Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga) T1 362008030 BAB II

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

1. Kebudayaan sebagai Sistem

Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan, dan perbuatan/ tindakan yang dibagikan diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.

Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh keseluruhan sistem sosialkarena keintiman hubungan timbal balik, kesejawatan dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi, dan bahkan oleh seluruh masyarakat.

Kebudayaan sebagai suatu konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa “keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu sendiritidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling berhubungan.

Kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk memenuhi anggota kebutuhan kelompokyang diwujudkan dalam proses yang


(2)

disebut “adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka. (Aloliliweri, 2001: 4-5) 2. Pengertian dan Sifat Komunikasi

Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama.

Ada dua bentuk simbol yakni verbal dan nonverbal. Manusia melahirkan pikiran, perasaan dan perbuatan melalui ungkapan kata-kata yang kita sebut verbal. Kalau kata-kata itu diucapkan disebut verbal vokal, kalau dengan tulisan disebut verbal-visual. Selain itu, ada juga simbol nonverbal untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perbuatan yang disampaikan bukan dengan kata-kata, melainkan dengan memakai gerakan-gerakan anggota tubuh, ekspresi wajah, pakaian, waktu dan ruang/jarak fisik dan lain-lain. Tindakan komunikasi seperti itu yang merupakan sifat utama dari komunikasi antarpribadi, yakni: 1) komunikasi antarpribadi merupakan proses yang bersifat dinamis; 2) menampilkan perilaku simbolis; 3) mendatangkan tanggapan; 4) menampilkan gejala tentang adanya penerima; dan 5) komunikasi antarpribadi bersifat kompleks. (Aloliliweri, 2001: 5-6).


(3)

2.1. Komunikasi Antarpribadi sebagai Proses Dinamis

Komunikasi antarpribadi disebut proses dinamis karena setiap peristiwa komunikasi diwarnai oleh tindakan aktif dari para pelaku komunikasi selama proses tersebut berlangsung. Aktivitas itu ditandai oleh berbagai perilaku yang berkesinambungan, ada aksi dan reaksi, ada respon timbal balik.

Sebagai contoh, Tuhan telah memberikan kepada setiap orang kemampuan untuk bercakap-cakap dalam kegiatan berkomunikasi tatap muka. Tuhan pun memberi kemampuan lain bagi manusia, misalnya kemampuan indrawi sehingga pada saat bercakap-cakap manusia pun bisa saling memandang, mendengarkan, memikirkan sesuatu, serta menggerakkan badan.

Komunikasi selalu menggambarkan keberadaan setiap manusia yang memiliki “kehidupan bersama” dalam suatu arena sosial. Arena sosial itu terbentuk karena hubungan sosial budaya antarmanusia yang diwujudkan melalui bentuk komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok atau komunikasi massa. Itulah dinamika komunikasi antarpribadi.

2.2. Komunikasi Antarpribadi Berwujud Perilaku Simbolis

Komunikasi antarpribadi berwujud perilaku simbolis karena pesan-pesan komunikasi dinyatakan dalam simbol-simbol verbal dan nonverbal yang mewakili gagasan tertentu. Proses menghasilkan kode-kode simbolis yang biasa dilakukan manusia itu dinamakan encoding yang berwujud


(4)

perilaku. Setiap perilaku manusia yang ditampilkan secara sadar maupun tidak sadar selalu berkaitan dengan fungsi simbol yakni memindahkan dan menukar simbol agar dapat diberi makna bersama.

Perilaku simbolis merupakan satu unsur yang pentingdalam komunikasi apalagi kalau komunikasi itu terjadi diantara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan. Berhubung setiap kebudayaan mengajarkan kepada para anggotanya prinsip, bentuk, jenis dan fungsi simbol maka dapat diduga seberapa jauh efektivitas komunikasi di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan.

2.3. Komunikasi Antarpribadi menghasilkan Tanggapan dan Penerima

Manusia bisa mengirim simbol-simbolverbal dan nonverbal namun harus ada manusia yang bersedia menerima simbol-simbol itu, kalau tidak ada penerima maka komunikasi antarpribadi tidak ada yang berhasil. Sebagaimana proses komunikasi yang dimulai dari penerjemahan simbol, encoding, maka si penerima pun akan menerjemahkan pesan itu ke dalam kode tertentu yang prosesnya disebut decoding. Jadi, decoding menunjukkkan suatu dampak komunikasi antarpribadi yaitu menghasilkan tanggapan. Komunikasi antarbudaya pun demikian.

Dia harus bersumber dari seorang komunikator dari satu kebudayaan tertentu dan pesan simbolis itu diterima oleh komunikan dari kebudayaan yang lain.


(5)

2.4. Komunikasi Antarpribadi Bersifat Kompleks

Komunikasi antarpribadi bersifat kompleks karena proses komunikasi dipengaruhi oleh banyak variabel. Contoh, setiap perilaku komunikator dan komunikan dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis, psikologis, sosiologis, dan antropologis. Demikian pula dengan faktor-faktor lain yang menentukan pemilihan media, penyusunan pesan, mengeliminasi hambatan, serta faktor konteks yang merupakan situasi lahir dan batin tempat terselenggaranya komunikasi. Dalam proses komunikasi antarbudaya keadaan kompleksitas semakin tinggi mengingat jumlah perbedaan faktor-faktor pembentuk budaya lebih banyak dan lebih bervariasi.

