ruang lingkup pengadilan agama 2

PERADILAN AGAMA
Oleh : Drs. H. JOJO SUHARJO
( Wakil Ketua Pengadilan Agama Brebes )

A. RUANG LINGKUP PENGADILAN AGAMA
1. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama sebagai Kekuasaan Kehakiman
1) Dalam UUD 1945 Amandemen ke 3 Pasal 24 ayat (1) dan (2)
Ayat (1) : Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Ayat (2) : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,
Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan Oleh Mahkamah Konstitusi.
2) Penjelasan umum angka 1(satu) UU No. 7 Tahun 1989 “oleh karena itu,
untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang
bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan
hukum dan keadilan dengan baik.” Salah satu lembaga untuk menegakkan
hukum dalam mencapai keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian
hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam UU No.

14 Tahun 1970 yang masing-masing mempunyai lingkup kewenangan
mengadili perkara atau sengketa dibidang tertentu dan salah satunya adalah
Peradilan Agama.
3) Pasal 2 Undang-undang No. 3 tahun 2006 “Peradilan Agama merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undangundang ini.
4) Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman:
Ayat (1) : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan yang berada peradilan dibawahnya dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Ayat (2) : Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

1

Peradilan Agama, Peradilan Peradilan Militer dan Tata Usaha
Negara.
Senada dengan hal tersebut diatur dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Asas Umum Peradilan Agama


Azas Personalitas KeIslaman
(Pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 + Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006).



Azas Kebebasan
(Penjelasan umum UU No. 4 Tahun 2004 + Pasal 5 UU No. 3 Tahun 2006).



Azas Wajib Mendamaiakan
(Pasal 65 dan 82 UU No. 07 Tahun 1989 + Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974
+ Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 )



Azas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

(Penjelasan umum angka 5 alinia ke lima UU No. 7 tahun 1989)



Azas Terbuka untuk Umum (Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989)
(Kecuali dalam perceraian, Pasal 59 ayat (1) + Pasal 80 ayat (2) UU No. 7
Tahun 1989 jo. Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975)



Azas Legalitas.
(Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989)



Azas Aktif Memberikan Bantuan.
(Pasal 58 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989.)

3. Pengadilan Agama satu atap dengan Mahkamah Agung RI.
Sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan

Agama merupakan salah satu lingkungan Peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung bersama dengan Peradilan lainnya, yang peranannya sebagai
pelaku Kekuasaan Kehakiman. Salah satu fungsi dan perannya adalah
menyelenggarakan penegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari
keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam
dibidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shodaqoh
dan ekonomi syariah.
Dalam rangka memperkuat prinsip Kekuasaan Kehakiman yang merdeka,
telah dilakukan perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 kemudian yang terakhir diganti menjadi
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Pelaksanaan Kehakiman.
Demikian pula telah dilakukan perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dengan UU No. 5 tahun 2004 UU No. 4 tahun 2004 yang
dirubah oleh UU No. 48 tahun 2009 menegaskan adanya Pengadilan Khusus
2

yang dibentuk dalam salah satu lingkungan Peradilan dengan UU. Oleh karena
itu keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu
diatur pula dalam Undang-undang ini.
Perubahan dan pergantian kedua UU tersebut secara tegas telah mengatur

peralihan organisasi, administrasi dan financial dari semua lingkungan peradilan
termasuk Peradilan Agama bermuara ke Mahkamah Agung.
Dengan demikian Peradilan Agama yang semula masih berada dibawah
Departemen Agama, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 perlu disesuaikan. Oleh
karena itu, untuk memenuhi ketentuan tersebut maka lahirlah UU. No. 3 tahun
2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
UU No. 50 tahun 2009 tentang perubahan ke 2 atas UU No. 7 tahun 1989.
B.

TUGAS POKOK DAN FUNGSI
Pengadilan Agama melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2
jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:


Perkawinan




Waris



Wasiat



Hibah



Wakaf



Zakat




Infaq



Shadaqah



Ekonomi syari'ah.

Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal -hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;

5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

3

6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan

orang


lain

sebagai

wali

oleh

pengadilan

dalam

hal

kekuasaan seorang wali dicabut;
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;

20. penetapan

asal-usul

seorang

anak

dan

penetapan

pengangkatan

anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan

tentang

hal


penolakan

pemberian

keterangan

untuk

melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing
tersebut,

ahli waris,
serta

tentang penentuan

dan

melaksanakan

penetapan
siapa

yang

pengadilan
menjadi

pembagian
atas
ahli

harta

peninggalan

permohonan
waris,

penentuan

seseorang
bagian

masing- masing ahli waris.
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang
lain atau badan hukum untuk dimiliki.
4

Yang
sekelompok

dimaksud dengan
orang

(wakif)

"wakaf'
untuk

adalah perbuatan

memisahkan

seseorang atau

dan/atau

menyerahkan

sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka

waktu

tertentu

sesuai

dengan

kepentingannya

guna

keperluan

ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan

ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu

kepada

makanan,

orang

minuman,

lain

guna

mendermakan,

menutupi

kebutuhan,

baik

rezeki

(karunia),

memberikan

berupa
atau

menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena
Allah Subhanahu Wata'ala.
Yang

dimaksud

dengan

"shadaqah"

adalah

perbuatan

seseorang

memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah;
e. reksa dana syari'ah;
f.

obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;

g. sekuritas syari'ah;
h. pembiayaan syari'ah;
i.

pegadaian syari'ah;

j.

dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan

k. bisnis syari'ah.
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama mempunyai
fungsi, antara lain sebagai berikut :
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
dalam tingkat pertama (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk
kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut
teknis

yudicial,

administrasi
5

peradilan,

maupun

administrasi

umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (Pasal 53 ayat
(3)

Undang-undang

Nomor

No.

3

Tahun

2006

jo.

KMA

Nomor

KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan
Jurusita/

Jurusita

Pengganti

di

bawah

jajarannya

agar

peradilan

diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan
administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (Pasal
52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis
dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengakapan) (KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya :
a) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti KEMENAG, MUI, Ormas Islam dan lainlain (Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
b) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
C.

TUNTUTAN HAK
1. Gugatan/Permohonan
a. Tuntutan hak, dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan atau
permohonan.
b. gugatan/permohonan diajukan secara tertulis (pasal 118 HIR) maupun lisan
(pasal 120 HIR).
c. bila penggugat/pemohon buta huruf, maka gugatan/permohonannya
diajukan secara lisan kepada Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa
dan mengadili perkaranya. Caranya ialah gugatan/permohoan tersebut
dicatat oleh ketua atau hakim yang ditunjuk yang dituangkan dalam catatan
gugatan tersebut. Kemudian ditanda tangani oleh ketua atau hakim yang
ditunjuk.

6

d. Gugatan yang diajukan oleh orang yang buta huruf secara tertulis yang
dibubuhi cap jempol Penggugat tidak dapat diterima ( Yurisprodensi Nomor
1077/K/Sip/1972/ tanggal 7 Pebruari 1973).
e. syarat-syarat gugatan:
1) Adanya tuntutan hak.
2) Adanya kepentingan hukum.
3) Adanya sengketa
4) Dibuat dengan cermat dan terang.
f. Unsur-unsur gugatan/permohonan
1) Identitas para pihak.
2) Posita (fondamentum petendi).
3) Petitum (pasal 8 nomor 3 Rv).
g. Identitas memuat: nama, umur, tempat kediaman dan kedudukan, (Pasal 67
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989). Didalam hal identitas perlu
ditambahkan agama, pekerjaan dan pendidikan (khususnya perkara
perceraian).
h. Nama para pihak agar dilengkapi dengan nama ayah yaitu bin…. Atau
binti…..
i. Kedudukan adalah sebutan bagi para pihak. Misalnya sebagai Penggugat,
Tergugat, Turut Tergugat, Pemohon dan Termohon.
j. Posita adalah dalil-dalil kongkrit, peristiwa, kejadian atau perilaku, tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar atau alasan-alasan tuntutan.
Posita terdiri atas dua bagian:
1) Bagian yang menguraikan tentang keadaan, kejadian, peristiwa atau
perilaku.
2) Bagian yang menguraikan tentang hukum yang menjadi dasar yuridis
dari tuntutan.
k. Petitum ialah apa yang oleh Penggugat/Pemohon diminta atau diharapkan
agar diputuskan oleh hakim.


