BAB III AKIBAT HUKUM OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PTN-BH DITINJAU DARI BEBERAPA ASPEK - OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH) Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB III AKIBAT HUKUM OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PTN-BH DITINJAU DARI BEBERAPA ASPEK

3.1 Otonomi dalam Pengelolaan Keuangan PTN-BH

  Dalam UU Dikti, bentuk-bentuk otonomi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yakni otonomi akademik dan otonomi non-akademik. Otonomi akademik merupakan otonomi yang secara kodrati dimiliki oleh PTN sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi. Otonomi akademik dapat berupa otonomi keilmuan, bahwa otonomi keilmuan diartikan bahwa PTN sebagai lembaga akademik dapat melaksanakan fungsi pendidikan secara mutlak tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sedangkan dalam otonomi non-akademik dikenal beberapa bentuk yang diantaranya adalah otonomi pengelolaan keuangan, otonomi pengelolaan ketenagaan, otonomi pengelolaan struktur dan organisasi PTN. Bentuk-bentuk otonomi sebagaimana disebutkan diatas merupakan bentuk pemberian kewenangan peraturan perundang-undangan kepada PTN-BH.

  Bentuk-bentuk pemberian kewenangan peraturan perundang-undangan secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

  

45

  tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan). Dalam UU Administrasi Pemerintahan dikenal 3 (tiga) bentuk pemberian kewenangan 45 yakni atribusi, delegasi, dan mandat yang diartikan sebagai berikut :

  Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.

  75

  1. Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh UUD NRI 945 atau undang-undang.

  2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.

  3. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugar tetap berada pada pemberi mandat.

  Tentunya, kewenangan otonomi yang diberikan kepada PTN-BH secara umum sebagai bentuk dari otonomi merupakan suatu bentuk pemberian kewenangan secara atribusi karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang. Terkait dengan keberadaan otonomi masing-masing PTN-BH kewenangannya diberikan secara delegasi, artinya kewenangan PTN-BH didapat dari kedudukan Statuta masing- masing PTN-BH. Statuta PTN-BH dalam UU Dikti diberikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukum utama dalam pengelolaan PTN- BH. Pendelegasian kewenangan PTN-BH diartikan sebagai pelimpahan kewenangan secara penuh dari Menteri Pendidikan Nasional sebagai pengelola pendidikan tinggi kepada Rektor masing-masing PTN-BH. Dengan demikian segala bentuk tanggung jawab dan tanggung gugat sepenuhnya beralih kepada Rektor masing-masing PTN-BH.

  Dalam pelaksanaan pengelolaan PTN-BH, otonomi diartikan sebagai penyerahan kewenangan yang akan dikelola secara mandiri oleh PTN-BH. Dalam hal otonomi akademik, penyerahan kewenangan pengelolaan bersifat benar-benar mandiri tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sedangkan dalam otonomi non- akademik bentuk otonomi tidak dilakukan secara penuh melainkan masih terdapat campur tangan pihak lain yakni pemerintah. Dapat dikatakan bahwa bentuk penyerahan kewenangan ini lebih mencocoki sebagai istilah semi-otonom. Hal ini dicontohkan dalam pengelolaan keuangan PTN-BH, Pemerintah tetap memberikan anggaran senilai 20% (dua puluh persen) dalam pendidikan dengan pertanggungjawaban yang disesuaikan dengan dengan peraturan perundang- undangan yang ada. Pengelolaan keuangan PTN-BH dikatakan semi-otonom karena PTN-BH tidak dapat secara mandiri mengelola keuangan yang diberikan oleh Pemerintah dan harus sesuai dengan rambu-rambu UUKN sebagai peraturan pokok terkait dengan keuangan negara.

3.2 Akibat Hukum Terkait Barang Milik Negara berupa Tanah dan Bangunan serta Hak Atas Tanah

  Pengelolaan tanah negara merupakan salah satu aspek yang diberikan sebagai bentuk Otonomi PTN. Tanah sebagai aset yang dimiliki PTN terkait dengan kepemilikan tanah negara yang dilakukan pengelolaan oleh PTN. Dalam

  Pasal 65 ayat (3) huruf a UU Dikti jo. Pasal 24 ayat (1) PP Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Tinggi menegaskan kekayaan PTN-BH adalah suatu bentuk kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. Dapat diartikan bahwa, dengan adanya otonomi PTN maka kekayaan negara yang semula melekat pada PTN menjadi milik sepenuhnya dari PTN-BH kecuali tanah. Tanah sebagai salah satu aset negara tidak dipisahkan dikarenakan kedudukan Hak Menguasai Negara atas Tanah. Hak menguasai negara atas tanah hakikatnya merupakan salah satu bentuk kewenangan negara untuk mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, rakyat Indonesia sebagai pemegang hak tertinggi memberikan mandat pengelolaan tanah yang diberikan kepada sebuah otoritas tertinggi yang dinamakan sebagai negara.