Kita bisa menarik kesimpulan bahwa kebudayaan dan komunikasi mempunyai hubungan timbal balik. Hubungan pertama menunjukkan kebudayaan menentukan perilaku komunikasi, dan kedua, tanpa komunikasi maka setiap kebudayaan menjadi tidak berarti. Karena seluruh proses pertukaran, pengalihan norma, dan nilai budaya hanya dapat dilakukan melalui kebudayaan yang menghasilkan suatu pewarisan nilai, perluasan, pemahaman atas nilai oleh para anggota kebudayaan.

3. Globalisasi Budaya

Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh


(6)

aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.

Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa

Marshall McLuhan pelopor jargon desa global dalam bukunya Understanding Media, 1964 mengatakan:

“Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned.”

Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologikomunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Konsep ini berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan teknologi media massa.

McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari penyebaran informasi yang sangat cepat dan massive di masyarakat. Penyebaran


(7)

yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi di bidang tayangan televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional program-program televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak terbendung.

Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal.

Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita.

Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh.


(8)

Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapimenurut Simon Kemoni, dalam proses ini negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.

Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi hingga ke taraf dunia atau lingkup global (Hutagalung,2007:4). Global pop culture ( film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai ideologi dari negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawari. Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera terhadap budaya pop tertentu yang dapat mengancam eksistensi budaya dan identitas masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi


(9)

budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga menyebabkan kita kehilangan karakteristik.

Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batas-batas geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak boleh semena-mena men-judge negatif kehadiran globalisasi di tengah arus modernitas. Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika kehadirannya menimbulkan bermacam-macam kesempatan yang baik bagi individu dan masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas, kesempatan untuk keluar dari feodalisme, dan membukan diri terhadap nilai-nilai modernitas. Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.

Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia.Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari


(10)

Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow eksporter program televisi dari berbagai belahan dunia (Badruddin,2006:77).

4. Identitas

Identitas sangatlah penting. identitas membantu masyarakat luas untuk bisa mengenal individu atau kelompok baik dari segi budaya, agama, ataupun politik dan berbagai aspek kehidupan yang lain. Identitas juga bisa memandu seseorang dalam memilah perjalanan dari tujuan hidupnya, mislanya seseorang yang ingin masuk di sebuah komunitas, maka orang tersebut harus mengenal identitas komunitas itu, dengan demikian maka untuk selanjutnya apabila sudah mengenal dan mengerti tentang karakteristik komunitas tersebut dia bisa akan tetap masuk apabila komunitas tersebut poistif, sebaliknya akan meninggalkan apabila komunitas tersebut negatif.

4.1.Pengertian Identitas Individual

Identitas individual adalah identitas atau jati diri yang dimiliki seseorang yang ia dapat sejak ia lahir maupun dari proses interaksi yang dialami mulai dari lahir. Contoh : seorang gadis desa tidak berani membangkang perintah ibu atau bapakna sehingga ia dijuluki sebagai gadis penurut. Penurut adalah identitas individual dari gadis desa itu, sebab tidak semua gadis desa adalah seorang anak yang penurut terhadap orang tua.


(11)

Identitas komunal adalah jati diri atau suatu karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri dari suatu kelompok atau koloni yang menunjukkan secara utuh tentang kepribadian koloni itu. contoh: anak punk dengan gayanya yang serba hitam dan identitas dengan alkohol, jalanan dan pergaulan bebas merupakan identitas dari koloni anak punk tersebut. Hal-hal itu adalah pembeda antara koloni anak punk dengan koloni atau kelompok lain.

4.2. Pengertian identitas budaya

Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga merupakan keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.

Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi Budaya atau kebudayaan berasaldari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culturejuga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Jadi, pengertian dari identitas budaya adalah suatu karakter yang melekat dalam


(12)

suatu kebudayaan sehingga bisa dibedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

5. Budaya Populer

Sebelum membahasmengenaiartibudayapop,penulismerasaperluuntuk mendefinisikanistilahbudayasecaraumum terlebihdahulu.Penulismengutipdari pendapatRaymondWilliamsyangterdapatdalam bukukaryaJohnStorey (1993:3),yang menyebutkanbahwabudayasecaraumum memilikitigaarti.Artiyangpertamaadalah

suatuprosesumumperkembanganintelektual, spiritualdanestetis. Kedua,budaya merupakan pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Sedangkan artiketiga daribudayamenurutWilliamsadalahkaryadanpraktek-praktek intelektual, terutama aktivitas artistik.

Budaya pop seringkali dikontraskan dengan budaya tinggi. Batas-batas kultural tinggi-rendah akhirnya mereproduksi budaya populer yang dianggap sebagai ”inferioritas”. Argumen tersebut cenderung memandang budaya yang berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif. Dasar pemikirannya adalah budaya massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik karena tidak diproduksi oleh orang kebanyakan, dan bersifat manipulatif karena tujuan utamanya adalah supaya laku dijual. Budaya pop juga akhirnya memunculkan istilah ”Industri Budaya” untuk menunjukkan bahwa budaya tersebut tidak bisa lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis.