Petitum tidak boleh hanya bersifat kompositur (hanya memohon
keadilan saja), melainkan harus terperinci.



Bentuk-bentuk petitum yang diperbolehkan:
1) Primer saja secara lengkap.
2) Primer secara terperinci dan subsidair secara terperinci.
3) Primer secara terperinci dan subsider hanya berbentuk compositur.
Petitum hendaknya didukung atau relevan dengan positanya. Didalam

perkara kewarisan, petitum hendaknya merujuk, relevan atau sesuai dengan

7

urutan dan rumusan yang tersebut didalam pasal 49 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989, yaitu:
a. Menyatakan/menetapkan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
Pewaris.
b. Menyatakan/menetapkan apa saja yang menjadi harta peninggalan
Pewaris.
c. Menyatakan/menetapkan bagian masing-masing ahli waris.
d. Menghukum ………… untuk melaksakan pembagian tersebut.
e. Menghukum …………. Untuk menyerahkan bagian masingmasing ahli waris.
2. Surat Gugatan/Permohonan
Selain harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas, surat
gugatan/permohonan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Menggunakan kertas kertas folio HVS, tidak boleh dengan kertas
doorslag (tipis mengkilat) atau kertas buram.
b. Memuat tempat kedudukan, tanggal, perihal dan alamat yang dituju
yaitu kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama ………
c. Diketik yang jelas dengan format 1 ½ spasi dan tidak bolak-balik.
d. Ditanda tangani oleh Penggugat/Pemohon atau kuasa hukumnya, atau
oleh hakim yang mencatatnya jika Penggugat/Tergugat buta huruf.
e. Tidak perlu dibubuhi materai.
f. Jika surat gugatan/permohonan ditanda tangani oleh kuasa hukum,
harus dilampiri surat kuasa khusus yang lengkap (termasuk tanggal
surat kuasa).
3. Kekhususan Pengadilan Agama Tentang Sebutan Para Pihak
Pada azasnya, perkara contensius perihalnya disebut “gugatan ………
Misalnya gugatan perceraian, pembagian harta warisan, pembagian harta
bersama dan sebagainya. Sedang para pihak disebut sebagai Penggugat atau
Tergugat. Namun ada beberapa perkara tertentu walaupun contensius
(mengandung sengketa), tetapi perihalnya disebut permohonan …… Misalnya
perkara izin ikrar talak, izin beristri lebih dari seorang (poligami), pencegahan
perkawinan dan pembatalan perkwinan. Sedang proses para pihaknya disebut
sebagai Pemohon dan Termohon.
4. Cara Mengajukan Perkara Di Pengadilan Agama
a.

Pada azasnya tuntutan hak (gugatan/permohonan) diajukan secara
langsung ke Pengadilan Agama oleh Penggugat/Pemohon sendiri atau oleh
kuasa hukumnya yang sah. Tidak ada keharusan lewat instansi lain
(misalnya KUA Kecamatan), berbeda dengan pernikahan, tidak ada
8

keharusan diantar atau disertai perangkat desa, misalnya Kaum, Kayim,
Modin atau Kaur Kesra.
b.

Tidak ada keharusan lewat Kepala Desa/lurah namun seyogyanya sebelum
ke Pengadilan Agama menghadap kepala desa/lurah untuk menyatakan
maksudnya, agar memperoleh nasihat secukupnya kearah perdamian
dalam perkara tertentu (misalnya perceraian).

c.