  Dalam UU Perbendaharaan Negara, telah dijelaskan bahwa Tanah dan Bangunan merupakan bagian dari kajian pengelolaan keuangan negara. Dapat dikatakan bahwa keberadaan tanah dan bangunan sebagai bentuk barang milik negara merupakan aset tidak bergerak yang pengaturannya selain bersumber pada UU Perbendaharaan Negara juga bersumber pada Undang-Undang Nomor 5

  46 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada UU

  Perbendaharaan Negara mengatur terkait pengeloaan tanah yang dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah sedangkan pada UUPA hanya mengatur perihal ketentuan perolehan tanahnya saja. Dapat dismpulkan bahwa pengaturan dalam UU Perbendaharaaan Negara hanya terbatas pada pengelolaan tanah dan 46 bangunan yang menjadi milik negara dengan kata lain, UU Perbendaharaan

  Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043. Negara merupakan lex specialis dari UUPA sebagai lex generalis.

  Mengenai konsep secara umum mengenai Hak Pakai atas tanah muncul dalam Pasal 16 UUPA dan diaatur secara khusus dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Selain UUPA, terdapat peraturan yang lebih spesifik yang mengatur mengenai Hak Pakai atas tanah yakni dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

  47 Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah . Berdasarkan Pasal 41

  ayat (1) UUPA, Hak Pakai atas Tanah adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanhanya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Dalam pengertian tersebut terdapat beberapa peristilahan yang bermakna bias yakni kata “menggunakan tanah” dan “memungut hasil dari tanah” dari 2 (dua) peristilahan tersebut daat dijelaskan bahwa makna “menggunakan tanah” adalah Hak Pakai sebagai alas hak dalam pendirian bangunan dan makna “memungut hasil dari tanah” adalah Hak Pakai dapat digunakan sebagai alas hak selain pendirian bangunan misalnya,

47 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

  Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643. perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan

  48

  . Pengaturan lain adalah terkait dengan subjek hukum dari Hak Pakai, berdasarkan Pasal 42 UUPA, subjek hukum Hak Pakai adalah : (1) WNI, (2) orang asing yang berkedudukan di Indonesia, (3) badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (4) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Ketentuan tersebut disempurnakan dalam peraturan pelaksana yang menyebutkan bahwa subjek hukum hak pakai terdiri dari :

  1. Warga Negara Indonesia

  2. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

  3. Departemen, Lembaga Pemerintah non-departemen, dan Pemerintah Daerah

  4. Badan-Badan Keagamaan dan Sosial

  5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

  6. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

  7. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional Sebagai Pemegang Hak Pakai, subjek hukum tersebut juga dikenakan sebuah hak dan kewajiban atas penggunaan fasilitas Hak Pakai tersebut. Hak

  Pemegang Hak Pakai antara lain :

48 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hal 119

  1. Menguasa dan menggunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi dan usahanya;

  2. Memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain;

  3. Membebaninya dengan Hak Tanggungan

  4. Menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama kepentingannya digunakan untuk keperluan tertentu.

  Selain pengaturan terkait hak pemegang Hak Pakai, kewajiban pemegang Hak Pakai adalah sebagai berikut:

  1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas Hak Milik;

  2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas Hak Milik;

  3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yanga ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

  4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus;

  5. Menyerahhkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat

  6. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai.

  Terdapat 3 (tiga) asal usul perolehan Hak Pakai atas Tanah yakni Hak Pakai atas Tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

  Pengaturan terkait tanah dan bangunan dalam UU Perbendaharaan Negara hanya terbatas pada pemindahtanganan yang meliputi :

  1. Pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan

  2. Tanah dan/atau Bangunan tidak termasuk tanah dan/atau bangunan, yang : 1. sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota; 2. harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; 3. diperuntukkan bagi pegawai negeri; 4. diperuntukkan bagi kepentingan umum; 5. dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

  Dalam hal pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan kewenangannya dimiliki oleh beberapa instansi yaitu :

  1. Dewan Perwakilan Rakyat

  2. Menteri Keuangan untuk tanah dan/atau bangunan yang nilainya sampai dengan sepuluh miliar

  3. Presiden untuk tanah dan/atau bangunan yang nilainya antara sepuluh miliar hingga seratus miliar.

  Dengan demikian, terlihat jelas bahwa keberadaan UU Perbendaharaan Negara mengatur mengenai pengelolaan tanah dan/atau bangunan yang menjadi aset yang telah dimiliki oleh PTN-BH. Pengelolaan tersebut hanya sebatas pada status yang diberikan oleh negara kepada PTN-BH sebagai bentuk kekayaan negara yang dipisahkan. Tentunya, pengelolaan tanah dan/atau bangunan ini terbatas pada instansi yang memiliki kewenangan yang secara atribusi delegatif diberikan oleh negara. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA yang hanya mengatur mengenai cara perolehan hak atas tanah yang diberikan kepada PTN-BH.

  Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat diklasifikasikan bahwa penggunaan Hak Pakai atas Tanah yang digunakan oleh PTN-BH didasarkan pada Hak Pakai atas Tanah Barang Milik Negara. Pemakaian atas tanah negara tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU Dikti yang menyebutkan bahwa tanah merupakan kekayaan negara yang tidak dipsahkan dari kekayaan awal PTN BH. Dalam Penjelasan Pasal 65 ayat (3) tersebut dijelaskan bahwa kekayaan berupa tanah tersebut dapat dimanfaatkan dan pendapatan dari tanah tersebut dapat dijadikan kekayaan PTN-BH selain itu, kekayaan berupa tanah negara tersebut tidak dapat dipindahtangankan atau dijaminkan kepada pihak lain.

  Ketentuan tersebut mencocoki bahwa tanah milik negara yang dimiliki oleh PTN- BH memiliki alas hak Hak pakai atas Tanah Barang Milik Negara yang jelas tidak bisa dipindahtangankan. Pengelolaan tanah hingga dapat menjadikan kekayaan bagi PTN Badan Hukum merupakan imbas pemberian otonomi. Dengan demikian, perolehan tanah yang digunakan oleh PTN-BH berdiri diatas alas Hak Pakai yang pengelolaannya mengikuti ketentuan UU Perbendaharaan Negara sebagai bentuk Barang Milik Negara. Dengan kata lain, yang dimiliki oleh PTN- BH hanyalah hak pakai atas tanah saja sedangkan tanah yang dikenai hak pakai tetap menjadi barang milik negara yang tidak dipisahkan dan masuk dalam inventaris barang milik negara.

  Terkait dengan pembanding, dalam PTN berbentuk pengelolaan BLU status tanah tidak diatur secara khusus dalam statuta masing-masing PTN tersebut, jika dikaitkan dengan status PTN dengan sistem pengeleloaan BLU yang masih mendapatkan intervensi negara dalam pengelolaannya tetap menggunakan Hak Pakai atas Tanah Barang Milik Negara yang sama-sama tidak dapat dipindahtangankan dan tidak bisa dijaminkan. Sedangkan status tanah dalam pengelolaan PTN tersebut masih menjadi tanggung jawab negara dan pengelolaan serta hasil pengelolaannya menjadi bagian audit dari PTN tersebut oleh Negara.

  Dalam sistem BLU seperti yang dipaparkan diatas , BLU merupakan bentuk pendelegasian tugas dari instansi pemerintah yang lebih tinggi. Jadi, secara atributif pendelegasian tugas dan wewenang PTN dengan sistem Pengelolaan BLU menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional secara khusus dan Negara secara umum, sehingga hasil tanah negara yang dimanfaatkan tersebut tidak serta merta menjadi milik PTN dengan sistem pengelolaan BLU tersebut.

  Selain itu, dalam perolehan tanah yang dilakukan oleh PTN-BH harus mengikuti mekanisme yang terdapat dalam UU Keuangan Negara dengan melalui pengajuan dalam APBN. Hal tersebut dikarenakan adanya ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-

  49 Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah . Dalam Pasal 1

  menjelaskan bahwa badan hukum yang berhak memiliki hak milik atas tanah antara lain :

  1. Bank-bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara)

  2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139) 49

  3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria

  Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah , Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1963 Nomor 61. setelah mendengar Menteri Agama

  4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial Dari keempat jenis badan hukum yang dapat memperoleh Hak Milik atas Tanah tersebut, PTN-BH tidak termasuk salah satu diantaranya, artinya, PTN-BH tidak termasuk dalam kriteria subjek pemegang Hak Milik atas Tanah..

3.3 Akibat Hukum Terkait Kedudukan Barang Milik Negara selain Tanah dan Bangunan

  Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya, atau penetapan Undang-Undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Benda tak bergerak diatur dalam Pasal 306, 507, dan 508 BW. Sehingga terdapat 3 (tiga) golongan benda tak bergerak yakni :

  1. Benda yang menurut “sifatnya” memang tak bergerak. Benda tak bergerak menurut sifatnya ini dibagi lagi menjadi 3 (tiga) macam :

  1. Tanah

  2. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serat bercabang (seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik , dan sebagainya)

  3. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karenna didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam atau terpaku (bangunan)

  2. Benda yang menurut “tujuan pemakaiannya” supaya bersatu dengan tanah, seperti

  1. Pada Pabrik ; segala macam mesin-mesin, katel-katel, dan alat-alat lain yang dimaksudkan supaya terus menerus berada disitu untuk digunakan dalam menjalankan pabrik

  2. Pada suatu perkebunan; segala sesuatu yang digunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain lain

  3. Pada rumah kediaman; segala bentuk kaca, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding, sarang burung yang dapat dimakan (walet)

  4. Barang-barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan tersebut.

  3. Benda yang menurut “penetapan Undang-Undang” sebagai benda tak bergerak, antara lain :

  1. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak (seperti hak postal, hak hipotek, hak tanggungan, dan sebagainya)

  2. Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (berdasarkan WvK atau KUHD)

  Benda Bergerak adalah benda-benda yang karena sifatmya, tujuannya, atau penetapan Undang-Undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Benda bergerak diatur dalam Pasal 509, 510, dan 511 BW. Terdapat 2 (dua) golongan benda bergerak yakni : 1.

