Ahmad Roziq - MATERI_kra III2016 akuntansi syariah

BEBERAPA TEMUAN TERKAIT DENGAN
IMPLEMENTASI PSAK SYARIAH
Ahmad Roziq

Disampaikan Pada KRA III 2016
Di Universitas Jember dan Muhamadiyah

Abstrak
Kita berharap bahwa transaksi keuangan syariah di lembaga keuangan syariah benar benar
telah dilaksanakan sesuai dengan syariah. Demikian juga dengan telah disusun Standar
Akuntansi Keuangan Syariah dapat membantu dan menjamin bahwa transaksi keuangan
yang disajikan dan atau diungkapkan dalam laporan keuangan telah sesuai dengan syariah.
Di sisi lain, ada pernyataan atau pertanyaan baik di masyarakat atau pada forum
ilmiah“apakah transaksi keuangan di lembaga keuangan telah sesuai syariah”. Bahkan
pertanyaan yang sama juga muncul tertuju pada organisasi pengelola zakat infaq dan
sadaqah. Bisa jadi PSAK sudah sesuai syariah, namun dalam implementasinya entitas
syariah masih mengalami kesulitan atau kendala. Penulis mencoba mencari jawaban atas
permasalahan ini dengan melakukan beberapa penelitian. Makalah ini diispirasi dari hasil
penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh penulis sendiri maupun kelompok peneliti.
Berdasarkan kajian kajian yang dilakukan penulis, agar supaya transaksi keuangan yang
dilakukan di entitas entitas syariah sesuai dengan syariah maka seluruh pihak yag

berkepentingan harus mematuhi ketentuan dan mengutamakan syariah serta dilakukan
usaha dalam mengembangkan PSAK syariah.

A. Pembiayaan di Bank Syariah
Ada dua metode pembiayaan yang diterapkan di bank syariah, yaitu metode non-profit
loss sharing (non-PLS) berupa pembiayaan dengan sistem jual beli termasuk sewa beli dan
metode profit loss sharing (PLS) berupa pembiayaan dengan sistem bagi-hasil. Namun
berdasarkan konsep dasar tersebut, sesungguhnya bank syariah adalah bank yang core
product-nya ditujukan untuk produk syirkah (agency maupun partnership) seperti
musyarakah dan mudharabah yang menggunakan sistem bagi-hasil (Muhammad,
2005:101). Sistem bagi-hasil diyakini sebagai alat penghapus sistem bunga (Siddiqui,
2005). Bentuk khusus kontrak keuangan yang telah dikembangkan untuk menggantikan
mekanisme bunga dalam transaksi keuangan Islam (syariah) adalah mekanisme bagi-hasil.
Menurut Baiq (2006a) perbankan syariah seharusnya mengembangkan dan
meningkatkan pembiayaan dengan sistem bagi-hasil seperti mudharabah karena
pembiayaan jenis ini memiliki beberapa dampak positif antara lain: 1. akan menggairahkan
sektor riil, 2. rate of return bank syariah lebih tinggi bila dibandingkan dengan interest rate
yang berlaku pada bank umum, 3. akan mendorong tumbuhnya pengusaha/investor yang
berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko, 4. dapat mengurangi peluang terjadinya
resesi ekonomi dan krisis keuangan dan, 5. sistem mudharabah dan musyarakah dapat

menjadi solusi alternatif atas problem overlikuiditas yang saat ini terjadi.
Meskipun pembiayaan mudharabah dan musyarakah sangat penting dan bermanfaat
sebagaimana dijelaskan di atas, namun dalam prakteknya, ternyata signifikansi sistem bagihasil dalam memainkan operasional investasi dana bank peranannya sangat lemah,
sebagaimana ditunjukan pada tabel 1 dan 2 tentang statistik pembiyaan di bank umum
syariah dan BPR syariah.
Tabe 1. Statistik Pembiayaan di Bank Umum Syariah dan UUS (dalam miliar rupiah)
Akad
2009
2010
Akad Mudharabah
6,597
8,631
Akad Musyarakah
10,412
14,624
Akad Murabahah
26,321
37,508
Akad Salam
0

0
Akad Istishna
423
347
Akad Ijarah
1,305
2,341
Akad Qardh
1,829
4,731
Sumber: statisitik bank indonesia

2011
10,229
18,960
56,365
0
326
3,839
12,937


2012
12,023
27,667
88,004
0
376
7,345
12,090

2013
13,625
39,874
110,565
0
582
10,481
8,995

2014

14,354
49,387
117,371
0
633
11,620
5,965

2015(jan)
14,207
49,416
115,979
0
630
11,418
5,628

Tabel 2. Statistik Pembiayaan di BPR Syariah (dalam jutaan rupiah)
Akad


2009

2010

2011

2012

2013

Akad Mudharabah
Akad Musyarakah
Akad Murabahah
Akad Salam
Akad Istishna
Akad Ijarah
Akad Qardh

52,781
144,969

1,269,900
105
32,766
7,803
50,018

65,471
217,954
1,621,526
45
27,598
13,499
63,000

75,807
246,796
2,154,494
20
23,673
13,815

72,095

99,361
321,131
2,854,646
197
20,751
13,522
81,666

106,851
426,528
3,546,361
26
17,614
8,318
93,325

Sumber: statisitik bank indonesia


2014
122,467
567,658
3,965,543
16
12,881
5,179
97,709

2015(jan)
118,415
537,147
3,990,394
16
12,677
5,422
100,772

B. Pembiayaan Mudharabah (PSAK 105)
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama

(pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan
sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana.
Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil
atau bagi laba. Jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha
adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omset). Sedangkan jika
berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto (net profit) yaitu laba
bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.
Contoh