Surat yang berkaitan dengan gugatan/permohonan seperti Kutipan Akta
Nikah, KTP atau surat keterangan domosilipada hakekatnya diserahkan
pada acara/tahap pembuktian. Tetapi jika disertakan pada waktu
pendaftaran perkara boleh saja. Jika kesulitan memperoleh surat
keterangan domisili dapat menggunakan KTP yang masih berlaku, Suratsurat yang bukan asli harus dilegalisir oleh Panitera Pengadilan Agama.
Kecuali itu harus dimateraikan (dinazegelen) di Kantor Pos, termasuk
surat-surat bukti asli yang belum bermaterai cukup.

d.

Pendaftaran perkara di Pengadilan Agama dilakukan oleh petugas Meja I
dan meja II. Pada waktu pendaftaran perkara harus membayar panjar biaya
perkara sesuai dengan taksiran yang dilakukan oleh petugas Meja I,
kecuali bagi orang yang miskin, tidak mampu membayar biaya perkara,
dapat memberikan ijin untuk berperkara tanpa membayar.

e.

Cara berperkara dengan biaya Cuma-Cuma (prodeo) adalah:
1) Pengugat/Pemohon mengajukan permohonan.
2) Dilampiri surat keterangan miskin dari Kepala Desa/Kelurahan yang
diketahui oleh camat.
3) Pengadilan menyelenggarakan sidang insidentil. Tergugat dapat
mengajukan perlawasan atas permohonan itu dengan menyatakan
bahwa permohonan tersebut tidak beralasan, (HIR pasal 237, 238 dan
239).
4) Hakim menjatuhkan putusan sela.

5. Kumulasi (Penggabungan Gugatan)
Penggabungan gugatan diperbolehkan apabila ada hubungan yang erat dan
mendasar. Jenis-jenis kumulasi gugatan:
1. Kumulasi subyektif, ialah jika dalam satu surat gugatan terdapat
beberapa orang penggugat/ beberapa orang Tergugat.
2. Kumulasi obyektif, ialah jika Penggugat mengajukan beberapa
gugatan/tuntutan kepada seorang Tergugat. (Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1)).
6. Gugatan Error In Persona (Cacat Formil)
Suatu gugatan/permohonan dapat dinilai error in persona:
9

a. Diskualifikasi in persona, yaitu Penggugat/Pemohon bukan orang
yang berkepentingan menggugat/memohon. Contoh: orang tua
mengajukan gugatan perceraian bagi anaknya bukan dalam kualitas
sebagai kuasa hukum.
b. Gemis aan voodaning heid, yaitu Tergugat bukan orang yang
berkepentingan untuk digugat (tidak ada hubungan antara Penggugat
dan Tergugat).
c. Apabila ada pihak lain yang mempunyai kepentingan didalam
perkara tersebut tetapi tidak ditarik sebagai pihak di dalam perkara.
Contoh didalam perkara kewarisan ada ahli waris yang tidak masuk
di dalam para pihak baik sebagai Penggugat, Tergugat atau Turut
Tergugat.
d. Apabila surat gugatan ditanda tangani oleh kuasa khusus tetapi tidak
didukung dengan surat kuasa khusus.
e. Apabila terjadi aan hanging, yaitu pengajuan perkara yang
tergantung dengan perkara yang diajukan terlebih dahulu yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap.
f. Apabila gugatan premature. Contoh: gugatan pembagian harta
bersama padahal belum terjadi perceraian.
g. Apabila terjadi ne bis in idem.
Jika seorang yang sebenarnya bernama “AHMAD” tetapi ditulis
“AMAT” secara strick law (kaku) ada error in persona. Tetapi yang
benar cukup diperbaiki saja dalm proses.
Apabila terjadi error in persona ada eksepsi atau tidak, hakim harus
memutus negatif (gugatan/permohonan tidak diterima) dalam bentuk
putusan akhir, bukan putusan sela.
7. Gugatan Ne Bis In Idem(Berulang)
Unsur-unsur ne bin in idem;
a. Terhadap perkara tersebut telah pernah diputus.
b. Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
c. Para pihak ( subyek dan obyek ) antara dua perkara itu sama.
8. Gugatan Obscuur Libel
Faktor-faktor untuk menentukan obscuur libel:
a. Apabila posita tidak jelas. Contoh: gugatan perceraian tidak menyebutkan
adanya alasan. Atau menyebutkan alasan tapi hanya bersifat umum (global)
tidak terperinci. Contoh:


Terjadi perselisihan dan pertengkaran.



Tergugat main perempuan dan ringan tangan/menangani.
10



Tergugat kejam, kasar, suka omong kotor.

b. Apabila bertentangan, tidak relevan, tidak ada keterkaitan antara posita dan
petitum.
c. apabila petitum tidak jelas, tidak terperinci. Contoh; hanya minta keadilan
saja (compositur).
d. Apabila obyek gugatan tidak jelas.


Apabila obyek gugatan berupa tanah hanya disebutkan nomor persil,
nomor girik (letter C) atau nomor sertifikat hak milik saja, tanpa
menyebutkan batas-batasnya, tidak termasuk obscuur libel, karena
didalam persil atau sertifikat sudah disebut batas-batasnya. Akan tetapi
sebaiknya batas-batas tersebut ditegaskan.



Apabila Penggugat menyebutkan batas-batas tanah, tetapi ternyata tidak
sesuai, tidak termasuk obscuur libel, karena batas-batas tanah itu bersifat
dinamis, dapat berubah setiap saat.



Apabila Penggugat menyebutkan luas tanah yang tidak sesuai dengan
kenyataan, juga tidak termasuk obscuur libel, karena sudah ada obyek
perkara.

9. Perubahan Gugatan/Permohonan
Surat gugatan/permohonan dapat dilakukan perubahan, dengan syarat;
a. Sebelum Tergugat/Termohon mengajukan jawaban.
b. Kalau Tergugat/Termohon sudah memberikan jawaban, maka harus ada
persetujuan Tergugat/Termohon karena Tergugat/Termohon sudah terserang
kepentingannya. Begitu pula terhadap gugatan/permohonan secara lisan
dapat dilakukan perubahan (Rv pasal 127).
Merubah surat gugatan :
a. Rv pasal 271 : perubahan terhadap gugatan dapat dilakukan selama
tergugat belum memberikan jawaban dan bila sudah memberikan
jawaban harus dengan persetujuan tergugat.
b. Rv pasal 127 : Penggugat berhak mengubah atau mengurangi
tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau
menambah pokok gugatannya.
c. Yurisprodensi Mahkamah Agung RI Nomor 1043/K/Sip/1971 :
Perubahan surat gugatan dibolehkan asal tidak mengakibatkan
perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela
diri.
d. Yurisprodensi Mahkamah Agung RI Nomor 226/K/Sip/1973 tanggal 27
Nopember 1975: Perubahan gugatan yang berhubungan dengan pokok

11

perkara tidak dibenarkan. Perubahan gugatan juga dimungkinkan
terhadap gugatan secara lisan (Rv. Pasal 127).