  Benda yang menurut “sifatnya” bergerak dalam arti benda tersebut dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain misalnya kendaraan bermotor, alat perkakas, perabot rumah tangga 2. Benda yang menurut “penetapan Undang-Undang” sebagai benda bergerak ialah segala hak atas bnda-benda bergerak. Misalnya, Hak atas kekayaan Intelektual, hak memetik buah-buahan, hak mengambul hasil, hak atas surat berharga.

  Perbedaan antara benda tak bergerak dan benda bergerak tersebut sangat penting karena terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda tersebut misalnya :

  1. Mengenai Hak Bezit; dalam Pasal 1977 ayat (1) BW menentukan bahwa barangsiapa yang menguasai benda bergerak maka dialah yang dianggap sebagai pemiliknya. Sedang dalam hukum benda tak bergerak tidak bisa dianggap demikian.

  2. Mengenai pembebanan (bezwaring); dalam BW dijelaskan bahwa terhadap benda bergerak yang dapat dibebankan adalah jaminan gadai, sedangkan pada benda tak bergerak adalah dengan lembaga jaminan hipotek (Pasal 1150 dan Pasal 1162 BW). Seiring dengan berlakunya

  UUPA hipotek atas tanah diganti dengan Hak Tanggungan.

  3. Mengenai penyerahan (levering); berdasarkan Pasal 612 BW penyerahan benda bergerak adalah melalui penyerahan langsung, sedangkan benda tak bergerak berdasarkan Pasal 616 BW harus dilakukan balik nama pada daftar umum.

  4. Mengenai daluwarsa (verjaring); pada benda bergerak tidak mengenal konsep daluwarsa sebab menguasai (bezit) sama dengan memiliki (eigendom). Sedangkan benda tak bergerak mengenal daluwarsa 20 (dua puluh) tahun untuk benda dengan alas hak yang sah atau 30 (tiga puluh) tahun untuk benda tak bergerak tanpa adanya alas hak.

  5. Mengenai penyitaan (beslag); terhadap benda bergerak berlaku

  revindicatoir beslag dengan menuntut kembali benda bergerak

  miliknya yang berada dalam penguasaan orang lain. Sedangkan dalam benda tak bergerak yang berlaku adalah excecutoir beslag yakni penyitaan melalui putusan pengadilan. Pembagian jenis benda bergerak maupun benda tak bergerak ini yang akan dijadikan pedoman dalam menganalisis bentuk pengelolaan benda bergerak yang merupakan bagian dari barang milik negara maupun barang milik daerah yang terdapat dalam PTN-BH. Bentuk pengelolaan ini akan ditinjau dari sudut hukum perbendaharaan negara yang terdapat dalam UU Perbendaharaan Negara. Pengertian Perbendaharaan Negara yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbendaharaan Negara adalah segala bentuk pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara termasuk investasi dan kekayaan negara yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pada dasarnya kedudukan hukum perbendaharaan negara dan hukum keuangan negara memiliki kesetaraan kedudukan dan saling berhubungan. Keduanya memiliki kesamaan yang membahas mengenai salah satu obyek vital dalam penyelenggaraan negara yakni pengelolaan terhadap keuangan negara. Bedanya, hukum keuangan negara mengatur terkait pelaksanaan dan prosedur pengelolaan keuangan negara secara teknis sedangkan, hukum perbendaharaan negara mengatur mengenai penggunaan uang negara yang prosedurnya telah diatur dalam UU Keuangan Negara.

  Sehingga keduanya memiliki hubungan yang erat dalam penyelenggaraan negara. Tentunya, kajian mengenai pengelolaan PTN-BH tidak akan terlepas dari kedua hal tersebut. Pengelolaan PTN-BH dapat dikategorikan sebagai salah satu objek kajian hukum perbendaharaan negara dikarenakan PTN-BH masih menggunakan anggaran yang disediakan oleh negara dalam pengelolaannya selain itu, kedudukan kelembagaan PTN-BH yang masih belum jelas juga menjadi salah satu penyebab masuknya hukum perbendaharaan negara dalam kajian tersebut. Perlu digaris bawahi bahwa PTN-BH juga memiliki kekayaan negara yang telah dipisahkan sehingga juga masuk dalam kajian hukum perbendaharaan negara.

  Kekayaan negara yang dipisahkan inilah yang berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 1 angka 11 UU Perbendaharaan Negara termasuk Badan Milik Negara yang diartikan sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah dan Barang Milik Daerah yang diartikan sebagai barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengelolaan kekayaan negara berdasarkan UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara meliputi 4 (empat) hal yang saling terkait yakni :

  1. Pengelolaan Uang Negara

  2. Pengelolaan Piutang Negara

  3. Pengelolaan Investasi; dan

  4. Pengelolaan Barang Milik Negara Barang milik negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keuangan negara sehingga memerlukan pengelolaan agar dapat digunakan secara maksimal untuk kepentingan negara. Dalam pengelolaan barang milik negara memiliki beberapa pihak yang terkait dengan pengelolaan barang milik negara yaitu :

  1. Menteri Keuangan sebagai pengatur dan pengelola barang milik negara

  2. Menteri/pimpinan lembaga negara non kementerian dan pimpinan lembaga negara merupakan pengguna barang milik negara yang disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing

  3. Kepala kantor dalam lingkungan kementerian berperan sebagai kuasa pengguna barang milik negara. Landasan teori pelimpahan kewenangan dari ketiga jenis badan penyelenggara negara tersebut merupakan salah satu bentuk wewenang secara atribusi.

