merupakan dilema,

Baru pada tahun 1970 masalah ini dapat dipecahkan, yaitu

setelah adanya "Convention for the Suppression on Unlaw­ ful Seizure of Aircraft", atau lebih dikenal dengan Kon­

vensi The Hague 1970, di mana dalam pasal 4 Konvensi Ini

ditentuican mengenai negara-negara mana yang berwenang un­

tuk mengadili pembajak yang tertangkap. Wewenang yang di-

berikan oleh Konvensi The Hague 1970 untuk menetapkan yu­

risdiksi adalah merupakan suatu perkembangan yang berbeda

dengan wewenang menetapkan yurisdiksi yang ada pada pemba­

jakan kapal laut.

  ^Pasal 7 konvensi The Hague 1970 menyatakan ; "...

for the purpose of prosecution, those authorities shall

take, their aecision.in the .same manner as in the case of

any ordinary offence of serious nature ...".

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Dengan adanya Konvensi The Hague 1970, maka ada

suatu dasar hukum untuic menetapkan yurisdiksi. Namun kon­

vensi ini belum merupakan suatu alat yang "applicable",

karenanya masih memerlukan penafsiran mengenai wewenang-

wewenang yang bagaimana yang timbul pada negara-negara anggota yang meratifikasi konvensi The Hague dengan adanya hak untuk menetapkan yurisdiksi seperti yang terdantum dalam pasal 4 Konvensi The Hague tersebut ?.

  Karena hampir semua pembajakan pesawat udara dila­ kukan dengan motif politik, maka kemungkinan terbesar adalah pelaku pembajakan itu melarikan diri ke negara

yang dapat memberikan suaka politik pada dirinya. Dalam

hal demikian, maka timbul suatu kontradilcai antara -.pemba-

jakan sebagai suatu tindak pidana biasa dan pembajakan

sebagai suatu kejahatan politik, sebab sudah menjadi aSa's

yang umum bahwa tanpa suatu perjanjian ekstradisi dan terhadap pelaku kejahatan politik tertentu, ekstradisi

tidak dapat dilaksanakan. Karenanya perlu kiranya ditela-

ah pelaku pemoajakan yang b^gaimanakah yang dapat dieks-

tradisikan dan apa dasar pelaKsanaan ekstradisi tersebut?

Lebih lanjut, apabila ada negara yang menolak mengekstra- disi pelaku pembajaican dengan alasan politik, langkah apa

yang perlu diambil untuk menyelesaikan masalah pembajakan

pesawat udara yang sangat merugikan kepentingan interna­

sional itu ?.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Pembajakan pesawat udara selain raengancam kesela- matan jiwa maupun harta, juga raerupakan tindakan yang sa-

ngat mengganggu dan menghambat perkembangan lalu-lintas

udara internasional, serta menyebabkan kepercayaan masya-

rakat terhadap keamanan penerbangan sipil menjadi berku-

rang, Oleh. karenanya perlu diusahakan pencegahan dan pe-

nanggulangannya, hal ini diperlukan suatu tindakan yang

konkrit dari setiap negara. Masalahnya sekarang adalah,

langkah-langkah apa yang perlu diambil oleh. setiap negara

guna raencegah terjadinya pembajakan pesawat udara terse-

but ?. Dan apabila dengan pencegahan masih terjadi juga

pembajakan terhadap pesawat udara, raaka perlu kiranya di­

ambil langkah-langkah penanggulangan. Dalam iangkah pe-

nanggulangan inilah kiranya diperlukan suatu kerjasama

antar negara dengan suatu kesepakatan bertindak yang ter-

tuang dalam konvensi-konvensi mengenai pemberantasan ke-

jahatan penerbangan. Karena itu perlu ditinjau kewajiban

apa yang harus dilaksanakan setiap negara dalam menanggu-

langi masalah pembajakan berdasarkan konvensi-konvensi

yang ada ?

  Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penulisan ini akan mencoba untuk membaiiaa mengenai penentuan yuris-

diksi, wewenang yangtimbul pada negara yang menetapkan

yurisdiksi, ekstradisi, dan langKah-langkah pehanggulang-

an masalah pembajakan pesawat udara sebagai suatu aspek

hukum internasional dengan mengambil dasar-dasar

  7 ketentuan yang ada dalam Konvensi ‘ lokyo 1963, Konvensi

The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, ^ang oleh. Pe-

raerintah Indonesia telah diratifikasi menjaai Undang-

  Undang RI Nomor 2 Tahun 1976 (LNRI Ho, 18 - 1976).

