KONTRIBUSI KOMPONEN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP REALISASI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Studi Kasus pada Kabupaten Sleman Tahun 2011-2017) - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pajak

  2.1.1.1 Definisi Pajak

  Menurut Marihot Pahala Siahaan (2010:7), pajak adalah pungutan dari masayarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/ balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan.

  2.1.1.2 Definisi Pajak Daerah

  Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

  2.1.1.3 Unsur Pajak

  Menurut Mardiasmo (2013:1), pajak memiliki unsur- unsur: a.

  Iuran dari rakyat kepada negara.

  b.

  Berdasarkan undang-undang.

  c.

  Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.

  d.

  Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

  2.1.1.4 Fungsi Pajak

  Menurut Mardiasmo (2013: 1), ada dua fungsi pajak, yaitu: a.

  Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

  b.

  Fungsi mengatur (Regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan

2.1.1.5 Pengelompokan Pajak

  Menurut pendapat Mardiasmo (2013: 5): a. Menurut golongannya

  Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri

  oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

  Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

  b.

  Menurut sifatnya

  Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau

  berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan diri wajib pajak.

  Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan diri wajib pajak.

  c.

  Menurut lembaga pemungutnya

  Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah

  pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

  Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah

2.1.1.6 Sistem Pemungutan Pajak

  Menurut Mardiasmo (2013: 7), terdiri atas:

  a. Official Assessment System

  Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

  b. Self Assessment System

  Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

  c. With Holding System

  Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarna pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

2.1.1.7 Jenis Pajak dan Objek Pajak Daerah Kabupaten/ Kota

  Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, jenis Pajak Daerah Kabupaten/ Kota terdiri atas: a.

  Pajak Hotel c.

  Pajak Hiburan d.

  Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Mineral Bukan Logam g.

  Pajak Parkir h. Pajak Air Tanah i. Pajak Sarang Burung Walet j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan k.

  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

2.1.1.8 Tarif Pajak

  Tarif pajak daerah yang dipungut oleh Kabupaten Sleman berdasarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Nomor 13 tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah, Nomor 11 tahun 2012 tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pajak Hotel, Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pajak Restoran, Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pajak Hiburan, Nomor 4 Tahun Pajak Penerangan Jalan, Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir, adalah: a.

  Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10%, dan rumah kos ditetapkan sebesar 5%.

  b.

  Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10%.

  c.

  Tarif Pajak Hiburan yaitu: 1) Bioskop ditetapkan sebesar 10%. 2)

  Pagelaran kesenian, musik, tari dan/ atau tari modern ditetapkan sebesar 15%.

  3) Pagelaran kesenian, musik dan/ atau tari yang bersifat tradisional yang perlu dilindungi dan dilestarikan karena mengandung nilai-nilai tradisi yang luhur dan kesenian yang bersifat kreatif yang bersumber dari kesenian tradisional ditetapkan 10%.

  4) Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya ditetapkan sebesar 10%.

  5) Pameran ditetapkan sebesar 10%. 6)

  Diskotik, karaoke, klub malam dan sejenisnya ditetapkan sebesar 45%.

  8) Permainan bilyar dan boling ditetapkan sebesar 10%. 9)

  Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan ditetapkan sebesar 10%.

  10) Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran ditetapkan sebesar 10%.

  11) Pertandingan olahraga ditetapkan sebesar 10%. 12) Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25%. 13) Tarif Pajak Penerangan Jalan.

  Tarif Pajak Penerangan Jalan Kabupaten Sleman ditetapkan sebagai berikut: a.

  Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari sumber lain: a)

  Golongan industri, petambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 8%.

  b) selain oleh industri, Penggunaan pertambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 3%.

  b.

  Peggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebesar 1,5%.

  14) Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 20%.

  16) Tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan yang ditetapkan

  Kabupaten Sleman berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 tahun 2012 tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan, adalah sebagai berikut: a.

  Untuk objek pajak dengan NJOP sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% per tahun; b. Untuk objek pajak dengan NJOP diatas Rp

  1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dittapkan sebesar 0,2%.

17) Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5%.

2.1.1.9 Dasar Pengenaan Pajak Kabupaten/Kota

  Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 (Marihot Pahala Siahaan, 2010: 90), dasar pengenaan pajak kabupaten/ kota adalah: a.

  Pajak Hotel dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel.

  b.

  Pajak Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang diterima atau seharusnya diterima oleh restoran. d.

  Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa reklame.

  e.

  Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik.

  f.

  Pajak Mineral Bukan Logam dikenakan atas nilai jual hasil pengambilan mineral bukan logam dan batuan.

  g.

  Pajak Parkir dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.

  h.

  Pajak Air Tanah dikenakan atas nilai perolehan air tanah. i.

  Pajak Sarang Burung Walet dikenakan atas nilai jual sarang burung walet. j.

  PBB Perdesaan dan Perkotaan dikenakan atas nilai jual objek pajak (NJOP). k.

  BPHTB dikenakan atas nilai perolehan objek pajak (NPOP).

2.1.1.10 Cara Penghitungan Pajak

  Dalam Marihot Pahala Siahaan (2010: 91), besarnya pokok pajak dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Selanjutya Marihot Pahala Siahaan Pajak Terutang= Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak Penghitungan besar pokok Pajak yang dipungut oleh

  Pemerintah Kabupaten Sleman adalah mengacu pada Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (mengatur Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pajak Hotel, Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pajak Restoran, Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pajak Hiburan, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame, Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Penerangan Jalan, Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir), Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (mengatur tentang pajak air tanah), Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (mengatur tentang PBB-P2), dan Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (mengatur tentang pajak BPHTB Kabupaten Sleman). Pajak Daerah yang dipungut terdiri atas: a.

  Pajak Hotel Pajak Terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak

  =10% x jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayarkan kepada hotel.

  =10% x jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayarkan kepada restoran.

  c.

  Pajak Hiburan Pajak Terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak tarif pajak setiap jenis hiburan x jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.

  d.

  Pajak Reklame Pajak Terutang = tarif pajak x tarif dasar pengenaan pajak

  = 25% x nilai sewa reklame e. Pajak Penerangan Jalan dikenakan

  Pajak Terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak = tarif pajak x nilai jual tenaga listrik f. Pajak Parkir

  Pajak Terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak = 20% x Jumalah Pembayaran atau yang g.

  Pajak Air Tanah Dalam Marihot Pahala Siahaan (2010: 500), besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang adalah: Pajak Terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak

  = 20% x Nilai Perolehan Air Tanah h. PBB Perdesaan dan Perkotaan

  Pajak Terutang = tarif pajak x dasar pengenaan pajak 1) tarif pajak x (NJOP-Rp 15.000.000,00). 2) tarif pajak x (NJOP Bumi + (NJOP Bangunan-

  Rp 15.000.000,00)). Keterangan: NJOP = Nilai Jual Objek Pajak NJOPTKP = Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak NJOPTKP yang diberlakukan di Kabupaten Sleman berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 tahun 2012 adalah sebesar Rp 15.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. i.

  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

  = tarif pajak x (NJOP-NPOPTKP) = 5% x (NJOP- NPOPTKP)

  Keterangan: NJOP = Nilai Jual Objek Pajak NPOPTKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena

  Pajak Berdasarkan Perda Kabupaten Sleman Nomor 14 tahun 2010 tentang BPHTB, besar NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Sedangkan dalam hal NPOP, hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberian hibah wasiat termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2.1.2 Retribusi

2.1.2.1 Pengertian

  Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, retribusi adalah pungutan tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

2.1.2.2 Objek Retribusi Daerah a.

  Jasa Umum Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang

  Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 110, Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Menurut Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jenis Retribusi Umum adalah:

  1) Retribusi Pelayanan Kesehatan. 2) Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan. 3)

  Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil.

  4) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat.

  5) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.