  Kewenangan secara atribusi tersebut adalah dampak dari pembagian kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Dengan adanya pelimpahan kewenangan secara atribusi tersebut maka tanggung jawab juga beralih secara penuh kepada penerima penerima kewenangan.

  Pada dasarnya barang milik negara dan/atau barang milik daerah terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu tanah dan/atau bangunan serta barang lainnya selain tanah dan/atau bangunan. Secara yuridis, tanah dan/atau bangunan dapat dikategorikan sebagai benda tetap atau biasa disebut benda tak bergerak sedangkan benda non tanah dan/atau bangunan dapat diklasifikasikan secara yuridis sebagai benda bergerak. Barang milik negara yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara tidak dapat dipindahtangankan kecuali mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemindahtanganan tersebut dapat berupa beberapa cara, yakni :

  1. Jual beli

  2. Tukar menukar

  3. Hibah 4. Penyertaan modal pemerintah.

  Persetujuan yang diberikan oleh DPR ini digunakan dalam pemindahtanganan barang milik negara yang berupa tanah dan/atau bangunan serta barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang nilainya lebih dari 10 (sepuluh) miliar rupiah. Sedangkan untuk barang milik negara bukan tanah dan/atau bangunan yang nilainya sampai dengan 10 (sepuluh) miliar rupiah dapat dilakukan dengan persetujuan menteri keuangan. Hal tesebut pada dasarnya digunakan sebagai bentuk pertanggung jawaban negara agar menimbulkan kepastian hukum ketika dilakukan pemindahtanganan barang milik negara kepada pihak lain. Pengalihan kepemilikan barang milik negara kepada pihak lain harus dilakukan dengan cara-cara tersebut diatas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misal : penjualan barang milik negara dapat dilakukan dengan cara lelang. Dalam pengalihan kepemilikan barang milik negara terdapat beberapa instrumen hukum sebagai batasan yang berupai larangan dalam pengelolaan barang milik negara, antara lain :

  1. Larangan untuk menyerahkan barang milik negara kepada pihak lain sebagai bentuk pembayaran atas tagihan.

  2. Larangan untuk menggadaikan atau menjaminkan barang milik negara untuk mendapatkan pinjaman

  3. Larangan untuk melakukan penyitaan terhadap barang milik negara yang berupa : 1) Barang bergerak milik negara yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga.

  2) Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya yang menjadi milik negara. 3) Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan.

  Terkait dengan sistem kelembagaannya, PTN-BH merupakan sebuah lembaga negara yang bersifat otonom yang masih mendapatkan sumber pendanaan dari pemerintah maka tetap harus memberikan pertanggungjawaban keuangannya kepada pemerintah. Selain itu, barang yang dimiliki PTN-BH merupakan barang milik negara yang pertanggungjawaban penggunaannya tetap kepada negara. Namun, dengan adanya ketentuan yang mengatur bahwa kekayaan PTN-BH merupakan kekayaan negara yang dipisahkan maka barang milik negara yang ada padanya hanya terbatas pada bentuk keikutsertaan/partisipasi negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini dapat disamakan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU BUMN yang keduanya menyebutkan bahwa BUMN maupun PTN-BH memiliki kekayaan negara yang terpisahkan. Terhadap kekayaan negara yang dipisahkan tersebut inilah yang menjadikan masuknya pengaturan UU Perbendaharaan Negara. Namun, dalam kajian terhadap kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tidak dikaji menurut UU Perbendaharaan Negara melainkan menggunakan UU BUMN sebagai lex specialis dan UU Perseroan Terbatas sebagai lex generalis. Setidaknya, konsep BUMN dan PTN- Badan Hukum ini tetap memiliki perbedaan walalupun status yang diberikan kepada keduanya sama-sama kekayaan negara yang dipisahkan.

  Dalam UU BUMN, yang dimaksud sebagai kekayaan negara yang dipisahkan merupakan suatu bentuk penyertaan uang negara yang nantinya dikonversi menjadi suatu saham yang menjadi syarat mutlak berdirinya suatu Perseroan Terbatas. Dari ketentuan diatas memiliki beberapa persepsi terkait keberadaan uang negara yang dipisahkan tersebut. Dalam perbedaan persepsi tersebut permasalahan pokok yang timbul adalah mengenai dikotomi uang negara

  50

  dan uang privat dalam BUMN. Wakil Ketua BPK RI, Hasan Bisri berpendapat bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan dalam UU Keuangan Negara tidak seutuhnya dipisahkan dari kepemilikan dan pengelolaan keuangan negara, melainkan sebatas pemisahan dari APBN saja.

