CERITA SILAT.doc 2250KB Mar 29 2010 05:00:23 AM

CERITA SILAT
SERIAL BU KEK SIAN SU (14)

KISAH SI BANGAU PUTIH
OLEH:
ASMARAMAN S KHO PING HO
UNTUK KOLEKSI PRIBADI

DIKUMPULKAN OLEH
WAHYU WIDODO

Bagi mereka yang bukan pedagang keliling dan yang tidak pernah melakukan perjalanan
melintasi Tembok Besar, tentu mengira bahwa kekuasaan Kerajaan Ceng yang dipegang
oleh bangsa Mancu tentu berhenti sampai di Tem bok Besar itu. Padahal, sesungguhnya
tidaklah demikian. Bangsa Mancu sendiri merupakan bangsa yang tinggal jauh di utara
yang amat dingin, daerah yang keras dan kejam, dan di luar Tembok Besar masih
terdapat daerah yang amat luas. Masih ada Propinsi Liaoning dan Jilin yang berbatasan
dengan Korea, daerah Mancuria sendiri yang luas, kemudian terdapat daerah Mongolia
Dalam atau Mongol, dan daerah Mongolia yang lebih luas. Akan tetapi, setelah
melewati Tembok Besar memang daerah yang liar dan kejam, dengan tak terhitung
banyaknya bukit d i antara padang pasir yang luas dan merupakan lautan pasir yang

ganas.
Padang pasir seperti ini memang ganas dan kadang-kadang kejam sekali. Dari tulangtulang kuda, onta, bahkan manusia yang terdapat berserakan d i sana-sini dapat diketahui
bahwa lautan pasir itu sudah banyak menelan korban. Mayat manusia dan bangkai
binatang yang tewas dalam perjalanan melintasi lautan pasir, dibiarkan saja berserakan,
membusuk dimakan terik panas matahari, atau digerogoti anjing-anjing serigala dan
binatang buas lainnya, dibiarkan tinggal tulang-tulangnya saja yang lama-lama
mengering. Lautan pasir yang kelihatan tak bertepi itu, memang kejam, juga
mengandung kesunyian yang mendatangkan suasana yang menyeramkan dan penuh
keajaiban. Bayangkan saja betapa nmengerikan tersesat di lautan pasir seperti itu,
di mana tidak dapat ditemukan setetes pun air, sebatang rumput pasir dan pasir di
mana-mana, panas dan silau,tidak diketahui lagi mana utara mana selatan.
Belum lagi kalau datang badai yang membuat pasir bergulung-gulung dan berombak
seperti air di lautan, menelan apa saja yang menghalang di depan. Para pedagang,
yang melakukan perjalanan kemudian tersesat, kehabisan air minum, kelelahan dan
terjebak dalam lautan pasir tanpa mengetahui ke arah mana mereka harus menuju,
saking takut dan ngerinya, banyak di antara mereka yang dapat melihat
pemandangan-pemandangan khayal yang aneh-aneh. Ada yang melihat air terjun
dengan air yang melim pah-limpah dan segar sejuk, akan tetapi ketika mereka
menghampiri, yang ada hanya pasir belaka! Ada yang melihat anak sungai dengan
airnya yang segar, atau melihat kebun dengan pohon-pohon menghijau dan buah-buah

yang sudah masak, dan sebagainya. Namun, semua it u hanyalah bayangan khayal belaka,
yang timbul karena besarnya keinginan hati mereka mengharapkan air, pohon dan
sebagainya
yang
amat
mereka
butuhkan
itu.
Di tengah-tengah satu di antara padang-padang pasir yang amat luas itu, terdapat sebuah
gedung istana kuno, lengkap dengan perkebunan yang cukup luas, dengan pohon-pohon
buah yang subur, dan sayur-sayuran, bahkan tumbuh pula gandum di ladang. Terdapat pula
sumber air tak jauh dari istana kuno itu. Sungguh merupakan suatu keadaan yang ajaib,
dan andaikata ada orang tersesat sampai ke daerah itu lalu melihat bangunan
istana berikut perkebunannya yang subur itu, tentu dia akan mengira bahwa dia pun
hanya
melihat
pemandangan
khayal
belaka.
Akan tetapi tidaklah demikian sesungguhnya. Bangunan itu memang sebuah bangunan

istana yang besar, pernah di jaman dahulu bangunan ini merupakan istana peristirahatan
dari seorang rajadiraja, seorang kaisar besar yang bukan lain adalah Kaisar Jenghis
Khan dari Kerajaan Mongol! Akan tetapi, puluhan tahun yang lalu, istana itu dihuni oleh
seorang sakti yang aneh, yang di dunia persilatan tingkat tinggi dikenal sebagai

tokoh dongeng yang bernama Dewa Bongkok. Nama Dewa Bongkok yang menjadi penghuni
Istana Gurun Pasir ini tidak kalah terkenalnya dan dianggap sebagai setengah dongeng
saja, seperti halnya Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es! Setelah Dewa Bongkok
meninggal dunia, kini yang menjadi penghuni istana Gurun Pasir itu adalah muridnya
yang bernama Kao Kok Cu, yang di dunia persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir!

Nama besar Pendekar Naga Sakti ini pernah menggemparkan dunia persilatan, dan dia
tidak kalah terkenalnya dibandingkan mendiang gurunya. Kini Kao Kok Cu telah menjadi
seorang kakek yang tua renta, tinggal di dalam istana kuno itu berdua saja dengan
isterinya. Isterinya bukan wanita sembarangan, melainken seorang pendekar wanita yang
juga pernah menggemparkan dunia persilatan. Namanya Wan Ceng, ketika kecil pernah
tinggal di Kerajaan Bhutan, jauh di barat bahkan menjadi saudara angkat Puteri Syanti Dewi
dari Bhutan sehingga ia memperoleh nama julukan Candra Dewi. Wan Ceng juga
memiliki kesaktian dan kini ia dalam usia tujuh puluh dua tahun tinggal bersama suaminya di

Istana Gurun Pasir. Mereka berdua hidup di situ tanpa pelayan hanya berdua saja,
mengerjakan ladang dan kebun sendiri yang hasilnya jauh lebih daripada cukup untuk
kebutuhan mereka sehari-hari. Sebagian besar dari waktu luang mereka dipergunakan
untuk
bersamadhi
dan
bertapa.
Keadaan sepasang suami isteri ini tidak dapat disamakan dengan keadaan para pertapa
yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai, pergi bertapa de ngan suatu
pamrih tertentu. Orang pergi meninggalkan dunia ramai untuk bertapa di puncak bukit
yang sunyi, di dalam gua yang sederhana, hanya mengenakan cawat saja, hanya
makan seadanya, menyiksa diri menahan haus dan lapar, tentu mempunyai suatu tujuan
tertentu. Tujuan inilah pamrih, dan semua pamrih, baik yang terbuka maupun
terselubung, selalu tentu menjangkau suatu keadaan yang menyenangkan. Biarpun pamrih
mendapatkan keadaan yang menyenangkan ini diperhalus dengan sebutan muluk
tetap saja merupakan pamrih demi kesenangan diri. Mungkin dia akan mengatakan
bahwa dia bertapa untuk mencari kebahagiaan mencari kesempurnaan hidup, mencari
Tuhan, dan sebagainya lagi. Namun pencariannya itu sendiri membuktikan bahwa dia
menginginkan sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam
bentuk

