INTENSITAS CAHAYA BERPERAN PENTING DALAM MENINGKATKAN KEBERHASILAN EX VITRO ROOTING DAN AKLIMATISASI BIBIT KELAPA KOPYOR Sisunandar Laboratorium Genetika dan Botani, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Kampus Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto 53182. Telepo
INTENSITAS CAHAYA BERPERAN PENTING DALAM MENINGKATKAN
KEBERHASILAN EX VITRO ROOTING DAN AKLIMATISASI BIBIT KELAPA
KOPYOR
Sisunandar
Laboratorium Genetika dan Botani, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Kampus Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto 53182. Telepon (0281) 636751 ext.164
E-mail : [email protected]
Abstrak
Kelapa kopyor memiliki ekonomi tinggi. namun pembibitan kelapa kopyor true-to-type yangmampu menghasilkan 100 % buah kopyor hanya dapat dilakukan dengan menggunakan kultur
embryo. Namun kelemahan utama dari kultur embryo kelapa kopyor adalahsebagian bibit tidak
menghasilkan akar selama proses in vitro serta belum optimalnya protokol aklimatisasi sehingga
tingkat keberhasilan masih sangat rendah ( kurang dari 30 %). Penelitian ini mengembangkan
teknik ex vitro rooting yang digabungkan dengan tahapan aklimatisasi sehingga produksi bibit
menjadi lebih murah dan lebih cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit kelapa kopyor
hasil kultur embryo berumur 4 bulan yang tidak memiliki akar mampu diinduksi pembentukan akar
secara ex vitro dan diaklimatisasikan dengan keberhasilan tinggi (hampir 95 %). Bibit ditanam
pada medium arang sekam :kompos dan dipelihara dalam mini growth chamber dengan
pencahayaan 1400 lux dengan 14 jam terang dan 10 jam gelap atau 3000 lux di screen house.
Dengan teknik tersebut, bibit kelapa kopyor mampu menghasilkan daun yang lebih tebal dengan
jaringan palisade dan spon parenkim yang lebih tebal, jumlah stomata yang lebih banyak serta
lapisan epikutikular lilin yang lebih tebal dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan dalam
kondisi in vitro.Kata kunci
: Aklimatisasi, Mini growth chamber, Anatomi perbandingan, Kultur embryo
I. PENDAHULUAN
Kelapa kopyor dikenal memiliki nilai ekonomi tinggi karena harga jualnya dapat mencapai 10 kali lipat dari kelapa normal. Namun demikian, para petani kesulitan membudidayakan jenis kelapa tersebut karena kelapa kopyor tidak dapat dikecambahkan secara alami, umumnya sudah busuk setelah 2 minggu lepas dari pohon. Akibatnya, petani kelapa membudidayakan kelapa kopyor dengan cara menanam buah normal dari pohon yang menghasilkan buah kopyor. Akibatnya produksi buah kopyor yang dihasilkan relatif rendah (25
- 30 % dari total buah yang dihasilkan) dengan kemungkingan menghasilkan buah kopyor yang cukup rendah [1].
Sampai saat ini, satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit yang mampu menghasilkan pohon kopyior dengan buah 100 % kopyor adalah dengan menggunakan teknik kultur embryo. Teknik tesebut telah mulai dikembangkan di Indonesia tingkat keberhasilan pembibitan kelapa kopyor melalui kultur embryo masih perlu ditingkatkan. Tingkat keberhasilan pada tahap perkecambahan dan pemanjangan sudah cukup tinggi, namun pada tahap induksi akar dan aklimatisasi memiliki tingkat keberhasilan yang cukup rendah. Protokol kultur embryo yang tersedia saat ini hanya mampu menghasilkan kecambah yang lengkap dengan akar masih cukup rendah, yaitu sekitar 50 % (Sukendah 2009; Sukendah et al. 2008), sedangkan pada tahap aklimatisasi masih kurang dari 20 % [3- 5].
Protokol kultur embryo yang umum digunakan untuk mengatasi masalah kecambah kelapa yang tidak memiliki akar adalah dengan cara mensubkulturkan bibit pada medium induksi akar selama beberapa subkultur sampai terinduksi akar pada bibit yang ditanam [2; 6; 7]. Selanjutnya, bibit yang lengkap dengan akar diaklimatisasikan dengan menggunakan sungkup plastik ataupun di dalam tenda plastik selama beberapa bulan sebelum bibit siap teknik tersebut mengakibatkan lama waktu yang dibutuhkan untuk produksi bibit menjadi lebih panjang, biaya lebih mahal dengan resiko kegagalan yang lebih besar.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mempersingkat waktu kultur dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik adalah dengan menggunakan teknik ex vitro
rooting, yaitu induksi akar yang dilakukan
bersamaan dengan aklimatisasi. Teknik ini telah banyak dilaporkan pada beberapa anaman dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, seperti blackberry [8], Agapanthus praecox [9],
Bixa orellana [10]. Rubus fruticosus [11],
maupun Rosa hybrida [11]. Aplikasi teknik ex
vitro rooting yang dilakukan bersamaan dengan
aklimatisasi belum pernah dilaporkan pada tanaman kelapa maupun kelapa kopyor. Pada penelitian ini dilaporkan keberhasilan teknik tersebut untuk meningkatkan persentase keberhasilan induksi akar maupun aklimatisasi pada kelapa kopyor
Uji Morfologi dan Anatomi Bibit Kelapa Kopyor
Bibit kelapa dipelihara dengan cara yang sama seperti di atas namun ditempatkan pada dua kondisi lingkungan yang tidak terkontrol, yaitu di dalam screen house dengan intensitas cahaya sekitar 3000 lux dan dibawah cahaya matahari langsung (45.000 lux). Temperatur udara di dalam MGC diamati dengan menggunakan alat temperatur humidity data logger guna memantau perubahan suhu dan kelembapan di dalam MGC.
Uji Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan Tidak Terkontrol
Ke dalam MGC ditambahkan medium kultur jaringan tanpa penambahan vitamin dan gula sebanyak 15 liter. Bibit dipelihara di dalam ruang kultur jaringan tumbuhan dengan temperatur udara terkontrol 24 -26 C.
II. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian
mini growth chamber (MGC) selama 3 bulan
Bibit kelapa kopyor ditanam pada medium arang sekam kompos dengan perbandingan 1: 1 (v/v) dan dipelihara di dalam
Uji Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan Terkontrol
Bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo berumur 4 bulan yang tidak memiliki akar digunakan dalam penelitian ini. Kultur Embryo dilakukan dengan menggunakan protokol yang umum digunakan dengan sedikit modifikasi [12]. Embryo kelapa kopyor genjah yang diperoleh dari perkebunan rakyak Kabupaten Pati, Jawa Tengah diisolasi dan ditanam pada medium dasar Y3 [13]. Kultur dipelihara di tempat gelap sampai embryo berkecambah. Kecambah selanjutnya dipindahkan ke medium baru dan dipelihara ditempat terang dengan intensitas caya 900 lux dan fotoperiode 14 jam terang dan 10 jam gelap. Setelah bibit berumur 4 bulan dan berdaun terbuka satu atau dua buah kemudian siap diinduksi akar dan diaklimatisasikan dalam percobaan ini.
Setelah 12 minggi, bibit dibersihkan dan dilakukan pengukuran morfologi bibit yang dihasilkan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar primer dan berat basah bibit. Setiap perlakuan digunakan 20 bibit dengan ulangan sebanyak 3 kali. Disamping itu juga dilakukan studi perbandingan anatomi daun antara bibit kelapa kopyor berumur 4 bulan sebelum ex vitro rooting dengan bibit kelapa kopyor sesudah ex vitro rooting selama 12 minggu. Anatomi daun yang diamati meliputi tebal daun, tebal jaringan palisade parenkim, tebal jaringan spon parenkim, tebal jaringan epidermis atas dan bawah, serta jumlah stomata pada permukaan atas dan bawah daun.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji student t-test dengan menggunakan software Minitab rel 16.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Intensitas Cahaya pada Lingkungan Terkontrol
Dalam kondisi terkontrol di dalam ruangan kultur jaringan tumbuhan dengan temperatur udara 24 - 26
C, intensitas cahaya memegang peran penting dalam keberhasilan induksi akar secara ex vitro serta aklimatisasi (Gambar 1).
pada kelembapan udara sekitar 100 %. Dua intensitas cahaya digunakan dalam penelitian ini, yaitu 900 lux dan 1700 lux serta digunakan fotoperioda 14 jam terang dan 10 jam gelap..
Gambar 1. Keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo dengan menggunakan metode ex vitro rooting yang dipelihara pada kondisi ruang terkontrol dengan intensitas cahaya 900 lux ( ) dan 1700 lux ( ). A. persentase bibit yang terinduksi akar serta kelulushidupan bibit setelah 12 minggu kultur di dalam mini growth chamber. B. Hasil pengukuran karakteristik morfologi bibit kelapa kopyor setelah 12 minggu dipelihara di dalam mini growth chamber meliputi tinggi bibit, berat basah, jumlah daun dan jumlah akar primer. Tanda *) menunjukkan perlakuan intensitas cahaya menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap keberhasilan aklimatisasi maupun morfologi bibit dengan dengan nilai p ≤ 0.05.
Pada intensitas cahaya yang tinggi (1700 daun dan jumlah akar primer yang berhasil lux), bibit kelapa kopyor berhasil diinduksi terinduksi tidak berbeda secara signifikan pembentukan akar secara ex vitro maupun (Gambar 1 B). berhasil diaklimatisasi dengan tingkat keberhasilan tinggi. Meskipun masih ditemukan Pengaruh Intensitas Cahaya pada bibit yang tidak terinduksi akar (sekitar 25 %) Lingkungan yang Tidak Terkontrol setelah 12 minggu proses aklimatisasi, namun Dalam lingkungan yang tidak terkontrol, hampir 95 % bibit kelapa kopyor yang tidak suhu di dalam MGC bervariasi tergantung memiliki akar berhasil diaklimatisasikan intensitas cahaya. Pada intensitas cahaya sekitar dengan kondisi eksternal selama 12 minggu 3000 lux, temperatur udara di dalam MGC (Gambar 2). Pada intensitas cahaya yang lebih berfluktuasi dengan temperatur udara minimum rendah (900 lux), tingkat keberhasilan induksi
27 C pada malam hari pukul 2 dan temperatur akar secara ex vitro dan aklimatisasi menurun udara maksimum sebesar 39 C pada siang hari secara signifikan (Gambar 1 A.). Kurang dari pukul 11.00. Pada intensitas cahaya yang tinggi 70 % bibit kelapa kopyor tanpa akar berhasil (45000 lux), temperatur udara minimum diaklimatisasikan serta hanya sekitar 55 % bibit sebesar 28 C pada malam hari pukul 2 dan 49 berhasil muncul akar setelah 12 minggu kultur. C pada siang hari pukul 11. Kelembapan udara di dalam MGC sebesar 100 % baik pada Hasil analisis morfologi terhadap bibit intensitas cahaya tinggi maupun rendah. yang berhasil tumbuh pada kedua kondisi intensitas cahaya yang berbeda menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan berat tanaman meningkat secara signifikan pada kultur dengan intensitas cahaya yang tinggi dibandingkan dengan kultur yang dipelihara dengan intensitas cahaya yang rendah. Namun demikian, jumlah Gambar 2 Morfologi bibit kelapa kopyor yang dipelihara dengan intensitas cayaha yang tinggi (1700 lux) selama 12 minggu kultur (A) dibandingkan dengan bibit yang dipelihara dengan intensitas cahaya yang rendah (900 lux; B). Bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo berumur 4 bulan yang tidak memiliki akar (C) dan bibit kelapa kopyor sesuah 12 minggu induksi akar secara ex vitro menunjukkan munculnya akar primer baru pada bibit yang ditanam (D).
Bibit yang dipelihara pada intensitas Anatomi Perbandingan Bibit Kelapa Kopyor cahaya 3000 lux di dalam screen house berhasil Sebelum dan Sesudah Aklimatisasi terinduksi akar secara ex vitro dan berhasil diaklimatisasikan selama 12 minggu tanam. Hasil perbandingan anatomi daun antara Seperti halnya pemeliharaan di dalam ruangan bibit kelapa kopyor berumur 4 bulan hasil yang terkontrol, pemeliharan bibit di dalam kultur in vitro dengan bibit kelapa kopyor MGC yang ditempatkan di screen house setelah mengalami induksi akar secara ex vitro berhasil digunakan untuk aklimatisasi dengan selama 12 minggu menunjukkan adanya tingkat tingkat keberhasilan mencapai lebih dari perubahan anatomi daun baru yang terbentuk 90% dengan hampir 80 % bibit terinduksi pada kedua jenis bibit yang digunakan. pembentukan akar secara ex vitro. Ciri-ciri Berdasarkan pengukuran pada daun kedua dari morfologi dari bibit yang berhasil tumbuh juga kedua jenis bibit menunjukkan bahwa ketebalan tidak berbeda secara signifikan dengan bibit daun, ketebalan jaringan parenkim palisade dan yang dipelihara pada kondisi terkontrol dengan ketebalan jaringan parenkim spon menunjukkan intensitas cahaya 1700 lux. peningkatan yang signifikan pada daun yang
Hasil yang bertolak belakang diamati diisolasi dari bibit setelah dipelihara selama 12 pada bibit yang dipelihara dengan intensitas minggu di lingkungan ex vitro. Hal yang sama cahaya tinggi (sekitar 45.000 lux) dengan cara juga ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah bibit dipelihara di dalam MGC dan ditempatkan stomata yang ditemukan pada permukaan daun secara langsung dibawah sinar matahari. Hasil bagian bawah (Gambar 3) penelitian menunjukkan bahwa seluruh bibit yang ditanam tidak berhasil tumbuh setelah 3 minggu kultur. Gambar 3. Anatomi perbandingan antara daun yang tumbuh pada bibit in vitro berumur 4 bulan (sebelum aklimatisasi, ) dengan daun yang tumbuh pada bibit setelah aklimatisasi ( ) berdasarkan ciri ketebalan daun (A) dan jumlah stomata (B). Batang yang diikuti dengan tanda bintang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji t-test dengan nilai p≤ 0,05.
Hasil pengukuran berat lapisan epikutikular lilin pada daun yang tumbuh selama proses in vitro sebelum proses Pembahasan aklimatisasi dengan daun yang tumbuh selama proses ex vitro (sesudah aklimatisasi) Kultur embrio telah lama diupayakan menunjukkan peningkatan berat lapisan untuk digunakan dalam penyediaan bibit kelapa epikutikular lilin yang signifikan setelah bibit kopyor di Indonesia karena bibit yang dipelihara secara ex vitro (sesudah aklimatisasi) dihasilkan terbukti mampu menghasilkan 100 dibandingkan dengan daun yang tumbuh selama % buah kopyor (true-to-type) dibandingkan dipelihara secara in vitro (Gambar 4). dengan teknik pembibitan alami yang hanya mampu menghailkan buah kopyor kurang dari 25 %. Namun demikian, kendala yang dihadapi dalam mengaplikasikan teknik tersebut adalah tingginya bibit yang tidak memiliki akar selama proses in vitro (hampir 40 %) dan rendahnya keberhasilan aklimatisasi (sekitar 20 %; [3]. Pada semua protokol kultur embryo kelapa yang telah dipublikasikan, bibit tanpa akar tersebut akan diinduksi pembentukan akarnya secara in vitro sebelum diaklimatisasikan ke kondisi ex vitro [2; 3; 6; 7; 14; 15]. Namun demikian penambahan tahap induksi akar selama beberapa periode subkultur tersebut memperlama waktu produksi serta
Gambar
4. Perbandingan berat lapisan meningkatkan ongkos produksi. epikutikular lilin antara daun yang tumbuh pada
Teknik ex vitro rooting sekaligus bibit in vitro berumur 4 bulan (sebelum aklimatisasi yang dikembangkan dalam aklimatisasi, ) dengan daun yang tumbuh penelitian ini memiliki tingkat keberhasilan pada bibit setelah aklimatisasi selama 12 yang tinggi dalam hal tingkat kelulusahidupan minggu ( ). setelah 12 minggu kultur (95 %) serta mampu menginduksi akar mencapai hampir 75 % dari akar (Gambar 1). Hasil ini merupakan terobosan baru dalam pengembangan protokol kultur embryo kelapa kopyor, bahkan kultur embryo kelapa pada umumnya,. Meskipun beberapa penelitian sebelumnya tentang teknik aklimatisasi bibit kelapa hasil kultur embryo mampu menghasilkan tingkat kelulushidupan yang sama, namun tekniktersebut membutuhkan waktu 6 - 9 bulan kondisi in
vitro sebelum bibit siap diaklimatisasikan [3; 6;
7; 14; 15]. Teknik ex vitro rooting yang dikembangkan dalam penelitian membutuhkan waktu in vitro yang lebih singkat (4 bulan) sehingga mempersingkat waktu. Meskipun teknik fotoautotrop mampu menggunakan bibit yang berumur sama (4 bulan) dengan tingkat kelulushidupan yang sama pula [2], namun teknik yang dikembangkan ini murah dilakukan dan tidak membutuhkan teknologi tinggi seperti pada tenik fotoautotorp.
Pada umumnya, penyebab gagalnya proses aklimatisasi tanaman hasil kultur jaringan adalah perbedaan lingkungan yang sangat kontras antara lingkungan in vitro dengan lingkungan ex vitro seperti kelembapan udara yang sangat tinggi, ketersediaan gas CO 2 yang sangat terbatas,maupun kekurangmampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis [16]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas cahaya memegang peran penting dalam menentukan keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo baik dalam ruangan yang terkontrol (Gambar 2) maupun dalam kondisi lingkungan yang tidak terkontrol. Intensitas cahaya yang tinggi dibutuhkan untuk perkembangan bibit kelapa kopyor, namun intensitas cahaya yang terlalu tinggi dengan menempatkan di bawah matahari secara langsung menyebabkan kematian yang diakibatkan oleh tingginya temperatur udara di dalam mini growth chamber (48 C di siang hari). Oleh karena itu penelitian ini merekomendasikan untuk tidak meletakkan bibit hasil kultur jaringan secara langsung di bawah sinar matahari.
Hasil uji anatomi perbandingan daun menunjukkan bahwa selama proses aklimatisasi dihasilkan daun yang lebih tebal, jaringa palisade dan spon parenkim yang lebih tebal, jumlah stomata yang lebih banyak serta lapisan epikutikular lilin yang lebih tebal dibandingkan dengan bibit yang dipelihara secara in vitro (Gambar 3 dan 4). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
in vitro memiliki stomata dengan jumlah yang
lebih rendah serta stomata yang dimiliki belum fungsional [17] serta memiliki lapisan epikutikular lilin yang lebih tipis [18]. Kondisi tersebut diduga berhubungan dengan hilangnya hilangnya rangsang membuka dan menutupnya stomata sebagai akibat dari kondisi lingkungan yang konstant, kelembapan yang sangat tinggi serta tidak adanya aliran udara pada lingkungan in vitro [19]. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab gagalnya proses aklimatisasi pada kultur embryo kelapa kopyor seperti banyak dilaporkan sebelumnya [3; 4].
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa teknik ex vitro rooting dapat digunakan untuk induksi akar sekaligus aklimatisasi bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo. Tingkat keberhasilan induksi akar yang tinggi dapat dilakukan pada intensitas cahaya yang tinggi 1700 - 4500 lux dengan temperatur udara dibawah 26 - 28
C. Bibit yang dihasilkan setelah 12 minggu tahapan induksi akar secara
ex vitro akan memiliki daun yanglebih tebal
dengan jumlah stomata yang lebih banyak serta lapisan epikutikular lilin yang lebih tebal dibandingkan bibit hasil kultur in vitro (sebelum digunakan aklimatisasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai proyek Insentif Riset Sinas dengan no kontrak 33/SEK/INSINAS/PPK/IV/2015 addendum 33/ADD/INSINAS/PPK/VIII/2015, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Maskromo I. & Novarianto H., Perbanyakan kelapa kopyor secara alami, In: Monograp Kelapa Kopyor Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado, Indonesia, pp., 2008.
[2] Samosir Y. & Adkins S.W., Improving acclimatization through the photoautotropic culture of coconut (Cocos nucifera) seedlings: An in vitro system for the efficient
Cellular & Developmental Biology- Plant, In vitro Cellular & Developmental Biology-Plant, 31, pp. 144 - 149, 2014. [3] Mashud N., Pengembangan metode kultur embryo kelapa kopyor yang lebih efisien (30 %). In: Laporan Penelitian Program Insentif Riset Terapan, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado, 2010.
[4] Sukendah, Sudarsono, Witjaksono & Khumaida N., Perbaikan teknik kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) asal Sumenep, Jawa Timur melalui penambahan bahan aditif dan pengujian periode subkultur, Buletin Agronomi, 36, pp. 16 - 23, 2008.
[5] Sukendah, Pembiakan In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor.
Disertasi Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Disertation Thesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2009. [6] Magdalita P.M., Damasco O.P. & Adkins S.W., Effect of medium replenishment and acclimatization technique on growth and survival of embryo cultured coconut seedlings. Philippine Science Letters. 3: 1 - 9., Philippine Science Letters, 3, pp. 1 - 9, 2010.
[7] Orense O.D., Rillo E.P., Imperial L.A.P., Cueto C.A., Lobos A.A. & Areza-Ubaldo M.B., Rapid and cost-effective embryo culture technique for commercial production of Makapuno seedlings, CORD, 27, pp. 20 - 41, 2011.
[8] Fira A., Clapa D. & Plopa C., New aspects regarding the micropropataion of blackberry cultivar Thornless evergreen, Bulletin UASVM Horticulture, 67, pp. 106 - 114, 2010.
[9] Baskaran P. & Van Staden J., Rapid in vitro micropropagation of African Journal of Botany, 86, pp.
46 - 50, 2013. [10] Mohammed A., Chiruvella K.K., Namsa N.D. & Ghanta R.G., An efficient in vitro shoot regeneration from leaf petiolar explants and ex vitro rooting of Bixa orellana L., A dye yielding plant, Physiology and Molecular Biology of Plants, 21, pp. 417 - 424, 2015.
[11] Clapa D. & Fira A., An efficient ex vitro rooting and acclimatization method for horticultal plants using float hydroculture, HortScience,
48 , pp. 1159 - 1167, 2013.
[12] Sisunandar, Rival A., Turquay P., Samosir Y. & Adkins S.W., Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryos does not induce morphological, cytological or molecular changes in recovered seedlings, Planta, 232, pp. 435 - 447, 2010.
[13] Eeuwens C.J., Mineral requirement for growth and callus initiation of tissue explants excised from mature coconut palms (Cocos nucifera) and cultured in vitro, Physiologia Plantarum, 36, pp. 23 - 28, 1976.
[14] Rillo E.P., Importing and growing embryos for the coconut genebank, In:
Germplasm Health Management for COGENT's Multi- site International Coconut Genebank Ikin R., Batugal P. (eds), International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE, Malaysia, pp. 62 - 68, 2004. [15] Engelmann F. & Batugal P.,
Background on the development and implementation of the coconut embryo in vitro culture project, In: Coconut Embryo In Vitro Culture Oliver J. (eds), International Plant Genetic Resources Institute- Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE, Malaysia, pp. 1 - 6, 2002. [16] Paspisilova J., Ticha I., Kadlecek P., Haisel
D. & Plzakova S., Acclimatization of micropropagated plants to ex vitro conditions, Biologia Plantarum,
42 , pp. 481 - 497, 1999.
[17] Villalobo A., Gonzales J., Santos R.
& Rodriguez R., Morpho- physiological changes in pineapple plantlets (Ananas comosus (L.) merr.) during acclimatization, Ciencia e Agrotecnologia, 36, pp.
624 - 630, 2012. [18] Paspisilova J., Ticha I., Kadlecek P., Haisel
D. & Plzakova S., Acclimatization of micropropagated plants to ex vitro conditions, Biologia Plantarum,
42 , pp. 481 - 497, 2007.
[19] Afreen F., Physiological and anatomical characteristics of in vitro photoautotropic plants, In: Photoautotropic (sugar-free medium) micropropagation as a new micropropagation and transplant production system Kozai T., Afreen F., Zobayed S.M.A. (eds), Springer, Dordrecth, The Netherlands., pp. 61 - 90, 2005.