  2. Alasan pemilihan ,judul Dalam hal terjadi pembajakan pesawat udara, maka akan timbul berbagai macam aspek, yaitu aspek yuridis,

ekonomis, dan sosial. Diantara aspek yuxidis yang timbul

misalnya tentang penentuan yurisdiksi, ekstradiai pelaku

kejahatan, dan penghukuman terhadap pembajak yang tertang- kap* Keseluruhan aspek ini dibahas untuk raencari jalan

dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan pe-

nerbangan pada waktu-waktu yang akan datang.

  Karena usaha pencegaiian dan penanggulangan pemba-

jakan pesawat udara harus dilakukan secara internasional,

maka penulisan ini mengambil judul !I3K33RAPA ASPEK HUKUM

Mitfii'USl'ji'iAl DAlAfr MASALAH PiiH^AJAKAN PSSAWAT UDARA"-

  Di sini dipakai kata "beberapa" dalam pemberian

judul, sebab tidak keseluruhan aspek hukiun internasional

akan dibahas dalam penulisan ini, mengingat akibat dari

pembajaacan itu sendiri yang sangat luas, sedangkan penu-

lisan ini hanya membahas mengenai masalah yurisdiksi, e^cstradisi, dan efektifitas hukum internasional dalam mencegah dan raenanggulangi pembajakan pesawat udara.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  8

  3. Tu.juan penulisan Sesuai dengan judul skripsi, maka penulisan ini

akan membahas mengenai aspek-aspek hukum yang timbul apa-

bila terjadi kasus pembajakan pesawat udara, dan pemba-

hasan ini akan difokuskan pada hukum internasional.

  Secara umum, saya mengharap agar penulisan ini da-

pat membantu mengembangkan hukum internasional dan hukum

nasional, terutama hukum penerbangan. Dilain pihak, penu­

lisan ini bermaksud menganalisa dan mengevaluasi ketetapan- ketetapan yang ada dalam konvensi Tokyo 1963* Konvensi

The hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 dalam bentuk

yang obyektif sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana

pemecahan masalah pembajakan pesawat udara tersebut.

  4 , ftletode pendekatan Sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan yaitu

mengevaluasi dan menganalisa ketentuan-ketentuan yang ada

dalam konvensi, maka penulisan ini tidak hanya mengete-

ngahkan gajnbaran umum dan penafsiran dari konvensi- konvensi yang ada, akan tetapi juga berusaha untuk meng­

analisa dan menilai ketentuan-ketentuan tersebut (metode

deskriptif-analitis), dengan menitik-beratkan pada studi

kepustakaan, disamping mengajukan beberapa kasus (case study) sebagai suatu bahan perbandingan.

  ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  5. Sistematika dan pertan^gungjawaban Agar mudah untuk diikuti, maica penulisan ini akan saya ba&i dalam beberapa tahap pembahasan. Sebagai bab

Pendahuluan, saya kemukakan mengenai permasalahan, tujuan

penulisan, metode penulisan, sistematika dan pertanggung-

jawaban penulisan.

  Masyarakat memandang pembajakan pesawat udara meru- pakan suatu bentuk kejahatan yang berbeda dengan pembajak-

an kapal laut. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa la-

tar belakang, cara dilakukan, korban kejahatan, dan ke-

pentingan dari pihak-pihak yang dirugikan yang berbeda antara keduanya, sehingga perlu kiranya secara umum di­

tin jau kembali mengenai masalah ini dalam arti perumusan

secara yuridis, dan faktor-faktor yang membedakan pemba­ jakan ini dengan pembajakan kapal di laut (Bab I).