kedamaian,
kebahagiaan,
dan
lain
sebutan
lagi.
Sepasang suami isteri itu tidak men cari apa-apa. Istana Gurun Pasir itu memang milik
mereka, peninggalan dari Dewa Bongkok kepada muridnya, yaitu kakek Kao Kok Cu.
Mereka berdua memang senang tinggal di tempat sunyi itu, bukan untuk mencari
sesuatu atau menjadikan tempat yang sunyi itu sebagai pelarian dari dunia ramai.
Sama sekali tidak. Mereka memang merasa senang tinggal di tempat yang penuh
keheningan
itu
dan
merasa
berbahagia.
Akan tetapi, pada hari itu, Istana Gurun Pasir tidaklah setenang biasanya. Dari dalam
gedung istana tua itu kini terdengar suara gelak tawa dan percakapan yang diselingi
suara ketawa gembira. Kiranya suami isteri tua itu kedatangan seorang tamu yang sama


sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Tamu itu bukan orang asing. Dia seorang
hwesio yang bernama Tiong Khi Hwesio, usianya juga sudah tujuh puluh dua tahun dan
tentu saja kunjungan hwesio ini disambut gembira oleh kakek dan nenek itu, terutama
sekali nenek itu karena hwesio ini bukan lain adalah saudara tirinya sendiri, seayah
berlainan ibu. Di waktu mudanya, Tiong Khi Hwesio juga seorang pendekar sakti
yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan julukannya yang mengerikan,
yaitu Si Jari Maut! Dia menikah dengan Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan dan sampai
tua dia tinggal di kerajaan kecil itu. Setelah isterinya meninggal dunia, dia hampir
gila karena duka. Akan tetapi, pertemu annya dengan seorang pendeta tua
menyadarkannya dan mulai saat itu, Wan Tek Hoat, demikian namanya, lalu
menggundul rambut kepala dan mengenakan jubah, menjadi seorang hwesio yang
berkelana.
Mereka bertiga bercakap-cakap sambil makan sederhana dengan sayur segar yang
dimasak sendiri oleh nenek Wan Ceng. Kemudian mereka bertiga keluar dari istana itu
dan duduk di serambi depan sambil bercakap-cakap. Kao Kok Cu yang dahulu
berjuluk Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biarpun usianya sudah hampir delapan
puluh tahun masih nampak gagah penuh semangat. Lengan kirinya yang buntung itu
tidak membuat dia kelihatan mengerikan, bahkan membuatnya nampak lebih
berwibawa. Wajahnya yang tampan membayangkan kelembutan, sinar matanya
mencorong seperti mata naga namun juga membayangkan kelembutan dan

kesabaran. Melihat sepintas lalu, takkan ada orang mengira bahwa kakek tua renta
yang lengan kirinya buntung ini memiliki kesaktian yang amat hebat. Dua macam ilmu
simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te, pasangan kuda-kuda yang membuat tubuhnya seperti
mendekam di atas tanah bagaikan seekor naga, kemudian dapat menimbulkan tenaga
dahsyat yang mujijat, dan Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, jarang dapat ditandingi di dunia
persilatan. Isterinya, nenek Wan Ceng, biarpun usianya juga sudah tua sekali, masih
nampak sehat. Mukanya tidak penuh keriput dan kulit muka itu masih halus kemerahan
saking sehatnya, walaupun giginya telah ompong dan rambut di kepala telah putih
semua. Nenek ini pun memiliki ilmu simpanan yang khas, yaitu Ban-tok-ciang, dan kalau
ia sudah mengerahkan tenaga memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya
mengandung selaksa racun (ban-tok) yang amat dahsyat dan berbahaya bagi
lawan. Juga pedangnya, Ban-tok-kiam, merupakan pusaka yang mengerikan. Adapun
tamu itu Tiong Khi Hwesio, biarpun sudah setua nenek itu, namun tubuhnya masih
tegap, jalannya masih tegak. Ju bahnya kuning bersih, matanya tajam berkilat dan
mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek yang pernah berjuluk Toat-beng-ci (Si Jari
Maut) ini memiliki berbagai ilmu silat simpanan seperti Pat-mo Sin-kun, Pat-sian Sinkun, dan memiliki ilmu sin-kang (tenaga sakti) yang diberi nama Tenaga Inti Bumi.
Juga pedangnya, Cui-beng-kiam, merupakan sebuah pedang pusaka yang ampuh
sekali.

Sebetulnya baru beberapa bulan yang lalu, Tiong Khi Hwesio berjumpa dengan kakek

dan nenek itu ketika mereka semua menghadiri pernikahan Pendekar Suling Naga, yang

bernama Sim Houw, dengan Can Bi Lan, gadis yang pernah mendapat bimbingan ilmu silat
dalam waktu singkat dari kakek dan nenek ini sehingga dapat dibilang gadis itu murid
mereka. Pernikahan itu diadakan di rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera tunggal
suami isteri dari Istana Gurun Pasir ini. Akan tetapi karena pertemuan itu terjadi dalam
sebuah pesta di mana hadir banyak tamu, mereka merasa ku rang leluasa bercakapcakap. Siapa kira, tahu-tahu kini hwesio tua itu muncul di istana mereka, tentu saja
kakek
dan
nenek
itu
menjadi
gembira
bukan
main.
“Tek Hoat, sungguh aku girang bukan main bahwa engkau sudi datang berkun jung
kepada kami. Pertemuan dalam usia yang amat tua ini sungguh mendatangkan kenangan
ketika masih muda, dan menggembirakan sekali. Terima kasih, Tek Hoat.” Nenek itu
memang selalu menyebut saudara tirinya dengan nama kecilnya saja, tidak peduli bahwa
kini saudara tirinya itu telah menjadi seorang hwesio tua, seorang pendeta!

Tiong Khi Hwesio tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bertemu dan bercakap-cakap
denganmu membuat orang sama sekali lupa bahwa dia telah menjadi tua bangka,
Wan Ceng. Sikap dan kata-katamu seolah-olah tak pernah berubah, aku melihatmu
seperti
melihat
engkau
ketika
masih
gadis,
ha-ha-ha!”
Kao Kok Cu, juga ikut tersenyum kemudian dia yang biasa bersikap serius, berkata dengan
halus namun meyakinkan, “Memang, waktu berjalan dengan cepatnya dan tahu-tahu
kita semua telah menjadi tua, sudah masak untuk meninggal kan dunia ini. Akan tetapi,
pernahkah kita menyelidiki pada diri sendiri, kebaikan dan kegunaan apa saja yang
pernah kita lakukan untuk mengisi kehidupan kita yang tidak berapa panjang ini?”
Ucapan ini membuat Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio termenung sampai beberapa
lamanya. Mereka terbenam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Tiong Khi Hwesio
berkata. “Omitohud Kao-taihap, ucapanmu itu menggugah semua kenangan lama dan
pinceng melihat betapa selama hidup pinceng itu, jauh lebih banyak dukanya daripada
sukanya dan jauh lebih banyak buruknya daripada baiknya perbuatan pinceng.