D. TAHAPAN-TAHAPAN PERSIDANGAN
1. Upaya Perdamaian.
Pada perkara perceraian, seperti cerai gugat dan cerai talak, hakim wajib
mendamaian kedua belah pihak berperkara pada setiap kali persidang ( Pasal
56 ayat 2, 65, 82, 83 UU No 7 Tahun 1989. Dan selanjutnya jika kedua belah
pihak hadir dipersidangan dilanjutkan dengan mediasi PERMA No 1 Tahun
2008. Kedua belah pihak bebas memilih Hakim mediator yang tersedia di
Pengadilan Agama tanpa dipungut biaya. Apabila terjadi perdamaian, maka
perkaranya dicabut oleh Penggugat/Pemohon dan perkara telah selesai.
Dalam perkara perdata pada umumnya setiap permulaan sidang, sebelum
pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para
pihak berperkara ( Pasal 130 HIR), dan jika tidak damai dilanjutkan dengan
mediasi. Dalam mediasi ini para pihak boleh menggunakan hakim mediator
yang tersedia di Pengadilan Agama tanpa dipungut biaya, kecuali para pihak
menggunakan mediator dari luar yang sudah punya sertikat, maka biayanya
seluruhnya ditanggung kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan mereka.
Apabila terjadi damai, maka dibuatkan akta perdamaian ( Acta Van Verglijk).
Akta Perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
hakim,dan dapat dieksekusi, tetapi tidak dapat dimintakan banding, kasasi dan
peninjauan kembali.
Apabila tidak terjadi damai dalam mediasi, baik perkara perceraian
maupun perkara perdata umum, maka proses pemeriksaan perkara dilanjutkan.
2. Pembacaan Surat Gugatan Penggugat.
Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim wajib
menyatakan sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata umum
sidangnya selalu terbuka.
Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu
dibacakan oleh Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan
sebelum diberikan kesempatan oleh mejelis hakim kepada tergugat
memberikan tanggapan/jawabannya, pihak penggugat punya hak untuk
mengubah, mencabut atau mempertahankan

isi surat gugatannya tersebut.

Apabila Penggugat menyatakan tetap tidak ada perubahan dan tambahan dalam
gugatannya itu kemudian persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya.
3. Jawabat Tergugat.
12

Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan
mengajukan jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang
berikutnya. Jawaban tergugat dapat dilakukan secara tertulis atau lisan ( Pasal
132. b (ayat 1) HIR. Pada tahap jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan
eksepsi (tangkisan) atau rekonpensi (gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak
perlu membayar panjar biaya perkara.
4. Replik Penggugat.
Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat
diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat.
Pada tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa
pula merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.
5. Duplik Tergugat.
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya. Dalam tahap ini
dapat diulang-ulangi sampai ada titik temu antara penggugat dengan tergugat.
Apabila acara jawab menjawab dianggap cukup oleh hakim, dan masih ada halhal yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak, maka hal ini dilanjutkan
dengan acara pembuktian.
6. Pembuktian.
Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama
untuk mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi
secara bergantian yang diatur oleh hakim.
7. Kesimpulan Para Pihak.
Pada tahap ini, walau bukan merupakan hak Penggugat dan Tergugat
tetapi kebiasaan dalam praktek atas dasar permohonan,

baik Penggugat

maupun Tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat
akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang
berlangsung

menurut

pandangan

masing-masing.

Kesimpulan

yang

disampaikan ini dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.
8. Musyawarah Majelis Hakim.
Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia ( Pasal 19 ayat
(3) UU No. 4 Tahun 2004. Dalam rapat permusyawaratan majelis hakim ,
semua hakim menyampaikan pertimbangannya atau pendapatnya baik secara
lisan maupun tertulis. Jika terdapat perbedaan pendapat, maka diambil suara
terbanyak, dan pendapat yang berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan
(dissenting opinion).
9. Putusan Hakim.

13

Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang,
pada tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan
tersebut, penggugat dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding
dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat/
tergugat tidak hadir saat dibacakan putusan, maka Juru Sita Pengadilan Agama
akan menyampaikan isi/amar putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan
putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan diterima
oleh pihak yang tidak hadir itu.
E. UPAYA HUKUM
1.

Pengertian
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan
putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan
putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak
memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat
melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak
salah satu pihak.

2.