  7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor. 8) Retribusi Pemerikasaan Alat Pemadam Kebakaran. 9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta. 10) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus. 11) Retribusi Pengolahan Limbah Cair. 12) Retribusi Pelayanan Tera Tera Ulang. 13) Retribusi Pelayanan Pendidikan. 14) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

  Retribusi jasa umum yang dipungut oleh pemerintah Kabupaten Sleman berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 17 tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, terdiri atas:

  a) Retribusi pelayanan kesehatan.

  b) Retribusi pelayanan persampahan.

  c) Retribusi biaya cetak KTP dan Akta Catatan Sipil.

  d) Retribusi pelayanan Pemakaman.

  e) Retribusi Parkir di tepi jalan umum. g) Retribusi pengujian kedaraan bermotor.

  h) Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran.

i) Retribusi penyediaan dan/ atau penyedotan kakus.

  j) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi.

  b.

  Jasa Usaha Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang

  Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Objek Retribusi Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

  Jenis Retribusi Jasa Usaha menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah: a) Retribusi Pemaikan Kekayaan Daerah.

  b) Retribusi Pasar Grosis dan/ atau Pertokoan.

  c) Retribusi Tempat Pelelangan.

  d) Retribusi Terminal.

  e) Retribusi Tempat Khusus Parkir.

h) Retribusi Pelayanan Kpeleabuhanan.

i) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.

  j) Retribusi Penyeberangan di Air. k) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

  Jenis Retribusi Jasa Usaha yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman berdasarkan Perda Kabupaten Sleman Nomor 18 tahun 2011, terdiri atas:

  a) Retribusi pemakaian kekayaan daerah.

  b) Retribusi terminal.

  c) Retribusi tempat parkir khusus.

  d) Retribusi rumah potong hewan.

  e) Retribusi tempat rekreasi dan olahraga.

  c.

  Perizinan Tertentu Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang

  Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Objek Retribusi Perizinan Tertentuadalah pelayanan perizinan tententu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

  Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:

  a) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

  b) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.

  c) Retribusi Izin Gangguan.

  d) Retribusi Izin Trayek.

  e) Retribusi Izin Usaha Perikanan.

  Berdasarkan Peraturan Daerah No. 19 tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, jenis retribusi perizinan tertentu yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman adalah:

  a) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

  b) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.

  c) Retribusi Izin Gangguan.

  d) Retribusi Izin Trayek.

  2.1.2.3 Subjek Retibusi Daerah

  Menurut Mardiasmo (2013: 18), subjek Retribusi Daerah adaalah: 1)

  Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan. 2)

  Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. 3)

  Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah.

  2.1.2.4 Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi

  Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penjelasanya sebagai berikut: 1) Retribusi Jasa Umum

  Prinsip dan sasarannya adalah dengan memperhatikan biaya (meliputi biaya operasi dan keadilan, dan efektivitas penyediaan atas pelayanan tersebut. Penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, dimana penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya. Sedangkan untuk Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Cetak Peta hanya memperhitungkan biaya pencetakan dan pengadministrasian. 2) Retribusi Jasa Usaha

  Prinsip dan sasaran penetapan besarnya tarif adalah didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasausaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

  3) Retribusi Perizinan Tertentu Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif adalah didasarkan padatujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian iszin tersebut.

2.1.2.5 Cara Penghitungan Tarif Retribusi

  Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Dalam Marihot Pahala Siahaan (2010: 642), retribusi terutang dirumuskan dengan:

  Retribusi Terutang = tarif retribusi x tingkat penggunaan jasa Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Tingkat Penggunaan Jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul pemerintah daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah yang mana harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemda dalam menyelenggarakan jasa tersebut.

  Ada beberapa peraturan yang harus dipenuhi dalam Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu: a) Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama tiga tahun sekali.

  b) Peninjauan tarif retribusi dilakukan dengna memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.

  c) Penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

2.1.3 Pendapatan Asli Daerah(PAD)

  2.1.3.1 Pengertian

  Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdaarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  2.1.3.2 Sumber PAD

  Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 6, PAD bersumber dari:

  1) Pajak Daerah;

  3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan

4) Lain-lain PAD yang sah.