(13)

Menurut Storey, apabila berbicara mengenai budaya pop, berarti menggabungkan makna kedua dan maknaketiga di atas. Dalambukunya Storey mengemukakan bahwa makna kedua pandangan hidup tertentu memungkinkan kita untuk berbicara denganpraktek-praktek,sepertiliburankepantai,perayaan Natal,danaktivitas pemudastrukturalsebagaicontoh-contoh budayanya. Semua hal ini biasanya disebutsebagaibudaya-budayayanghidup (livedcultures) ataubisadisebutjuga sebagai praktek-praktek budaya. Makna ketigapraktek kebermaknaanmemungkinkan kita membahas tentang opera sabun, musik pop dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-teks budaya. (Storey, 1993: 3).

Budaya populer, atau budaya pop, adalah budaya rakyat yang berlaku di masyarakat manapun. Isi dari budaya pop ditentukan oleh interaksi sehari-hari, kebutuhan dan keinginan, dan waktu kebudayaan yang membentuk patokandalam kehidupansehari-hari.Halinibisatermasukbeberapakegiatan, termasuk yang berhubungan dengan memasak, media masa dan bidang-bidang hiburan seperti olahragadankesusastraan.Hampirsamadengandefinisibudayapopdiatas,dalam bukuyangdisusunStorey juga disebutkanBudaya pop adalah budaya yang berasal dari “rakyat”. Budaya pop adalah budaya otentik“rakyat”.Budayapopsepertihalnyabudayadaerahmerupakanbudaya dari rakyat untuk rakyat. (Storey, 1993: 17-18)

6. Gaya hidup

Gaya hidup menurut Kotler (2002:21) adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup


(14)

menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat disekitarnya. Atau juga, gaya hidup adalah suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Cara berpakaian, konsumsi makanan (kuliner), berperilaku, cara bekerja, dan bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya. Chaney (2009: 15) memberikan definisi gaya hidup sebagai ”pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia modern. Gaya hidup adalah seperangkat praktek dan sikap yang masuk akal dalam konteks waktu”. Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena memang, gaya hidup seseorang hanya dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Konsumsi tidak hanya mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televisi hingga mobil, tetapi juga mengkonsumsi jasa, seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai pengalaman sosial.


(15)

Gaya hidup dapat dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap dan nilai dari seseorang. Namun, ketika satu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai suatu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata-mata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi suatu identitas yang diadopsi oleh sekelompok orang. Sebuah gaya hidup bisa menjadi populer dan diikuti oleh banyak orang. Mereka tak segan-segan mengikutinya jika dianggap baik oleh banyak orang (Hujatnikajennong,2006:37).

7. Remaja

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia Remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Remaja menurut BKKBN adalah penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut WHO adalah penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 15- 24 tahun ( BKKBN, 2003).

Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif (Soetjiningsih, 2004:85). Batasan remaja menurut WHO: Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan


(16)

kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati sebagai berikut:

a. Masa remaja awal /dini (Early adolescence) umur 11 – 13 tahun. b. Masa remaja pertengahan (Middle adolescence) umur 14 -16 tahun. c. Masa remaja lanjut (Late adolescence) umur 17 – 20 tahun.

(Soetjiningsih, 2004:85)

Tabel 1 Tahapan perkembangan remaja. Sumber : Dikutip dari PPFA, Adolescence Sexuality, 2001.

Tahapan Remaja Laki-laki Perempuan Umur (tahun) Umur (tahun) Pra remaja

Remaja Awal Remaja Menangah Remaja Akhir

<11

9-13 13-16

> 16

< 11 11-14 14-17 > 17

Dalam lingkungan sosial tertentu, masa remaja bagi pria merupakan saat diperolehnya kebebasan. Sementara untuk remaja wanita merupakan saat mulainya segala bentuk pembatasan. Menurut ciri perkembangannya masa remaja dibagi menjadi tiga periode:

1) Masa Remaja Awal ( 10-12 tahun), Ciri khasnya : a) Lebih dekat dengan teman sebaya.

b) Ingin Bebas

c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. 2) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun), ciri khasnya :


(17)

a) Mencari identitas diri.

b) Timbulnya keinginan untuk kencan. c) Punya rasa cinta yang mendalam

d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. e) Berkhayal tentang aktivitas seks.

3) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun), ciri khasnya : a) Pengungkapan kebebasan diri.

b) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya. c) Punya citra jasmani diri.

d) Dapat mewujudkan rasa cinta. e) Mampu berfikir abstrak. (BKKBN, 2003)

8. Komunitas

Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values (Kertajaya Hermawan, 2008:28). Proses pembentukannya bersifat horisontal karena dilakukan oleh individu-individu yang kedudukannya setara.

Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002:18). Kekuatan pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara


(18)

fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis. Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya.

9. Interpretivisme Simbolik 9.1.Interpretasi dan Simbol

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di


(19)

sepanjang kode genetik itu sendiri (Geertz 1973). Jadi, menjadi manusia berarti berkebudayaan.

9.2.Bermula dari Antropologi Simbolik

Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan interpretive sering kali dihubungkan dengan konsep simbol, terlebih setelah Geertz mengembangkan versi pendekatan interpretifnya sendiri. Pada mulanya pendekatan ini disebut antropologi simbolik, yang kelak disebut saling mengganti dengan interpretivisme simbolik karena penekanan yang berbeda. Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran kajian yang penting dalam antropologi dan disiplin-disiplin lain. Susanne Langer (1951) misalnya, melihatnya sebagai tren yang berubah dalam aktivitas intelektual manusia modern.

Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara eksplisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19, misalnya menulis : “kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung


(20)

menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial.

Leslie White (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol-simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya dalam makna abstrak. Cassier menunjuk geometric sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Namun, sistem abstrak ini bisa diterapkan untuk membangun masalah-masalah. Cassier mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini. Tatkala antropolog mulai mengembangkan suatu perspektif kebudayaan sebagai suatu sistem simbol, makna dan nilai-nilai, berbagai subdisiplin antropologi yang menggunakan orientasi ini bermunculan. Dua diantaranya adalah antropologi semiotic (kajian tentang tanda) dan antropologi simbolik. Seringkali, kajian


(21)

semiotik dikelompokkan bersama dengan antropologi simbolik, dimana tanda dan simbol dibicarakan bersama-sama.

Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Simbol pohon Mudyi pada orang Ndembu, Zambia, Afrika, dari Viktor Turner (1967) adalah salah satu contoh yang penting. Suatu simbol menstimulasi atau membawa sutau pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Charles Pierce, peletak dasar disiplin semiotik modern, mengidentifikasi tiga tipe tanda : (1) tanda ikonik yang mencerminkan objeknya dalam hal tertentu (palang salib adalah tanda ikonik, yang menyampaikan gagasan dan makna kekristenan); (2) tanda indeks yang secara fisik terkait dengan objeknya (misalnya bendera dipasang setengah tiang berarti ada orang penting meninggal) ; dan (3) simbol-simbol seperti bahasa yang berarti bagi objeknya karena ditafsirkan sedemikian melalui kesepakatan dan penggunaan. Sebagian kajian sistem simbol dan tanda memusatkan perhatian kepada logika internal. Yang lain, biasanya yang tidak terkait dengan linguistik, menekankan tindakan sosial dan konteks sosial dari tanda dan simbol tersebut ketika mereka menghubungkannya dengan sistem perilaku dan nilai-nilai suatu kebudayaan suatu masyarakat.

Antropologi simbolik memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan perilaku selain gagasan dan


(22)

nilai-nilai. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu model dari manusia sebagai spesies yang menggunakan simbol, berbeda misalnya dengan teori materialisme kebudayaan yang berlandaskan pandangan bahwa manusia adalah spesies yang memproduksi. Kedua model ini mengakui eksistensi aspek materi maupun aspek mental dari keberadaan manusia, tetapi masing-masing model memandang satu sama lain dari perspektifnya sendiri. defenisi simbolik dari kebudayaan adalah kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang memandang kebudayaan sebagai ilmu mengenai makna-makna. Antropolog simbolik mengkaji sistem kode dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka dengan manusia lain dan dengan dunia alamiah. Seluruh semesta dipenuhi tanda-tanda. Apabila benar bahwa semua makhluk berkomunikasi dengan bentuk tanda dan simbol, maka antropologi simbolik sesungguhnya melakukan kajian yang universal dalam ruang lingkupnya.

Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa, suatu sistem simbol. Kata-kata mengandung makna atau nama yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Kata-kata adalah persepsi konseptual mengenai dunia, dunia yang terkandung dalam simbol-simbol. Simbol-simbol kata, bahasa sesuai bagi suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Kata planet berarti sesuatu yang berbeda pada abad pertama daripada maknanya pada abad kini. Linguistik, kajian mengenai bahasa, telah memberikan kepada antropolog simbolik teknik-teknik untuk mengungkapkan dan memahami kode-kode yang merepresentasikan kompleks motif, pengalaman dan pengetahuan yang membentuk dan mengekspresikan keyakinan dan tindakan.


(23)

Jadi linguistik adalah pendahulu histories bagi antropologi simbolik. Victor Turner (1975) mengelompokkan antropolog simbolik menjadi dua: (1) kelompok yang memusatkan perhatian pada sistem abstrak yang meliputi ahli linguistik, strukturalis, dan antropolog kognitif (mereka memusatkan perhatian perhatian pada analisis formal dan kurang memperhatikan isi ketimbang metode dan logika), dan (2) kelompok yang memusatkan perhatian pada simbol dan kelompok dinamika sosial, yang meliputi antropolog semiotik dan simbolik, sosiolinguistik, fokloris, dan kritikus sastra (mereka memperpadukan analisis formal dengan isi, dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial.