  Dalam hubungan ini, karena negara-negara sepakat

memakai asas "aut punire, aut dedere" dalam menyelesaikan

masalah ini, maka perlu ditentukan yurisdiksi dalam meng-

adili pembajak yang tertangkap dengan dasar-dasar keten-

tuan internasional yang terdapat dalam konvensi-konvensi

mengenai pemberantasan pembajakan pesawat udara, dengan

perincian seperti yang tercantum dalam pasal 4- Konvensi

The Hague 1970, yang memberikan wewenang untuk menetapkan

yurisdiksi (to establish its jurisdiction) kepada negara

di mana pesawat didaftarlcan, negara yang didarati pesawat

beserta pembajak, negara di mana penyewa pesawat mempunyai

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

tempat usaha utama atau tempat tinggal tetap, dan negara

di mana pembajak diketemukan (Bab IIJ. iiengan dasar ketentuan yurisdiksi tersebut, ber-

arti tidak semua negara berwenang mengadili dan menghukum

pelaku pembajakan, sehingga dda kemungkinan suatu negara

menuntut ekstradisi pelaku kejahatan untuk diadili di ne-

garanya, Karenanya perlu ditinjau dasar-dasar ketentuan

ekstradisi yang oerhubungan dengan kejahatan tersebut. J)i

lain pihak, sebagian besar pembajakan dilakukan dengan

alasan politik, maka tujuan dari pelaku adalah melarikan

diri dari tuntutan pengadilan ke negara yang dapat membe-

rikan suaka politik, dan negara ke mana pembajak melarikan diri adakalanya menolak permintaan ekstradisi tersebut.

Oleh sebab itu perlu ditinjau tanggungjawab negara yang

menolak ekstradisi dengan alasan politik dalam usaha men-

cegah dan menanggulangi pembajakan pesawat udara (Bab III).

  Akhirnya sebagai suatu langkah konkrit dari negara-

negara yang sepakat untuk meraberantas pembajakan pesawat

udara, maka penulisan ini akan membahas ipengenai usaha

untuk mencegah terjadinya pembajakan pesawat udara, dan

kewajiban negara-negara dalam usaha menanggulangi masalah ini berdasarkan ketentuan yang ada dalam konvensi sebagai suatu kesepakatan untuk bertindak (Bab IV).

  Penulisan ini aican saya akr,iri dengan kesimpulan

dan saran sebagai usaha untuk menanggulangi pembajakan

pesawat udara.

  1 0

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  BAB I TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA Pembajakan pesawat udara hingga saat ini dapat di- anggap sebagai salah satu sarana paling efektif untuk rae-

maksakan kehendak. Dengan pengorbanan uang, tenaga, dan

jiwa yang relatif kecil, aerta dengan cara yang non-mili- ter, dapat dicapai suatu tujuan, baik tujuan pribadi mau- pun tujuan perjuangan kelompok tertentu.

  • Persoalan politik masih merupakan motif yang umum dalam kasus pembajakan pesawat udara, meskipun tidak dapat dipungkiri adanya motif-motif kriminal, misalnya pelarian

    penjahat dari tuntutan hukuman atau permintaan uang te-

    busan dengan menyandera pesawat.^ £1 . Rumusan yuridis pemba;jaitan pesawat udara, Istilah "pembajakan pesawat udara", secara analogis diambil dari istilah pembajakan kapal di laut yang ada di

    dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), atau ter-

    jemahan langsung dari bahasa Inggris, yang menggunakan

    istilah "aircraft hijacking", 11 sky-jacking”, ''aircraft

  5 ^Alona E. Evans, “Aircraft Hijacking : What is to be Done ?H,American Journal of International Law, Vol. 66

  October 1972, h. 819.

  

11

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

12 piracy", dan "aerial piracy" di mana istilah ini bukanlah

merupakan istilah formal yuridis, tetapi hanya sebagai

"cap" sehari-hari yang ditujukan untuk suatu perbuatan

kekerasan yang dilakukan di. dalam pesawat udara yang se~

dang dalam penerbangan (in flight). Sebagai suatu gambar-

an mengenai apa yang dimaksud dengan pembajakan pesawat

  ,

udara maka sebaiknya kita melihat beberapa kasus yang

pernah terjadi yang oleh umum dianggap sebagai "pembajak­

an pesawat udara1*.