2.1.4 Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan

  Menurut Abdul Halim (2007: 98), hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Dalam UU Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah pasal 25, tercantum penggunaan laba bersih hasil perusahaan daerah, perincian penggunaannya adalah sebagai berikut: 1.

  Bagi perusahaan daerah yang modalnya untuk seluruhnya dari kekayaan daerah yang dipisahkan: a. untuk pembangunan daerah sebesar 30%.

  b. untuk anggaran pendapatan daerah sebesear 25%.

  c. untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, sumbangna dana pensiun dan sokongan yang beesarnya masing-masing daerah berjumlah 45%.

  2. Bagi perusahaan daerah yang modalnya sebagian terdiri atas kekaaan daerah yang dipisahkan setelah dilkeluarkannya a. untuk dana pembangunan sebesar 8% dan untuk anggaran sebesar 7% b. untuk pemegang saham 40% dibagi menurut perbandingan nominal dari saham-saham.

  c. untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, sumbangan dana pensiun dan yang besarnya masing-masing ditentukan dalam peraturan daerah berjumlah 45%.

2.1.5 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

  Menurut Abdul Halim (2007: 98), lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemda. Menurut UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Lain-lain PAD yang sah terdiri atas:

  a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;

  b. Jasa giro;

  c. Pendapatan bunga;

  d. Keuntungan selisih nilai tukar rupih terhadap mata uang asing; dan e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah.

2.1.6 Dana Perimbangan

  Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (Widjaja, 2002). Adapun pembagian dana perimbangan antara lain: 1.

  Bagian Daerah, yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA) Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi, ditetapkan masing-masing sebesar 20% dari

  Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah Kabupaten/Kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah, serta faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan. Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000, bagian daerah dari PBB ditetapkan 90%, sedangkan sisanya sebesar 10% yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian daerah sebesar 90% tersebut, 10%-nya merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan bagian pemerintah pusat. Sementara itu, bagian daerah dari penerimaan BPHTB berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 ditetapkan sebesar 80%, sedangkan sisanya 20% merupakan bagian pemerintah pusat. Dalam UU tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan 15% dan 30%. Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan, ditetapkan masing-masing sebesar 80%.

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

  Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dimaksud dengan dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004, besarnya DAU ditetapkan sekurangkurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

  DAU untuk daerah Propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masingmasing 10% dan 90% dari DAU.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

  Pengertian dana alokasi khusus menurut UU No. 33 Tahun 2004 adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, termasuklah yang berasal dari dana reboisasi. Kebutuhan khusus yang dimaksud yaitu:

  a. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dan/atau b. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

  Penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi sebesar 40% disediakan kepada daerah penghasil sebagai DAK.

2.2 Pengukuran kemampuan suatu daerah

2.2.1 Derajat Disentralisasi

  Derajat desentralisasi dilihat dari perbandingan PAD dengan Total Pendapatan Daerah (TPD). Mahmudi (2010: 142) mengatakan bahwa:

  “Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antar jumlah Pendapatan Asli Daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

  Derajat Desentralisai = Menurut Bisma (2010 : 78) mengatakan bahwa :

  “Tingkat Desentralisasi Fiskal adalah ukuran untuk menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan”.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PAD merupakan aspek yang dangat menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Semakin tinggi PAD maka semakin besar kemampuan keuangan daerah untuk membiayai belanja pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Kriteria penilaian tingkat desentralisasi fiskal dapat

TABEL 2.1 KRITERIA PENILAIAN TINGKAT DESENTRALISASI FISKAL

  Prosentase PAD Tingkat terhadap TPD Desentralisasi Fiskal 0,00 Sangat Kurang

  • – 10,00 10,01 Kurang – 20,00

  20,01 Sedang

  • – 30,00 30,01 – 40,00 Cukup 40,01 Baik – 50,00

  > 50,00 Sangat Baik

  Sumber : Tim Litbang Depdagri

  • –Fisipol UGM, 1991 dalam Bisma (2010:78)

  a. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan bias menggali potensi yang ada di daerah tersebut guna meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), sehingga ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat bias berkurang.

  Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat pusat dan/atau pemerintah propinsi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Mahmudi, 2010 : 142): Rasio Ketergantungan =

  Menurut Bisma (2010: 78) mengatakan bahwa: “Tingkat Ketergantungan Daerah adalah ukuran tingkat kemampuan daerah dalam membiayai aktifitas pembangunan daerah melalui optimalisasi PAD, yang diukur dengan rasio antara PAD dengan total penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tanpa subsidi (Dana Perimbangan)”.

  Kriteria untuk menetapkan ketergantungan keuangan daerah dapat dikategorikan seperti tabel 2.2 berikut ini: TABEL. 2.2 KRITERIA PENILAIAN KETERGANTUNGAN KEUANGAN DAERAH

  Ketergantungan Persentase

  Keuangan Daerah 0,00 Sangat Rendah

  • – 10,00 10,01 Rendah – 20,00

  20,01 Sedang

  • – 30,00

  40,01 Tinggi

  • – 50,00 > 50,00 Sangat Tinggi : Tim Litbang Depdagri

  

Sumber –Fisipol UGM, 1991 dalam

  Bisma (2010:77)

  b. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Keberhasilan kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah salah satunya dilihat dari kemandirian keuangan daerah tersebut. Suatu daerah yang sudah mandiri dalam aspek keuangan diharapkan bisa melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat tanpa mengharapkan transfer dana dari pemerintah pusat.

  “Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah dibagi dengan jumah pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan propinsi serta pinjaman daerah.

  Semakin tinggi angka rasio ini menunjukkan pemerintah daerah semakin tinggi kemandirian keuangan daerahnya (Mahmudi, 2010 :142)”. Formula untuk mengukur tingkat Kemandirian Keuangan Daerah :

  Rasio Kemandirian = ( )

  Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, yang diukur dengan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap jumlah bantuan pemerintah pusat dan pinjaman (Bisma, 2010:77).

  Secara konsepsional, pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.

  Paul Hersey dan Kenneth Blanchard memperkenalkan empat macam pola hubungan hubungan situasional yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah (Halim, 2004:188) yaitu:

  a) Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah. (Daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).

  b) Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah. c) Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

  d) Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

  Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah dari sisi keuangan dapat dilihat sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:

  TABEL. 2.3 POLA HUBUNGAN DAN TINGKAT KEMAMPUAN DAERAH Kemampuan Kemandirian Pola

  Keuangan (%) Hubungan Rendah Sekali Instruktif

  • – 25 Rendah

  25 Konsultatif

  • – 50 Sedang

  50 Partisipatif

  • – 75 Tinggi 75 - 100 Delegatif

  Sumber : Halim, 2004: 189 c. Rasio Efektivitas PAD Keberhasilan suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan roda pemerintahan, salah satunya bisa diukur dengan efektivitas pelaksanaan anggaran tersebut. Hal tersebut bisa diketahui dengan mengukur rasio efektivitas.

  Bisma (2010: 78) menuliskan tentang tujuan pengukuran efektivitas: “Pengukuran tingkat efektivitas ini untuk mengetahui berhasil tidaknya pencapaian tujuan anggaran yang memerlukan data-data realisasi pendapatan dan target pendapatan”.Pengertian efektivitas sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo (2004:134) sebagai berikut:

  “Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif”.

  Menurut Munir (2004:48) bahwa: Analisis efektivitas pengelolaan anggaran daerah adalah dengan menggunakan ratio perbandingan antara realisasi pendapatan daerah dengan target pendapatan yang ditetapkan dalam APBD, guna mengetahui berhasil tidaknya pencapaian tujuan anggaran. Senada dengan pendapat di atas, Mahmudi (2010: dihitung dengan cara membandingkan realisasi penerimaan PAD dengan target PAD (dianggarkan). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

  Rasio Efektivitas PAD =

  Adapun kriteria untuk menetapkan efektivitas pengelolaan keuangan daerah, diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan seperti dalam tebel 2.4 berikut ini:

  TABEL. 2.4 KRITERIA PENILAIAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Prosentase Kinerja Keuangan Kriteria

  > 100 % Sangat efektif 100% Efektif 90% - 99% Cukup Efektif 75% - 89% Kurang Efektif < 75 % Tidak Efektif

  Sumber : Mahmudi (2010:143)

  d. Rasio Efisiensi PAD Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah dituntut untuk bisa melaksanakan setiap kegiatan dengan bisa dilihat dari rasio efesiensi. Mardiasmo (2004:133) mengatakan bahwa: “Efesiensi diukur dengan rasio antara output dengan input. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiensi suatu organisasi”.

  Senada dengan hal tersebut (Mahmudi, 2010: 143) mengatakan bahwa:“Untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD, indikator rasio efektivitas PAD saja belum cukup, sebab meskipun jika dilihat dari rasio efektivitasnya sudah baik tetapi bila ternyata biaya untuk mencapai target tersebut sangat besar, maka berarti pemungutan PAD tersebut tidak efisien. Oleh karena itu perlu pula dihitung rasio efisiensi PAD. Rasio ini dihitung dengan cara membandingkan biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk memperoleh PAD dengan realisasi penerimaan PAD. Untuk dapat menghitung realisasi PAD ini diperlukan data tambahan yang tidak tersedia di Laporan Realisasi Anggaran, yaitu data tentang biaya pemungutan PAD”.

  Rasio efisiensi dapat dihitung dengan formula berikut ini:

  Rasio Efisiensi PAD =

  Lebih lanjut Mahmudi (2010: 143) mengatakan: “Semakin kecil rasio ini maka semakin efisien kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan PAD”.

  Adapun kriteria untuk menetapkan efisiensi pengelolaan keuangan daerah, diukur dengan kriteria penilaian kinerja keuangan seperti dalam tebel 2.5 berikut ini:

  TABEL. 2.5 KRITERIA PENILAIAN EFISIENSI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Prosentase Kinerja Kriteria

  Keuangan < 10 % Sangat Efisien 10% - 20% Efisien 21% - 30% Cukup Efisien 31% - 40% Kurang Efisien > 40 % Tidak Efisien

  Sumber : Mahmudi (2010:143)

  e. Rasio Kontribusi Menurut T.Guritno (1997: 76), kontribusi adalah sesuatu yang diberikan secara bersama-sama dengan pihak bahwa, kontribusi komponen Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, laba hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah) terhadap PAD adalah sumbangan yang diberikan komponen-komponen tersebut terhadap realisasi perolehan Pendapatan Asli Daerah kota tertentu. Dalam Arief Himmawan dan Djoko Wahjudi (Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 2014: 192), analisis kontribusi yaitu suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi yang dapat disumbangkan dari penerimaan pajak dan retribusi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan Asli Daerah (APBD).

  

Rasio Kontribusi = X 100%

  Berikut ini adalah kriteria kontribusi yang dinilai dalam persentase kriteria kinerja keuangan menurut Abdul Halim (2008:233) yang dibagi menjadi lima kriteria yaitu Sangat Kurang (SK), Kurang (K), Sedang (S), Cukup Baik (CB), Baik (B),Sangat Baik (SB).

TABEL 2.6 KLASIFIKASI KRITERIA KONTRIBUSI

  < 10% Sangat Kurang 10,01% - 20% Kurang 20,01% - 30% Sedang 30,01% - 40% Cukup Baik 40,01% - 50% Baik > 50% Sangat Baik

  Sumber: Tim Litbang Depdagri Fisipol UGM tahun 1991 dalam Abdul Halim (2008:233)

2.3 Penelitian Terdahulu 1.

  Papang Permadi Prasetyo (2014), dalam penelitian yang berjudul “Analisis Kontribusi Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gunung Kidul”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat pertumbuhan pajak lokal dan untuk mengukur kontribusi pajak lokal pada PAD (Penghasilan Asli Daerah) selama 6 tahun, yaitu dari 2006 hingga 2012. Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan Pajak Daerah Gunung Kidul TA 2006-2012 sebesar 23% dan kontribusi penerimaan pajak daerah terhadap total PADrelatif stabil (15,5%) dengan kontribusi terendah di tahun 2006 (11,3%) dan tertinggi di tahun 2009 (17,8%). Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pajak daerah dan sedang dan dapat ditingkatkan. Persamaan dengan penelitian ini adalah alat analisisnya yaitu pada penggunaan rasio kontribusi. Perbedaan dengan skripsi ini adalah menggunakan alat analisis efektivitas dan yang dihitung adalah seluruh komponen PAD.