Perbuatan buruk itu pinceng lakukan karena dorongan nafsu, sedangkan perbuatan baik
pun menyembunyikan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Omitohud, kalau dikaji benar,
tidak ada baiknya perbuatan pinceng”
“Aih, jangan kau berkata demikian, Tek Hoat. Aku tahu bahwa apa pun yang terjadi,
engkau berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Kalau tidak demikian, mana mungkin
enci Syanti Dewi sampai tergila-gila dan jatuh cinta kepadamu? Engkau terlalu
merendahkan diri sendiri,” kata Wan Ceng. “Banyak sudah kegagahan kaulakukan karena
memang watakmu yang gagah perkasa, seperti seorang pendekar sejati, tanpa pamrih.”
“Tapi.... tapi.... kalau pinceng ingat sekarang, semua perbuatan itu pinceng lakukan demi cinta
pinceng kepada mendiang isteriku, Syanti Dewi. Andaikata tidak ada Syanti Dewi, tidak ada
cintaku terhadapnya.... ah, tidak tahulah aku, apa yang akan terjadi dengan diriku....“ Tiong Khi
Hwesio
nampak
termangu.
Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Memang demikianlah keadaannya. Kita tidak pernah
bebas. Perbuatan kita tidak pernah bebas daripada pamrih. Karena ikatan-ikatan maka kita
selalu berbuat dengan pamrih di belakang perbuatan itu, membuat semua perbuatan kita palsu
adanya. Betapapun baiknya suatu perbuatan itu menyembunyikan pamrih, maka perbuatan itu
adalah suatu kejahatan pula, karena perbuatan itu hanya menjadi semacam cara untuk
mendapatkan hasil yang kita kehendaki.”


Tiong Khi Hwesio kagum bukan main ketika suami isteri itu membawanya ke bagianbagian yang luar biasa dari padang pasir itu. Ada bagian di mana pasir nya besarbesar dan agak hitam, ada pula bagian di mana pasirnya lembut sekali dengan warna putih
berkilauan seperti bubuk perak. Ada yang permukaannya demikian halus seperti
sutera, adapula yang membentuk keriput-keriput seperti alun samudera. Juga terdapat
bagian di mana terdapat batu-batu besar berbentuk aneh-aneh karena permainan angin
dan terpukul pasir-pasir yang diterbangkan angin. Luar biasa sekali me lihat betapa
ada permukaan pasir yang tidak pernah diam, seperti air di lautan, selalu berubah
bentuknya karena pasir-pasir halus di permukaan itu terbawa angin membentuk garisgaris yang selalu berubah. Seolah-olah ada kehidupan yang tidak nampak di tempat
yang teramat sunyi itu. Berkali-kali Tiong Khi Hwesio mengeluarkan suara pujian
dengan
penuh
kagum
dan
heran.
Melihat kegembiraan saudara tirinya, Wan Ceng menjadi ikut gembira dan bangga.
“Engkau belum melihat yang paling hebat, Tek Hoat,” katanya bangga.
“Wah? Masih ada yang lebih hebat dari ini? Bawa pinceng ke sana, pinceng ingin
melihat
yang
paling
hebat!”
“Bagian itu jauh di selatan, makan waktu perjalanan hampir satu hari, disebut sebagai
Lautan Maut. Di sana engkau akan melihat badai lautan pasir, melihat pasir bagaikan air
laut
menderu-deru,
dengan
ombak
yang
setinggi
rumah.”
“Wah, hebat! Hayo kita ke sana!” ajak Tiong Khi Hwesio, tertarik sekali. Sebagai seorang
bekas pendekar, tentu saja keadaan bahaya merupakan tantangan yang menggairahkan
hatinya.
“Di sana berbahaya sekali,” kata Kao Kok Cu. “Bahkan rombongan onta dengan orangorang yang paling berpengalaman sekalipun menjauhi bagian itu dan lebih baik melakukan
perjalanan memutar yang lebih jauh daripada harus menempuh Lautan Maut itu.”
“Akan tetapi kita bukanlah orang-orang yang lemah seperti mereka!” kata Wan Ceng
kepada suaminya. “Bukankah kita pernah beberapa kali ke sana dan mampu menahan
serangan
badai?”
Kao Kok Cu tersenyum kepada isterinya. “Ha, agaknya engkau lupa bahwa hal itu
terjadi puluhan tahun yang lalu. Ketika itu usia kita belum lima puluh ta hun.”
“Apa bedanya? Kita masih kuat dan bahwa kita bertiga dapat menguji diri apakah masih ada
kemampuan
dalam
tubuh
yang
tua
ini.”
“Cocok! Ha-ha-ha, Kao-taihiap, apakah engkau tidak ingin menggembirakan seorang
sahabat seperti pinceng? Sebelum maut datang menjemput, pinceng ingin sekali melihat dan

merasakan

betapa

hebatnya

badai

di

Lautan

Maut

itu.”

Kao Kok Cu menarik napas panjang. “Baiklah, tentu saja kita bertiga akan dapat melindungi diri
sendiri dari badai. Di sana terdapat banyak batu besar yang dapat dipergunakan sebagai
tempat berlindung. Akan tetapi perjalanan itu tentu akan makan waktu dua hari pulang
pergi dan di sana tidak terdapat makanan atau minuman apa pun. Kita harus membawa
bekal.”
Mereka kembali ke istana tua dan sibuklah mereka membuat perbekalan untuk perjalanan
besok. Mereka bergembira seperti tiga orang pemuda remaja yang membuat persiapan
untuk
perbekalan
perjalanan
tamasya
besok.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bertiga sudah berangkat
meninggalkan istana gurun pasir, menuju ke selatan. Lewat tengah hari mereka tiba di
bagian lautan pasir yang dimaksudkan oleh Wan Ceng. Sebelum berangkat, Kao Kok
Cu
memperingatkan
mereka
agar
berhati-hati.
“Sekarang musim yang paling ganas di sana, di waktu badai sedang besarnya dengan
adanya
pemutaran
angin
dari
utara
ke
timur.”
Dengan buntalan perbekalan di punggung mereka, tiga orang ini memasuki daerah Lautan
Maut. Nampaknya memang tidak ada apa-apa dan Tiong Khi Hwesio mulai kecewa.
Akan tetapi makin ke selatan, terasa angin semakin keras dan dibandingkan dengan
pasir yang mereka injak, yang panas, angin itu terasa dingin sekali. Dan ketika mereka
tiba di daerah yang berbatu-batu, tiba-tiba saja badai datang mengamuk. Mula-mula, dari
arah barat dan utara, nampak seperti awan hitam dan debu angin tiba-tiba terhenti,
akan tetapi tak lama kemudian, awan hitam dan debu yang ternyata ge lombang
pasir itu datang menerpa, didorong angin yang amat kuatnya.