  Pada tanggal 1 Mei 1961, sebuah pesawat terbang Amerika dibajak menuju Kuba. Pada saat itu orang berang-

gapan bahwa pembajakan itu sebagai kelanjutan dari pe-

rang dingin antara Amerika dengan Kuba, Pembajakan ini di­

anggap sebagai pembalasan Pemerintah Kuba terhadap Ameri­

ka, dengan menolak mengembaiikan pesawat beserta pembajak ke Amerika. Bahkan Kuba mengabaikan penghukuman terhadap pembajak yang tertangkap. ,

  Lama-kelamaan, pembajakan pesawat ini tidak hanya

terjadi karena alasan politis, tetapi para penjahatpun

mempergunakan kesempatan ini untuk tujuan pemerasan dan

melarikan diri rari tuntutan hukum, seningga hal ini me- repotkan Pemerintah Kuba sendiri. Akhirnya, sepuluh tahun

kemudian pendirian Kuba berubah, yaitu ketika tiga orang

  ^"Laporan Internasional 1' , Tempo, 29 Desember 1973, h. 12. . . . narapidana w&rga negara Amerika membajak sebuah pesawat

"Southern Air Lines", dan melarikannya Ice Kuba dengan me-

minta uang tebusan sebesar 10 juta dollar. Akan tetapi begitu pesawat mendarat, telah disongsong oleh pasukan keamanan Kuba , yang dipirapin oleh Fidel Castro sendiri,

  7 dan akhirnya pembajak dapat dilumpunkan dan ditawan. * Sementara itu di bagian dunia lain, yakni di ka-

wasan Timur Tengah, khususnya setelah terjadinya konflik

senjata bulan Juni 1967 antara negara-negara Arab dan Is­

rael, pembajakan pesawat udara berkembang1 dengan sangat

mengerikan dan seolah-olah merupakan satu-satunya alat

untuk mencapai tujuan politik. Pembajakan pesawat udara

di kawasan ini banyak dilakukan oleh orang-orang Palesti-

na yang menamakan dirinya sebagai Pront Populer Pembebas-

an Palestina (P.P.L.P.) terhadap pesawat-pesawat Israel

dan sekutu-sekutunya* Beberapakali usaha mereka berhasil,

diantaranya pembajakan yang dilakukan oleh seorang wanita

yang bernama Laila Khaled terhadap pesawat "El Al" pada

tanggal 6 September 1970 di kawasan udara kota London.

Pesawat tersebut tinggal landas dari lapangan udara Schi-

phol, Amsterdam, dengan tujuan New York. Namun pembajakan

terseDut dapat digagalkan dengan tewasnya seorang pemba-

jak dan seorang luka-luka.

  13 "Laporan Internasional", Tempo , 2 Desember 1972, h. 10.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  14 Pada waktu yang bersamaan dengan pembajakan yang

gagal tersebut, telaJi dibajak pula empat buah pesawat u-

dara dari berbagai maskapai penerbangan sipil (BOAC, P M

AM, TWA, dan SWISS AIR), dengan tujuan New York. Keempat

pesawat tersebut berhasil dibajak dan diubah arah pener-

bangannya. Tiga pesawat dipaksa mendarat di padang pasir

  Yordania, dan setelah para penumpang dibebaskan, para

pembajak meledakkan pesawat-pesawat tersebut, sedangkan

aebuah pesawat lainnya (PANAH), dilarikan ke Kairo dan

Q aknirnya diledakkan di sana

  Pembajakan pesawat udara tidak hanya terjadi ter­ hadap pesawat-terbang di luar negeri saja, bahkan pesawat ‘ Indonesia pun pernah menjadi korban pembajakan, yaitu

terhadap pesawat MHA “Merauke", pada sekitar bulan April

  

1972, di mana tujuan pesawat yang semula ke Surabaya, de­

ngan menggunakan kekerasan diubah menuju ke Jogyakarta.

  Akan tetapi pembajakan ini dapat digagalkan oleh awak

  9 pesawatnya . J Peraoajaican lain terjadi terhadap pesawat G-IA "Woy- la", yang dilakukan oleh "Jama*ah Imron" pada tanggal 28

  Maret 1981. Pembajakan terhadap pesawat DC-9 dengan jalur penerbangan Jakarta-Palembang-Medan ini secara paksa Q Tempo, 29 Desember 1973» loc. cit.

