HUBUNGAN ANTARA COPING STRATEGI DENGAN STRES KERJA DISEBABKAN OLEH MUTASI PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI KABUPATEN MERANGIN - UMBY repository

BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Stres Kerja Karena Mutasi 1. Perngertian Mutasi Perpindahan pegawai terjadi dalam setiap organisasi baik lembaga

  pemerintahan maupun organisasi perusahaan. Ada berbagai istilah perpindahan yang digunakan setiap organisasi, istilah yang umum digunakan adalah mutasi.

  Seperti yang dijelaskan oleh Hasibuan (2016 ) “Istilah-istilah yang sama pengertiannya dengan mutasi adalah pemindahan, alih tugas, transfer dan job

  rotation

  karyawan”. Berdasarkan definisi tersebut mutasi merupakan kegiatan yang biasa terjadi di suatu lembaga, terutama lembaga/instansi pemerintah, pegawai yang dimutasi berarti pegawai tersebut mengalami adanya suatu perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang mana perubahan tersebut disebabkan karena pegawai membutuhkan suatu penyegaran (refresh) untuk mengurangi kejenuhan pegawai. Pegawai yang menduduki jabatan selama lima atau sepuluh tahun dalam posisi yang sama pasti akan merasakan kejenuhan dalam mengemban tugasnya. Sehingga diperlukan penyegaran untuk mengurangi kejenuhan tersebut melalui mutasi.

  Mutasi telah lama menjadi perhatian dalam dalam pengelolaan tenaga kerja Sastrohadiwiryo (dalam Kadarisman, 2012), Mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada organisasi. Hanggraeni (2012) menjelaskan mutasi adalah pemindahan dari posisi yang baru tapi memiliki kedudukan, tanggung jawab, dan jumlah remunerasi yang sama. Daryanto (2013) mutasi adalah suatu kegiatan rutin dari suatu perusahaan untuk dapat melaksanakan prinsip the right men on the right place. Moekijat (2010) mutasi adalah suatu perubahan dari suatu jabatan dalam suatu kelas ke suatu jabatan dalam kelas yang lain yang tingkatnya tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah (yang tingkatnya sama) dalam rencana gaji.

  Mengacu pada beberapa pengertian di atas, mutasi dapat disimpulkan sebagai kegiatan memindahkan tenaga kerja, pengoperan tanggung jawab, pemindahan status ketenagakerjaan, dan sejenisnya. Mutasi tidak sama dengan pemindahan tenaga kerja dalam pengertian terbatas pada mengalihkan tenaga kerja dari satu tempat ke tempat lain. Mutasi bukan promosi jabatan, mutasi diilaksanakan dalam suatu organisasi yang memiliki tingkat level yang sama dari posisi perkerjaan sebelum mengalami pindah kerja. Kompensasi gaji, tugas dan tanggung jawab yang baru umumnya adalah sama seperti sedia kala.

2. Pengertian Stres kerja

  Stres menurut bahasa berasal dari kata latin “stingere” yang berarti keras (stictus). Kata ini akhirnya berkembang menjadi Stres (Cox, 1978). Menurut Hasibuan (2016), stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi sesorang. Orang-orang yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka sering marah-marah, kerja merupakan respon psikologis individu terhadap tuntutan di tempat kerja yang menuntut seseorang untuk beradaptasi dalam mengatasinya. Stres kerja merupakan respon seseorag terhadap tuntutan dari pekerjaanya (Martina, 2012). Selanjutnya Rivai (2009) mengemukakan stres kerja bahwa suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seorang karyawan.

  Menurut Scharbracq (2003) stres kerja sebagai sebuah respon terhadap hilangnya kendali terhadap kinerja kita. Selanjutnya stres kerja diartikan sebagai tekanan yang terjadi ketika kita harus mengerjakan sesuatu yang tidak ingin kita kerjakan. Sauter (dalam Andre, 2008) berpendapat bahwa stres kerja adalah respon fisik dan emosional berbahaya yang terjadi ketika persyaratan pekerjaan tidak sesuai kemampuan pekerja, sumber daya, atau kebutuhan.

  Menurut Robbins (2015) stres kerja dihubungkan tuntutan dan sumber daya tutuntutan merupakan tanggung jawab tekanan kewajiban dan ketidak pastian yang dihadapi oleh para individu di tempat kerja. Sumberdaya merupakan hal-hal didalam kendali individu yang dapat dia pergunakan untuk menyelesaikan tuntutan. Daft (2010) mengatakan stres kerja yaitu seperti kesulitan, ketidaknyamanan, melelahkan dan bahkan menakutkan.