Clifford Geertz menekankan bahwa antropolog seharusnya bergeser dari upaya melakukan eksplanasi menjadi upaya menemukan makan dan memandang penting simbol dalam penelitian antropologi. Ia menekankan signifikansi konteks sosial sebagai unsur yang amat penting dalam memahami makna simbol. Ia mengusulkan agar antropolog mengalihkan perhatian dari meneliti tanda dan simbol dalam abstraksi “kepenelitian tentang tanda dan simbol dalam habitat alamiahnya-dunia alamiah dimana manusia melihat, memberi nama, mendengar dan membuat” (1983;119)

9.3.Interpretivisme Simbolik sebagai Paradigma

Antropologi simbolik berlaku atas dasar konsep bahwa manusia adalah hewan pertama pencari makna yang menggunakan simbol. Interpretivisme simbolik adalah “kajian mengenai istilah-istilah dasar yang dengannya kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan mengenai bagaimana istilah-istilah dasar ini digunakan oleh manusia untuk membangun


(24)

suatu metode kehidupan bagi diri mereka sendiri . Interpretivisme simbolik memandang penting emik demi kepentingan data itu sendiri. Menurut Dolgin, Kemnitzer, dan Schneider (1997:34) “yang mendasar bagi kajian antropologi simbolik adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka. Membandingkan realitas emik dan etik bukanlah misi antropologi simbolik. Yang kita perhatikan bukanlah apakah pandangan yang dimiliki orang-orang yang kita teliti akurat atau tidak akurat dalam pengertian ilmiah. Dalam tindakan sosial, yang nyata harus dipandang sebagai nyata.

Sasaran pokok dari Interpretivisme simbolik adalah untuk mengungkap jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari keberadaan manusia termasuk hakekat dan makna kehidupan selain cara-cara bagaimana identitas manusia didefinisikan dan diperlihara dan kemudian menerjemahkan jawaban-jawaban itu menjadi konsep-konsep yang dapat dipahami bagi peneliti. Jadi menurut Geertz “sasaran antropologi adalah perluasan universe dari wacana manusia. Geertz menyatakan bahwa “analisis kebudayaan adalah menduga-duga makna, menilai dugaan-dugaan itu, dan menggambarkan kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris dari dugaan-dugaan yang lebih baik”. Namun dengan pengecualian beberapa konsep yang sangat umum antropologi simbolik tidak menentukan secara spesifik prinsip-prinsip apa yang mereka gunakan ketika berusaha membangun kesimpulan-kesimpulan eksplanatorois (1973:20).

Selain itu ada asumsi-asumsi dan konsep-konsep lain yang juga diasosiasikan dengan antropologi simbolik. Pertama adalah konsep Victor Turner (1969) mengenai karakter simbol “multivokalik”, atau kemampuan simbol untuk


(25)

mempresentasi beberapa makna yang berbeda-beda sekaligus. Yang lain adalah konsep yang juga terkenal dari Turner, yakni karakter prosesual dari sistem sosial. Antropologi simbolik berasumsi bahwa simbol memainkan peranan penting dalam proses sosial budaya. Turner misalnya berpendapat bahwa “bahkan pada masyarakat yang paling sederhana, perbedaan antara struktur (keteraturan hierarki dari status dan peranan sosial, politik dan ekonomi) dan komunitas (komunion orang-orang individual yang langsung, tanpa perantara dan tidak berstruktur) ada dan memperoleh ekspresi simbolik dalam atribut-atribut kebudayaan dari liminalitas, marginalitas dan inferioritas dan bahwa jika dilihat bersama-sama, struktur dan komunitas menunjukkan kondisi manusia yang memandang hubungan manusia dengan manusia lainnya (1969 : 30).

Eksplanasi yang ditawarkan oleh antropolog simbolik jelas interpretif. Bagi Geertz (1973:5), analisis kebudayaan bukanlah ilmu eksperimental dalam mencari hukum, melainkan interpretif dalam mencari makna. Mengetahui dan memahami realitas emik diperlukan dalam pendekatan interpretif. Menurut Geertz “memahami bentuk dan isi kehidupan internal masyarakat yang kita teliti mirip seperti mengetahui dan memahami peribahasa, menangkap ilusi, atau mendengarkan lelucon. Dalam hal itu, antropolog simbolik mirip dengan strukturalisme, yang juga menawarkan eksplanasi interpretif, namun jelas berbeda dari materialisme kebudayaan, yang menawarkan eksplanasi kausal.

9.4.Gelombang Kritik

Banyak kritik bahkan banyak diantaranya dari kalangan antropologi simbolik sendiri dilontarkan terhadap keyakinan bahwa pendekatan ilmiah dan interpretif


(26)

secara mutual eksklusif. Paul Shankman (1984:261), misalnya mengklaim bahwa sisi pragmatik karya Geertz adalah upaya untuk memfokuskan kembali antropologi yang juga bisa berarti semua ilmu sosial lain jauh dari pengaruh ilmu-ilmu alamiah dan menuju re-integrasi dengan bidang-bidang humanitas. Memang benar bahwa antropologi simbolik memperoleh lebih banyak inspirasi dari seni dan humanitas daripada ilmu-ilmu alamiah, sebagaimana dikatakan Scholte (1984:542), tetapi meskipun validitas dari eksplanasi interpretif pada umumnya dipandang agak lemah, tidak ada alasan yang mendasar bahwa eksplanasi interpretif tidak dapat memenuhi standar ilmiah dari verifikasi. Selama eksplanasi interpretif itu sistematik, konsisten, koheren, bisa direplikasi, dapat dibuktikan, maka eksplanasi ini ilmiah.