  9»uu Itu Belum Dipakai”, Tempo, 11 April 1981, h. 57.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

diterbangkan ke Bangkok. Akan tetapi beberapa saat sete­

lah mendarat di Don Muang Airport, Bangkok, Pembajak da-

pat dilumpuhkan. Namun s'eorang anggota ABRI dan seorang

kapten pesawat gugur dalam penyerangan.'1 '^

  Melihat kejadian-kejadian tersebut, ternyata pemba­ jakan pesawat udara sebagai suatu sarana untuk meraaksakan

kehendak masih belum berakhir. Ini terbukti dengan pembe-

ritaan beberapa suratkabar, seperti pembajakan terhadap

pesawat "Kuwaiti Airways" pada tanggal 24 Pebruari 1982,

di mana pesawat yang berangkat dari Tunisia menuju Kuwait

diserbu dan dibajak tak lama setelah mendarat di lapangan udara Beirut. Pembajakan yang dilakukan oleh sembilan

orang bersenjata yang mengaku dirinya sebagai gerilyawan

Ammal Malitia, organisasi politik militer Islam Syiah Li-

banon itu, menuntut penyelidikan atas hilangnya pemimpin

mereka ketika berkunjung ke Libya,^

  Bain pula di Jepang, pada tanggal 7 Januari 1983

sebuah pesawat Boeing 747 milik maskapai penerbangan KAL,

mengad&kan pendaratan darurat di lapangan udara Narita,

'Tokyo, setelan ada surat ancaman yang menyatakan terdapat

  

12

sebuah bom di dalam pesawat. Pesawat itu sedang dalam

  ^"Berakhir, Drama Pembajakan Pesawat Kuwait", Kom- pas, 26 Pebruafi 1982, h. VII.

  12"Terancam Bom", Surabaya Post, 8 Januari 1983,h h. 1 .

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

16

penerbangan dari Anchorage, Alaska, menuju Seoul. Drama

pembajakan ixii beraKhir setelah tertangkapnya seorang pe- muda warga negara Kanada kelahiran Hongkong oleh. polisi

  

Jepang, Motif pembajakan ini tidak diketahui, akan tetapi

diduga pemuda tersebut mengidap sakit ingatan.^ Kasus-kasus tersebut adalah beberapa contoh saja

mengenai "pembajakan pesawat udara" yang hanya merupakan

istilah umum, yakni suatu sebutan dengan fuang lingkup yang mempunyai jangkauan secara internasional, atau de­

ngan kata lain merupakan suatu “international public opi­

nion". Oleh karenanya perlu disadari bahwa kasus-kasus tersebut belum meraberikan suatu gambaran yang tepat me­

ngenai "pembajakan pesawat udara11. Betapa tidak, karena

dalam kasus-kasus yang telah diketengahkan tidak disaji-

kan unsur-unsur yang memberikan syarat suatu'"pembajakan

pesawat udara", tetapi lebih merupakan suatu produksi ba-

han baku. yang informatif belaka, Memang, dalam kasus-

kasus tersebut sering disebut^an mengenai "pembajakan pe­

sawat udara", tetapi kriterianya belum cukup ditonjolkan

sehingga belum raarapu menjamin kokohnya konstruksi yuridis

untuk mengkwalifikasikan perbuatan pidana dengan predikat

  "psmbajaican pesawat udara".

  Karenanya dalam meninjau masalah pembajakan ini ^"Qrang yang Mengaku Memasang Bora di Pesawat KAL Ditarigkap", Surabaya Post, 10 Januari 1983. h. 7.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

17 dadi segi hukum, yang menjadi persoalan pertama adalah

mengenai dasar hukumnya. Untuk keperluan ini maka sebaik-

nya kita melihat konvensi-konvensi internasional yang mengatur mengenai kejahatan penerbangan.

  Sampai sejauh ini, perbuatan "pembajakan pesawat udara" diatur secara mandiri dalam konvensi-konvensi in­

ternasional, yakni Konvensi Tokyo 1963 tentang "Offences

and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft"

  

(Pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan Tertentu

Lainnya yang Dilaxukan Dalam Pesawat Udara), Konvensi The

Hague 1970 tentang "The Suppression of Unlawful Seizure

of Aircraft" (Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Se­

cara Melawan Hukum), dan Konvensi Montreal 1971 tentang

"The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of

Civil Aviation" (Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan

Hukum yang Mengancam Keselamatan Penerbangan Sipil).

  Pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :

  a. Dalam Konvensi Tokyo 1963 : Pemoajaitan pesawat udara dirumuskan dalam pasal 11 ayat 1 seoa^ai berikut : When a person on board has unlawfully committed by force or tnreat tnereof an act of interference sei­ zure or otner wrongfull exercise of control of an aircraft in flight or when such an act is about to be i committed, ...

  b. Dalam Konvensi The Hague 1970 : Konvensi ini merumuskan "pembajakan pesawat udara11 seperti tertulis dalam pasal 1 sebagai berikut :

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  18 Any person who on board an aircraft in flight : (a). Unlawfully bjr force or threat thereof or by any other form of intimidation, seizes, or exercise control of that aircraft, or attempt to perform any such act or; (b). is an accomplice of a person who performs or at­ tempts to perform any such act. Commits an offence (hereinafter referred it as "the offence").

  c. Dalam Konvensi Montreal 1971 : Sesuai dengan judul konvensi tersebut, maka dalam pasal 1 disebutican bahwa yang dimaksua dengan perbuatan yang membanayakan penerbangan sipil adalah :

  Any person commits an offence if he unlawfully and intentionally : (a), perform an act of violence against a person on board an aircraft in flight, if that act is like­ ly endanger the safety of that aircraft, or; (b). destroy an aircraft in secvice or causes damage to such an aircraft in which renders it incapable of flight or which is likely to endanger its sa­ fety in flight, or ; (c). places or caused to be placed on aircraft in ser­ vice by any mean whatsoever, a device or sub­ stance which likely to destroy that aircraft or causes damage to it renders it capable of their flight, or causes damage to it which likely to endanger it safety in flight, or ; (d). destroy or damage air navigation facilities or interferes with their operation, if any such act is likely endanger the safety of aircraft in flight, or ; (e). communicates information which he knows to be false, thereby endangering the safety of an air­ craft in flight. Any person also commits an offence if he : (aj. attempts to commits of offences mentioned in paragraph 1 of this Article ; (b). is an accomplice of a person who commits or at­ tempts to commit any such offence.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

1 9

  Dengan demikian secara yuridis dapat dikatakan

bahwa "pembajaKan pesawat udara" adalah suatu perbuatan

dengan ciri-ciri sebagai berikut :

(1 ). setiap orang yang melakukan, atau membantu melakukan

  (an accomplice of a person), atau o£ang yang ikut campur-tangan melakukan perbuatan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau ancaman dalam bentuk lain;

  

(2), untuk merampas, atau raenguasai kendali pesawat udara;

(3 ). dilakukan dengan kesengajaan dan secara melawan hu­ kum; (4J. perbuatan tersebut dapat pembafrayakan keselamatan penumpang, awak pesawat, dan pesawat udara yang ada dalam penerbangan,

  Jadi gambaran maksimal yang bisa dikemukakan dalam

mendalaini masalah ini adalah dengan meneliti kasus-ka3us

yang pernah terjadi.

  

2. Perbedaan aspek hukum antara pemba.iakan pesawat udara

dan pembajakan kapal laut Pada mulanya pemba jaacan pesawat udara dianalogikan seperti pembajakan kapal laut, yang merupakan suatu keja- hatan yang menimbulkan bencana bagi umat Tnanusia atau

"nostis humani generis’1, dan kejahatan ini merupakan “de­

lict jure gentium". Pendapat ini didasarkan pada ketentuan

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

2 0

mendefiuisikan pembajakan sebagai suatu “delict jure gen­

tium" sebagai berikut :

  Any illegal acts violence, detention, or any act of depredation, committed for private ends by crew or passenger of private ship or private aircraft and di­ rected :

  (a), on High Seas against another ship or aircraft or against person or property on board such ship or aircraft; (b). against ship, aircraft, person, or property in place outside the jurisdiction of any State ... Kalau ditinjau kasus-kasus pembajakan pesawat uda­

ra yang sering terjadi, maka ada suatu perbedaan antara

pembajakan pesawat udara menurut pengertian Konvensi Je-

newa 1958 dengan praktek pembajakan dalam pengertian se-

hari-hari. Hal ini akan raenimbulkan pula perbedaan aspek

hukum dalam menangani kasus pembajaican yang terjadi,

  Menurut pasal tersebut, pembajakan dilakukan "in a place outside the jurisdiction of any State",atau Mon the