Tiga orang gagah itu memasang kuda-kuda dan mengerahkan tenaga melawan
hantaman pasir halus yang dibawa angin. Mereka seolah-olah masuk ke dalam tirai
pasir yang mendorong kuat dari depan. Makin lama, semakin kuat saja hantaman
pasir dan angin dan pertama-tama Wan Ceng agak terhuyung. Cepat ia berpegang
tangan dengan suaminya yang membantunya, dan ketika akhirnya Tiong Khi Hwesio
juga terhuyung, Kao Kok Cu berteriak nyaring untuk mengatasi gemuruh suara badai
pasir.
“Cepat, kita berlindung di balik batu di sana itu!” Dia menunjuk ke arah se buah
batu karang yang besar dan kokoh kuat. Memilih tempat berlindung ini pun ada
bahayanya, karena kalau salah pilih, ada batu yang roboh dilanda badai sehingga
menindih
dan
membunuh
orang-orang
yang
berlindung
di
bawahnya.
Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio, sejak mudanya memang memiliki hati yang pantang
menyerah. Oleh karena itu, ajakan Kao Kok Cu itu diterima dengan gelengan kepala,
bahkan Wan Ceng sudah melepaskan pegangan tangan suaminya, memasang kuda-kuda
lagi dan mengerahkan tenaganya. Demikian pula Tiong Khi Hwesio, agaknya tidak
mau kalah oleh saudara tirinya! Melihat lagak kedua orang ini, mau tidak mau Kao Kok

Cu tertawa geli dan gembira dan dia pun lalu memasang kuda-kuda untuk melawan
badai yang semakin kuat datangnya itu. Akan tetapi beberapa menit kemudian,
Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio terpak sa harus mengakui keunggulan badai karena
mereka terdorong sampai roboh ber gulingan! Terpaksa mereka membiarkan diri
mereka diseret, Wan Ceng berpegangan tangan dengan Tiong Khi Hwesio dan Kao
Kok Cu dengan satu tangan kanan nya memegang tangan hwesio itu dan menyeretnya
di atas pasir menuju ke balik batu besar dan barulah mereka dapat bernapas lega karena
terjangan
badai
ditangkis
oleh
batu
karang
yang
kokoh
kuat
itu.
Akan tetapi, kegembiraan mereka semakin menjadi. Setelah beristirahat dan dapat
mengumpulkan tenaga kembali, melihat betapa badai masih saja membesar Tiong Khi
Hwesio lalu meloncat keluar dari balik batu karang dan kini dia bersilat menentang
badai. Hebat memang kakek hwesio ini. Dia ternyata telah menggabungkan dua
macam ilmu silat yang merupakan ilmu silat yang saling berlawanan, yaitu Pat-mo Sin-kun
(Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sinkun (Silat Sakti Delapan Dewa)! Tidak saja dia
telah mampu menggabungkan dua aliran silat yang bertentangan ini, akan tetapi juga dia
mempergunakan tenaga sakti yang hebat, yaitu Tenaga Inti Bumi. Biarpun usianya sudah
tujuh puluh dua tahun, namun gerakannya demikian gesit dan pukulan-pukulannya
demikian kuat sehingga angin menderu-deru dari kaki tangannya menentang badai
sehingga pasir-pasir yang diterbangkan badai itu membuyar terkena hantam an angin
pukulan kaki tangannya! Tiong Khi Hwesio bersilat terus sampai akhirnya dia
melompat kembali ke balik batu karang dengan muka merah, keringat membasahi tubuh
dan napasnya terengah-engah, akan tetapi matanya berseri dan mulutnya tertawa
gembira.
Wan Ceng tidak mau kalah. Nenek yang usianya sebaya dengan saudara tirinya ini, juga
meloncat keluar dan bersilat menentang badai. Ia nengeluarkan ilmu silat
simpanannya, yaitu Ban-tok-ciang dan nampak ada uap yang kadang-kadang
berwarna hitam, lalu hijau atau biru, berubah lagi kemerahan dari kedua telapak
tangannya. Melihat ini, diam-diam Tiong Khi Hwesio bergidik karena dia tahu betapa
ampuhnya pukulan-pukulan adik tirinya itu. Nenek ini pun bersilat sampai ia tidak kuat
bertahan lagi dan terpaksa harus meloncat ke belakang batu karang dengan tubuh
basah keringat dan napasnya terengah-engah.

Melihat kegembiraan dua orang itu, Kao Kok Cu ketularan. Dia pun keluar dan
menentang badai, lalu bersilat, ditonton dengan penuh rasa kagum oleh Tiong Khi
Hwesio. Dia melihat betapa kakek berlengan sebelah ini bersilat se cara aneh, dengan
tubuh kadang-kadang meluncur ke depan, seperti seekor naga, namun gerakannya
membawa angin pukulan yang bercuitan dan kini dia melihat betapa di bagian depan
Kao Kok Cu seolah-olah ada dinding atau perisai yang tidak nampak, terbuat dari hawa
pukulan sehingga pasir yang terbang dari depan itu terhenti dan runtuh dengan
sendirinya, seperti membentur batu karang! Dan kakek berlengan buntung yang usianya
sudah tujuh puluh delapan tahun ini, bersilat paling lama dibandingkan Tiong Khi Hwesio

atau Wan Ceng, akan tetapi ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan
kembali ke belakang batu karang, napasnya tidak memburu dan wajahnya biasa saja
walaupun
napas
agak
memburu.
“Wah, usia tua menggerogoti dari dalam sehingga tenaga dan daya tahanku banyak
berkurang,”
katanya
sambil
mengatur
pernapasan.
“Kao-taihiap, engkau hebat!” Tiong Khi Hwesio memuji. “Engkau yang paling tua
diantara kita, namun ternyata tenaga dan daya tahanmu paling kuat. Sungguh
membuat
aku
takluk
dan
kagum
sekali!”
Namun Kao Kok Cu tidak menjawab melainkan menuding ke arah barat. “Lihat,
bukankah
itu
suara
onta
yang
datang
dari
arah
sana?”
Dua orang itu menoleh ke arah barat, akan tetapi tidak kelihatan sesuatu, ha nya
memang mereka mendengar ada suara onta. Suaranya merintih seperti menderita.
“Onta tidak pernah merintih kecuali menghadapi kematiannya dan di mana ada binatang
onta terancam maut, di situ tentu ada pula penunggangnya yang juga terancam
malapetaka,”
sambung
Wan
Ceng.
“Mari
kita
lihat!”
Dua orang kakek itu mengangguk setuju dan mereka bertiga segera berlon catan keluar
dari balik batu karang dan berlari cepat menuju ke barat, ke arah datangnya suara tadi. Tidak
terlalu lama mereka mencari karena segera mereka melihat seekor onta yang dalam
keadaan sekarat, tergencet batu yang roboh menimpa dan menghimpitnya. Dan di
dekatnya nampak seorang wanita yang telah tewas pula, sedangkan seorang anak
laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun berlutut dan mengguncang-guncang tubuh
wanita
itu.
“Ibu.... ibu.... bangunlah, ibu.... kuatkanlah, mari kugendong ibu pergi dari sini....“ kata anak
itu dengan suara pilu dan gemetar. Dia lalu dengan susah payah menarik tubuh ibunya
yang kedua kakinya terhimpit tubuh onta, kemudian mencoba untuk menggendongnya, akan
tetapi baru beberapa langkah saja anak itu berjalan, dia disambar hantaman badai dan
dia
pun
terguling
bersama
mayat
ibunya,
bergulingan.
“Ibuuuuu....!” Anak itu berteriak, dan pada saat itu, Tiong Khi Hwesio telah menyambar
tubuhnya dan dibawa meloncat ke balik sebuah batu karang untuk berlindung dari
serangan badai. Wan Ceng juga sudah menyambar mayat wanita itu dan
membawanya
ke
tempat
yang
sama.
“Ibuuu....! Lepaskan ibuku, jangan ganggu ibuku....!” Tiba-tiba anak itu meronta dan saking
marah dan khawatirnya, anak itu memiliki tenaga yang demikian hebatnya sehingga
dia berhasil melepaskan diri dari pegangan Tiong Khi Hwesio dan kini dia menyerang Wan
Ceng yang masih memondong tubuh wanita yang telah mati itu. Anak laki-laki itu
menubruk, tangan kirinya mendorong ke arah dada Wan Ceng, dan tangan kanannya
mencoba untuk merampas tubuh wanita itu gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga
yang
kuat.
Wan Ceng tidak melawan, hanya menarik tubuh atas untuk mengelak dari dorongan
anak itu, dan ia membiarkan anak itu merampas tubuh mayat itu. Anak laki-laki itu kini
memandang mayat itu, menghadapi tiga orang tua itu dengan mata terbelalak. Mata

itu liar dan beringas, seperti mata seekor anak harimau tersudut. Dia siap melawan
tiga orang itu mati-matian untuk mempertahankan dan melindungi ibunya.
“Jangan kalian mengganggu ibuku! Akan kulawan sampai mati! Biarpun kali an Dewa
Kematian,
Dewa
Badai
dan Dewa
Padang
Pasir,
aku
tidak
takut!”
Dia menantang dan sikapnya sungguh berani, sikap seorang yang sudah nekat karena
tidak melihat jalan lain.