  51 Berbeda dengan itu, Hikmahanto Juwana yang berpendapat bahwa terdapat 3

  (tiga) hal yang mendasari bahwa kekayaan negara yang disetor dalam BUMN bukan merupakan bagian dari keuangan negara, antara lain pertama bahwa uang yang disetorkan oleh negara akan dikonversi menjadi saham oleh BUMN sehingga kepemilikan saham itulah yang akan dicatatkan dala daftar kekayaan negara yang dipisahkan. Kedua, konsep pengelolaan Keuangan Negara dengan keuangan BUMN berbeda, dalam mengelola keuangan negara bukan merupakan suatu instansi yang dapat menimbulkan akibat hukum laba dan rugi sedangkan BUMN juga bisa menimbulkan kerugian akibat suatu akibat bisnis. Ketiga, 50 konsep menyamakan kondisi BUMN dengan negara menyalahi konsep uang

  Penjelasan Hasan Bisri dalam sidang pengujian Undang-Undang 17 tahun 2003 terhadap UUD 1945 dalam Sidang MK September 2013 dalam Udin Silalahi, Kajian Seputar Problematika Keuangan Negara, Aset Negara, dan Kekayaan Negara yang dipisahkan , Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia. Jakarta 51 bersama Azza Grafika , Yogyakarta, 2013, hal. 9 Hikmahanto Juwana, Uang BUMN, Uang Negara?, Harian Kompas 7 Juli 2013, Hal. 7, dalam

  Op.Cit , Hal. 10-11 publik dan uang privat.

  Dengan adanya konsep BUMN yang mengalami dikotomi seperti di atas, terkait dengan pengelolaan PTN-BH akan menimbulkan kerancuan. Makna kekayaan negara yang dipisahkan akan menjadi berbeda. PTN-BH sebelum adanya UU Dikti merupakan instansi yang mendapatkan wewenang delegasi dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk menjalankan fungsinya sebagai penyalur jasa pendidikan yang merupakan suprstruktur fungsi negara yang terdapat dalam Konstitusi. Sedangkan BUMN murni merupakan penerapan fungsi entrepeneur yang dilakukan oleh negara untuk mendapatkan suatu keuntungan bagi negara.

  PTN-BH yang berada ditengah-tengah himpitan fungsi kelembagaan negara, sehingga, dapat disimpulkan bahwa kedudukan PTN-BH merupakan suatu lembaga otonom yang tidak lagi menjadi sub structure dari salah satu Kementerian Negara dan sistem pengelolaan Keuangan Negara PTN-BH telah dipisahkan dari sistem APBN yang menjadikan status uang negara yang diberikan tetap menjadi milik negara.

  Terkait dengan pengelolaan barang milik negara, sebelum adanya status PTN-BH segala macam benda bergerak maupun benda tak bergerak tentunya merupakan menjadi milik negara. Semenjak adanya UU Dikti maka secara atribusi benda-benda yang semula menjadi milik negara tersebut beralih pengelolaannya kepada PTN-BH. Peralihan status tersebut tentunya menimbulkan polemik yang panjang. Polemik tersebut muncul karena adanya diskursus dasar hukum yang dipakai dalam melakukan pengelolaan barang negara tersebut. Pengaturan terkait pengelolaan aset PTN-BH diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PP Pendanaan PTN-BH)

  52

  , ketentuan tersebut membagi jenis pengelolaan barang yang ada dalam PTN-BH yakni :

  1. Barang yang diperoleh oleh PTN-Badan Hukum dicatat sebagai daftar inventaris dan dikelola secara penuh oleh PTN-BH

  2. Barang yang diperoleh PTN-BH dari kekayaan negara yang dipisahkan menjadi hak pengelolaan PTN-BH.

  3. Tanah yang berada dalam penguasaan PTN-BH yang diperoleh dari APBN merupakan barang milik negara yang tetap dimasukkan dalam daftar inventaris barang milik negara. Hal ini diartikan bahwa hak atas tasnah yang dimiliki oleh PTN-BH tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan.

  4. Secara a contrario, tanah yang diperoleh oleh PTN-BH diluar APBN dapat dimasukkan sebagai inventarisasi aset yang dimiliki oleh PTN- BH. Pengelolaan PTN-BH sebelum adanya UU Dikti dikategorikan lembaga/instansi yang diberikan wewenang delegasi oleh Kementerian

  Pendidikan untuk menjalankan fungsi pendidikan tinggi. Demikian pula dengan 52 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme

  Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5438. status barang milik negara yang terdapat pada PTN-BH. Barang milik negara pada dasarnya merupakan inventaris negara yang dengan adanya UU Dikti menjadikan barang inventaris negara tersebut dipisahkan dari negara dan menjadi beban pengelolaan dari PTN-BH. Pemisahan pengelolaan barang yang semula menjadi milik negara menjadi milik PTN-BH dapat disinyalir sebagai upaya mengubah kedudukan PTN-BH yang semula badan hukum publik menjadi badan hukum privat. Pemisahan kekayaan negara inilah yang disebut sebagai penyertaan kekayaan negara kepada PTN-BH. Dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan PTN-BH, seluruh bentuk barang milik negara kecuali tanah yang dikuasai menjadi wewenang pengelolaan dari PTN-BH sehingga inventaris tersebut tidak bisa dimasukkan dalam kajian hukum perbendaharaan negara.