Kelemahan esensial dari antropologi simbolik bukanlah karena ia tidak berhasil memperhitungkan sebab musabab pikiran dan perilaku manusia, seperti yang dilakukan materialisme kebudayaan. Melainkan, kurangnya pedoman teoritis dan metodologis yang eksplesit. Ada tiga masalah kelemahan teoritis dan metodologis antropologi simbolik. Pertama, ada masalah replikabilitas. Jika orang kurang memahami pandangan imajinatif Clifford Geertz, bagaimana mungkin ia melakukan penelitian di bawah paradigma antropologi simbolik? Dalam kenyataan Geertz (1983:11) mengemukakan bahwa orang-orang yang ingin melakukan analisis simbolik sebenarnya hanya perlu mempelajari metodologinya sendiri karena praktek yang sukses dari pendekatan interpretif adalah seperti naik sepeda yang lebih mudah dilakukan daripada hanya dikatakan. Dalam kritiknya terhadap antropologi simbolik, Ranner mengatakan bahwa “tak adanya teori dan


(27)

metodologi yang meyakinkan secara empiris mengandung konsekuensi bahwa fakta tak ada program yang memberikan arah bagaimana penelitian seharusnya dilakukan.

Kedua, ada masalah verifikasi, suatu hal yang diakui oleh antropolog simbolik. Geertz dengan cermat mengamati bahwa “suatu kelemahan pendekatan interpretif adalah bahwa pendekatan ini cenderung resistan, atau memiliki peluang untuk resistan, terhadap artikulasi konseptual dan oleh sebab itu dari mode-mode sistematik penilaian”. Malahan para kritikus Geertz yang simpatik mengakui adanya kekuarangan paradigma interpretif ini. Richardson (1984;275), misalnya menulis bahwa “patut kita ketahu, ilmu sosial interpretif itu memiliki resiko sendiri menjadi terlalu cermat, jelimet, menyebabkan interpretasi tebal menjadi padat. Maka isu verifikasi menjadi penting.

Aspek ketiga dari masalah kekurangan teoritis ini adalah kecenderungan archinductivism dalam antropologi simbolik. Antropologi simbolik kerap kali keliru dalam berasumsi bahwa akumulasi semata-mata data emik akan menunjukkan prinsip-prinsip teoritis yang signifikan yang mengeksplanasi kesamaan lintas budaya.”Tugas rangkap antropologi simbolik, yakni menganalisis unsur-unsur simbolik dari ranah semantic emik dan mengonstruksi prinsip-prinsip analitis untuk menjelaskan proses-proses etik kebudayaan. Antropologi simbolik tidak menyempurnakan tugas tersebut, tetapi cukup adil kalau dikatakan bahwa antropologi simboliklah yang telah memulai dengan baik, meski sebahagian kritik menuduh bahwa antropolog interpretif akhir-akhir ini telah menyimpang dari tugas tersebut (Shankman, 1984:269). Suatu masalah yang juga sering kali


(28)

diperdebatkan adalah konsep konteks dalam pendekatan Geertz. Barbara Frankel (1986), misalnya mengemukakan bahwa konteks adalah konsep yang sukar dan longgar, dan berakhir. Sebagaimana ilmuwan sosial yang lain lebih suka menempuh jalan moderat. Mereka mengemukakan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai ketepatan maksimum dalam menginterpretasi tindakan sosial adalah membatasi satuan pengamatan menjadi ranah yang sempit, pengkajian berskala kecil, dan mengkajinya semaksimum mungkin. Akan tetapi, tampaknya antropolog interpretif masih berhadapan dengan suatu masalah lain yang serius, yakni generalisasi, suatu tingkatan kesimpulan yang diidam-idamkan oleh semua ilmu pengetahuan. Dalam upaya mencapai generalisasi ini, sebagian disiplin ilmu sosial yang lain menempuh jalan mereduksi fenomena-fenomena sosial menjadi angka statistik. Mereka mengemukakan bahwa cara statistic dan numeric menawarkan ruang lingkup yang lebih luas dan memungkinkan untuk membangun generalisasi. Tapi, sebagaimana dikemukakan Frankel (1986), reduksionisme cenderung hanya menggambarkan pola-pola dan struktur-struktur fenomena sosial daripada mengungkapkan sebab-musabab dan proses. Interpretivisme simbolik memperoleh tempat yang penting dalam pemikiran postmodernisme ilmu-ilmu sosial semenjak akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 ini. Gagasan tentang kebudayaan sebagai simbol, dan simbol adalah bersifat public, memberikan alternatif yang penting bagi memahami kebudayaan dan masyarakat melalui tindakan sosial, praktik sosial dan makna. Di Amerika Serikat, Clifford Geertz mulai mengembangkan gaya interpretivismenya sendiri. Antropologi di tangannya membuat analogi linguistik dikesampingkan.


(29)

Kebudayaan tidak lagi merupakan “tata bahasa” metaforis yang digambarkan dan ditulis, kebudayaan adalah bahasa-bahasa yang diterjemahkan menjadi konsep-konsep yang masuk akal bagi anggota-anggota kebudayaan-kebudayaan lain atau lebih kerap dari tidak, kebudayaan antropolog sendiri (Barnard, 2000:158). Beberapa karakteristik paradigma interpretivisme simbolik, atau hingga tahun 1980-an sering kali disebut juga antropologi simbolik, diuraikan sebagai berikut :

1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia.

2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paling mempu menggunakan dan memaknai simbol.

3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar : a) apa makna (signifikansi) identitas manusia b) apa signifikansi makna dari operasional sistem sosial manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut manusia mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai, dan bersikap terhadap kehidupan.

4. Paradigma ini didorong oleh suatu isu sentral : masalah universal yang konkret. Paradigma (berupaya) mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi ilustrasi dari yang universal.

5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk memandang diri kita sendiri sebagaimana manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia untuk membangun diri mereka sendiri sebagi mode kehidupan.


(30)

6. Mengacu kepada konteks perceptual dari pengalaman yakni cara-cara manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara yang digunakan manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri dan dunia mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini mempresentasi upaya untuk mengungkapkan diversitas cara-cara manusia mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan.

7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.

8. Membandingkan “realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini. Perhatian kita bukanlah pada, apakah pandangan suatu masyarakat akurat secara “ilmiah”. Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan dalam penelitian, melainkan mempersiapkan diri kita untuk menjawab pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga masyarakat yang dikaji yang berarti melibatkan mereka, pandangan mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral dalam jawaban kita.

9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami bagaimana kita memahami pemahaman yang bukan pemahaman kita.

10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia termasuk hakikat dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia didefinisikan dan dipelihara.


(31)

10. Kerangka Pikir

GLOBALISASI

MEDIA MASSA PECINTA K-POP

(BUDAYA POPULER)

KOMUNITAS WCC KOREA

LOVERS SALATIGA

GAYA HIDUP - Bahasa - Fashion - Musik - Nilai-nilai

moral

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

KOMUNIKASI BUDAYA REMAJA (KOREA

LOVERS)

IDENTITAS K-POP

K-DRAMA K-FILM


(1)

secara mutual eksklusif. Paul Shankman (1984:261), misalnya mengklaim bahwa sisi pragmatik karya Geertz adalah upaya untuk memfokuskan kembali antropologi yang juga bisa berarti semua ilmu sosial lain jauh dari pengaruh ilmu-ilmu alamiah dan menuju re-integrasi dengan bidang-bidang humanitas. Memang benar bahwa antropologi simbolik memperoleh lebih banyak inspirasi dari seni dan humanitas daripada ilmu-ilmu alamiah, sebagaimana dikatakan Scholte (1984:542), tetapi meskipun validitas dari eksplanasi interpretif pada umumnya dipandang agak lemah, tidak ada alasan yang mendasar bahwa eksplanasi interpretif tidak dapat memenuhi standar ilmiah dari verifikasi. Selama eksplanasi interpretif itu sistematik, konsisten, koheren, bisa direplikasi, dapat dibuktikan, maka eksplanasi ini ilmiah.

Kelemahan esensial dari antropologi simbolik bukanlah karena ia tidak berhasil memperhitungkan sebab musabab pikiran dan perilaku manusia, seperti yang dilakukan materialisme kebudayaan. Melainkan, kurangnya pedoman teoritis dan metodologis yang eksplesit. Ada tiga masalah kelemahan teoritis dan metodologis antropologi simbolik. Pertama, ada masalah replikabilitas. Jika orang kurang memahami pandangan imajinatif Clifford Geertz, bagaimana mungkin ia melakukan penelitian di bawah paradigma antropologi simbolik? Dalam kenyataan Geertz (1983:11) mengemukakan bahwa orang-orang yang ingin melakukan analisis simbolik sebenarnya hanya perlu mempelajari metodologinya sendiri karena praktek yang sukses dari pendekatan interpretif adalah seperti naik sepeda yang lebih mudah dilakukan daripada hanya dikatakan. Dalam kritiknya terhadap antropologi simbolik, Ranner mengatakan bahwa “tak adanya teori dan


(2)

metodologi yang meyakinkan secara empiris mengandung konsekuensi bahwa fakta tak ada program yang memberikan arah bagaimana penelitian seharusnya dilakukan.

Kedua, ada masalah verifikasi, suatu hal yang diakui oleh antropolog simbolik. Geertz dengan cermat mengamati bahwa “suatu kelemahan pendekatan interpretif adalah bahwa pendekatan ini cenderung resistan, atau memiliki peluang untuk resistan, terhadap artikulasi konseptual dan oleh sebab itu dari mode-mode sistematik penilaian”. Malahan para kritikus Geertz yang simpatik mengakui adanya kekuarangan paradigma interpretif ini. Richardson (1984;275), misalnya menulis bahwa “patut kita ketahu, ilmu sosial interpretif itu memiliki resiko sendiri menjadi terlalu cermat, jelimet, menyebabkan interpretasi tebal menjadi padat. Maka isu verifikasi menjadi penting.

Aspek ketiga dari masalah kekurangan teoritis ini adalah kecenderungan archinductivism dalam antropologi simbolik. Antropologi simbolik kerap kali keliru dalam berasumsi bahwa akumulasi semata-mata data emik akan menunjukkan prinsip-prinsip teoritis yang signifikan yang mengeksplanasi kesamaan lintas budaya.”Tugas rangkap antropologi simbolik, yakni menganalisis unsur-unsur simbolik dari ranah semantic emik dan mengonstruksi prinsip-prinsip analitis untuk menjelaskan proses-proses etik kebudayaan. Antropologi simbolik tidak menyempurnakan tugas tersebut, tetapi cukup adil kalau dikatakan bahwa antropologi simboliklah yang telah memulai dengan baik, meski sebahagian kritik menuduh bahwa antropolog interpretif akhir-akhir ini telah menyimpang dari tugas tersebut (Shankman, 1984:269). Suatu masalah yang juga sering kali