Tiga orang tua renta itu sejenak ter pesona, juga terharu. Mereka adalah orang-orang
sakti yang sudah banyak makan garam, banyak pengalaman dan tahu saja artinya duka
karena mereka pun sudah kenyang mengalami duka dalam kehidupan mereka. Oleh
karena itu, mereka dapat menduga bahwa anak ini menjadi demikian nekat dan
berani karena terhimpit duka yang bertubi-tubi dan yang terakhir kalinya agaknya
karena melihat ibunya yang tercinta tewas. Atau mungkin saking bingung, khawatir
dan dukanya, dia sampai tidak sadar bahwa ibunya telah kehilangan nyawanya dan yang
hendak dilindungi dan dipertahankan itu adalah sesosok mayat yang telah mulai menjadi
dingin!
Dengan hati terharu penuh iba Kao Kok Cu melangkah maju. “Anak yang baik, kami
bukanlah dewa atau iblis, kami adalah orang-orang biasa yang datang ingin
menolongmu. Tidak ada yang akan mengganggu ibumu lagi, Nak, karena ibumu
telah meninggal dunia. Lihatlah baik-baik dan jangan keliru menyangka orang.”
Suara itu begitu halus, tenang dan sabar dan suara itu saja sudah cukup membuat anak itu
percaya dan kini anak itu memandang wajah mayat yang dipeluknya. Wajah seorang
wanita yang kurus pucat, dengan mata setengah terbuka, dengan pandang kosong
tanpa cahaya sama sekali, seperti mata sebuah patung yang pernah dilihatnya. Dia
mengangkat mayat itu mendekat dan dia merendahkan mukanya sampai mukanya dekat
sekali dengan muka mayat itu. Tidak bernapas lagi hidung dan mulut ibunya.
“Ibuuuuu....!” Dan untuk kedua kalinya dia pun terjungkal bersama mayat ibunya, dan roboh
pingsan
di
dekat
mayat
itu.
“Omitohud....!” Tiong Khi Hwesio mengeluh ketika dia melihat peristiwa ini. Kao Kok Cu
menarik napas dan menggeleng-geleng kepalanya sedangkan Wan Ceng lalu mendekati
anak
itu,
berlutut
dan
mengurut
tengkuk
dan
dadanya.
Anak itu pun mengeluh, lalu membuka matanya. Dia segera mencari de ngan pandang
matanya dan ketika dia melihat tubuh ibunya menggeletak tak jauh dari situ, dia pun
bangkit dan menubruk mayat ibunya sambil menangis. Akan tetapi, anak itu agaknya
memang memiliki kekerasan dan ketabahan hati. Tidak lama dia menangis dan
agaknya dia sudah teringat lagi akan tiga orang tua itu, maka dia lalu bangkit berdiri

memandangnya, dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap mereka, agaknya sama
sekali tidak peduli akan luka-luka yang diderita tubuhnya, babak belur dan lecet-lecet,
juga kaki kanannya kehilangan sepatunya dan pergelangan kaki itu menggembung
besar,
tanda
bahwa
kaki
itu
salah
urat.
“Harap Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Tua Perkasa) memberi ampun kepada saya yang
tadi bersikap kurang ajar. Dalam keadaan seperti ini, saya menjadi bingung dan
mengira
Sam-wi
(Kalian
Bertiga)
bukan
manusia

Tiga orang itu saling pandang dan sependapat bahwa anak ini ternyata memiliki
pendidikan yang baik dan mengenal aturan. Juga, mata mereka yang tajam dapat
mengenal bahwa anak ini memiliki nyali yang besar, sikap gagah dan juga bakat
yang
baik
sekali
untuk
menjadi
seorang
pendekar.
“Anak baik, sekarang belum waktunya banyak bicara. Apakah engkau hanya berdua
dengan
ibumu
ini?”
tanya
Kao
Kok
Cu.
Anak
itu
mengangguk.
“Kalau begitu, yang terpenting sekarang, mari ikut bersama kami dan kami juga
akan membawa jenazah ibumu agar mendapatkan penguburan yang sepatutnya di
tempat
kami.”
“Baik, Locianpwe dan terima kasih atas perhatian Sam-wi.” kata anak itu yang segera
bangkit dan tanpa diperintah lagi dia menghampiri mayat ibunya, bermaksud untuk
memondongnya. Hal ini saja membuat tiga orang tua itu menjadi kagum. Anak ini tidak
cengeng,
tahu
diri,
cerdik
dan
tabah
sekali.
“Biarkan pinceng yang membawa jenazah ibumu, anak baik,” kata Tiong Khi Hwesio dan sekali
kedua lengannya bergerak, mayat wanita itu telah dipondongnya. Anak itu terbelalak dan
merasa seperti melihat sulapan atau sihir saja. Dia hampir tidak melihat hwesio tua itu
menyentuh mayat ibunya atau mengulurkan tangan, seolah-olah mayat itu yang terbang ke
dalam
pondongan
hwesio
tua
itu!
“Dan engkau pun tidak sehat benar, marilah engkau kugendong!” kata pula Kao Kok Cu dan
anak itu menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang naik dan tahu-tahu
dia telah berada di atas punggung kakek yang lengan kirinya buntung! Hampir dia menjerit
ketakutan dan hampir kehilangan lagi kepercayaannya bahwa tiga orang itu adalah
manusia. Jangan-jangan mereka ini benar-benar iblis-iblis yang hendak membawa pergi dia
dan
mayat
ibunya!
Akan tetapi, nenek itu berkata, “Mari kita pergi!” dan kini anak itu mengalami peristiwa
yang membuat dia takkan dapat melupakannya selama hidupnya. Dia merasa dibawa
terbang oleh kakek lengan satu dan ketika dia melirik ke kanan, dia melihat hwesio itu
pun seperti terbang membawa mayat ibunya, sedangkan nenek itu terbang paling depan.
Badai masih mengamuk hebat, namun tiga orang ini dapat berlari secepat terbang
menempuh badai yang menyerang dari samping. Cepat sekali gerakan mereka dan berkali-kali
dia harus memejamkan matanya saking ngeri. Dan ketika mereka keluar dari daerah badai,
anak itu merasa betapa mereka berlari lebih cepat lagi. Kadang-kadang mereka itu
melompati jurang-jurang seperti terbang, membuat dia merasa ngeri bukan main, dan
akhirnya dia pun hanya memejamkan mata agar tidak melihat betapa tubuhnya meluncur pesat di
atas pundak kakek yang terbang di atas pasir.

Setelah mereka berhenti, barulah anak itu membuka matanya dan dia pun menahan
keinginannya untuk berteriak saking herannya. Dia diturunkan, lalu digandeng masuk ke dalam
sebuah istana besar yang indah dan juga menyeramkan karena istana itu berdiri megah di
tengah-tengah gurun pasir, tidak mempunyai tetangga seorang pun! Jenazah ibunya
juga dibawa masuk dan nenek itu lalu merawat jenazah ibunya, diberi pakaian yang utuh,
kemudian diadakan upacara sembahyang sekadarnya sehingga dia sebagai putera ibunya
dapat memberi hormat dan berkabung atas kematian ibunya. Dia pun menurut saja
ketika tiga orang tua itu mengusulkan agar ibunya segera dikubur pada hari itu juga.
Mereka lalu menggali lubang di kebun bela kang dan mengubur jenazah itu tanpa peti.
Setelah penguburan selesai dan mereka semua kembali ke dalam istana, baru lah
anak itu yakin bahwa semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Kemarin sore dia dibawa
oleh tiga orang tua ini, bersama jenazah ibunya, dengan cara luar biasa, lari bagaikan
terbang, sehingga malam-malam mereka tiba di istana ini. Hanya semalam ibunya
yang telah menjadi jenazah itu dirawat dan pada keesokan harinya, penguburan ibunya
telah dilakukan dengan baik dan selesai. Kini dia telah menjadi seorang anak yang
kehilangan ibu, tidak tahu berada di tempat apa, merasa berada di tempat yang aneh,
bukan bagian dari dunia, bersama tiga orang manusia yang juga luar biasa. Apakah
dia masih hidup, ataukah sudah berada di akhirat? Akan tetapi kalau dia sudah mati,
tentu dia bertemu dengan ibunya. Tidak, dia masih hidup! Ibunyalah yang telah mati,
dan dia berada di tempat tiga orang sakti. Sebagai pu tera seorang ahli silat, tentu
saja dia pernah mendengar tentang orang-orang tua yang sakti, akan tetapi biasanya
mereka itu adalah pertapa-pertapa atau pendeta-pendeta di kuil. Dan kini, tiga orang tua
itu, biarpun yang seorang ada lah hwesio, bukan tinggal di dalam gua, melainkan di
dalam sebuah istana! Demikianlah anak itu membolak-balik pikirannya sendiri ketika
dia berlutut di atas lantai, di depan tiga orang yang duduk di bangku rendah sambil
bersila itu. Kemudian dia teringat betapa tiga orang tua ini sudah melimpahkan kebaikankebaikan kepadanya. Pertama, kalau t idak ada mereka yang datang ketika dia diserang badai
di gurun pasir itu, tentu dia sudah tewas pula bersama ibunya dan onta mereka. Ke dua,
mereka pula yang membawa dia dan jenazah ibunya ke istana aneh ini dan ke tiga, mereka telah
mengurus penguburan ibunya sampai selesai. Teringat akan semua ini, dia lalu memberi hormat
kepada
mereka
sampai
dahinya
berkali-kali
menyentuh
lantai.
“Sam-wi Locianpwe telah menyelamatkan saya dan telah mengurus pemakaman ibu, sungguh
budi kemuliaan ini sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,” demikian dia berkata
berulang kali dan baru berhenti setelah kakek yang lengan kirinya buntung itu berkata dengan
suara
halus.
“Anak baik, duduklah yang benar, dan ceritakan dengan jelas bagaimana asal mulanya maka
engkau bersama mendiang ibumu dapat berada di tempat berbahaya itu dan terserang badai.”

“Nanti dulu !” Tiba-tiba Wan Ceng berkata. “Siapa tahu dia menderita luka berat. Mari, majulah
ke
dekatku
ke
sini,
Nak,
akan
kuperiksa
keadaanmu.”
Mendengar ini, anak itu tidak berani membantah dan dia pun merangkak dan mendekati nenek itu.
Wan Ceng cepat memeriksa dan ternyata anak itu hanya menderita lecet-lecet dan babak
belur, luka di kulit saja, sedangkan pergelangan kakinya yang membengkak itu adalah karena
salah urat. Dengan cepat Wan Ceng mengurut kaki itu dan membetulkan kembali urat yang
tertarik dan salah duduk, dan mengobati lecet-lecet dengan obat luka.
Nah, engkau tidak apa-apa sekarang, ceritakanlah keadaanmu,” kata Wan Ceng.
Anak

itu

lalu

berlutut

kembali

seperti

tadi

dan

menceritakan

riwayatnya.

“Nama saya Tan Sin Hong, tinggal bersama orang tua saya di kota Bangoan di selatan Tembok
Besar. Ayah saya dikenal sebagai Tan-piauwsu (pengawal Tan) karena ayah saya membuka
perusahaan piauw-kiok (perusahaan pengawalan barang kiriman) yang mengawal barangbarang dagangan yang dikirim dari dan keluar Tembok Besar.” Anak itu, yang bernama Tan Sin
Hong, dengan lancar lalu menceritakan semua peristiwa yang baru-baru ini menimpa
keluarganya.

Pada suatu hari, Tan-piauwsu, ayah Sin Hong, menerima tugas mengawal barang-barang
berharga untuk diantar ke kota Tuo-lun, sebuah kota yang terletak di daerah Mongol. Barang
itu berupa sebuah peti besar terisi emas permata yang amat berharga, karena itu, Tan-piauwsu
tidak berani menyerahkan pengawalannya kepada anak buahnya saja. Dia berangkat sendiri
mengawal barang itu dan menyerahkan urusan perusahaan kepada Tang-piauwsu, yaitu
wakilnya. Sebulan kemudian, datang seorang utusan yang membawa pesan dari Tanpiauwsu agar isterinya dan puteranya menyusul ke kota Tuo-lun untuk diajak nonton keramaian
tradisionil yang diadakan oleh suku bangsa campuran Mancu dan Mongol yang tinggal di
sana.
Biarpun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun Nyonya Tan dan
puteranya dengan girang memenuhi pesan itu. Tang-piauwsu merasa khawatir dan dia sendiri
yang rnelakukan pengawalan, memimpin dua belas orang anggauta piauw-kiok. Berangkatlah
rombongan ini keluar dari Tembok Besar menuju ke utara. Ketika mereka tiba di dekat kota
Tuo-lun, di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampok bertopeng. yang
jumlahnya dua puluh orang lebih. Gerombolan perampok ini menyerang dan tentu saja Tangpiauwsu memimpin anak buahnya melakukan perlawanan. Pertempuran hebat terjadi, akan
tetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebih besar jumlahnya, maka pihak
pengawal terdesak dan mulai ada yang roboh. Melihat keadaan berbahaya ini, Tangpiauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya Tan dan Sin Hong, melarikan diri
dari tempat itu. Akan tetapi, setelah merobohkan semua pengawal, gerombolan perampok

bertopeng

itu

melakukan

pengejaran.