3.4 Akibat Hukum Terhadap Pola Pengelolaan Keuangan Negara Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN)

  Sebagai badan hukum publik, negara memiliki fungsi yang wajib dilaksanakannya sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat UUD NRI 1945. Fungsi tersebut antara lain : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdsarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dari keempat hal tersebut tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila tidak ditipang dengan keuangan negara sebagai sumber pembiayaan. Dengan demikian, posisi keuangan negara sangat penting untuk mewujudkan tugas negara yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pengertian keuangan negara secara khusus terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara, dalam Pasal tersebut keuangan negara diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian Keuangan Negara tersebut memiliki sebuah arti luas dan arti sempit, dalam arti luas Keuangan Negara diartikan meliputi hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk barang milik negara yang tidak tercakup dalam anggaran negara. Sedangkan dalam arti sempit, Keuangan Negara hanya terbatas pada hak dan kewajiban negara, termasuk barang milik negara

  53

  yang tercantum dalam anggaran negara untuk tahun bersangkutan . Penjelasan sebagaimana tersebut diatas pada dasarnya didasarkan pada Penjelasan Umum yang terdapat dalam UU Keuangan Negara yakni :

  1. Dari sisi Obyek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;

  2. Dari sisi subyek, yang dimaksud keuangan negara meliputi seluruh objek 53 sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki oleh negara, dan/atau dikuasai

  Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara : Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 11 oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang berkaitan dengan keuangan negara;

  3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan hingga pertanggungjawaban;

  4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

  Sebagai badan hukum publik dan badan hukum privat, keduanya memiliki perbedaan yang secara prinsipiil dalam pengelolaan keuangan negara. Badan hukum publik jelas harus tunduk pada pengaturan UU Keuangan Negara sebagai bentuk pertanggungjawaban atas konsekuensi yuridis tersebut, sedangkan badan hukum privat termasuk BUMN tunduk pada hukum privat yakni tunduk akan konsensus yang telah dibuat sebagai pedoman pelaksanaan perseroan. Dalam

  Pasal 2 huruf I UU Keuangan Negara menegaskan bahwa kekayaan pihak lain yang diperoleh dari kekayaan negara termasuk pula bagian dari kekayaan negara. Sehingga, ketika terjadi kerugian atau bahkan dinyatakan pailit maka negara turut serta bertanggung jawab atas beban yang dialami oleh pihak swasta tersebut. Terkait dengan kedudukan BHMN, PTN-BH sesuai dengan UU Dikti merupakan suatu kekayaan negara yang dipisahkan, kedudukannya dapat diartikan memiliki kesamaan dengan BUMN. Dalam kajian keuangan negara, kedudukan BHMN terdapat dalam ranah hukum privat sehingga kajian mengenai keuangan negara tidak dapat diberlakukan dalam BHMN. Kajian tersebut memang dibenarkan dalam teori akan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaan PTN- BH tetap melibatkan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 83 UU Dikti disebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan dana kepada PTN-BH dalam setiap penganggaran APBN dan/atau APBD. Selain itu, dalam Pasal 89 Ayat (1) UU Dikti diterangkan bahwa penggunaan dana dalam APBN dan/atau APBD tersebut digunakan sebagai biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan. Dengan pola demikian kedudukan badan hukum PTN-BH tidak murni merupakan Badan Hukum seperti yang terdapat dalam UU BUMN dan/atau perusahaan negara lainnya karena PTN- BH tidak murni sebagai badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan, melainkan dalam pengelolaannya tetap didasarkan pada pemberian anggaran negara. Dalam ketentuan yang lain, seperti yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (5) UU Dikti dijelaskan bahwa Pemerintah dapat memberikan dana bantuan operasional PTN yang diambil dari anggaran pendidikan yang bersumber dari Dana Kementerian diluat Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa penerimaan anggaran oleh PTN-BH merupaka bentuk penerimaan pengangaran dari Pemerintah yang diberikan melalui fungsi Anggaran

dari Kementerian yang terkait sehingga PTN-BH bukan merupakan Badan Hukum yang mandiri karena penerimaan dan pengelolaannya didasarkan pada APBN.

  Ketidakjelasan status hukum dari PTN-BH inilah yang menimbulkan status uang negara yang dimiliki PTN-BH. Berbeda dengan kedudukan BLU sebagai pendelegasi tugas pemerintah tetap menjadikan BLU sebagai Badan Hukum Publik sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya tunduk pada UU Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan negara pada umunya berada dalam tanggung jawab menteri keuangan sebagai bendahara umum negara. Tugas menteri keuangan sebagai bendahara umum negara adalah menguasai semua bentuk uang negara. Uang negara diartikan sebagai rupiah dan valuta asing yang terdapat dalam kas negara dan uang pada bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian, dan lembaga negara.