  2. Arief Himmawan D.N, dan Djoko Wahjudi (2014), dalam penelitian yang berjudul “Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Komparasi Pemerintah Ko ta Semarang dan Surakarta)”. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengidentifikasi kontribusi setiap pos pajak daerah terhadap pendapatan lokal yang dihasilkan Kabupaten Karawang pada tahun 2011 –2015 dan (2) untuk mengidentifikasi keefektifan masing- masing pajak daerah di Kabupaten Karawang kepada penduduk lokal.

  Pendapatan yang dihasilkan pada tahun 2011

  • –2015. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yaitu analisis rasio. Analisis rasio yang digunakan adalah rasio kontribusi dan rasio efektivitas. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Karawang pada tahun 2011
  • –2015. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi masing-masing pos pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Karawang berada pada tingkat rendah. kategori dengan
efektivitas rata-rata lebih dari 100%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kontribusi pajak dan retribusi daerah Kota Semarang dan Surakarta terhadap PAD dan APBD kota masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi pajak daerah terhadap PAD lebih optimal di Kota Semarang(rata-rata 52,73% per tahun).

  Sedangkan kontribusi retribusi daerah terhadap PAD lebih optimal di Kota Surakarta (rata-rata 37,25% per tahun). Kontribusi pajak daerah terhadap APBD lebih besar di Kota Semarang (kemampuan membiayai belanja sebesar 10,45% per tahun), sehingga dikatakan Semarang lebih mandiri.Persamaan dengan skripsi ini adalah alat analisis yang digunakan. Perbedaan dengan skripsi ini adalah tidak menghitung seluruh komponen PAD, dan hanya meneliti satu daerah.

  3. Elfayang Rizky Ayu Puspitasari dan Abdul Rohman (2014) dalam penelitian yang berjudul “Analisis Efektivitas, Efisiensi, dan Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimana efektivitas pajak daerah di Kabupaten Blora sepanjang 2009-2013. (2) bagaimana efektivitas retribusi daerah di Kabupaten Blora selama 2009-2013. (3) bagaimana efisiensi pajak daerah di Kabupaten Blora selama 2009-2013. (4) bagaimana efisiensi retribusi daerah di Kabupaten Blora selama 2009-2013. (5) bagaimana kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Blora selama

  Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data adalah dokumentasi dan wawancara. Data yang digunakan: potensi pajak daerah dan retribusi lokal, realisasi pajak daerah, retribusi lokal, dan pendapatan daerah. Data dianalisis menggunakan analisis efektivitas, analisis efisiensi, analisis kontribusi, dan analisis t-test yang berbeda.

  Hasil dari penelitian ini adalah: (1) kategori tingkat efektivitas pajak daerah dan retribusi daerah sepanjang 2009-2013 sangat efektif. (2) tingkat efisiensi untuk pajak lokal dan retribusi lokal dari 2009 hingga 2013 secara keseluruhan di tingkat efisien. (3) kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Blora sejak 2009 hingga 2013 tidak memiliki kontribusi. Namun, tingkat rasio kontribusi cenderung meningkat. (4) kontribusi retribusi lokal terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Blora selama 2009-2013 dikontribusikan tetapi rasio kontribusi cenderung menurun setiap tahun. (5) analisis t-test yang berbeda untuk efektivitas dan efisiensi pajak lokal dan retribusi lokal tidak menunjukkan perbedaan. Sedangkan untuk kontribusi pajak lokal dan retribusi lokal menunjukkan perbedaan antara keduanya.

