BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian - KAJIAN HUKUM TRANSFER PRICING (PENENTUAN HARGA TRANSFER) PAJAK PENGHASILAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA - repository perpustakaan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengaturan Praktik Transfer Pricing di Indonesia a. Undang-undang 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam Hukum Positif di Indonesia ketentuan Transfer Pricing

  secara umum diatur dalam Pasal 18, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPH). Dalam Undang-undang 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (3) menyebutkan Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya

  ‐plus, atau metode lainnya.

  b.

  Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

  Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan menyebutkan dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi

  

48 dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

  c.

  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

  Seperti yang tersebut di atas bahwa Transfer Pricing diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

  (Arm’s Length Principle/ALT). Prinsip Kewajaran dan

  Kelaziman Usaha berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Dalam Peraturan tersebut, pada Pasal 1 angka 6 dikatakan bahwa Harga Wajar atau laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Untuk mengidentifikasi penerapan Prinsip dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan istimewa dilakukan dengan sebuah analisis. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

  d.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor213/PMK.03/2016 tentang Jenis

  Dokumen dan/atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

  Atas dasar peraturan tersebut di atas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016, Pasal 3 ayat (3) mewajibkan semua pihak baik domestik maupun luar negeri yang melakukan transaksi afiliasi untuk menerapkan

Arm’s Length Principle. Praktik Transfer Pricing erat

  kaitanya dengan Hubungan Istimewa antar wajib pajak. Ketentuan tersebut diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016 ,Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi Afiliasi, Transaksi Afiliasi tersebut dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan yaitu Transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi, dan Pihak Afiliasi dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan yaitu sebagai pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyatakan bahwa Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan Harga Transfer yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

  e.

  Peraturan dan Prinsip lainya terkait Transfer Pricing.

  Pengaturan tentang Transfer Pricing di Indonesia tidak lepas dari prinsip yang mendasari praktik pengaturan Transfer Pricing yang telah menjadi kebiasaan umum untuk diterapkan di banyak negara. Prinsip utama yang dianut dalam pengaturan Transfer Pricing adalah diacunya konsep dalam kerangka teoritikal akuntansi yaitu prinsip

  Arm’s Length

Principle . OECD dalam pernyataan resminya yang dituangkan di Pasal 9 The OECD Model Tax Convention menyatakan sebagai berikut: “[When] conditions are made or imposed between the two

[associated] enterprises in their commercial or financial relations which

differ from those which would be made between independent enterprises,

then any profits which would, but for those conditions, have accrued to

one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so

accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.” Pernyataan di paragraf 1 Pasal 9 dari Model OECD inilah yang menjadi basis pola hubungan bilateral dalam konteks tax treaty antara negara-negara anggota OECD dan beberapa negara non-OECD.

  Argumentasi utama yang dibangun oleh OECD dalam penerapan prinsip

  Arm’s Length ini adalah prinsip Arm’s Length memberikan

  keseimbangan yang luas dalam perlakuan pajak untuk Multinational Enterprises (MNEs ) dan Independent Enterprises.

  Arm’s Length

Principle menempatkan Multinational Entreprises dan Independent

Enterprises pada keadaan yang lebih adil dalam penghitungan beban

  untuk tujuan perpajakan, sehingga hal itu dapat menghindari upaya- upaya terjadinya keuntungan pajak yang mengubah posisi relatif kompetitif dari kedua jenis entitas tersebut. Sejalan dengan itu, meninjau kembali posisi pajak-pajak dalam transaksi tersebut dari keputusan ekonomi, prinsip

  Arm’s Length meningkatkan pertumbuhan perdagangan internasional dan investasi.

  Sekalipun pendekatan ini membawa kemajuan yang sangat berarti dalam pengaturan transaksi yang melibatkan adanya hubungan istimewa, namun dalam praktik pelaksanaannya ditemui beberapa kesulitan sebagai berikut: 1) Perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa mungkin melakukan transaksi-transaksi yang tidak terjadi di perusahaan- perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa (non-affiliated

  

companies or enterprises) . Terjadinya transaksi-transaksi model ini tidak dimotivasi oleh kepentingan penghindaran pajak tetapi dalam transaksional bisnis antar perusahaan affiliasi tersebut menghadapi kondisi-kondisi bisnis atau komersial berbeda dengan yang dihadapi oleh anggota suatu perusahaan non-affiliasi.

  2) Penerapan prinsip ini mungkin akan menimbulkan beban administratif baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dalam mengevaluasi jumlah yang signifikan dan tipe-tipe transaksi-transaksi cross-border. Meskipun perusahaan affiliasi umumnya menetapkan syarat-syarat bagi sebuah transaksi affiliasi pada saat transaksi terjadi, namun pada titik tertentu perusahaan diminta menunjukkan bahwa perusahaan affiliasi konsisten dengan prinsip A

  rm’s Length Transaction. Disisi

  lain, fiskus akan berupaya melakukan verifikasi dalam beberapa tahun ke depan setelah terjadinya transaksi-transaksi affiliasi tersebut.

  Fiskus kemudian akan mencoba mengumpulkan informasi transaksi sejenis, kondisi pasar pada saat transaksi affiliasi terjadi untuk sekian banyak dan ragam transaksi. Aktivitas ini biasanya akan menjadi lebih sulit seiring dengan berlalunya waktu.

  3) Wajib Pajak dan fiskus sering kali mengalami kesulitan memperoleh informasi yang memadai untuk menerapkan prinsip

  arm’s length. Hal

  ini karena prinsip

  arm’s length mensyaratkan Wajib Pajak dan fiskus

  untuk mengevaluasi transaksi-transaksi yang tidak dapat dikontrolnya, termasuk juga aktivitas-aktivitas bisnis dari perusahaan non affiliasi dan membandingkannya dengan transaksi-transaksi di perusahaan affliliasi. Hal ini memunculkan permintaan akan sejumlah data yang subtansial. Informasi yang dapat diakses kemungkinan tidak lengkap dan sulit diinterpretasikan. Informasi lain, jika itu ada, mungkin akan sangat sulit diperoleh dengan sejumlah alasan. Kebutuhan akan informasi terkait transaksi perusahaan non affiliasi, dengan alasan kerahasiaan maka tidak mudah memperolehnya. Pada titik ini harus disadari bahwa Transfer Pricing bukan ilmu pasti tetapi membutuhkan penggunaan pertimbangan pada setiap bagian di kedua belah pihak, Wajib Pajak dan Fiskus (Roy Martfianto: 2011).

  Perusahaan Multinasional a.

  Melalui Rencana Aksi (Action Plan) BEPS Untuk mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan Perusahaan

  Multinasional melalui skema Tax Planning yang didalamnya dapat dilakukan praktik Transfer Pricing, negara-negara anggota G20 mendeklarasikan aksi bersama dengan Organizations Economics for Co-

  orperations and Development dalam 15 Rencana Aksi atas isu Based Erosion and Profit Shifting(BEPS) . 15 Rencana Aksi tersebut didasarkan

  pada prinsip utama yaitu koherensi, subtansi, dan transparansi serta diharapkan perubahan strandar perpajakan Internasional. Adapun 15 Rencana Aksi tersebut berupaya untuk:

  1) Membentuk koherensi internasional terhadap pajak penghasilan badan usaha (Action Plan 2,3,4,5).

  2) Memperbaiki standar perpajakan internasional dengan cara menyelaraskan hak pemajakan dengan subtansi ekonomi (Action Plan

  6,7,8,9,10). 3)

Menjamin transparansi sekaligus meningkatkan kepastian dan prediktabilitas (Action Plan 11,12,13,14) untuk membentuk instrument

  multilateral dalam merespon isu BEPS dan memonitor Rencana Aksi BEPS (Plan 15). Selain itu terdapat Rencana Aksi lainya yang membahas perlakuan pajak atas ekonomi digital (Darussalam dan Ganda C. Tobing.

  2014: 4).

  Terkait kesiapan Indonesia untuk mengimplementasikan Rencana Aksi tersebut, Pusat Kebijakan Penerimaaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal menyatakan beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia telah sejalan dengan Rencana Aksi BEPS tersebut. Dari 15 Rencana Aksi BEPS tersebut terdapat 6 Aksi yang fokus pada penanganan Transfer

  

Pricing , yaitu Rencana Aksi ke 8,9,10,12,13, dan 14 ( Ichda Rizqoh

Karomatunnisa. 2016: 316).

  Hasil dari Rencana Aksi tersebut dapat berupa report, rekomendasi, dan revisi atas OECD Model Convention atau Transfer Pricing

  

Guideliness . Dari 6 Rencana Aksi tersebut yang fokus pada penanganan

Transfer Pricing dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1) Rencana Aksi 8,9,10 : Assure that Transfer Pricing Outcomes are in the with Value Creation.

  Penghindaran pajak oleh Perusahaan Multinasional saat ini menempatkan Transfer Pricing sebagai instrumen yang paling sering paling digunakan untuk menggeser laba.

  Arm’s Length Principle yang

  selama ini mencerminkan konsensus internasional dianggap memiliki kelemahan. Kelemahan yang dimaksud tidak terlepas dari asumsi dasar dalam

Arm’s Length Principle bahwa semakin besar fungsi, asset, dan

  resiko dari salah satu pihak bertransaksi, maka semakin besar pula remunerasi diharapkan akan diperoleh pihak tersebut. Hal ini mendorong Perusahaan Multinasional untuk memindahkan fungsi, asset, resiko ke Yurisdiksi yang mengenakan pajak rendah. Dalam Rencana Aksi ke 8, 9, 10 menempatkan isu asset tidak berwujud, resiko dan modal, serta transaksi beresiko tinggi lainya.

  Rencana Aksi ke Sembilan mengidentifikasi isu alokasi resiko oleh OECD berdasarkan kontrak dibanding realitas ekonomi dari grup perusahaan secara terintegrasi. Rencana Aksi ini mempertimbangkan seberapa besar substansi ekonomi yang diperlukan dalam kaitanya dengan alokasi resiko.

  Rencana Aksi ke Sepuluh, pada dasarnya OECD Transfer Pricing

  

Guideliness mengakui bahwa transaksi afiliasi yang tidak atau jarang

  yang dilakukan oleh pihak independen tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa transaksi afiliasi ini tidak wajar. Dalam hal ini

  OECD berupaya mengklarifikasi kondisi yang memungkinkan dilakukan rekarakterisasi suatu transaksi. Pada dasarnya, OECD memperbolehkan otoritas pajak untuk melakukan rekarakterisasi transaksi afiliasi dalam kasus-kasus tertentu.

  2) Rencana Aksi ke 12 : Require Taxpayers to Disclose their Aggressive Taxpalning Arrangements.

  OECD Menekankan bahwa dasar dari tiap upaya untuk mengatasi

  

Aggressive Tax Planning adalah ketersediaan informasi. Dengan

  ketersediaan informasi yang tepat sasaran, teapat waktu dan komprehensif, maka otoritas pajak dapat melakukan deteksi awal atas skema Aggressive Taxplanning. OECD mendefinisikan manfaat pajak serta transaksi yang dikategorikan aggressive atau abusive terkait dengan upaya OECD untuk memonitor skema Aggressive Taxplanning.

  Sebagai bagian dari transparasi dan untuk menghindari informasi asimetris antara wajib pajak dan otoritas pajak, OECD dalam Rencana Aksi ke 13 ini menganggap perlu untuk melakukan revisi atas persyaratan dokumentasi Transfer Pricing.

  Terdapat dua hal yang penting dalam Rencana Aksi ke 13 ini. Yang pertama adalah, standarisasi dokumen Transfer Pricing melalui pendekatan dua tingkat, yaitu master file yang memuat informasi yang relevan mengenai semua perusahaan dalam grup Perusahaan Multinasional, dan local file yang memuat informasi secara spesifik tentang transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan.

  4)

Rencana Aksi ke 14: Make Dispute Resolution Mechanism more Effective

  Data statistik dari negara-negara anggota OECD menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dalam proses penyelesaian sengketa perpajakan internasional melalui MAP. Hal ini mengindikasikan adanya keinginan kuat dari otoritas pajak di negara-negara anggota OECD untuk menyelesaikan sengketa perpajakan internasional melalui MAP (Mutual Agreement Procedure). Namun dalam hal ini bukan berarti MAP tidak mempunyai kelemahan, MAP tidak memberi kepastian karena tidak mewajibkan otoritas pajak untuk melakukan kesepakatan.

  Dalam hal tersebut, Rencana Aksi ke 14 ini mengidentifikasi kemungkinan penolakan oleh otoritas pajak untuk menginisiasi MAP dan arbitrase sebagai penghalang dalam menyelesaikan sengketa perpajakan internasional. Solusi atas penolakan dalam memberikan akses ke MAP ini relevan dalam konteks BEPS karena beberapa negara dapat menolak akses ke MAP jika transaksi yang disengketakan dianggap abusive, misalnya transaksi yang berhubungan dengan penyalahgunaan P3B (Darussalam dan Ganda C. Tobing. 2014: 14-20).

  b.

  

Melalui Pertukaran Sistem Informasi Otomatis (Automatic Exchange of

Information).

  Guna mengimplementasikan keterbukaan informasi perpajakan atau

  automatic exchange of information (AEoI) pemerintah melalui Kementrian

  Keuangan telah meresmikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 tahun 2017 sebagai aturan turunan dari Perppu No. 1 Tahun 2017. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perppu ada untuk mengakomodasi kesepakatan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis (Automatic Exchange of Information) yang akan mulai berjalan tahun 2018.

  Automatic Exchange of Information (AEoI) adalah kerja sama di

  antara 139 negara (per 17 Januari 2017) yang tergabung dalam Global Forum untuk saling membuka data finansial di negara masing-masing.

  Tujuan pelaksanaan AEoI adalah untuk mengurangi kemungkinan penghindaranKetika akses data terbuka, suatu negara dapat melacak wajib pajaknya yang menaruh uang di luar negeri.

  Secara teori, kehadiran AEoI menjadi penting karena dapat meningkatkan probabilitas tertangkap dari pengemplang pajak. Wajib pajak selalu dalam posisi untuk mengambil keputusan, apakah dia akan membayar pajak atau tidak, dan jika membayar, berapa jumlah pendapatan (income) yang akan dia laporkan. Berdasarkan model ekonomi yang dikembangkan oleh Bayer, Oberhofer, Winner (2015), terdapat dua hal yang memengaruhi seorang wajib pajak melaporkan jumlah hartanya. Pertama, beratnya hukuman apabila melanggar aturan (tidak membayar pajak) dan besarnya peluang dia akan tertangkap. Hal ini menjadi indikasi bahwa besarnya denda dari tidak membayar pajak, serta kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum dan melakukan pengawasan, menjadi pertimbangan individu dalam membayar pajak. Jika hukuman ringan dan peluang tertangkapnya kecil, individu akan cenderung melaporkan pendapatan yang lebih rendah (cenderung untuk mengemplang pajak).

  Kedua, detection shock. Model yang dikembangkan oleh Bayer, Oberhofer, Winner menjadi menarik karena memasukkan variabel ini.

  

Detection shock adalah satu kejadian yang secara mendadak dapat

menyebabkan peluang pengemplang pajak tertangkap menjadi lebih besar.

  Mereka mengambil contoh kebocoran data di Jerman. Mereka berargumen bahwa ketika detection shock semakin besar, individu akan cenderung lebih patuh dalam membayar pajak, mendeklarasikan pendapatan lebih besar di periode pertama.

  Pada konteks AEoI, 16 negara yang tergabung dalam AEoI melaporkan terdapat kenaikan jumlah pelaporan harta di luar negeri sebesar 17 persen pada periode 2011-2015.

  Sebelum penerapan AEoI dilaksanakan secara serentak, sejumlah negara sudah melakukan perjanjian pertukaran informasi (exchange of

  

information /EoI) antarnegara untuk memerangi penggelapan pajak.

  Contohnya, pada periode 2010-2014 Swedia membuat 396 permintaan pertukaran informasi (EoI request) dengan jumlah total pendapatan pajak yang bisa dipungut (tax effect) mencapai 330 juta euro. Australia juga melaksanakan hal yang sama, mengajukan 400 EOI request pada 2013, dan pajak yang berhasil diselamatkan (tax recovered) mencapai 326 juta euro (OECD, 2015). Data tersebut menunjukkan, pertukaran informasi antarnegara sangat efektif untuk mendongkrak penerimaan pajak negara.

  Oleh sebab itu, keberadaan AEoI menjadi sangat penting.

  AEoI membawa perubahan baru dalam duniaGuna mendukung pelaksanaannya, pada tahun 2014 OECD menyusun apa yang disebut sebagai Common Reporting Standard (CRS). Pada CSR diatur sejumlah hal yang harus dipersiapkan oleh negara-negara yang berkomitmen menjalankan AEoI.

  Dari 101 negara yang berkomitmen melaksanakan AEOI pada periode 2017-2018, hanya 12 negara yang belum memenuhi persyaratan, salah satunya Indonesia. Pada laporan terakhir yang diterbitkan, status Indonesia masih partly comply karena peraturan yang ada di Indonesia masih belum mendukung bagi pelaksanaan AEoI. Agar AEoI dapat berjalan di Indonesia, sejumlah regulasi harus direvisi. Pada tingkatan undang-undang, setidaknya terdapat empat Undang-undang yang perlu direvisi, yaitu Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Perbankan, Undang-undang Perbankan Syariah, dan Undang-undang Pasar Modal. Revisi pada keempat Undang-undang tersebut dibutuhkan agar mekanisme pertukaran informasi antara Direktorat Jenderaln institusi keuangan dapat berjalan.

  Setiap negara peserta AEoI diharuskan memenuhi tenggat 30 Juni 2017 untuk menyiapkan kerangka peraturannya, dan mustahil bagi Indonesia melakukan revisi empat UU dalam tenggat sependek itu. Dari empat UU tersebut, hanya UU KUP yang masuk prioritas legislasi pada tahun 2017.

  Undang-undang Pasar Modal masuk longlist Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019, sedangkan Undang-undang Perbankan Syariah bahkan tidak masuk longlist Prolegnas. Lebih lanjut, Undang-undang Pasar Modal dan Undang-undang Perbankan Syariah, berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, belum ada draf revisinya.

  Ketidakpatuhan Indonesia dalam memenuhi tenggat dapat berakibat fatal ke depan. Forum global sudah menetapkan langkah-langkah defensif (defensive measures) bagi negara-negara yang gagal memenuhi komitmen waktunya.

  Setidaknya terdapat dua implikasi dari keterlambatan mematuhi komitmen tersebut. Pertama, peringkat (rating) Indonesia di forum global akan menjadi buruk. Hal ini tentu tidak baik mengingat akan menghambat perbaikan iklim investasi yang sedang dibangun. Sejumlah lembaga keuangan global sudah memakai peringkat yang dikeluarkan oleh Global Forum sebagai dasar untuk kebijakan investasi. Contohnya European Investment Bank dan International Finance Corporation (OECD, 2016).

  Kedua, opportunity loss atau potensi yang hilang dari terhambatnya pelaksanaan AEoI di Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, dana ilegal (illicit fund) yang berasal dari warga negara Indonesia mencapai Rp 4.000 triliun. Kebijakan amnesti pajak terbukti belum berhasil membawa dana- dana tersebut pulang sehingga keberadaan AEoI diharapkan dapat membawa dana tersebut kembali (Muhammad Syarif Hidayatullah. 2017: 6).

  Dalam aturan Peraturan Menteri Keuangan No 70 tahun 2017 ini, pemerintah menentukan jenis lembaga keuangan yang menjadi subjek pelapor dan pemberi informasi perpajakan, di antaranya adalah Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor Perbankan, Pasar Modal dan Perasuransian di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya selain sektor perbankan, seperti pasar modal dan perasuransian di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

  Menurut Suryo Utomo, Staff Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Tata cara penyampaian informasi juga telah diatur lengkap di PMK ini, tercatat terdapat dua penyampaian informasi pajak yang telah diatur, yakni secara otomatis dan penyampaian data sesuai permintaan. Penyampaian secara Otomatis adalah informasi yang terekam dalam satu periode waktu, misalnya setahun, dan ini baru mulai berlaku untuk pelaksanaan tahun 2018 mendatang atas keadaan tahun 2017. Jadi sifatnya otomatis tanpa permintaan bisa elektronik atau non-elektronik. Eleketronik yang dimaksud adalah melalui Otoritas Jasa Keuangan Online. Data nasabah juga dapat diajukan berdasarkan permintaan, terutama terkait kebutuhan akses informasi perpajakan, sistem

  “By request” ini bukanlah hal baru.

  Menurut ketentuan KUP (ketentuan umum perpajakan) saat ini dengan permintaan maka Direktur Jendral Pajak bisa meminta informasi kepada pemilik atau wajib pajak bersangkutan. Perbedaannya, kondisi sekarang permintaan harus melalui Menteri Keuangan dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan, baru ke lembaga keuangan. Dalam Perppu ini permintaan tidak lagi oleh Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan, namun langsung Direktur Jendral Pajak ke lembaga keuangan pemilik rekening. Terkait dengan elemen yang diminta, dalam aturan ini jelas terlihat yakni mengenai data identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo dari rekening, serta penghasilan terkait rekening (Suheriadi. 2017).

B. Pembahasan

  1 .Pengaturan Transfer Pricing di Indonesia

  Praktik Transfer Pricing adalah hal yang wajar dan penting dilakukan oleh Perusahaan Multinasional untuk mendata, menstransmisikan, dan mengontrol kemampuan finansial suatu Perusahaan Multinasional secara global. Praktik Transfer Pricing yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa ini harus mematuhi

  Arm’s Length Principle

  (Prinsip Kewajaran dan Kelayakan Usaha), namun dengan berbagai celah aturan dan perkembangan teknologi yang cepat memudahkan Perusahaan Multinasional melakukan penghindaran pajak. Pengaruh globalisasi menjadikan banyak perusahaan baru terutama yang bergerak di bidang komunikasi dan informasi sangat mudah melakukan Profit Shifting melalui praktik Transfer Prcing. Berikut adalah pembahasan mengenai perturan

  Transfer Pricing, a.

  Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

  Dalam peraturan perpajakan Indonesia, untuk mengatasi Trasnfer

  

Pricing pada penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

  tentang Pajak Penghasilan, menyatakan bahwa Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak

  ‐pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.

  Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan Transfer Pricing oleh Perusahaan Multinasional.

  Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain

  ‐lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau

  

bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas

  perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya (Yudi Ardianto. 2009: 189).

  b.

Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 dan

  Peraturan Direktur Pajak Nomor 32/PJ/2011 sebagai Perubahan Nomor 43/PJ/2010.

  Menurut Taripar Dolly (Nusa Tax Consulting) perbandingan ketentuan Transfer Pricing dalam peraturan ini (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016) dengan peraturan sebelumnya (Peraturan Direktur Pajak Nomor PER-32/PJ/2011) adalah sebagai berikut: 1) Jenis Dokumen Peraturan Sebelunya, Wajib Pajak hanya mempersiapkan dokumen lokal (local file), adapun dokumen lokal tersebut berupa informasi : a) Identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

  b) Informasi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan Wajib Pajak.

  c) Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

  d) Informasi keuangan.

  e) Peristiwa/kejadian/fakta non keuangan yang mempengaruhi pembentukan harga atau tingkat laba. Peraturan sekarang, Wajib Pajak wajib mempersiapkan dokumen lokal (local file), dokumen induk (master file) dan Laporan per negara (country

  by country report ). Dokumen Induk tersebut berupa informasi :

  a) Struktur dan bagan kepemilikan grup usaha serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota grup usaha.

  b) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh grup usaha.

  c) Harta tidak berwujud yang dimiliki grup usaha.

  d) Aktivitas keuangan dan pembiayaan dalam grup usaha.

  e) Laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait transaksi afiliasi.

  Untuk laporan per negara (country by country report) berisikan informasi berupa: a) Alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, Pajak Penghasilan yang telah dipotong/ dipungut/ dibayar sendiri, Pajak Penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas.

  b) Daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi.

  2) Batasan Transaksi (Threshold Transaction) Peraturan sebelumnya, batasan transaksi yang Wajib membuat Transfer Pricing Document adalah transaksi hubungan istimewa minimal Rp.

  10.000.000.000,- (sepuluh miliar) dalam 1 (satu) tahun pajak. Peraturan sekarang, dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu pertama, yang wajib membuat dokumen induk dan dokumen lokal kedua, yang wajib membuat dokumen induk, dokumen lokal dan laporan per negara.Yang wajib membuat dokumen induk dan dokumen lokal meliputi : a) nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun

  Pajak lebih dari Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) ;

  b) nilai transaksi afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak : i) lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau ii) lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau

  c) Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif Pajak Penghasilan lebih rendah dari pada tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

  Sementara yang wajib membuat dokumen induk, dokumen lokal dan laporan per negara yaitu : a) Wajib Pajak yang merupakan Entitas Induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi pada Tahun Pajak bersangkutan paling sedikit Rp 11.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah) b) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai anggota

  Grup Usaha dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sepanjang negara atau yurisdiksi tempat Entitas Induk berdomisili: i) Tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara. ii) Tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai perpajakan.

  c) Memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut.

  3) Ikhtisar dan Kertas Kerja Peraturan sebelumnya, tidak ada kewajiban membuat Ikhtisar dan

  Kertas Kerja.Sekarang, salah satu kelengkapan Transfer Pricing ment adalah adanya lampiran Ikhtisar (lampiran huruf B) dan Kertas

  Docu

  Kerja (lampiran huruf E) sebagaimana disebutkan dalam lampiran PMK 213 yaitu berupa pernyataan Wajib Pajak telah menyelenggarakan dan menyediakan dokumen induk dan dokumen lokal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  4) Cakupan Transaksi Peraturan sebelumnya, transaksi mencakup lintas negara (cross

  

border) dan transaksi dalam negeri yang spesifik (specific domestic

transaction ). Peraturan sekarang, transaksi mencakup lintas negara (cross

border ) dan transaksi dalam negeri (domestic transaction).

  5) Perspektif Waktu Analisa Penerapan Prinsip Kewajaran Peraturan sebelumnya, keduanya baik ex-ante approach maupun ex-

  

post approach. Ex-ante approach adalah suatu pendekatan penetapan

  harga dilakukan sebelum transaksi atau kontrak dilakukan. Ex-post adalah suatu pendekatan penetapan harga setelah transaksi/kontrak dilakukan.

  Peraturan sekarang, Ex-ante approach dilakukan bagi yang menyelenggarakan dokumen induk dan lokal sementara ex-post bagi yang menyelenggarakan laporan per negara. 6) Bahasa Transfer Pricing Document

  Peraturan sebelumnya, tidak ada kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam menyelenggarakan dokumentasi penentuan harga transfer, sehingga rata-rata dilakukan dengan bahasa negara pemilik induk perusahaan.

  Peraturan Sekarang, Wajib berbahasa Indonesia termasuk bagi Wajib Pajak yang sudah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah.

  7) Surat Pernyataan Ketersediaan Dokumen Sebelumnya, tidak ada kewajiban. Sekarang. Wajib membuat surat pernyataan ketersediaan dokumen. Dalam pasal 4 ayat 3 PMK 213 disebutkan bahwa dokumen Penentuan Harga Transfer harus dilampiri dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya dokumen Penentuan Harga Transfer tersebut ditandatangani oleh pihak yang menyediakan dokumen Penentuan Harga Transfer.

  Di Indonesia, konsep

Arm’s Length Principle yang diusung OECD

  ini diadopsi di dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 32/PJ/2011 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, untuk menjelaskan klausul kewajaran dan kelaziman usaha yang disebutkan di Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008.

  Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016 sebagai pengganti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2011 terdapat beberapa perubahan dalam pengaturan ketentuan praktik Transfer Pricing.

  Didalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.32/PJ/2011 Pasal 18 terkait dengan Dokumen Transfer Pricing, dalam ayat (4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi. Selanjutnya dalam ayat (5) menjelaskan Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup: 1) Gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha. 2) Kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya. 3) Hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan- ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha. 4) Pembanding yang terpilih. 5) Catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba

  Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.

  Sementara dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016, pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan Dokumen Harga Transfer terdiri atas: 1) Dokumen Induk.

  2) Dokumen Lokal. 3) Laporan per negara. Terkait dengan pengaturtan Transfer Pricing di Indonesia, Melalui Peraturan terbaru Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaanya, seperti yang telah tertulis dalam hasil penelitian, terdapat beberapa perubahan maupun penambahan dengan peraturan sebelumnya (Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER- 32/PJ/2011).

  Menurut Detroit Tax Solutuions, dalam peraturan terbaru ini (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016) mengenalkan pendekatan dokumentasi tiga tingkat yang sejalan dengan BEPS Action

  

Plan -13, penggunaan ambang batas (threshold) untuk pengelolaan

dokumen, dan mewajibkan dokumen dibuat dengan bahasa Indonesia.

  Peraturan ini juga mengatur petunjuk pihak yang wajib menyelenggarakan dokumen, hal yang harus tercangkup dalam dokumen, dan kapan dokumen harus tersedia. Peraturan ini diterbitkan sehubungan dengan ketentuan atas penentuan dokumen Harga Transfer, dan tidak menggantikan peraturan yang berlaku sebelumnya yaitu Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

  Dengan berlakunya aturan terkait Transfer Pricing Document maka untuk dapat diakui sebagai Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Wajib Pajak tidak hanya menyelenggarakan dokumen lokal saja dalam penentuan Harga Transfer sebagai dasar penerapan kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksinya dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tetapi menyelenggarakan dan menyimpan 3(tiga) tingkat dokumen yang berupa :

  1. Dokumen induk.

  2. Dokumen lokal.

  3. Laporan per Negara (Deloitte Tax Solutuions. 2017:1) Menurut Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jendral Pajak,

  John Hutagaol (2017) Dokumen lokal berisikan data dan informasi mengenai identitas Wajib Pajak dan kegiatan usahanya, transaksi ubungan istimewa dan transaksi independen, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, informasi keuangan, dan kejadian non-keuangan yang berdampak pada pembentukan harga.

  Dokumen Induk berisikan data dan informasi mengenai struktur dan organisasi grup usaha mencakup negara dan jurisdiksi dimana anggota- anggota perusahaan grup berdomisili, kegiatan usaha, harta tidak berwujud yang dimiliki, aktivitas keuangan dan pembiayaan, laporan keuangan konsolidasi, dan informasi perpajakan terkait dengan transaksi Transfer Pricing.

  Country by Country Report berisikan daftar anggota perusahaan grup

  usaha dan jenis usaha di masing-masing negara dan/atau jurisdiksi, alokasi penghasilan bruto, pajak yang dibayar, aktivitas usaha dari masing-masing anggota grup usaha di masing-masing negara dan/atau jurisdiksi.

  Atas dasar tersebut di atas, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 dapat mendorong keterbukaaan perpajakan bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi Hubungan Istimewa di antara anggota grup usaha. Penentuan kewajaran harga transaksi tersebut merupakan hal penting bagi ketentuan perpajakan di Indonesia khususnya Institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

  Dalam peraturan lama yaitu Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER 43/PJ/2010, disebutkan dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode Penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih. Dengan tidak ditentukan secara jelas jenis dokumen Transfer Pricing yang harus dipenuhi Perusahaan Multinasional dalam menyiapkan dokumen Transfer

  

Pricing , hal tersebut menyebabkan pembuatan dokumen hanya terpacu

  pada syarat yang disebutkan pada Pasal 18 ayat (3) PER 43/PJ/2010 yaitu, gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha,kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya, dan lain sebagainya dimana dapat disimpulkan bahwa hal tersebut hanya memuat Dokumen Lokal.

  Keberadaan Dokumen Lokal memberikan informasi yang mermuat data tentang Perusahaan Multinasional di yurisdiksi negara tersebut. Maka, dari Dokumen Lokal hanya akan didapat harga yang dapat dibandingkan dengan transaksi harga wajar di negara Perusahaan Multinasional tersebut berada. Perusahaan Multinasioanl memiliki sifat dasar lintas negara, dengan hanya menggunakan dokumen dengan cangkupan kualitas lokal maka hal tersebut tidak akan menjadi halangan bagi suatu Perusahaan Multinasional untuk melakukan Transfer Pricing dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa di wilayah yurisdiksi lain.

  Dengan adanya Dokumen Induk yang memuat data tentang Perusahaan yang berafiliasi dengan Perusahaan Multinasional di suatu negara, maka pihak pemerikasa pajak akan mendapat informasi lebih tentang struktur, intensitas kegiatan, harta tidak berwujud, maupun pembiayaan keuangan suatu perusahaan secara global yang berhubungan dengan Perusahaan Multinasional tersebut khususnya terkait Harga Transfer yang ditetapkan dari suatu transaksi yang dilakukan.

  CbCR (Country by Country Report) adalah jenis dokumen/laporan yang sangat penting dalam mengedepankan transparansi. Dalam diokumen ini akan didapat informasi lebih alokasi laba maupun aktivitas perpajakan Perusahaan Multinasional di negara lain. Hal tersebut mendorong keterbukaan informasi dan memudahkan pemerikasaan pajak terkait dengan kewajaran Harga Transfer yang dilakukan dengan pihak lain yang mempunyai Hubungan Istimewa di negara lain. Dengan Country by

  

Country Report dan Dokumen Induk masing-masing negara tempat

  Perusahaan Multinasional dan afiliasinya berada, lebih mudah mengetahui transaksi yang dilakukan Perusahaan Multinasional, terkait harga, maupun keutungan perusahaan tersebut di berbagai negara melalui laporan aktivitas pajaknya, sehingga dapat diminimalan praktik Transfer Pricing diluar dari harga wajar.

  Hal lain yang penting menjadi pembahasan perubahan ketentuan

  

Transfer Pricing adalah dalam peraturan lama (PER-43/PJ/2010),

  transaksi mencakup lintas negara (cross border) dan transaksi dalam negeri yang spesifik (specific domestic transaction). Sekarang, transaksi mencakup lintas negara (cross border) dan transaksi dalam negeri (domestic transaction). Dengan pengaturan transaksi dalam negeri untuk semua transaksi maka seluruh keutungan yang diperoleh dari upaya Perusahaan Multinasional di Indonesia dapat dipungut pajak maksimal. Sebab, perkembangan teknologi dan informasi, menciptakan beberapa transaksi menguntungkan yang bukan merupakan transaksi dalam negeri spesifik yang dinyatakan dalam peraturan tersebut. Sebagai contoh adalah

  

E-Commerce maupun E-Bussiness dengan berbagai macam dan metode

  transaksinya maka dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 312/PMK.03/2016 hal tersebut dapat dikenai pajak sebagaimana Perusahaan Multinasional yang bergerak dalam bidang lainya yang telah diatur dalam peraturan perpajakan Indonesia. C.

  Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/MPK.03/2016 dengan Rencana Aksi Based Erosion and Profit Shifting ke 13.

  Globalisasi adalah faktor pendorong Perusahaan Multinasional berkembang dengan cepat di seluruh dunia. Peraturan penghindaran pajak yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional mendorong negara-negara yang tergabung dalam forum negara G-20 bersama dengan Organization

  

of Economics Co-operation and Development (OECD) untuk melakukan

  Rencana Aksi untuk mengatasi penggerusan basis pajak yang disebabkan praktik Transfer Pricing. Beberapa Rencana Aksi tersebut diadopsi ke dalam peraturan perpajakan di masing-masing negara termasuk dalam peraturan perpajakan dan keuangan di Indonesia.

  Menurut M. Darmawan Saputra, Danny Darussalam Tax Center Consulting, Selain Dokumen Harga Transfer ada beberapa hal dari PMK Nomor 213/PMK.03/2016 yang merupakan penerapan dari rekomendasi BEPS Action Plan khusus aksi BEPS-13 pada forum negara-negara G-20, yaitu sebagai berikut: :

  Tabel 3 Tabel Perbandingan PMK Nomor 213/PMK.03/2016 dan Aksi