(3)

diperdebatkan adalah konsep konteks dalam pendekatan Geertz. Barbara Frankel (1986), misalnya mengemukakan bahwa konteks adalah konsep yang sukar dan longgar, dan berakhir. Sebagaimana ilmuwan sosial yang lain lebih suka menempuh jalan moderat. Mereka mengemukakan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai ketepatan maksimum dalam menginterpretasi tindakan sosial adalah membatasi satuan pengamatan menjadi ranah yang sempit, pengkajian berskala kecil, dan mengkajinya semaksimum mungkin. Akan tetapi, tampaknya antropolog interpretif masih berhadapan dengan suatu masalah lain yang serius, yakni generalisasi, suatu tingkatan kesimpulan yang diidam-idamkan oleh semua ilmu pengetahuan. Dalam upaya mencapai generalisasi ini, sebagian disiplin ilmu sosial yang lain menempuh jalan mereduksi fenomena-fenomena sosial menjadi angka statistik. Mereka mengemukakan bahwa cara statistic dan numeric menawarkan ruang lingkup yang lebih luas dan memungkinkan untuk membangun generalisasi. Tapi, sebagaimana dikemukakan Frankel (1986), reduksionisme cenderung hanya menggambarkan pola-pola dan struktur-struktur fenomena sosial daripada mengungkapkan sebab-musabab dan proses. Interpretivisme simbolik memperoleh tempat yang penting dalam pemikiran postmodernisme ilmu-ilmu sosial semenjak akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 ini. Gagasan tentang kebudayaan sebagai simbol, dan simbol adalah bersifat public, memberikan alternatif yang penting bagi memahami kebudayaan dan masyarakat melalui tindakan sosial, praktik sosial dan makna. Di Amerika Serikat, Clifford Geertz mulai mengembangkan gaya interpretivismenya sendiri. Antropologi di tangannya membuat analogi linguistik dikesampingkan.


(4)

Kebudayaan tidak lagi merupakan “tata bahasa” metaforis yang digambarkan dan ditulis, kebudayaan adalah bahasa-bahasa yang diterjemahkan menjadi konsep-konsep yang masuk akal bagi anggota-anggota kebudayaan-kebudayaan lain atau lebih kerap dari tidak, kebudayaan antropolog sendiri (Barnard, 2000:158). Beberapa karakteristik paradigma interpretivisme simbolik, atau hingga tahun 1980-an sering kali disebut juga antropologi simbolik, diuraikan sebagai berikut :

1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia.

2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paling mempu menggunakan dan memaknai simbol.

3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar : a) apa makna (signifikansi) identitas manusia b) apa signifikansi makna dari operasional sistem sosial manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut manusia mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai, dan bersikap terhadap kehidupan.

4. Paradigma ini didorong oleh suatu isu sentral : masalah universal yang konkret. Paradigma (berupaya) mencerminkan yang universal seolah-olah keluar dari yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi ilustrasi dari yang universal.

5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk memandang diri kita sendiri sebagaimana manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia untuk membangun diri mereka sendiri sebagi mode kehidupan.


(5)

6. Mengacu kepada konteks perceptual dari pengalaman yakni cara-cara manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara yang digunakan manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri dan dunia mereka. Pada analisis terakhir, paradigma ini mempresentasi upaya untuk mengungkapkan diversitas cara-cara manusia mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan.

7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.

8. Membandingkan “realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma ini. Perhatian kita bukanlah pada, apakah pandangan suatu masyarakat akurat secara “ilmiah”. Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang kita ajukan dalam penelitian, melainkan mempersiapkan diri kita untuk menjawab pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga masyarakat yang dikaji yang berarti melibatkan mereka, pandangan mereka tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral dalam jawaban kita.

9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami bagaimana kita memahami pemahaman yang bukan pemahaman kita.

10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia termasuk hakikat dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia didefinisikan dan dipelihara.


(6)

10. Kerangka Pikir

GLOBALISASI

MEDIA MASSA

PECINTA K-POP (BUDAYA POPULER)

KOMUNITAS WCC KOREA

LOVERS SALATIGA

GAYA HIDUP

- Bahasa - Fashion - Musik - Nilai-nilai

moral

INTERPRETIVISME SIMBOLIK

KOMUNIKASI BUDAYA REMAJA (KOREA

LOVERS)

IDENTITAS K-POP

K-DRAMA K-FILM


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Punk di Salatiga (Studi Sosio Historis Terhadap Komunitas Punk di Salatiga) T1 352011701 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Komunitas dalam Mempertahankan Solidaritas (Studi pada Komunitas Kicau Mania Salatiga) T1 362007005 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga)

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga) T1 362008030 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga) T1 362008030 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga) T1 362008030 BAB V

0 0 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga) T1 362008030 BAB VI

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada Komunitas WCC Korea Lovers di Salatiga)

0 2 5

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Simbol Identitas Wanita di Komunitas Salatiga Seni Radjah T1 BAB II

0 0 21

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Groupthink Komunitas Club Motor dalam Solidaritas Kelompok: Studi pada Komunitas RAC Salatiga T1 BAB II

0 0 11