High Seas" sedangkan pembajakan pesawat udara dalam prak­

tek dapat terjadi di mana saja di dalam wilayah suatu

negara, bahkan dapat dilakukan dengan menyerang pesawat

yang ada di lapangan terbang dalam wilayah suatu negara

atau dengan jalan sabotase. Selain itu menurut pasal 15

Konvensi Jenewa 1958 tersebut dinyatakan bahwa pelaku pem­

bajakan adalah "by the crew or passenger against another

aircraft", sedangkan dalam prakteknya pembajakan pesawat

udara selalu dilaKukan di dalam pesawat yang sama dengan

melakukan penguasaan kendali pesawat dengan sengaja dan

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

2 1

  14 secara melawan hukum. Sebagai duatu perbandingan, Priyatna Abdurrasyid

menyatakan banwa pembajakan pesawat udara adalah perbuat-

an mengubah tujuan pesawat udara secara melawan hukum da­

ri tujuan asal dengan cara kekerasan atau ancaman kekeras- axi (illegal difertion on aircraft in flight).^

  Meskipun pembajakan pesawat udara tidak dapat di- masukkan ke dalam "delict jure gentium" secara keseluruhan

namun apabila kita teliti kasus-kasus yang pernah terjadi

maka tidaklah mungkin suatu negara menanggulangi sendiri

masalah tersebut, karena pada umumnya selalu melibatkan

lebih dari satu negara sehingga timbul masalah hukum yaitu

menentukan yurisdiksi dalam mengadili pembajak yang ter-

tangkap dan masalah ekstradisi pembajak ke negara yang

berwenang mengadilinya.

  ^Konvensi Tokyo 1963, pasal 11; Konvensi The Ha­ gue 1970, pasal 1 sub a, supra, h. 17 - 18.

  ■^Priyatna Abdurrasyid, "Tinjauan tentang Masalah

Pemuajaican Udara, Suatu Kejahatan Internasional", Sinar

Harapan, 22 Nopember 1976

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  w a T UDARfU

  1

. Xurisdiksi mengadili pemba.jak menurut hukum internasi­

onal Hukum internasional memberikan hak dan kewajiban

kepada negara-negara untuk melindungi dan menjalankan yu­

risdiksi atas orang, benda, dan perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh warga negaranya.

  Dalam masalah pembajakan,'maka.semua negara mempu-

nyai hak untuk menjalankan yurisdiksinya, karena seperti

telah disinggung dalam bab terdahulu bahwa pembajakan merupakan "hostis humani generis", sehingga pelaku penba-

jakan dapat ditangkap, diadili, dan dihukum oleh semua

negara. Di sini diterapkan asas yurisdiksi dengan asas

universal.1^ Pembajak biasanya dikenal sebagai orang yang

mexakukan kejahatan yang bertentangan dengan hukum inter­

nasional di mana semua negara berusaha untuk menghukumnya, Dalam kasus United States v. Smith (1820) Hakim Story menyatakan bahwa secara hukum icebiasaan internasional

pengakuan dan penghukuman terhadap pembajakan sebagai su­

atu kejahatan tidak hanya bertentangan dengan hukum suatu

Starke, An Introduction to International Law,

di3adur oleh P. Isjwara, Alumni, Bandung, 1972, h. 144.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  23

daerah, tetapi lebih merupakan kejahatan yang bertentang-

an dengan hukum bangsa-bangsa yang merupakan bagian dari

hukum kebiasaan internasional. Kejahatan itu bertentangan

dengan hukum masyarakat yang universal, dan merupakan bencana bagi seluruh umat manusia.^

  Senubungan dengan asas yurisdiksi universal terha­

dap pembajakan, Hakim Hackworth menyatakan bahwa yang di-

maksud dengan pembajakan adalah orang atau kapal-kapal

yang terlibat dalam operasi bajak laut di laut lepas yang

tidak mendapat perlindungan dari negara manapun, dan da­ pat, dihukum oleh negara yang menangkap dan menahannya.

  

Sedang Sub-Committee of League Nation Committee of Expert

for the Progressive Codification of International Law, menyatakan bahwa senubungan dengan hukum internasional

maka yang dimaksud dengan pembajakan adalah mereka yang

melakukan pelayaran di laut dengan tujuan pribadi tanpa

suatu perintah dari Pemerintah suatu negara dan bermaksud

mengadakan perampasan barang atau tindakan kekerasan ter-

.

  18 hadap orang lain.