ISLAM ITU KELEMBUTAN

ISLAM ITU KELEMBUTAN
Ahmad Tohari:
“Islam itu kelembutan dan penuh dengan semangat kemanusiaan,” tutur novelis
dan cerpenis Ahmad Tohari di sebuah rumah makan ikan bakar di pantai selatan
dekat Negara, Jembrana Bali. Sambil menunggu ikan kakap bakar matang, dia
terus menuturkan bagaimana sesungguhnya Islam itu menurut pemahaman dan
pengalamannya.
Siang memang panas, tetapi suasana di rumah makan itu teduh. Karena lima
sastrawan yang berkumpul itu sedang membicarakan kelembutan dari ajaran
agama. Salah satu diantara cerpenis yang mengangguk-anggukkan kepala adalah
Triyanto Tiwikromo dari Semarang. Ia yang mengaku mualaf dan banyak berguru
kepada Kiai A Mustofa Bisri itu memang sengaja minta ‘petuah’ dari Ahmad
Tohari sebagai bekal naik haji. Sebagai rasa terima kasih atas datangnya petuah
itu, Triyanto pun mentraktir makan siang ikan kakap bakar itu.
Mendengar penuturan Ahmad Tohari, terkesan kalau lelaki kelahiran Tinggarjaya
Jatilawang Banyumas 13 Juni 1948 ini memang tidak banyak berubah. Sekitar
sepuluh tahun lalu ketika dijumpai di rumah, ia juga sudah menyatakan hal yang
sama. Sebagai wujud praktik dari penerapan semanat kegamaan yang demikian ia
selalu menghargai orang lain. Suaranya lirih, tidak meledak-ledak. Begitu melihat
ada wanita tua mendekat ia langsung bergegas setengah berlari menyongsongnya.
“Maaf, tunggu sebentar, itu ibu saya datang,” katanya. Wanita itu adalah ibunya.

Ia menyatakan bahwa ibu harus dihormati, dan disambut dengan ramah
segera,meski di ruang tamunya banyak orang penting sedang duduk
membicarakan hal-hal yang penting.
Untuk melatih kelembutan dan kepekaan batinnya, Ahmad Tohari memancing. Ia
yang pernah hidup di tengah kehiruk-pikukan Jakarta sebagai redaktur majalah
keluarga itu merasa lebih bisa merasakan hidup sebagai manusia kalau ada di
tengah ketenangan. Ia menjadi sempat mengamati, merenungkan, kemudian
menuliskan banyak hal mengenai tingkah polah manusia, dalam cerpen maupun
novel-novelnya. Termasuk novel terakhir berjudul Belantik.
Dalam kondisi yang demikian agama, menurut dia, menjadi konkret. Dilakoni,
atau diamalkan sebagai ekspresi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara berseloroh dan dengan perasaan menghargai dan akrab ia pernah
menyindir orang Muhammadiyah, termasuk wartawan SM ini yang katanya selalu
berniat kembali ke Al Qur’an dan Hadits. “Wah kalau saya malah sebaliknya.
Saya berangkat dari Al Qur’an dan Hadits, bergerak menuju kehidupan
masyarakat yang nyata,” katanya.
Memang dulu ia merasa kurang dekat dengan lingkungan Muhammadiyah. Sebab
lingkungan desanya banyak warga NU. Ia sering bertemu dengan oknum
Muhammadiyah yang kaku, dan itu kurang ia sukai. Meski demikian tak segan ia
mengritik oknum NU yang berperilaku tidak jelas.

Tetapi akhir-akhir ini ketika Muhammadiyah sudah mulai melirik dan berani
berbicara mengenai masalah kebudayaan Ahmad Tohari menyambut dengan

gembira. “Inilah yang saya tunggu-tunggu. Sebab dakwah dengan pendekatan
budaya pasti menghargai kelembutan dan kemanusiaan, dan ini pasti lebih efektif.
Wahyu dari langit telah dibumikan dan diterjemahkan menjadi sikap dan tindakan
yang menghargai bukan saja kebenaran, tetapi juga keindahan, kebaikan,
kelembutan dan kemanusiaan. Jika Muhammadiyah menghargai kebudayaan
maka akan ada perubahan yang berarti, menjadi lebih mudah berdialog dengan
pihak lain” katanya.
Sebagai novelis, Ahmad Tohari telah menghasilkan karya yang dibukukan. Yang
paling terkenal adalah trilogi tentang Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang
Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala). Kemudian ada Kubah, di Kaki Bukit
Cibalak, Bekisar Merah, Belantik. Kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin,
Nyanyian Malam. Banyak dari karyanya yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa asing. Ke dalam bahasa Jepang, Jerman, Belanda, Cina dan Inggris.
Sebagai ayah yang dikaruniai 5 anak sebagai hasil dari pernikahannya dengan
Syamsiyah, Ahmad Tohari memang harus bekerja keras. Empat anaknya telah
sarjana, dua diantaranya sedang menempuh pascasarjana. Meski demikian ia
masih selalu bisa santai. Sebab ada kesibukan barunya selain memancing, menuis

novel. Yaitu meniup seruling, yang ia beli dalam perjalanan ke pulau Bali tempo
hari. Mungkin ia sedang menguji kelembutan suaranya. (Bahan dan tulisan tof)
. Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002