  Berdasarkan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah kondisi yang tidak menyenangkan yang dirasakan sebagai suatu tekanan yang dialami individu sebagai hasil interaksi antara individu dengan pekerjaannya. Interaksi ini menimbulkan tekanan bagi karyawan yang diakibatkan oleh tuntunan

3. Aspek-aspek Stres kerja

  Menurut Sopiah (2008) stres kerja bisa dilihat pada tiga aspek yaitu fisik, psikis, dan perilaku.

  a.

  Fisik Akibat stres pada fisik mudah dikenali. Ada sejumlah penyakit yang disinyalir karena orang tersebut mengalami stres yang cukup tinggi dan berkepanjangan, diantaranya adalah penyakit jantung, bisul, tekanan, darah tinggi, sakit kepala, gangguan tidur, dan peningkatan sakit jika sedang menderita sakit.

  b.

  Psikis Akibat stres pada aspek psikis pada pekerja dapat dikenali dari beberapa tanda, seperti: ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, kemurungan dan kurang bersemangat.

  c.

  Perilaku Akibat stres bisa dikenali dari perilaku yang berpotensi meningkatkan potensi kerawanan, seperti: peningkatan tingkat kecelakaan kerja, salah dalam mengambil keputusan, tingkat absensi kerja tinggi, kinerja rendah, dan agresi di tempat kerja. Pendapat lain juga mengtakan Luthans (2001) mengatakan stres kerja secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga aspek, yaitu fisiologis, psikologis, perilaku.

  a.

  Aspek fisiologis, yaitu tampilan secara fisik yang dapat dilihat secara langsung. Seseorang yang sedang mengalami stres pada umumnya akan yang cenderung dingin dan mata menjadi merah. Stres yang tinggi biasa disertai dengan penyakit tekanan darah tinggi, sakit jantung. Radang lambung dan radang sendi.

  b.

  Aspek pikologis, yaitu emosi yang tidak stabil, yang membuat sesorang dalam bertindak tidak lagi bertindak atas pertimbangan akal sehat atau berdasarkan pikiran jernih. Gejala yang nampak pada individu yang mengalami stres berat adalah mudah marah, merasa cemas, tertekan, gugup, cepat tersinggung dan merasa bosan.

  c.

  Aspek perilaku yaitu gerak-gerik seseorang yang dapat diamati secara langsung yang tercermin dalam cara-cara bertindak dan berperilaku yang menyimpang dari individu, seperti bermalas-malasan, bosan, cepat lelah, produktivitas menurun.

  Berdasarkan pendapat ahli diatas dapat disimpulakan bahwa stres kerja memiliki dampak yang buruk bagi individu yang bisa menyebabkan masalah berkelanjutan bila tidak ditangani dengan serius.

  Berdasarkan aspek-aspek yang ada diatas penliti memilih aspek dari Sopiah (2008) yaitu aspek fisik, psikis, dan perilaku. Peneliti memilih ini karena ada hubungan dengan pengertian stes kerja, karena peneliti memperkirakan bahwa stres kerja bisa menyebabakan kondisi fisik, psikis dan perlaku menjadi tidak normal dan penurunan produktifitas dalam bekerja .

4. Faktor Stres kerja

  Menurut Randall & Susan (2009) faktor stres kerja yang paling nyata adalah: a. supervisor (atasan)

  Aturan- aturan kerja sempit dan tekanan yang tiada henti untuk mencapai jumlah produksi yang lebih tinggi adalah penyebab utama stres yang dikaitkan dengan para pekerja dengan supervisior.

  b.

  Salary (gaji) Gaji adalah penyebab stres apabila dianggap tidak diberikan secara adil.

  Banyak pekerja kerah biru merasa mereka dibayar rendah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka, para pekerja kerah putih.

  c. security (keamanan)

  Para pekerja mengalami stres ketika mereka tidak pasti apakah mereka tetap mempunyai pekerjaan bulan depan, minggu depan, atau bahkan besok. Bagi banyak pekerja, rendahnnya keamanan bahkan lebih menimbulkan stres dari rendahnya keselamatan paling tidak, dengan pekerjaan dimana tingkat keselamatan kerja rendah, mereka mengetahui resikonya, sementara dengan pekerjaan yang tidak aman, merekan akan berada dalam keadaaan tidak pasti.

  d. safety (keselamatan).

  Ketakutan akan kecelakaan ditempat kerja dan cedera-cedera serta kematian yang diakibatkan dapat menimbulkan stres bagi banyak pekerja. Ketika tekanan produksi meningkat, ketakutan mengenai keselamatan tempat kerja dapat meningkatkan sampai ketitik dimana produksi justru semakin menurun.