4. Devi Nanditya Laksmi 2016 dalam penelitian yang berjudul

  “Kontribusi Komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Realisasi PAD Tahun Anggaran 2006- 2015 Kota Magelang”. besar kontribusi masing-masing komponen tersebut terhadap PAD Kota Magelang tahun anggaran 2006-2015.

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Teknik analisis yang digunakan data menggunakan rasio efektivitas dan rasio kontribusi. Data penelitian berupa data sekunder yang diperoleh dengan menggunakan metode studi lapangan dan studi pustaka. Hasil analisis menunjukkan bahwa efektivitas komponen PAD tahun 2006-2015 Kota Magelang adalah: (1) retribusi daerah dengan efektivitas terendah 14% (2010) dengan kriteria Tidak Efektif dan tertinggi 128% (2015) dengan kriteria Sangat Efektif; (2) pajak daerah dengan persentase tertinggi 156% (2014) dengan kriiteria Sangat Efektif dan terendah 113% (2006) dengan kriteria Sangat Efektif hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan pada tahun 2015 sebesar 98% dengan kriteria Efektif; (3) efektivitas lain-lain PAD yang sah terendah 99% (2011) dengan kriteria Efektif dan tertinggi 376% (2009) dengan kriteria Sangat Efektif; (4) Kekayaan daerah yang dipisahkan dengan efektivitas tertinggi sebesar 150% (2006) dengan kriteria Sangat Efektif dan terendah 66% (2013). Sedangkan kontribusi komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap PADKota Magelang tahun 2006-2015 adalah: (1) kontribusi pajak daerah terendah 11% (2014) dengan kriteria Kurang dan retribusi daerah terendah 4% (2014-2015) dengan kriteria Sangat Kurang dan tertinggi 60% (2007) dengan kriteria Sangat Baik; (3) Kekayaan Daerah yang dipisahkan denga kontribusi terendah 4% (2014-2015) dengan kriteria Sangat Kurang dan tertinggi 7% (2008) dengan kriteria Sangat Kurang; (4) Lain-lain PAD yang sah dengan persentase tertinggi 79% (2014-2015) dengan kriteria Sangat Baik dan terendah 18% (2008) dengan kriteria Kurang.

5. Eqy Muhammad Amalludin (2014) dalam penelitian yang berjudul

  “ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KOTA BANDUNG ”. Penelitian ini bertujuan untuk menilai seberapa besar kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Bandung periode 2007- 2012. Penelitian ini juga meneliti seberapa besar tingkat efektifitas pajak daerah Kota Bandung pada periode yang sama. Data yang digunakan dalam penelitian ini berjenis time series berupa Laporan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung Anggaran pada tahun 2007-2012.

  Data tersebut telah diproses menggunakan rasio perhitungan pajak dengan metode penelitian deskriptif analisis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pajak daerah Kota Bandung periode 2007-2012 mempunyai kontribusi ratarata sebesar 75,23% dan tingkat efektifitas pajak daerahnya tergolong sangat efektif karena mencapai angka rata-rata sebesar 108,97%. Untuk kontribusi dari tiap jenis pajak daerah Kota tinggi dengan rata-rata 18,34% sedangkan pajak air bawah tanah mempunyai kontribusi paling rendah dengan rata-rata hanya 0,11%.

  Untuk tingkat efektifitas dari tiap jenis pajak daerah Kota Bandung periode 2007-2012, pajak hiburan mempunyai efektifitas paling tinggi dengan rata-rata 203,30% sedangkan pajak penerangan jalan menjadi jenis pajak dengan efektifitas paling rendah dengan rata-rata 95,84% tapi angka tersebut masih tergolong efektif. Untuk meningkatkan kontribusi penerimaan pajak daerah terhadap total penerimaan PAD perlu dilakukan beberapa langkah di antaranya peningkatan intensifikasi pemungutan jenis-jenis pajak daerah, kemudian dilakukan ekstensifikasi dengan jalan memberlakukan jenis pajak baru sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada.