Implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri: studi kasus Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Modern Darusssalam Gontor Ponorogo.

(1)

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN PESANTREN

DALAM MEMBENTUK KARAKTER SANTRI

(Studi Kasus Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagai syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh

M. YUSRON MAULANA EL-YUNUSI NIM: F02315064

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri

(Studi Kasus Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo)

Tahun 2017

Oleh: Muhammad Yusron Maulana El-Yunusi

Kata Kunci : Nilai-nilai Pesantren, Karakter Santri, Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Pesantren

Di tengah kondisi krisis nilai dalam bidang pendidikan, barangkali pesantren merupakan alernatif yang perlu dikaji dan dijadikan contoh menerapkan pendidikan nilai dalam pembentukan karakter santri. Bagi Pesantren Tebuireng dan PMD. Gontor, nilai-nilai pendidikan pesantren tidak hanya di dapat dalam proses belajar mengajar di kelas saja, melainkan juga dalam totalitas kegiatan dan kehidupan santri selama 24 jam penuh. Sistem seperti inilah yang diterapkan Pesantren Tebuireng dan PMD. Gontor sebagai sarana membentuk karakter santri.

Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Pesantren, 2. Untuk mengetahui karakter santri, dan 3. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri, 4. Untuk mengetahui Perbandingan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri pada kedua pesantren.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian ini menggunakan studi kasus. Kehadiran peneliti sebagai observasi partisipan dan kehadiran peneliti diketahui statusnya sehingga peneliti oleh subjek atau informasi secara terbuka diketahui oleh umum. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data tentang nilai-nilai pendidikan pesantren, karakter santri dan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren. Sumber data dalam penelitian ini yaitu Pimpinan Pondok, Direktur, Para Ustadz, dan para santri, dokumen dan foto-foto. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data memakai analisis domain. Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan perpanjang pengamatan, peningkatan ketekunan dalam peneliti, triangulasi, analisis lintas kasus dan member chek.

Berdasarkan fokus penelitian, paparan data dan temuan serta analisis pembahasan, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:1.Nilai-nilai pendidikan pesantren meliputi: a. Nilai-nilai pendidikan pesantren pada Pesantren Tebuireng, yang terangkum pada:1) prasasti, dan 2) Pinsip-prinsip Pesantren. b. Nilai-nilai pendidikan pesantren pada PMD. Gontor, yang terangkum pada: 1) Pancajiwa, 2) Motto Pondok 3) Orientasi, 4) Sintesa Pondok, 5) Falsafah Pondok. 2. Karakter santri, meliputi: a. Karakter santri Pesantren Tebuireng, meliputi: 1) Karakter Ikhlas, 2) Karakter Jujur, 3) Karakter Kerja keras, 4) Karakter Tanggung jawab dan 5) Karakter Toleransi. b. Karakter santri pada PMD. Gontor, meliputi: 1) Karakter Keikhlasan, 2) Karakter Kesederhanaan, 3) Karakter Kemandirian, 4) Karakter Ukhuwah Islamiyah, dan 5) Karakter Kebebasan. 3. Implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri pada Pesantren Tebuireng dan PMD. Gontor, melalui: 1) Strategi implementasi nilai-nilai, dan 2) Area kegiatan santri. 4. Perbandingan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren, dapat disimpulkan bahwa persamaannya, meliputi: a. Makna nilai-nilai pendidikan pesantren, b. Sumber lahirnya nilai-nilai pendidikan pesantren. Sedangkan perbedaannya meliputi: a. Jenis nilai-nilai pendidikan pesantren, yang ditengarai disebabkan perbedaan dari latar belakang pendidikan pendiri pesantren dan, b. sistem pembelajaran sebagai area kegiatan implementasi nilai-nilai

pendidikan pesantren. Sistem pembelajaran pada pesantren Tebuireng menggunakan sistem “Non Integrated” (Terpisah antara pendidikan sekolah/madrasah dengan pendidikan pesantren), sedangkan pembelajaran pada PMD. Gontor menggunakan sistem “Integrated”(ada kesatuan antara pendidikan madrasah dengan pendidikan pesantren) Dan perbedaan ini berdampak pada perbedaan karakter santri pada masing-masing pesantren.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...………...i

PERNYATAAN KEASLIAN …...………...ii

PERSETUJUAN ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI. ...iv

PEDOMAN TRANSLITERASI .………...v

MOTTO ...vi

ABSTRAK... ………...………...vii

KATA PENGANTAR...………...………...viii

DAFTAR ISI ……….………...xi

Bab I : Pendahuluan... ..1

A.Latar Belakang Masalah... ..1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah...8

C.Rumusan Masalah... .10

D.Tujuan Penelitian...10

E. Kegunaan Penelitian... .11

F. Hasil Penelitian Terdahulu...12

G.Sistematika Pembahasan...13

Bab II : Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren dalam Membentuk Karakter Santri...15

A.Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...15

1. Pesantren...15

a. Sejarah Pondok Pesantren dan Perkembangannya. ...15

b. Pengertian Pesantren...18

c. Elemen-Elemen Pesantren...20

2. Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...26

a. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...26

b. Sumber Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...32


(8)

B.Pembentukan Karakter Santri...37

1. Pengertian Karakter... 37

2. Pembentukan Karakter...40

3. Dasar-Dasar Pembentukan Karakter...42

4. Tahap-Tahap Pembentukan Karakter...43

C.Metode Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri...44

D. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri ...48

Bab III: Metode Penelitian...51

A.Jenis Penelitian...51

B.Lokasi Penelitian...52

C.Data dan Sumber...55

D.Prosedur Pengumpulan Data...55

1. Metode Wawancara...55

2. Metode Observasi... 56

3. Dokumentasi...56

E. Tehnik Analisa Data...57

F. Pengecekan Keabsahan Temuan...63

Bab IV: Paparan Data Obyek Penelitian...66

A.Pesantren Tebuireng Jombang...66

1. Sejarah Singkat Pesantren...66

2. Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...71

3. Karakter Santri ...86

4. Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri...96

B.Pondok Modern Gontor Ponorogo... ...128

1. Sejarah Singkat Pesantren...128

2. Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren... 134

3. Karakter Santri ...155

4. Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri...163


(9)

Bab V : Penyajian dan Analisis Data Penelitian...182

A.Penyajian Data...182

1. Pesantren Tebuireng Jombang... ..182

a. Proposisi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...182

b. Proposisi Karakter Santri... .183

c. Proposisi Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri... .184

2. Pondok Modern Gontor Ponorogo...185

a. Proposisi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...185

b. Proposisi Karakter Santri...186

c. Proposisi Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri...187

B. Analisis Data...189

1.Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren...189

2.Analisis Karakter Santri...192

3.Analisis Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren Dalam Membentuk Karakter Santri...200

C. Persamaan dan Perbedaan Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Dalam Membentuk Karakter Santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PM Gontor Ponorogo...209

Bab VI: Penutup...220

A. Kesimpulan... .220


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dewasa ini adalah keringnya pendidikan nilai. Guru merasa selesai tugasnya setelah menyampaikan materi kepada siswanya. Sementara apakah apa yang dikatakan kepada siswa tersebut tercermin dalam perilaku guru atau tidak, itu urusan ke sekian. Contohnya guru menganjurkan berbuat baik pada orang lain, sementara ia sendiri tidak memberi teladan yang demikian. Kondisi semacam ini tentu sangat memprihatinkan. Pendidikan nilai dalam proses pendidikan sangat penting. Sesuatu yang membedakan antara pengetahuan Barat dengan pengetahuan lslam adalah terletak pada nilai. Muatan materi mungkin sama, namun nilainya belum tentu sama. Sebagaimna hasil penelitian Megawangi tentang ketidakjujuran siswa Sekolah Menengah Kejuruan Tehnik Informatika (SMK-TI) di Bogor, dimana hampir 81% siswanya sering membohongi orang tua, 30,6% sering memalsukan tanda tangan orang tua/wali, 13% siswa sering mencuri dan 11% siswa sering memalak.1 Untuk menanamkan pendidikan nilai, maka proses penanamannya juga harus menggunakan pendekatan nilai. Ini berarti bahwa seorang guru akhlak, maka mutlak harus seorang yang berakhlak baik. Guru hendaknya dapat digugu dan ditiru. Guru mesti menjadi

1

R. Megawangi, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (Bandung: BP Migas dan Energi, 2004), 147.


(11)

2

sosok teladan, manusia tanpa cela yang selalu menjadi inspirasi, sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.2

Membicarakan karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar, karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang, manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang” orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial.3

Suatu hal terpenting karakter adalah sifat baik yang menjadi perilaku sehari-hari. Pertama jika belum menjadi perilaku, sifat baik itu masih menjadi nilai. Kedua bila sudah jadi perilaku baik, ternyata tidak cukup hanya sekedar berperilaku baik. Orang pendiam belum tentu rendah hati. Jangan-jangan rendah diri. Peragu bisa berdalih karena penuh pertimbangan. Orang santun juga belum tentu memang baik hatinya. Pendiam dan santun hanyalah gaya. Tidak berarti orang yang belak-belakan pastilah jahat. Bicara karakter sejatinya berbicara pada wilayah perilaku. Berbeda dengan kompetensi yang tingkatkan diri; berbicara karakter artinya berbicara perbaikan diri. Karakter adalah sejumlah sifat baik yang menjadi perilaku sehari-hari peserta didik.4 Pembentukan karakter sangat diperlukan dalam melangsungkan kehidupan, berbangsa dan bernegara yang aman, adil dan sejahtera. Oleh kerena itu untuk membentuk karakter peserta didik diperlukan perhatian dari berbagai pihak baik masyarakat, keluarga maupun sekolah. Keluarga, sekolah dan masyarakat

2

Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger (Jakarta : Gramedia Widiasarana, 2009), 38.

3

Ibid., 45

4

Sudewo Erie, Best Practice Character Bulding Menuju Indonesia Lebih Baik (Jakarta: Gramedia, 2011), 45-49.


(12)

3

merupakan tempat yang strategis dalam membentuk karakter siswa sehingga siswa akan memiliki kepribadian yang mantap.5

Di tengah kondisi krisis nilai dalam bidang pendidikan, maka semakin menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter dan mengingat pendidikan karakter tidak bisa berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu nilai yang menjadi satu kesatuan dengan setiap mata pelajaran di sekolah. Proses pendidikan karakter tidak dapat langsung dilihat hasilnya dalam proses waktu yang singkat, tetapi memerlukan proses yang kontinu dan konsisten. Pendidikan karakter berkaitan dengan waktu yang panjang sehingga tidak dapat dilakukan dengan satu kegiatan saja. Di sini lah pentingnya pendidikan

karakter. Pendidikan karakter harus diimplementasikan kemudian

diintegrasikan dalam kehidupan sekolah, baik dalam konteks pembelajaran di dalam kelas maupun luar kelas.

Di tengah kondisi krisis nilai dan karakter dalam bidang pendidikan, pesantren merupakan alternatif yang perlu dikaji dan dijadikan contoh menerapkan pendidikan nilai dalam pembentukan karakter para santri. Proses pendidikan di pesantren berlangsung selama 24 jam dalam situasi formal, informal dan non formal. Kyai bukan hanya mentransfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai, tetapi sekaligus menjadi model atau contoh bagi para santrinya. Dengan pendidikan nilai yang sedemikian rupa, pesantren telah banyak melahirkan para alumni yang memiliki pengetahuan keagamaan dan

5


(13)

4

melaksanakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya, atau dengan kata lain ada integrasi antara ilmu dan amal.6

Keberhasilan pesantren dalam mendidik santrinya tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai-nilai yang mendasarinya. Menurut Owens sebagaimana yang dirilis oleh Stephen P. Robins menyodorkan dimensi soft

yang berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai-nilai (values), keyakinan (biliefs), budaya (culture) dan norma perilaku. Nilai-nilai adalah pembentuk budaya dan merupakan dasar atau landasan bagi perubahan dalam hidup pribadi atau kelompok.7 Sedangkan menurut Andreas A.

Danandjaja dalam Talidzuhu Ndraha berpendapat bahwa nilai adalah

pengertian-pengertian (conception) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik dan apa yang lebih besar atau kurang benar.8

Sebagaimana di pesantren Tebuireng, Pendidikan yang memadukan tri pusat pendidikan dalam system pendidikan terpadu, total dan berdurasi 24 jam terus menerus yang dimana seluruh kegiatan santri di bawah pengawasan dan bimbingan dua lembaga yaitu pendidikan diniyah yang dikelola langsung oleh pesantren dan pendidikan formal yang dikelola sekolah/madrasah.

Bagi Pesantren Tebuireng, nilai-nilai pendidikan tidak hanya didapat dalam proses belajar mengajar di kelas saja, melainkan juga dalam totalitas kegiatan dan kehidupan santri selama 24 jam penuh. Sistem seperti inilah yang

6

Doni Koesoema A, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, 85

7

Stephen P Robins, Perilaku Organisasi, Buku 1 (Jakarta: Prenhallindo, 1995), 81.

8


(14)

5

diterapkan pesantren sebagai sarana membentuk karakter santri yang membedakan dengan santri atau siswa dari lembaga-lembaga lainnya. Kegiatan berorganisasi diatur langsung oleh santri dengan bimbingan dewan guru.

Melalui pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari mewariskan ajaran yang sangat berharga bagi para santri-santrinya. Setidaknya terdapat lima nilai inti yang disarikan dari beberapa buku karya pendiri NU itu. yang lima nilai dasar itu benar-benar ditekankan oleh Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid semenjak ia menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng. Lima nilai dasar pendidikan pesantren Tebuireng sebagai berikut: Nilai keikhlasan, Nilai kejujuran, Nilai kerja keras, Nilai tanggung jawab, dan Nilai tasa>muh (toleransi)

Penanaman lima nilai-nilai dasar pendidikan Pesantren Tebuireng dalam aktifitas sehari-hari membantu menyiapkan generasi masa depan yang memiliki karakter kuat. Dalam hal ini para santri mendapat bimbingan dan keteladan langsung oleh para pembinanya. Selanjutnya apa yang dilakukan di pesantren tidak hanya menekankan pentingnya pengaplikasian nilai-nilai pendidikan itu saja. melainkan, memberikan contoh langsung dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Prinsip nilai dasar yang diwariskan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ini, penting untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan di Pesantren Tebuireng.9

Di Pondok Modern Darussalam Gontor10 (selanjutnya ditulis PMD Gontor), pendidikan yang memadukan tri pusat pendidikan dalam sistem

9

Observasi pra-research yang dilakukan pada tanggal 1 Agustus sampai 3 Agustus 2016 di Tebuireng Jombang

10

Observasi pra research yang dilakukan pada tanggal 15 Agustus sampai 18 Agustus 2016 di PMD Gontor Ponorogo


(15)

6

pendidikan terpadu, total dan berdurasi 24 jam terus menerus yang seluruh kegiatan santri di bawah pengawasan dan bimbingan dua lembaga yaitu Pengasuhan Santri dan Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI). Untuk kegiatan ekstra-kurikuler dan intra-kurikuler diselenggarakan dan diasuh oleh seorang direktur dan dibantu staff KMI. Adapun untuk kegiatan yang sifatnya ekstra-kurikuler, di bawah pengawasan dan bimbingan langsung oleh bapak pengasuh yang dalam hal ini pimpinan pondok dan dibantu oleh staf pengasuhan santri.

Di PMD Gontor nilai-nilai pendidikan juga tidak hanya di dapat dalam proses belajar mengajar di kelas saja,11 melainkan juga dalam totalitas kegiatan dan kehidupan santri selama 24 jam penuh. Sistem seperti inilah yang diterapkan pondok modern sebagai sarana membentuk karakter santri yng membedakan dengan santri atau siswa dari lembaga-lembaga lainnya. Kegiatan berorganisasi diatur langsung oleh santri dengan bimbingan dewan guru.

Dengan demikian, setiap kegiatan santri menjadi sarana strategis kondusif untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan dan filasafat pondok. Nilai-nilai pendidikan dan filsafat inilah yang menjiwai seluruh kegiatan dan kehidupan para santri dan guru-guru KMI yaitu: Jiwa keikhlasan, Jiwa kesederhanaan, Jiwa berdikari, Jiwa ukhuwah Islmiyah, dan Jiwa kebebasan.

Semua kegiatan adalah kurikulum, oleh karena itu, pondok tidak hanya memperhatikan pendidikan IQ (intelektual) saja, tetapi juga spiritual

11


(16)

7

yang akan membangun karakter dan dedikasi santri, sehingga semua apa yang dilihat, didengar dan dirasakan adalah pendidikan bagi mereka.

Kegiatan ekstra kurikuler seperti: keterampilan dan kesenian, kepramukaan, beladiri dan olah raga merupakan sarana melatih pribadi mulia yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikandung dalam motto pendidikan PMD Gontor yaitu: Berbudi tinggi, Berbadan sehat, Berpengetahuan luas, dan Berpikiran bebas.

Adapun kegiatan ekstra kurikuler yang betujuan untuk membentuk sikap mental santri (mental attitude) dan wawasan pengalaman santri antara lain: Kepramukaan, keorganisasian santri OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern), Kesenian dan keterampilan: Tila>wah Al-Qur’a>n, Tahfi>z} al-Qur’a>n,

Muha>d}arah (pidato) tiga bahasa (bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia), diskusi ilmiyah, kaligrafi, seni bela diri, komputer, marching band, Olah raga: Sepak bola, bola basket, takraw, bulu tangkis, bola voli dan tenis meja.

Berdasarkan kajian teoritik dan kajian empiris pada masing-masing pesantren subyek penelitian di atas, maka judul: Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Pesantren dalam Membentuk Karakter Santri (Studi Kasus Pada Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Modern Gontor Ponorogo) sangat penting untuk diteliti secara mendalam.


(17)

8

B.Identifikasi dan Batasan Masalah. 1. Identifikasi Masalah

Berdasar paparan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21 adalah nilai moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan.

Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Di era globalilasi ini, pesantren dianggap sebagai tempat yang dominan untuk penerapan nilai-nilai dalam pembentukan karakter yang ideal

Berikut identifikasi masalah yang kemungkinan dapat muncul dalam penelitian ini:

a. Ada perbedaan metode penerapan nilai-nilai pendidikan pesantren. Tentunya hal ini akan mempengaruhi terhadap pembentukan karakter santri.


(18)

9

b. Fenomena yang terkait dengan dekadensi moral siswa adalah kurangnya konsisten dan komitmen serta kedisiplinan pada penerapan nilai-nilai pendidikan.

c. Penerapan nilai-nilai pendidikan pesantren sebagai dasar perilaku semua unsur kegiatan pesantren baik melalui kegiatan intra kurikuler maupun ekstra kurikuler yang berjalan 24 jam setiap harinya, akan dimungkinkan lebih dapat maksimal dalam pembentukan karakter santri.

d. Adanya perbedaan sistem pengelolaan kurikulum antar pesantren, maka juga akan membedakan karakter santri yang dibentuk lembaga.

Berdasarkan identifikasi masalah yang sangat kompleks, penelitian ini difokuskan pada permasalahan yang berkenaan dengan pengimplementasian nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo.

2.Batasan Masalah

Untuk menghindari perluasan ruang lingkup dan pembahasannya, serta untuk mempermudah pemahaman, maka pada tesis ini ruang lingkup dan pembahasannya, peneliti membatasi masalah yang berkaitan dengan:

a. Nilai-nilai Pendidikan Pesantren, yang merupakan fondasi semua perilaku unsur pesantren.

b. Karakter santri pada Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo.

c. Implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri, yang digambarkan melalui kehidupan totalitas dalam


(19)

10

pesantren dan kegiatan-kegiatan pesantren, baik kegiatan yang bersifat intra kurikuler maupun yang bersifat ekstra kurikuler.

d. Persamaan dan perbedaan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri. Sebagai bentuk hasil analisis lintas kasus dari subyek penelitian.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana nilai- nilai pendidikan yang dikembangkan Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo?

2. Bagaimana karakter Santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo?

3. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam

membentuk karakter santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo?

4. Bagaimana persamaan dan perbedaan implementasi nilai-nilai Pendidikan Pesantren dalam membentuk karakter santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo?

D.Tujuan Penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut:

1. Nilai-nilai pendidikan yang dikembangkan Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo.


(20)

11

2. Karakter Santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo 3. Implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter

santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo.

4. Persamaan dan perbedaan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri Pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Kegunaan Praktis :

a. Memberi gambaran tentang nilai-nilai pendidikan pada pesantren yang dikembangkan sehingga dapat menjadi acuan para penyelenggara dan pengelola pesantren khususnya dan pendidikan pada umumnya.

b. Memberi masukan kepada Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yayasan pendidikan dan organisasi keagamaan yang menyelenggarakan pendidikan dalam memajukan lembaga pendidikan berdasarkan nilai-nilai pendidikan

2. Kegunaan Teoritis :

a. Secara konseptual dapat memperkaya teori pendidikan (pesantren) terutama yang berkaitan dengan sistem nilai pendidikan dalam karakter siswa.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya atau peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan


(21)

12

fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.

F.Hasil Penelitian Terdahulu

1. Hasil penelitian thesis Sri Wahyuni Tanshzil (2011), mahasiswa S2 Pendidikan Kewarganegaraan Pascasarjana UPI yang berjudul “Model Pembinaan Pendidikan Karakter Pada Lingkungan Pondok Pesantren Dalam Membangun Karakter Santri”, yang menyimpulkan bahwa: “Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal yang sarat dengan pendidikan nilai, baik nilai agama maupun nilai-nilai luhur bangsa, menjadi sebuah lembaga yang sangat efektif dalam mengembangkan pendidikan karakter”12

2. A. Machin, (2014) Implementasi Pendekatan Saintifik, Penanaman Karakter Dan Konservasi Pada Pembelajaran Materi Pertumbuhan, Thesis UNESA Surabaya.13 Penelitian ini menghasilkan RPP berbasis pendekatan saintifik dan penanaman karakter. Penerapan pendekatan ini berpengaruh positif terhadap hasil belajar kognitif, afektif dan psikomotorik serta telah mencapai ketuntasan klasikal yang ditetapkan.

Jika dibandingkan dengan judul penelitian peneliti, terdapat perbedaan, yaitu tesis di atas lebih menitik beratkan pada model pembinaan karakter, sementara dalam penelitian ini adalah lebih fokus kepada proses

12

Sri Wahyuni Tanshzil, “Model Pembinaan Pendidikan Karakter Pada Lingkungan Pondok Pesantren Dalam Membangun Karakter Santri (Sebuah Kajian Pengembangan Pendidikan

Kewarganegaraan)”, Jurnal Penelitian Pendidikan, vol. 13 No. 2 Oktober 2012. Thesis UPI Bandung.

13

A.Machin, Implementasi Pendekatan Saintifik, Penanaman Karakter Dan Konservasi Pada Pembelajaran Materi Pertumbuhan, Journal Pendidikan IPA Indonesia) vol 3. No 1 (2014), Thesis UNESA Surabaya


(22)

13

implementasi nilai pendidikan pesantren dan perbedaan model implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri. Yang hal itu akan menunjukkan perbedaan karakter santri antar lembaga pesantren. G.Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman secara menyeluruh tentang penelitian ini, maka sistematika penulisan laporan dan pembahasannya disusun sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, hasil penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, Kajian Pustaka, terdiri dari 3 sub bab, yaitu: Pesantren, nilai-nilai pendidikan pesantren, pembentukan karakter santri, dan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri.

Bab ketiga, metode penelitian, terdiri dari sub-bab sebagai berikut: pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, prosedur pengumpulan/perekaman data, teknik analisis data.

Bab keempat, Paparan dan hal-hal yang terkait dengan obyek penelitian terdiri dari: A. Pesantren Tebuireng Jombang, yang meliputi: Sejarah singkat pesantren, nilai-nilai pendidikan pesantren, karakter santri pesantren, dan implementasi nilai-nilai pendidikan pesntren dalam membentuk karakter santri, B. PMD. Gontor Ponorogo, yang meliputi: Sejarah singkat pesantren,


(23)

14

nilai-nilai pendidikan pesantren, karakter santri pesantren, dan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri

Bab kelima, Penyajian dan Analisis Data Penelitian, terdiri dari, A. Penyajian data, yang meliputi: 1. Pesantren Tebuireng Jombang: Proposisi nilai-nilai pendidikan pesantren, Proposisi karakter santri, dan Proposisi implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri, 2. PMD Gontor Ponorogo: Proposisi nilai-nilai pendidikan pesantren, Proposisi karakter santri, dan Proposisi implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri. B. Analisis Data, yang meliputi: Analisis nilai-nilai pendidikan santri, Analisis karakter santri, dan Analisis implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri, C. Persamaan dan perbedaan implementasi nilai-nilai pendidikan pesantren dalam membentuk karakter santri pada pesantren Tebuireng Jombang dan PMD Gontor Ponorogo.


(24)

15

BAB II

NILAI-NILAI PENDIDIKAN PESANTREN DALAM MEMBENTUK KARAKTER SANTRI

A.Nilai-nilai Pendidikan Pesantren 1. Pesantren

a. Sejarah Pondok Pesantren dan Perkembangannya.

Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihan. Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata

fundu>q (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena

pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe-dan akhiran–an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri.1

Terlepas dari itu, karena yang dimaksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di tanah air (khususnya Jawa) dimulai dan dibawa oleh wali songo, maka model pesantren di pulau Jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama didirikan

1


(25)

16

adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.2

Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.3

Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan yang sangat urgen bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintahan Belanda, memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijakan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Bahkan, pemerintahan Belanda membuat kebijakan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijakan berikut.

Pada tahun 1882 pemerintahan Belanda mendirikan

Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan

2

Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 70.

3


(26)

17

beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijakan pemerintahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, Pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijakan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak .


(27)

18

Jika dilihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintahan Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat Pemerintah RI, dapat disimpulkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan dan sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini, ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.4

b. Pengertian Pesantren

Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri”5

dengan awalan pe

dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam6 Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.7

Sedangkan asal usul kata “santri”, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata

dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.8 Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti

4

Manfrred Ziemak, dkk, Dinamika Pesantren, 72

5

Lihat Clifford Geertz, Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasun, Cet. II (Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983), 268; Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum Teaching, 2005),. 61.

6Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul

-Sel”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 329.

7

Ibid., 328.

8

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1977), 19.


(28)

19

orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu, atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.9

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.10

M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Dan Pondok pesantren adalah Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership

seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.11

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam di bawah pimpinan seorang kiai, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.

9

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Yogyakarta : LP3ES, 1982), 18.

10

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, 20.

11


(29)

20

c. Elemen-elemen pesantren

Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai, santri, pondok, mushalla, dan pengajaran kitab kuning.

1) Kyai

Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren sangat biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.12

Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan

12

Amin Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas (Jakarta: IRD Press, 2005), 28.


(30)

21

kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban.13

Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.14

2) Pondok

Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama belajar dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk

13

Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren, 56.

14


(31)

22

beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain. Bahkan sistem asrama ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikan surau di daerah minangkabau.

Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai

Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.

Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan


(32)

23

tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.15

Sistem pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.16

3) Mushalla

Mushalla merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam shalat lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan mushalla sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan system Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system

15

Amin Haedari. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas, 32.

16


(33)

24

pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Dimana pun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid atau di mushalla dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban shalat lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama- pertama akan mendirikan masjid atau mushalla di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.17

4) Santri

Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri:

a) Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap

17


(34)

25

paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

b) Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, Yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat diri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.18

5) Pengajaran Kitab Kuning

Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab dan tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu

18


(35)

26

dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai.

2. Nilai-nilai Pendidikan Pesantren

a. Pengertian Nilai-nilai Pendidikan Pesantren

Menurut Rokeach dan Bank dalam Taliziduhu nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti berhubungan dengan pemaknaan atau pemberian arti suatu obyek.19

Nilai juga dapat diartikan sebagai sebuah pikiran (idea) atau konsep mengenai apa yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Selain itu, kebenaran sebuah nilai juga tidak menuntut adanya pembuktian empirik, namun lebih terkait dengan penghayatan dan apa yang dikehendaki atau tidak dikehendaki, disenangi atau tidak disenangi oleh seseorang. Allport, sebagaimana dikutip oleh Somantri menyatakan bahwa nilai merupakan kepercayaan yang dijadikan

19


(36)

27

preferensi manusia dalam tindakannya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan nilai yang dipercayainya.20

Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan.

Nilai-nilai penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan fondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta mempengaruhi persepsi kita. Individu-individu memasuki suatu organisasi dengan gagasan yang dikonsepsikan sebelumnya mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.

Soemantri mengklasifikasi nilai ke dalam empat macam: nilai instrumental dan nilai terminal, nilai instrinksik dan nilai ekstrinsik; nilai personal dan nilai sosial; dan nilai subyektif dan nilai obyektif.21 Selanjutnya Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spanger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu di antara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang

20

Somantri M.I., Pendidikan Karakter: Nilai-nilai Bagi Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. (Bandung: Widya Aksara Press, 2006), 55.

21


(37)

28

dimaksud adalah nilai teoretik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama. Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Menurut Somantri, dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar mengenai berbagai masalah dalam hidup.22

Sementara dalam Islam, bahwa setiap yang terdapat diatas dunia ini tentu mengandung nilai, nilai yang telah ada diberikan Allah SWT terhadap ciptaan-Nya. Dan yang dapat menentukan apakah sesuatu itu punya nilai atau tidak, tergantung kepada manusianya sebagai mu’abbid,

khalifah fil ardh maupun ‘immarah fil ardh. Karena manusia sebagai subjek diatas dunia ini, maka semua nilai itu haruslah mengacu kepada etika. Jika kita cermati tentang tujuan Allah SWT menciptakan manusia di dunia ini adalah agar menjadi hamba-hamba yang selalu mengabdi kepada-Nya, itulah hamba-hamba yang berprilaku baik kepada-Nya, yaitu hamba-hamba yang ber-etika. Selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Muhmidayeli bahwa tujuan manusia itu adalah moralitas.23

Dalam Islam, setiap sesuatu yang dicipatakan Allah swt memiliki nilai yang baik atau mulia, dan bermanfaat bagi umat manusia.

22

Ibid., 65

23


(38)

29

Tidak ada satupun ciptaan Allah swt di dunia ini yang tidak ada nilai atau tidak baik, semua itu tergantung kepada manusianya sendiri sebagai ‘imma>rah fil ard}. Sebagaimana firman Allah swt.



















































“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.24 Oleh karena itu sudah seharusnya kita menjadi orang yang baik, bahkan kata Allah swt harus menjadi orang yang terbaik. Sebagaimana firman Allah swt dalam ayat lain.





































“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah swt.”25

Menurut Muhmidayeli,dalam ayat ini ada tiga syarat menjadi umat terbaik, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman kepada Allah swt. Ketiga syarat tersebut mengandung nilai-nilai ilahiyah yang harus

24

QS. Ali Imran: 91

25


(39)

30

dikerjakan oleh umat manusia sebagai wakil tuhan di dunia ini.26 Dalam ayat tersebut juga terkandung dua makna sebagai hamba Allah yang mulia, yaitu Iman dan amal soleh. Iman atinya keyakinan kita kepada Allah, swt, serta amar ma’ruf dan nahi mungkar itulah yang disebut sebagai amal soleh. Apabila didalam diri seorang hamba telah teraplikasi dua syarat ini, maka disebutlah ia oleh muhmidayeli sebagai manusia tauhid27. Manusia tauhid dapat juga dikatakan sebagai Insa>n ka>mil, atau manusia paripurna. Semakin tinggi nilai iman dan amal saleh seseorang, maka semakin mulia dia disisi Allah swt. Jadi banyak makna dalam ayat tersebut, diantaranya manusia haruslah senantiasa menciptakan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya. Disisi Allah swt setiap kebaikan itu akan dinilai sebagai amal soleh, walaupun perbuatan baik yang dilakukan manusia itu ibaratnya benda yang terkecil yang ada didunia ini, dapat dibaca dalam Firman Allah Surah al-Zalzalah ayat 7.

Hakikat nilai dalam Islam itu adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi manusia, alam, serta mendapatkan keridhaan dari Allah swt, yang dapat dijabarkan dengan luas dalam konteks Islam. Penempatan posisi nilai yang tertinggi ini adalah dari Tuhan, juga dianut oleh kaum filosis idealis tentang adanya hirarki nilai. Menurut kaum idealis ini, nilai spiritual lebih tinggi dari nilai material. Kaum idealis merangking nilai agama pada posisi yang tinggi, karena menurut mereka nilai-nilai ini akan membantu kita merealisasikan tujuan kita yang

26

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aditya Media, Cetakan I, 2005), 72.

27


(40)

31

tertinggi, penyatuan dengan tatanan spiritual.28 Islam dalam hal ini, mengakui bahwa landasan utama dari kebaikan nilai adalah dari Allah swt, yang kemudian penting diutusnya nabi dan rasul untuk lebih memperjelas pesan-pesan tuhan kepada umat manusia. Jadi sandaran nilai dalam Islam ialah al-Qur’an dan Hadits atau Sunnah Rasulullah saw. Dalam menjabarkan kedua dimensi ini, diperlukan daya akal atau rasionalitas manusia agar pesan-pesan tersebut dapat sampai pada tataran hidup sepanjang zaman. Pembolehan akal, bahkan raga ruhani dalam memahami sesutau, hal ini dapat dicermati dari firman Allah swt dalam Surah an-Nahl ayat 78.

Agar nilai-nilai tersebut berdaya guna, maka mau tidak mau nilai-nilai tersebut haruslah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pada gilirannya seorang manusia yang mengamalkan nilai-nilai keIslaman yang berasal dari nilai-nilai ilahiyah dalam hidupnya, akan sampai kepada Insan Kamil, atau manusia tauhid. Insan kamil atau manusia tauhid ini adalah orang beriman dan bermoral (etika), yang juga mencakup didalamnya keluasan ilmu yang dimilikinya, sebagaimana tujuan penciptaan manusia ini oleh Allah swt.

Namun perlu juga diketahui, bahwa dalam Islam salah satu syarat diterimanya amal haruslah ikhlas. Jadi bermoral atau ber-etika itu harus ikhlas, dengan cara melakukannya dengan penuh kesadaran. Maka mari kita senanntiasa berbuat dengan penuh ketulusan bahwa perbuatan

28


(41)

32

itu betul-betul dibutuhkan, itulah prilaku kesadaran moral. Hal ini dapat dibaca dalam al-Qur’an Surah al-Furqan ayat 23. Dan semakin tinggi nilai ketaqwaan kita, maka semakin mulia pula (bernilai) kita disisi Allah swt.

Dari penjelasan di atas, maka dalam Islam, pada dasarnya nilai merupakan akhlak sedang akhlak merupakan ciri khas Islam untuk moral dan etika. Karena istilah nilai terkait dengan moral dan etika, maka antara moral, etika dan akhlak adalah satu kesatuan kata memiliki makna yang sama.29

b. Sumber Nilai-nilai Pendidikan Pesantren

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren memiliki nilai-nilai dasar yang menjadi landasan, sumber acuan dan bingkai segala kegiatan yang dilakukannya. Nilai-nilai dasar tersebut adalah: Sumber nilai Islam yang berasal dari nilai yang menjadi falsafah hidup yang dianut oleh ummat Islam. Sumber nilai agama yang pokok adalah Al- Qur’an dan As- Sunnah.

1) Al-Qur’an

Menurut Zakiah Daradjat dalam buku Ilmu pendidikan Islam karangan Arifin, Al-Qur’an adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw.30 Pengertian tentang Al-Qur’an di atas diperkuat dengan pendapat dari Allamah Sayyid bahwa Al-Qur’an terdiri dari serangkaian topik

29

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dan Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 74

30


(42)

33

teoritis dan praktis sebagai pedoman hidup untuk umat manusia. Apabila semua ajaran tersebut dilaksanakan, kita akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang pertama dan utama, yang eksistensinya tidak mengalami perubahan, walaupun interpretasinya mengalami perubahan, sesuai dengan konteks zaman, keadaan dan tempat.

2) As-Sunnah

As-Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an. As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah swt. Menurut Ramayulis sebagaimana dikutip oleh Ahmad Izzan menerangkan bahwa konsepsi dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw adalah sebagai berikut:

a) Disampaikan sebagairahmatan lil’ a>lami>n. b) Disampaikan secara universal dan menyeluruh. c) Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak.

d) Kehadiran Nabi sebagai evaluator atas segala aktivitas pendidikan. e) Perilaku Nabi sebagai figur identifikasi uswah hasanah (contoh

yang baik) bagi umatnya.31

c. Bentuk Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren

Pokok-pokok nilai pendidikan pesantren yang utama yang harus ditanamkan pada santri yaitu nilai pendidikan i’tiqa>diyah, nilai pendidikan amaliyah, dan nilai pendidikankhuluqiyah.32

31

Ahmad Izzan dan Saehuddin, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-Ayat yang Berdimensi Pendidikan, 16


(43)

34

1) Nilai pendidikan I’tiqa>diyah.

Nilai pendidikan I’tiqa>diyah. ini merupakan nilai yang terkait dengan keimanan seperti iman kepada Allah swt, malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir yang bertujuan menata kepercayaan individu.

Iman berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar amana yu’minu imanan artinya beriman atau percaya.33 Bukti-bukti keimanan diantaranya:

a) Mencintai Allah swt dan Rasul-Nya. b) Melaksanakan perintah-perintah-Nya c) Menghindari larangan-larangan-Nya.

d) Berpegang teguh kepada Allah swt dan sunnah Rasul-Nya. e) Membina hubungan kepada Allah swt dan sesama manusia. f) Mengerjakan dan meningkatkan amal saleh.

g) Berjihad dan dakwah. Nilai Kemanusiaan. 2) Nilai Pendidikan Amaliyah.

Nilai pendidikan amaliyah merupakan nilai yang berkaitan dengan tingkah laku. Nilai pendidikan amaliyah di antaranya:

a) Pendidikan Ibadah

Ibadah merupakan bukti nyata bagi seorang muslim dalam meyakini dan mepedomani aqidah Islamiyah. Pembinaan ketaan beribadah kepada anak dimulai dari dalam keluarga. Sejak dini

32

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dan Perspektif Islam, 93

33


(44)

35

anak-anak harus diperkenalkan dengan nilai ibadah, seperti diajarkan melafalkan surat-surat pendek dari Al-Qur’an untuk melatih lafal-lafal agar fasih mengucapkannya, karena membaca Al-Qur’an adalah ibadah. Kemudian juga anak-anak dilatih mendirikan shalat, maksudnya ialah agar ketika anak mulai baligh, tidak perlu bersusah payah belajar shalat.

b) Pendidikan Muamalah

Pendidikan muamalah merupakan pendidikan yang memuat hubungan antara manusia baik secara individu maupun kelompok. Pendidikan muamalah ini meliputi:

(1) Pendidikan shakhs}iyah

Pendidikan shakhs}iyah merupakan pendidikan yang memuat perilaku individu, seperti masalah perkawinan, hubungan suami istri dan keluarga yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah dan sejahtera.

(2) Pendidikan madaniyah

Pendidikan ini berkaitan dengan perdangan seperti upah, gadai yang bertujuan untuk mengelola harta benda atau hak-hak indvidu.

(3) Pendidikan Jana>’iyah

Pendidikan ini yang berhubungan dengan pidana atas pelanggaran yang dilakukan, yang bertujuan memlihara


(45)

36

kelangsungan kehidupan manusia, baik berkaitan dengan harta, kehormatan, maupun hak-hak individu yang lain.

(4) Pendidikan mura>fa’at

Pendidikan ini berhubungan dengan acara seperti peradilan, saksi maupun sumpah yang bertujuan untuk menegakkan keadilan diantara anggota masyarakat.

(5) Pendidikan dustu>ariyah

Pendidikan ini berhubungan dengan undang-undang Negara yang mengatur hubungan rakyat dengan pemerintah yang bertujuan untuk stabilitas bangsa.

(6) Pendidikan duwa>liyah

Pendidikan ini yang berhubungan dengan tata negara seperti tata negara Islam, tata negara tidak Islam, wilayah perdamaian dan wilayah perang, dan hubungan muslim di negara lain yang bertujuan untuk perdamaian dunia.

(7) Pendidikan Iqtis}a>diyah

Pendidikan ini berhubungan dengan perkonomian individu dan negara, hubungan yang miskin dengan yang kaya yang bertujuan untuk keseimbangan dan pemerataan pendapatan.


(46)

37

3) Nilai pendidikan khuluuqiyah

Pendidikan ini merupakan pendidikan yang berkaitan dengan etika (akhlak) yang bertujuan membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.

B.Pembentukan Karakter 1. Pengertian karakter

Secara etimologi, istilah karakter berasal dari bahasa latin character, yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Sedangkan secara terminologi (istilah), karakter diartikan sebagai sifat manusia, manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak, atau pekarti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum tatakrama.34

Menurut F.W. Forester, Karakter adalah yang memgualifikasikan seseorang pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tepat, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Jadi karakter adalah separangkat nilai yang sudah menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang. Misalnya kerja keras, pantang meyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain. F.W. Forester mengatakan

34

Agus Zainul Fitri, Pendidikan Krakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 20.


(47)

38

bahwa ada empat ciri dasar pendidikan karakter, pertama karakter interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan seperangkat nilai. Kedua yaitu koherensi yang memberi keberanian yang membuat seseorang teguh pada perinsip tidak mudah terombang-ambing pada situasi. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga yaitu otonomi maksudnya menginternalisasikan nilai-nilai peribadi, menjadi sifat yang melekat melalui keputusan bebas dari orang lain. Dan keempat yaitu keteguhan dan kesetiaan, keteguhan merupakan daya tahan guna menginini apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.35

Karakter sesorang dalam proses perkembangan dan

pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu factor lingkungan (nurture), dan factor bawaan (nature). Karakter sesorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor bawaan (nature), sedangkan seorang yang berkarakter menurut pandangan agama, pada dirinya terkandung pada potensi-potensi yaitu: sidik, amanah, fatanah, dan tablig, karakter menurut tori pendidikan yaitu: apabila sseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan pasikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori-teori social seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam hubungan intrapersonal dan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.36

35

Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nialai-Karakter (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012 ), 77-78.

36

Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2012), 46.


(48)

39

Karakter dapat dibedakan atas dua katagori, yakni karakter pokok dan karakter pilihan. Sebagai landasan seyogyanya karakter pokok harus dimiliki oleh tiap orang apaun profesinya, semua harus berkarakter. Khususnya karakter pokok tidak bisa ditingalkan. Bahkan pengangguran sekalipun bila memiliki karakter pokok pasti punya bobot kualitas. Setidaknya lingkungan pun jadi sayang padanya. Pengangguran berkarakter pasti beda dengan pengangguran tidak berkarakter.

Karakter pokok dibedakan atas tiga bagian penting, yaitu karakter dasar, karakter unggul, dan karakter pemimpin. Karakter dasar menjadi inti dari karakter pokok. Karakter ini ditopang oleh tiga nilai yang menjadi sifat dasar manusia; yaitu tidak egois, jujur, dan disiplin. Cukup memiliki ketiga nilai ini, seseorang sudah baik untuk mengontrol diri untuk jadi orang baik. Paling tidak dia sudah sanggup mengurus dirinya sendiri. Karakter dasar merupakan pondasi. Baik buruknya, maju mundurnya, santun liarnya serta dermawan tamaknya seseorang ditentukan karakter dasar.

Karakter kedua karakter unggul, dibentuk oleh tujuh sifat baik, yaitu; ikhlas, bersabar, syukur, bertanggung jawab, berkorban, perbaiki diri, dan sungguh-sungguh. Ketujuh sifat ini harus dilatih sehingga menjadi perilaku sehari-hari. Bagi karakter dasarnya sudah terdidik, pembentukan karakter unggul menjadi lebih mudah. Dia sudah memiliki modal yang kuat. Semantara karakter pokok yang ketiga, karakter pemimpin, memiliki sembilan nilai pembentuk, yaitu: Adil, arif, bijaksana, ksatria, tawadhu, sederhana, visioner, solutif, komunikatif, dan inspiratif. Sama seperti


(49)

40

karakter-karakter sebelumnya kesembilan nilai pembentuk karakter pemimpin harus dilatih dan dididik sehingga menjadi aktivitas keseharian. Tentu saja, keberhasilan pembentuk karakter pemimpin, amat bergantung pada pembentukan dua karakter pokok lainnya, yaitu: karakter dasar dan karakter unggul.

Karakter pilihan merupakan perilaku baik yang berkembang sesuai dengan profesi guru, pada bagian tertentu karakternya berbeda dengan karakter militer. Berbeda lagi karakter dokter dibanding karakter pengacara. Karakter pengusaha tentu antara langit dan bumi bila disandingkan dengan karakter karyawan. Namun yang tidak boleh diambaikan, apapun profesinya, tiap orang harus membangun karakter pokok terlebih dahulu. Lebih khusus lagi, mereka wajib memiliki karakter dasar.37

2. Pembentukan karakter

Pembentukan karakter seharusnya dimulai sejak saat anak masih belita membentuk karakter merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak akan tumbuh menjadi peribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu fitrah anak yang dilahirkan suci. Berkembang secra optimal untuk itu ada tiga pihak yang berperan penting dalam membentuk karakter anak yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dalam pembentukan karakter ada dua hal yang yang belangsung secara:

37

Erie Sudewo, Character Bulding Menuju Indinesia Lebih Baik (Jakarta: Gramedia, 2011 ), 15-16.


(50)

41

a. Anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Mempunyai cinta kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kencintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya anak tak mau berbohong,” kerena tahu bohong itu buruk. Ya tak mau melakukannya karena mencintai kebajikan.

b. Anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukan lewat proses itu, beberapa karakter yang penting ditanamkan pada anak yakni: Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya, tanggung jawab, kedisplinan, kemandirian, kejujuran, hormat dan santun, kasih sayang, kepedulian dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai dan persatuan.38

Manusia yang berkarakter adalah manusia yang selalu berusaha memperbaiki dirinya sebagai individu, sebagai bagian dari kehidupan social kemasyarakatan, sebagai makhluk beragama dan dalam intraksinya dengan alam. Hal ini menujukkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Semua manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang berposes menjadi manusia yang berkarakter.

Untuk mewujudkan karakter-karakter tidakalah mudah. Karakter yang berarti mengukir hingga terbentuk pola itu memerlukan proses panjang melalui pendidikan. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003

38


(51)

42

tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.39

3. Dasar-dasar pembentukan karakter

Manusia pada dasarnya memiliki dua potensi yakni baik dan buruk. Dalam al-Quran surah al-Shams (8) di jelaskan dengan istilah fujur (celaka/fasik) dan takwa (takut kaepda Tuhan). Manusia memiliki dua kemungkinnan jalan, yaitu menjadi makhluk yang beriman atau ingkar pada Tuhanya. Keberuntungan berpihak pada orang yang senantiasa menyucikan dirinya, dan kerugian berpihak pada orang-orang yang mengotori dirinya, sebagaimana firman Allah berikut ini:





Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.40 (ash-Sham: 8)

Berdasarkan ayat di atas, setiap manusia memiliki potensi untuk menjadai hamba yang baik (positif) dan buruk (negatif), menjalankan perintah Tuhan atau melanggar larangan-Nya, menjadi orang yang beriman atau kafir, mukmin atau musyrik. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna.41

39

Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nialai-Karakter (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012 ), 76.

40

QS. Ash-Sham, 8

41

Agus Zainul Fitri,Pendidikan, Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 34-36.


(52)

43

Dasar-dasar pembentukan karakter

a. Rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segenap ciptaan-Nya, termasuk cinta kasih saying terhadap sesame, cinta dami.

b. Pendidikan yang memadai, formal maupun nonformal. c. Disiplin, terhadap waktu, tempat dan peraturan yang ada.

d. Percaya diri, adil, mandiri, dapat bertoleransi, baik dan rendah hati.

e. Siap bekerja keras, pantang menyerah, kreatif, bekerja sama, menolong dan berbagi dengan teman.

f. Jujur, bertanggung jawab, santun, hormat pada orang lain, ada kepedulian. Berdasar 6 pilar penyangga ini anak dapat dibangun karakternya sejak dini. Anak yang tumbuh dilingkungan orang-orang yang berkarakter baik akan memiliki karakter baik pula, hal ini disebabkan oleh teladan atau contoh yang dilihat dan dialami sehingga kesemua itu merupakan modal bagi anak itu.42

4. Tahap–tahap pembentukan karakter

Membentuk karakter pada diri anak memerlukan suatu tahapan yang dirancang sistematis dan berkelanjutan. Sebagai individu yang berkembang, anak memiliki sifat meniru tanpa mempertimbangkan baik dan buruk. Hal ini di dorong oleh rasa ingin tahu, dan ingin mencoba sesuatu yang ingin diminati yang terkadangkala muncul secara spontan.

Anak akan melihat dan meniru apa yang ada disekitarnya, bahkan apabila hal itu sangat melekat pada diri anak akan tersimpan dalam memori

42

Dwi yani Lukitaningsih, Pendidikan Etika, Moral Kepribadian dan Pembentukan Karakter (Jogjakarta: Media utama, 2011), 50.


(53)

44

jangka panjang (long term memory). Apabila yang tersimpan dalam LTM adalah hal yang positif (baik), reproduksi selanjutnya akan menghasilkan perilaku yang konstruktif. Namun, apabila yang masuk ke dalam LTM adalah sesuatu yang negatif (buruk), reproduksi yang akan dihasilkan adalah hal-hal yang destruktif.

Gambar

Tahap pembentukan LTM.

Gambar diatas menunjukan bahwa anak (peserta didik), apabila akan melakukan sesuatu (baik atau buruk), selalu diawali dengan proses

melihat, mengamati, meniru, mengingat, menyimpan, kemudian

mengeluarkannya kembali menjadi perilaku sesuai dengan ingatan yang tersimpan di dalam otaknya. Oleh kerena itu untuk membentuk kerakter pada anak, harus dirancang dan di upayakan penciptaan lingkungan kelas dan sekolah yang betul-betul mendukung.43

5. Metode pesantren dalam membentuk karakter santri

Bagi pesantren setidaknya ada 6 metode yang diterapkan dalam membentuk karakter santri, yakni: Metode keteladanan (uswah h}asanah),

latihan dan Pembiasaan, mengambil pelajaran (ibrah), nasehat (mauiz}ah),

43

Ibid., 58-59.

SEEING COPYING MEMORIZING

ERASING

RECORDING


(54)

45

kedisiplinan, pujian dan hukuman (targhi>b wa tahdhib), penjelasannya sebagai berikut:

a. Metode keteladanan

Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk mengembangkan sifat-sifat dan petensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren, pemberian contoh-contoh keteladanan sangat ditekankan. Kiai dan ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain,44 karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang kiai atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.

b. Metode latihan dan pembiasaan

Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada kiai dan ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik

44

Mukti Ali menyebutkan bahwa pendidikan terbaik ada di pesantren, sedang pengajaran terbaik ada di sekolah/madrasah. Lihat Zuhdy Mukhdar, KH. Ali Ma'shum Perjuangan dan Pemikirannya, (Yogyakarta, tnp, 1989)


(1)

222

pesantren dikenal masyarakat baik tingkat regional, nasional maupun

internasional

B.Rekomendasi

Dari temuan penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang ditujukan,

antara lain kepada :

1. Para Pimpinan/Pengasuh Pondok Pesantren

a. Hendaknya tetap mempertahankan filosofi pesantren yang telah dibangun

oleh para pendiri pesantren

b. Hendaknya terus mempertahankan nilai-nilai pesantren sebagai dasar

perilaku pesantren

c. Hendaknya menjaga sistem pendidikan yang telah teruji bertahun-tahun.

d. Penting adanya sikap selektif dan berprinsip: al-Muh}a>fad}atu 'ala> qadi>mi

a}s-s}a>lih, wa al-Akhd}u bi al-jadi>di al-as}lah.

e. Kehilangan keunggulan pendidikan pesantren, menyebabkan kehilangan

karakter lulusan dan pada gilirannya akan ditinggal masyarakat.

2. Peneliti pelanjut yang tertarik pada pendidikan pondok pesantren.

Dikarenakan penelitian ini mengandung sejumlah keterbatasan,

maka penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terutama tentang


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Ahmad Izzan dan Saehuddin. Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-Ayat yang

Berdimensi Pendidikan.

al-jauzuyah, Imam Ghazali, Imam Ibnu Rajab Alhambali, Ibnu Qayyim. Pembersih Jiwa. Bandung: Penerbit Pustaka, 1990.

Amri, Sofan dkk. Implementasi Pendidikan karakter. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.

an Nahlawi, Abd. Rahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,

diterjemahkan Dahlan & Sulaiman. Bandung: CV. Dipenegoro, 1992.

Andayani, Abdul Majid dan Dian. Pedidikan Karakter dalam Perspektif Islam.

Bandung: Insan Cita Utama, 2010.

Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada press, 1993.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium

Baru. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000.

B. Fuller. What School Factors Raise Achievement in the Third World, Review of Educational Research, 1987.

Brown, Martha. Value- a Necessary but Neglected Ingredient of Motivation on the Job, In Academy of Management of Review, 1976.

Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 2011.

E. Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Fitri, Agus Zaenul. Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

_______________ Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah.

Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Fox, James J. “Ziarah visits to the tombs of the Wali, the Founders of Islam on


(3)

Clayton, Victoria: Centre pf Southeast Asian Studies, Monash University, 1991.

Haedar, Amin. Transformasi Pesantren: Pengembangan aspek pendidikan

Keagamaan dan Sosial. Jakarta: LeKDIS & Media Nusantara, 2006. ______________ Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas. Jakarta:

IRD Press, 2005.

Hamid, Abu. “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul-Sel”, dalam

Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali

Press, 1983.

HM Arifin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

J. R. Anderson. Acquisition of Cognitive Skills, Psychologcal Review. American

Psychological Association, Vol 89, 4, 1982.

Koesoema, Doni A. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: Gramedia

Widiasarana, 2009.

Kouchok, Kawsar H. Teaching Tolerance Through Moral & Value Education

(Papers and Resources Materials for the Global Meeting of Experts). Oslo, 2004.

Lukitaningsih, Dwi yani. Pendidikan Etika, Moral Kepribadian dan Pembentukan Karakter. Jogjakarta: Media utama, 2011.

M. Arifin. Kapita Selekta Pendidikan: Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara,

1991.

Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Cet. I.

Jakarta: Paramadina, 1977.

Mansur. Moralitas Pesantren. Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004.

Mastuhu. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosd,

2011.

Muchlas Samani dan Hariyahto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Mufid, Muhammad Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada


(4)

Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aditya Media, Cetakan I,

2005.

Najdib, Emha Ainun. Slilit Sang Kyai . Jakarta: Grafiti, 1972.

Namsa, Yunus. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Ternate: Pustaka Firdaus,

2000.

Nawawi, Hadari. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas: 1993.

Ndraha, Taliziduhu. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

R. Megawangi. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun

Bangsa. Bandung: BP Migas dan Energi, 2004.

Rahman, Fadli. “Zuhud”, dalam rubrik Majalah Sabili, edisi 24, 2005.

Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar, Jilid II. Mesir: Maktabah al-Qahirah.

Rifa`at, Syauqi. Kepribadian Qur`ani. Amzah, Jakarta: 2011.

Robins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Buku 1. Jakarta: Prenhallindo, 1995.

Salam, Solichin. K.H. Hasyim Asy'ari: Ulama Besar Indonesia. Djakarta: Djaja

Murni, 1963.

Saptono. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi, dan langkah Praktis. Jakarta: Esensi Divisi Penerbit Erlangga, 2011.

Schein, Edgar. The Role of The Founder in Creating Organizational Culture, In

Organizational Dynamics, 1983.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 1998.

Soekadri, Heru. Kiai Haji Hasyim Asy'ari. Jakarta: Departemen Pendidikan, 1980.

Somantri M.I. Pendidikan Karakter: Nilai-nilai Bagi Upaya Pembinaan

Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press, 2006.

Sriyanto, Djarot. Waspodo Eling, Mulyadi. Tata Negara Sekolah Menengah

Umum. Surakarta: PT. Pabelan, 1994.


(5)

_____________ Character Bulding Menuju Indinesia Lebih Baik. Jakarta:

Gramedia, 2011.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta, 2010.

Suharto, Ahmad. Senarai Kearifan Gontory: Kata bijak perintis dan masyaikh

Gontor. Yogyakarta: Namila grafika, 2016.

_______________ Staf. Sekretaris Pimpinan Pondok, Darussalam Gontor,

Modern Islamic Boarding School. Ponorogo: Darussalam Press PMD.

Gontor, 2011.

_______________ Tripologi: Kompilasi Nilai-Nilai Perjuangan Gontor.

Mantingan: Annisa Press, 2016.

T.N. Postlethwaite. Success and Failure in School, In Philip G. Altbach, Robert

F. Arove, & Gail P.Kelly (Eds), Comparative Education. New York:

Macmillian Publishing Co, Inc, 1982.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dan Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2004.

Tanshzil, Sri Wahyuni. “Model Pembinaan Pendidikan Karakter Pada

Lingkungan Pondok Pesantren Dalam Membangun Karakter Santri

(Sebuah Kajian Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan)”, dalam

Jurnal Penelitian Pendidikan, vol. 13 No. 2 Oktober 2012.

Tim Penyusun, Buku Panduan Santri Pesantren Tebuireng. Jombang: Pengurus

Pondok Pesantren Tebuireng, 2014.

Tim Penyusun. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa:

Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Menurut Islam. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1990.

Wachid, Abdurahman. Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

__________________ “Prospek Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan”, dalam

Dinamika Pesantren: Dampak Pesantren dalam Pendidikan dan

Pengembangan Masyarakat, Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (ed). Jakarta: P3M, 1988.


(6)

Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan,

Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Wiyani, Novan Ardy. Manajemen Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka

Insan Madani, 2012.

Wuryanto, Agus. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran. Solo:

PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2011.

Zarkasyi, Abdullah Syukri. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

______________________ at-Tarbiyah Al-„Amaliyah. Gontor: Darussalam,

1411/1991


Dokumen yang terkait

Aplikasi sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren modern dalam membentuk santri yang berkualitas di pondok pesantren Darunajah cipayung

1 4 95

UPAYA PEMIMPIN PESANTREN DALAM PENGUATAN NILAI-NILAI KARAKTER GURU DI PONDOK MODERN TAZAKKA BANDAR Upaya Pemimpin Pesantren Dalam Penguatan Nilai-Nilai Karakter Guru Di Pondok Modern Tazakka Bandar Kabupaten Batang Tahun 2014-2016.

0 3 19

UPAYA PEMIMPIN PESANTREN DALAM PENGUATAN NILAI-NILAI KARAKTER GURU DI PONDOK MODERN TAZAKKA BANDAR Upaya Pemimpin Pesantren Dalam Penguatan Nilai-Nilai Karakter Guru Di Pondok Modern Tazakka Bandar Kabupaten Batang Tahun 2014-2016.

0 2 17

STRATEGI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA Strategi Pendidikan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta Dalam Membentuk Karakter Bangsa.

0 0 13

STRATEGI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA Strategi Pendidikan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta Dalam Membentuk Karakter Bangsa.

0 1 23

NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN EKSTRA KULIKULER TAPAK SUCI PADA SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN MODERN MIFTAHUNNAJAH SKRIPSI

1 1 118

Implementasi Nilai-nilai Amanah pada Karyawan Hotel Darussalam Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo

0 0 13

PRAKTIK PENDIDIKAN LIBERAL DAN MULTIKULTURAL DI PONDOK PESANTREN (STUDI KASUS DI PONDOK MODERN GONTOR DAN PESANTREN SALAF API TEGALREJO)

0 3 221

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Umum 1. Gambaran Umum Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo a. Sejarah Singkat - MANAJEMEN PONDOK PESANTREN MODERN PERSPEKTIF SUSTAINABILITY THEORY (Studi pada Pondok Pesantren Modern Alumni Gontor di Provi

0 0 181

Model Supervisi Akademik Dalam Pengembangan Mutu Pembelajaran Pesantren (Studi Kasus Di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo) - Electronic theses of IAIN Ponorogo

0 0 115