  Dari penjelasan mengenai definisi uang negara diatas, keberadaan PTN- BH merupakan suatu instansi pemerintah yang memberikan fungsi pelayanan pendidikan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Ditinjau dari kelembagaannya, PTN-BH merupakan lembaga yang berada dalam pengawasan Menteri yang mengurusi bidang pendidikan tinggi. Dalam Pasal 65 ayat (3) UU Dikti memiliki hak untuk mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel. Keberadaan hak tersebut merupakan imbas dari pemberian otonomi terhadap pengelolaan suatu badan hukum. Otonomi pengelolaan keuangan pada PTN-BH bertentangan dengan konsep keuangan negara yang menegaskan bahwa setiap instansi pemerintahan harus mengelola sesuai dengan koridor UU Keuangan Negara yang menitikberatkan pada pertanggungjawaban yang akuntabel. Selain itu, kriteria badan hukum yang digunakan oleh PTN-BH tidak seperti BUMN atau perseroan terbatas lainnya karena pada PTN-BH tetap mendasarkan pembiayaan pada sistem penganggaran APBN yang nantinya akan dikelola secara mandiri, sedangkan dalam BUMN kekayaan negara hanya terdapat pada permulaan pendirian sebagai bentuk penyertaan modal negara terhadap kepada BUMN.

  Terlebih dalam Pasal 3 PP Pendanaan PTN-BH dijelaskan bahwa sumber pendanaan PTN-BH berpangkal pada anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah dalam APBN. Alokasi dana tersebut merupakan bagian dari 20% (dua puluh persen) dari total anggaran fungsi pendidikan. Menurut pasal tersebut sumber pendanaan PTN-BH dapat dibagi menjadi 6 (enam) jenis yakni:

  1. Masyarakat; hal ini merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam pendanaan PTN-BH yang dapat berupa sumbangan, hibah, dan/atau sumber yang lain.

  2. Biaya Pendidikan; biaya pendidikan merupakan contra prestatie atas jasa yang diberikan oleh PTN-BH kepada mahasiswa sehingga biaya pendidikan merupakan kewajiban mahasiswa.

  3. Pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH; inilah yang menjadi legal standing pendirian badan usaha oleh PTN-BH.

  4. Pengelolaan kekayaan negara yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi.

  5. Sumber-sumber lain yang sah. Kelima sumber pendanaan PTN-BH tersebut dikelola secara mandiri oelh PTN- BH dengan otonomi non-akademik yang diberikan kepada PTN-BH. Cotoh otonomi dalam pengelolaan keuangan negara inilah yang diartikan sebagai bentuk otonomi semu yang diberikan oleh negara. Diartikan semu karena pada dasrnya otonomi tersebut tidak serta merta dilakukan secara penuh melainkan hanya sebagian yakni dalam pelaksanaannya saja akan tetapi, dalam pertanggungjawaban tetap menganut asas yang sesuai dengan UUKN.

  Pendapatan PTN-BH dikategorikan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

  54

  1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) yang dikategorikan sebagai penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Pengelolaan PNBP ini menjadi penting karena dalam UU PNBP mewajibkan bahwa instansi subjek PNBP wajib segera untuk menyetor hasil PNBP tersebut kepada negara. Penentuan besaran PNBP ini dapat ditentukan melalui penetapan pemerintah atau penghitungan instansi yang bersangkutan. Dengan demikian terbukti bahwa otonomi pengelolaan keuangan yang diberikan 54 pada PTN-BH tidak mutlak.

  Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687.

  Dengan demikian, keberadaan BHMN sebagai bentuk baru badan hukum bukan merupakan suatu solusi yang tepat karena keberadaan BHMN tidak memiliki landasan teori yang kuat, sehingga kedudukannya sangat lemah. Kelemahan hal tersebut terlihat pada sistem keuangan dan pengelolaan keuangan yang terdapat dalam BHMN umumnya dan PTN-BH khususnya. Berbeda dengan kedudukan BLU sebagai bentuk pendelegasian tugas negara yang tetap mendasarkan kewenangan pengelolaan keuangan negaranya atas dasar UU Keuangan Negara. Pertanggungjawaban keuangan BLU dapat diartikan sama seperti pertanggungjawaban Lembaga Negara lainnya.

3.5 Akibat Hukum dalam Pola Pengelolaan Sistem Kepegawaian Pada Perguran Tinggi Negeri (PTN)

  Dalam kajian teori, disebutkan bahwa terdapat hubungan antara Hukum Administrasi dengan Hukum Kepegawaian yang disebut dengan openbare

  dientsbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara yang merupakan salah

  satu bentuk hubungan subordinatie yakni hubungan antara atasan dengan bawahan. Selain itu, dapat dikategorikan bahwa subjek hukum dari hukum kepegawaian adalah PNS. Selain itu terdapat beberapa pendapat mengenai hubungan dinas publik antara lain :