  Berdasarkan dari penjelasan diatas maka bisa disimpulkan bahwa mutasi bisa berdampak positif pada pegeawai dan juga bisa berdampak negtif pada pegawai tersebut mutasi dilakukan dengan mempertimbangkandan kualifikasi teknis yang dimiliki maka akan menigkatkan kinerja, sebaliknya jika mutasi dilukan tidak melalui dengan kualifikasi teknis maka akan bisa mengakibatkan masalah-masalah lainnya pada pegwai tersebut seperti stres kerja.

B. Coping Strategi 1. Pengertian Coping Strategi

  Permasalahan-permasalahan yang dihadapi memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Kata coping sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk mewakili istilah ini.

  Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian (adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan (Rustiana, 2003).

  Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2009) coping behavior diartikan sebagai sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas atau merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi ancaman yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang. Sedangkan Folkman and Lazarus (dalam Safaria, 2012) Coping strategi didefinisikan sebagai suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah perilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang diprediksi akan dapat membebani individu yang bersangkutan (Higgins dan Endler, 1995).

  Selanjutnya di jelaskan Lazarus dan Folkman (dalam Safaria, 2012) coping merupakan suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi yang menekan. Pada dasarnya coping menggambarkan proses aktivitas kognitif, yang disertai dengan aktivitas perilaku Folkman (dalam Safaria, 2012).

  Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa coping strategi ialah pilihan cara berupa respon perilaku dan respon pikiran serta sikap yang digunakan seseorang dalam rangka memecahkan permasalahan yang ada agar dapat beradaptasi dalam situasi menekan.

2. Aspek Coping Strategi

  Bærenholdt (dalam Jørgen, 2002) mengemukakan pendapat tenteang aspek- aspek coping strategi, meliputi : a.

  Aspek inovasi berisi proses pencarian maupun pemilihan untuk mendapatkan berbagai jenis pengembangan berdasarkan kondisi di kelembagaan, tindakan organisasi-organisasi, dan hal lain yang prinsipnya sebagai dinamika interaktif belajar dalam lingkungan dimana pengetahuan sebagai aset utama.

  b.

  Aspek jaringan yaitu berisi pengembangan hubungan interpersonal yang yang melampaui batasan institusi sosial. Menekankan karakter sosial lokal maupun regional, membentuk kebersamaan antara orang-orang yang berkomitmen dan memiliki potensi untuk mengatasi hambatan yang sulit diselesaikan secara individu. Di sini memunculkan kesepakan penggunaan potensi masing-masing individu sebagai modal sosial dan hubungannya satu dengan yang lain sebagai jaringan.

  c.

  Aspek pembentukan identitas diajukan dalam konteks budaya konektivitas, yang sering lebih jelas dari pada aspek 'globalisasi'. Pada dasarnya, masyarakat menjadi refleksif dalam arti bahwa orang yang merenungkan dengan konstruksi mereka sendiri dan hubungan dengan lingkungan sosial.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan coping strategi adalah suatu cara atau upaya individu untuk menangulangi stres yang sedang dihadapinya yaitu dengan mencari akar permasalahan dengan mempelajarinya dan berusaha mendapatkan dukungan dari lingkungan agar bisa mengurangi permasalahan yang disebabkan oleh stres tersebut.

  C.

  

Hubungan Antara Coping Strategi Dengan Stres Kerja Disebabkan Oleh

Mutasi

  Salah satu faktor penting dalam yang dapat menangulangi stres dalam mengatasi ancaman yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri seseorang Freud (dalam Higgins & Endler, 1995). Sedangkan Folkman and Lazarus (dalam Safaria, 2012) Coping strategi didefinisikan sebagai suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah perilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang diprediksi akan dapat membebani individu yang bersangkutan (Higgins dan Endler, 1995).

  Saat ini dalam suatu perusahaan atau instansi pemerintahan sangat lazim dilakukan dilakukanya pemindahan jabatan dan pengoperan tanggung jawab yang bisa disebut mutasi dan itu dijelaskan sebagai kegiatan mutlak yang harus dilakukan dalam rangka mengembangkan karir pegawai yang menjadi tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Hal tersebut diatur dalam badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (BAPERJAKAT) sesuai dengan amanat peraturan pemerintah No.13/2002 tentang pengangkatan PNS. Serta peraturan menteri dalam negeri (PERMENDAGRI) no.100 tahun 2000 tentang pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. Dasar lain yang bersifat yuridis terkait dengan mutasi iyalah pengangkatan dan pemberhentian pegawai negeri sipil adalah: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1999, tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaga Negara Tahun 1999 Nomor 16 Tambahan lembaran Negara Nomor 3890; 2) Tentang wewenang pengangkatan, pemindahan, pemberhentian pegawai negeri sipil, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96, Tahun 2000) Selanjutnya di jelaskan Peraturan Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Ketiga peraturan perundang-undangan ini merupakan pedoman pelaksanaan mutasi kepegawaian di setiap instansi pemerintah umum dan daerah. Namun tidak semua hal tersebut bisa diterima oleh individu seperti halnya yang sudah dijelaskan pada wawancara di bab sebelumnya hal itu mengakibatkan timbulnya banyak masalah sehingga mengakibat stres dalam bekerja diakibatkan oleh mutasi.

  Sementara itu dijelaskan juga bahwa coping strategi memiliki tiga aspek yaitu inovatif, jaringan dan pembentukan identitas. Aspek pertama inovasi yaitu proses pencarian maupun pemilihan untuk mendapatkan cara penyelesaian baru bagi suatu permasalahan. Termasuk didalamnya berbagai jenis pengembangan berdasarkan kondisi di kelembagaan, tindakan organisasi-organisasi, dan hal lain yang prinsipnya sebagai dinamika interaktif belajar dalam lingkungan dimana pengetahuan sebagai aset utama, jika individu yang mengalami stres kerja mampu melakukan inovasi atau memahami suatu masalah, maka individu yang mengalami stres kerja akan mampu mengatasi gejala fisik seperti stres yang cukup tinggi dan berkepanjangan, diantaranya adalah penyakit jantung, bisul, tekanan, darah tinggi, sakit kepala, gangguan tidur, dan peningkatan sakit jika sedang menderita sakit. Selain itu individu juga mampu mengatasi stres pada psikis yang dapat dikenali dari beberapa tanda, seperti ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, kemurungan dan kurang bersemangat.

  Selanjutnya aspek kedua, jaringan adalah pengembangan hubungan sosial lokal maupun regional, membentuk kebersamaan antara orang-orang yang berkomitmen dan memiliki potensi untuk mengatasi hambatan yang sulit diselesaikan secara individu. Jika individu yang mengalami stres bisa mengembangkan jaringan antar hubungan interpersonal maka akan mampu mengatasi gejala stres seperti fisik seperti stres yang cukup tinggi dan berkepanjangan, diantaranya adalah penyakit jantung, tekanan, darah tinggi, sakit kepala, gangguan tidur, dan peningkatan sakit jika sedang menderita sakit. Selain itu individu juga mampu mengatasi stres pada psikis yang dapat dikenali dari beberapa tanda, seperti ketidakpuasan kerja, depresi, keletihan, kemurungan dan kurang bersemangat.

  Selanjutnya aspek ketiga pembentukan identitas adalah konteks budaya konektivitas, yang sering lebih jelas dari pada aspek 'globalisasi'. Pada dasarnya, masyarakat menjadi refleksif dalam arti bahwa orang yang merenungkan dengan konstruksi mereka sendiri dan hubungan dengan lingkungan sosial. Jika individu yang mengalami stres melalukan coping dengan pembentukan identitas maka individu yang mengalami stres akan mamapu mengatasi gelaja stres terhadap prilaku seperti dikenali dari perilaku yang berpotensi meningkatkan kerawanan, seperti peningkatan tingkat kecelakaan kerja, salah dalam mengambil keputusan, tingkat absensi kerja tinggi, kinerja rendah, dan agresi di tempat kerja.

  Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dilihat bahwa coping strategi memiliki hubungan dengan stres kerja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

  Tueheni Komar (2010) “Pengembangan Program Strategi Coping Ta hun Ajaran 2010/2011)”, didalam penelitiannya menjelaskan bahwa konselor/guru bimbingan dan konseling mengalami stres tinggi pada aspek fisik yang disebebkan oleh aspek kararkteristik pekerjaan dibandingkan dengan aspek kognitif, emosi, perilaku, lingkungan fisik dan sosial. Strategi coping stres yang dimiliki konselor paling tinggi pada aspek religious dibandingkan dengan strategi

  

coping problem focused coping, social support, dan meaning making coping.

  Setelah mengikuti kegiatan pengembangan strategi coping yang dimilikinya. Pengembangan program coping strategi direkomendasikan untuk membantu konselor dalam mereduksi stres dan meningkatkan coping stres.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa coping strategi berhubungan dengan stres kerja yang disebabkan oleh mutasi. Coping strategi diartikan sebagai upaya baik mental maupun prilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan, atau juga bisa dikatakan sebagai perilaku mengatasi masalah, atau kecendrungan perilaku yang digunakan individu dalam menghadapi dan mengelola suatu masalah yang menimbulkan stres dalam menghindari, menjauhi, dan mengurangi stres atau dengan menyelsaikan dan mencari dukungan sosial.

D. Hipotesis

  Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan negatif antara coping strategi dengan stres kerja ”. Semakin tinggi coping yang dimiliki oleh individu, maka stres kerja akan semakin berkurang dan sebaliknya apabila coping strategi yang dimiliki karyawan rendah, maka akan meningkatkan stres kerja.