Tang-piauwsu melarikan kereta tanpa tujuan dan akhirnya mereka tiba di padang pasir.
Melihat ada orang penduduk daerah itu yang membawa garam menunggang seekor
onta, Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan dan Sin Hong
untuk melanjutkan larinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti
di situ dengan pedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi
mengancam hendak menawan Nyonya Tan yang masih kelihatan muda dan cantik.
Karena ketakutan, Nyonya Tan dan Sin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal
seadanya saja dan onta itu pun memasuki gurun pasir! Mereka tidak lagi melihat apa
yang
telah
terjadi
selanjutnya
dengan
Tang-piauwsu.
“Karena takut ditawan gerombolan perampok yang kasar itu, yang agaknya, menurut
perkiraan Tang-piauwsu, hendak menangkap ibu dan saya untuk membalas dendam
kepada ayah, ibu lalu melarikan onta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun pasir
yang luas. Akhirnya kami tidak tahu jalan lagi, di mana-mana pasir belaka dan kami
membiarkan saja onta itu mengambil jalan sendiri. Entah berapa hari kami melakukan
perjalanan seperti itu, kehabisan bekal, bahkan kan tung air yang banyak itu pun
telah hampir habis. Kami menderita sekali dan akhirnya kami diserang badai. Kami
berlindung di balik batu karang, akan tetapi batu karang itu runtuh dan menimpa kami,
dan
selanjutnya....
Sam-wi,
telah
mengetahui.”
Setelah Sin Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio berseru. “Omitohud....
permusuhan yang tiada hentinya antara yang untung dan yang rugi! Para perampok
merasa dirugikan oleh para piauwsu, banyak bentrokan terjadi antara mereka yang
hendak merampok dan mereka yang hendak melindungi barang kiriman!”
“Ada yang mencurigakan dalam urusan ini,” kata Kao Kok Cu, “Bagaimana seorang
piauwsu yang berpengalaman begitu sembrono untuk memanggil isteri dan puteranya
menyuruh ke tempat yang demikian jauh, melalui perjalanan yang berbahaya.”
“Memang mencurigakan sekali. Dan Tang-piauwsu itu membiarkan ibu dan anak itu melintasi
gurun pasir dengan binatang onta tanpa pengawalan, sungguh gegabah sekali,” kata pula Wan
Ceng.
“Biarlah pinceng (saya) yang akan pergi ke Tuo-lun untuk mencari Tan-piauwsu dan memberi
kabar kepadanya tentang isteri dan puteranya. Sin Hong, engkau tinggal dulu saja di sini
sampai pinceng dapat menemukan ayahmu dan dapat mengetahui apa yang sebenarnya telah
terjadi.”
Tan Sin Hong mengangguk, “Baik, Locianpwe, saya akan menanti berita dari hasil
penyelidikan Locianpwe.” Dia merasa suka sekali di tempat yang indah itu, dan dia berhutang
budi. Ingin dia membalas budi itu, walaupun hanya dengan membersihkan tempat itu, istana
tua itu yang nampaknya tidak begitu terawat dengan baik. Apalagi ketika dia mendapat
kenyataan bahwa di istana tua itu tidak terdapat seorang pun pelayan.

Sambil menanti kembalinya Tiong Khi Hwesio, Sin Hong mendengar lebih banyak dari nenek
Wan Ceng tentang istana tua itu dan kini dia tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir itu adalah
kakek dan nenek she Kao ini, sedangkan Tiong Khi Hwesio yang kini pergi mencari ayahnya
adalah
seorang
sahabat
baik
dan
tamu
kehormatan
dari
mereka.
Tiga hari kemudian, muncullah Tiong Khi Hwesio. Setelah minum air sejuk jernih yang
dihidangkan
oleh
Sin
Hong,
kakek
ini
menarik
napas
panjang.
“Omitohud.... Tan Sin Hong, pinceng sekali ini terpaksa membawa berita yang tidak
menyenangkan untukmu.” Dan dia pun mengelus kepala anak itu yang sudah berlutut di depannya.
Anak itu memang berhati tabah. Biarpun mukanya agak pucat dan matanya membayangkan
kekhawatiran, namun suaranya masih tenang ketika dia berkata kepada hwesio tua itu.
“Locianpwe,

apakah

yang

telah

terjadi

dengan

ayah

saya?”

Nenek Wan Ceng juga tidak sabar. “Tek Hoat, apa yang telah terjadi di sana?”
Kakek yang masih kelihatan lelah karena habis melakukan perjalanan jauh itu, mengusap
peluh dari leher dan mukanya mempergunakan sehelai saputangan lebar, kemudian
menghela napas dan memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata kasihan.
“Pinceng tiba di kota Tuo-lun dan melakukan penyelidikan. Akan tetapi ternyata bahwa
Tan-piauwsu
tidak
pernah
sampai
di
kota
itu....“
“Ayah....!” Sin Hong berseru dengan suara tertahan, matanya menatap wajah Tiong Khi
Hwesio,
penuh
pertanyaan
dan
kekhawatiran.
“Di kota itu pinceng bertemu dengan beberapa orang sahabat baik Tan Piauwsu
karena memang sudah beberapa kali Tan piauwsu mengawal barang ke kota itu.
Bersama mereka pinceng lalu menyelidiki sepanjang jalan menuju ke kota itu dari
selatan yang biasa diambil oleh rombong an piauw-kok dan di sebuah hutan
pinceng menemukan mereka,” Suara kakek ini menurun dan Sin Hong kembali
menatap
dengan
muka
pucat.
“Locianpwe menemukan ayah....“ tanyanya, kini suaranya agak gemetar, jelas bahwa dia
telah
menduga
buruk.
Dan
kakek
itu
mengangguk.
“Pinceng menemukan Tan-piauwsu dan sepuluh orang anak buahnya, semua telah tewas
terbunuh.”
“Ayah....! Ibu....!” Teriakan Sin Hong ini lirih saja, seperti keluhan dan dalam keadaan
berlutut dia menutupi muka dengan kedua tangannya. Tiga orang tua itu hanya
memandang dan membiarkan saja. Sampai beberapa lamanya Sin Hong menutupi
mukanya, tidak mengeluarkan suara tangis, akan tetapi air mata meng alir dari celah-

celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya dengan kedua tangan, lalu
dengan
suara
agak
parau
dia
bertanya
kepada
Tiong
Khi
Hwesio.
“Locianpwe,

siapa

yang

membunuh

ayah?”

Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. “Tidak ada yang tahu dan tidak ada tan datandanya. Mereka semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak ada barang
berharga lagi di sana, kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka.”
“Ah, siapa lagi kalau bukan perampok bertopeng itu? Dan yang mengirim utusan mengundang
nyonya Tan dan Sin Hong tentu juga anggauta perampok bertopeng itu yang sengaja
memandang dan menjebak,” kata kakek Kao Kok Cu. “Agaknya mereka adalah gerombolan
perampok yang mendendam kepada Tan-piauwsu sehingga selain merampok, juga ingin
membasmi
keluarganya.”
“Aku lebih condong mencurigai Tang-piauwsu itu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata.
“Mengawal barang yang amat berharga tentu amat dirahasiakan dan kukira yang
mengetahui hanyalah Tan-piauwsu dan pembantunya itu. Tidak akan mengherankan kalau
kelak diketahui bahwa yang mengatur semua perampokan dan pembunuhan itu adalah Tangpiauwsu, oleh karena itu dia pula yang menyuruh nyonya Tan dan Sin Hong melarikan diri ke
gurun pasir, yang berarti sama dengan mengirim mereka ke lembah maut.”
“Omitohud
kita tidak boleh sembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong
dan biarlah dia saja yang kelak melakukan penyelidikan. Engkau tenangkan hatimu Sin
Hong. Teman-teman ayahmu telah mengutus penguburan jenazah ayahmu dan anak
buahnya, dan kalau suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak berkeberatan,
pinceng mengusulkan agar Sin Hong tinggal di sini mempelajari ilmu dari kita bertiga.”
Suami isteri itu agak terkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian. “Apa
alasanmu
berkata
demikian,
Tek
Hoat?”
kata
nenek
Wan
Ceng.
“Banyak peristiwa terjadi di dunia yang aneh-aneh dan biasanya kita anggap sebagai hal
yang kebetulan saja. Akan tetapi, bukankah di balik peristiwa itu ada yang mengaturnya?
Bukankah sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa maka terjadi hal-hal yang
kelihatan kebetulan itu? Contohnya Tan Sin Hong ini. Keluarganya tertimpa malapetaka,
ibunya tewas, ayahnya tewas dan dia pun nyaris tewas. Coba lihat segala macam kebetulan
yang telah terjadi!

Pertama-tama, kebetulan sekali pinceng mengunjungi kalian dan kemudian kebetulan sekali
kita bertiga bermain-main dengan badai gurun pasir! Kalau tidak kebetulan pinceng berkunjung
tentu kita tidak bermain-main dengan badai dan kalau tidak kebetulan kita bermain-main
dengan badai tentu kita tidak akan melihat Sin Hong! Dan kalau begitu, apa jadinya? Tentu dia
telah tewas pula! Bukankah semua kebetulan itu seperti telah diatur oleh Thian (Tuhan)? Nah,
kita jangan menolak kehendak Thian dan harus menerimanya sebagai perintahNya. Mari kita

terima anak ini sebagai murid kita yang terakhir, untuk menampung peninggalan terakhir dari
kita.
Bagaimana
pendapat
kalian?”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka telah mewariskan ilmu-ilmu mereka kepada putera
tunggal mereka yang bernama Kao Cin Liong dan kini tinggal di kota Pao-teng dekat kota
raja, juga mereka mengajarkan beberapa macam ilmu kepada Can Bi Lan yang kini menjadi
nyonya Sim Houw. Apakah kini mereka harus mengambil seorang murid lagi ketika usia mereka
sudah amat tua? Akan tetapi, ada benarnya juga pendapat Tiong Khi Hwesio tadi tentang
peristiwa kebetulan yang merupakan tanda kekuasaan dan kehendak Thian. Mereka
mengangguk
setuju
dan
Wan
Ceng
berkata
sambil
tersenyum.
“Tek Hoat, kalau begitu engkau juga harus tinggal di sini untuk mewariskan ilmumu
kepadanya.”
“Ha-ha-ha, tentu saja! Pinceng memang suka sekali menghabiskan sisa usia pinceng di sini,
kalau
kalian
tidak
berkeberatan.”
“Kenapa keberatan? Kami suka sekali!” kata kakek Kao Kok Cu. “Akan tetapi kita tidak
boleh melupakan hal yang terpenting, yaitu apakah Tan Sin Hong suka tinggal di sini sebagai
murid
kita?”
Sin Hong sejak tadi mendengarkan saja percakapan itu. Dia sedang tenggelam dalam lamunan
penuh duka. Ayah ibunya tewas secara mendadak dan dia tidak memiliki apa-apa lagi. Terutama
sekali, dia terkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu tentang kematian ayahnya.
Ayahnya dibunuh orang! Agaknya direncanakan. Tang-piauwsu mencurigakan,
walaupun belum ada bukti. Dan dialah yang kelak harus menyelidiki dan membuka
rahasia itu, dia perlu memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu silat yang pernah
dipelajarinya dari ayahnya, tidak ada artinya. Ayahnya sendiri pun tewas melawan
penjahat, apa lagi dia! Kini, mendengar percakapan tiga orang tua sakti itu yang ingin
mengambilnya sebagai murid, dan mendengar kakek Kao Kok Cu menyinggung
apakah dia suka menjadi murid mereka atau tidak, tanpa ditanya lagi dia lalu
menjatuhkan diri bertiarap di atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang
kali.
“Sam-wi Locianpwe, teecu (murid) Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi murid yang
baik kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid.” Berulang-ulang dia berkata
demikian.
Dengan suaranya yang lantang dan tegas kakek Kao Kok Cu berkata, “Tan Sin Hong,
benarkah engkau bersedia untuk mematuhi semua perintah kami kalau engkau menjadi murid
kami?”
“Teecu bersumpah untuk mentaati dan mematuhi semua petunjuk dan perintah Sam-wi
Locianpwe!”
kata
Sin
Hong
dengan
setulus
hatinya.
“Dan engkau tidak akan mengeluh menghadapi latihan yang amat berat?” sambung Tiong Khi
Hwesio.
“Biar sampai mati sekalipun dalam mentaati perintah, teecu tidak akan mengeluh.”
Tiga orang tua itu diam-diam menjadi girang dan mulai hari itu, Tan Sin Hong tinggal di situ,

bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di kebun, melayani semua
kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapi sebagai imbalannya, dia pun mulai digembleng oleh
mereka bertiga! Menjadi murid seorang saja di antara tiga orang sakti ini sudah merupakan
suatu keberuntungan besar, apalagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!

Sin Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini dan dia pun belajar dan
berlatih dengan amat tekunnya, siang malam tak pernah berhenti kecuali kalau sedang
bekerja. Bahkan dalam melaksanakan pekerjaannya sekali pun, dia melatih diri sehingga dia
memperoleh kemajuan pesat, kalau malam, setelah lelah berlatih, dia mencurahkan
pikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang diterimanya dari tiga orang gurunya.
Tiga orang tua renta itu maklum bahwa bagi seorang murid seperti Sin Hong, tak mungkin dapat
mempelajari semua ilmu mereka bertiga, akan memakan waktu terlalu lama. Mereka
sudah tua sekali selain sudah merasa malas untuk banyak bergerak melatih ilmu silat, juga
maklum bahwa akan sayang kalau sampai mereka mati sebelum ilmu mereka dapat diterima
dengan baik oleh murid terakhir itu. Oleh karena itulah, mereka masing-masing sengaja
memilihkan ilmu-ilmu simpanan mereka saja untuk diajarkan kepada Sin Hong, setelah
menggembleng pemuda itu untuk menguasai langkah-langkah dan gerakan-gerakan dasar
dari ilmu mereka bertiga. Kao Kok Cu menurunkan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dan biarpun
muridnya tidak berlengan buntung, dia mengajarkan juga cara menghimpun tenaga sakti
melalui Ilmu Sin-liong Hok-te. Nenek Wan Ceng juga mengajarkan Ilmu Ban-tok-ciang dan
melatih pemuda itu untuk menghimpun tenaga beracun agar dapat melakukan Ilmu Bantok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik. Sementara itu Tiong Khi Hwesio
menurunkan gabungan Ilmu Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, juga melatih
menghimpun
tenaga
sakti
lewat
ilmu
sinkang
Tenaga
Inti
Bumi!
Tentu saja untuk dapat menguasai ilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih matimatian, menggembleng diri sehingga dia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang
kurus saking bekerja keras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu!
Dan sejak tinggal di situ, dia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk
mengabungi
ayah
ibunya
yang
tewas
secara
menyedihkan.
Tiga tahun kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatu hari datang
berkunjung seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun. Dia ini
bukan lain adalah Kao Cin Liong, putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng,
yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yang telah tua i