Macam Upaya Hukum
Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum
biasa dengan upaya hukum luar biasa.
a. Upaya hukum biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum
berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:
1) Perlawanan/verzet
2) Banding
3) Kasasi
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu
apabila putusan tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu atau uitboverbaar bij voorraad dalam pasal
180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja
eksekusi berjalan terus.
b. Upaya hukum luar biasa
Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi.
Mencakup:
1) Peninjauan kembali
2) Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap sita eksekutorial

14

Ad.a.1) Upaya Hukum Biasa: Perlawanan/verzet
Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat
(putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129
HIR. Verzet dapat dilakukan dalam tempo/tenggang waktu 14 hari
(termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek diberitahukan atau
disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):
1. Keluarnya putusan verstek.
2. Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh
lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8
hari; dan
3. Verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama
di wilayah hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya.
Ad.a.2) Upaya Hukum Biasa: Banding
Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak
puas terhadap putusan Pengadilan Agama. Dasar hukumnya adalah UU
No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan
banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No
20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1. Ada pernyataan ingin banding.
2. Panitera membuat akta banding.
3. Dicatat dalam register induk perkara.
4. Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling
lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5. Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat
mengajukan kontra memori banding.
Ad.a.3) Upaya Hukum Biasa: Kasasi
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi
adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua
lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan
banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang
ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:

15

1. Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk
melampaui batas wewenang;
2. Salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.

Ad.b.1) Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan
dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak
yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004].
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no
14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:
a. Ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya
diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana yang dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada
yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu
kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan
hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus
permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir
(pasal 70 UU no 14/1985).
Ad.b.2) Upaya Hukum Luar Biasa: Derden verzet
Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan
kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya
adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR.

16

Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya
suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak
penggugat dan tergugat) dan tidak mengikat pihak ketiga (tapi dalam hal
ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh sebab itu
dikatakan luar biasa).
Derden verzet diajukan ke Pengadilan Agama yang memutus
perkara tersebut pada tingkat pertama.

F. PELAKSANAAN PUTUSAN
Didalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu:
a. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.
b. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu
perubahan.
c. putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengkosongkan suatu
benda tetap.
d. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.
Selanjutnya dalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa
syarat yang harus diperhatikan antara lain:
1. putusan

telah

berkekuatan

hukum

tetap

kecuali

dalam

hal:

1) Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih
dahulu.
2) Pelaksanaan putusan provisi.
3) Pelaksanaan akta perdamaian.
4) Pelaksanaan Grose Akta.
2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia
telah diberi peringatan ( aan maning ) oleh ketua pengadilan agama.
3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan
deklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi.
4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan
tingkat petama, PTA tidak berwenang melaksanakan eksekusi. Sedangkan tata
cara sita eksekusi sebagai berikut:
a. ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan.
b. berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah
dikeluarkan apabila:

17



Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang
sah.



Tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa
peringatan.

c. dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
d. pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi:


Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi



Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai
saksi sita eksekusi.



Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita
acara sita eksekusi.



Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat:
a. Telah berumur 21 tahun
b. Berstatus penduduk Indonesia
c. Memiliki sifat jujur

e. sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi
f. membuat berita acara sita eksekusi yang memuat:
a. Nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi.
b. Merinci secara lengkap semua pekerjaan yang dilakukan
c. Berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi
d. Pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum,
untuk ikut menandatangani berita acara sita
e. Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu
segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada pelaksanaan penyitaan
tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera
diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya.
g. Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut:
a. Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada ditangan
tersita.
b. Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat
dilakukan penjualan lelang.
c. Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan ditempat dimana barang
itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkan ke tempat lain.
d. Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita.
e. Mengenai barang yang bisa habis pemakaian, maka tidak boleh
dipergunakan dan dinikmati oleh tersita.
h. Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi.

18

Referensi :
1.
2.
3.
4.

Kumpulan Peraturan Perundang-undangan
Kumpulan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Kumpulan Keputusan Mahkamah Agung RI
Prosedur beracara di Pengadilan yang diterbitkan oleh PTA Jawa Tengah bekerja
sama dengan pusat PengkajianHukum Islam dan Masyarakat
5. Dan lain-lain

19