Uraian
Jumlah
Metode Bagi Hasil
Penjualan
100
Harga Pokok Penjualan
65
Laba Kotor
35
Gross Profit Margin

Beban
25
Laba rugi bersih
10
Profit Sharing
Hasil penelitian (Roziq: 2012) di bank syariah sebanyak 19 bank syariah (unit usaha
syariah) di Jawa Timur dapat diketahui bahwa ada 15 bank syariah yang menggunakan
revenue sharing(Gross Profit Margin) dan 4 bank yang menggunakan profit sharing dan
revenue sharing. Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh lembaga keuangan syariah dalam
membagi keuntungan yang menjadi hak/bagian bagi lembaga keuangan syariah dan
UMKM menggunakan dasar (a) laba bersih di bagi, (b) laba kotor di bagi dan (c) penjualan
di bagi (Roziq dkk: 2015)
Berdasarkan jawaban responden terdiri dari 19 Manager pembiayaan bank syariah di
Jawa Timur (Roziq: 2012) dan 30 manager pembiayaan BMT di Jember (Roziq dkk: 2013)
dapat diketahui bahwa kesulitan (kendala) dalam menjalankan pembiayaan mudharabah
antara lain:
1. Keterbukaan mudharib
2. Kejujuran mudharib
3. Pemenuhan komitmen yang kurang
4. Pemberian laporan yang sering terlambat
5. Kesulitan memperoleh laporan bulanan
6. Monitoring usaha mudharib
7. Laporan keuangan
8. Data administratif
9. Pembayaran proyek mundur
10. Proyeksi bagi hasil tidak sesuai realita
11. Pelaporan pendapatan usaha
12. Usaha yang baru
13. Pembukuan mudharib belum rapi
14. Pemantauan stock barang
15. Keakuratan laporan rugi/laba
16. Lebih membutuhkan waktu dan tenaga

17. Kekurangan sumber daya manusia/insani
18. Evaluasi secara langsung
19. Keterbatasan produk pembiayaan
20. Proyeksi rugi laba
21. Aspek moral masyarakat
22. Resiko tinggi
23. Pengetahuan nasabah tentang bank syariah
24. Nasabah tidak bisa membuat lap keuangan rutin
25. Nasabah tidak mempunyai laporan keuangn yang diaudit
26. Penggunaan dana diluar ketentuan kontrak
27. Moral hazard
28. Nasabah tidak menyampaikan laporan bulanan
29. Nasabah tertutup terhadap kondisi usaha
30. Nasabah kurang paham akad syariah
31. Laporan keuangan belum terkomputerisasi
32. Track record nasabah
Berdasarkan jawaban responden terdiri dari 19 Manager pembiayaan bank syariah di
Jawa Timur (Roziq: 2012) ) dan 30 manager pembiayaan BMT di Jember (Roziq dkk:
2013) dapat diketahui bahwa tindakan (perilaku) buruk mudharib yang sering terjadi dan
merugikan kontrak pembiayaan mudharabah antara lain:
1. Laporan objek bagi hasil tidak benar
2. Penyimpangan penggunaaan dana (memakai dana diluar kesepakatan)
3. Tidak jujuran
4. Laporan pendapatan lebih kecil
5. Laporan biaya lebih besar
6. Laporan keuangan tidak sesuai
7. Perubahan perilaku
8. Tercampurnya uang pribadi dan usaha
9. Wanprestasi
10. Kurang transparan (terbuka)
11. Tidak kooperatif melaporkan kondisi usaha
12. Nasabah tidak memberikan laporan keuangan dengan baik
13. Covenant tidak dipenuhi
14. Moral hazard
15. Kelayakan usaha tidak sesuai pada saat awal proyek
Berdasarkan jawaban responden yaitu:19 Manager pembiayaan bank syariah di Jawa
Timur (Roziq: 2012) ) dan 30 manager pembiayaan BMT di Jember (Roziq dkk: 2013)
dapat diketahui bahwa tindakan (perilaku) buruk mudharib yang berkaitan dengan laporan
keuangan usaha mudharib antara lain:
1. Laporan revenue sharing tidak benar
2. Laporan objek bagi hasil tidak benar
3. Laporan keuangan kurang sesuai dengan kenyataan
4. Memperbesar biaya
5. Laporan keuangan fiktif
6. Penurunan pendapatan pada laporan keuangan

7. Administrasi usaha tidak tertib
8. Laporan keuangan tidak dibuat secara transparan
9. Laporan keuangan yang tidak diaudit
10. Tidak mempunyai/membuat laporan keuangan
11. Tidak memberikan informasi secara terbuka
Berdasarkan jawaban responden pengusaha UMKM di Kabupaten Jember (Roziq dkk:
2015) dapat diketahui bahwa beberapa kesulitan atau kendala yang dihadapai dan
dirasakan oleh UMKM yang terkait dengan pembiayaan system bagi hasil yang diperoleh
dari lembaga keuangan antara lain; (a) persyaratan administrasi sulit, (b) jaminan kredit
tidak ada, (c) jumlah jaminan kredit kurang, (d) biaya bagi hasil tinggi, (e) arus
mengembalikan utang dalam 1 tahun, (f) menentukan bagi hasil, (g) kesulitan menentukan
margin karena belum bisa menyusun laporan keuangan, (h) memahami karakteristik rekan
kerja, (i) masalah penanggung kerugian, (j) kurang paham pola syariah dan (k) jangka
waktu terlalu pendek
C. Pembiayaan Salam (PSAK 103)
Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman di
kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli pada
saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
1.negosiasi pemesanan

Bank
Syariah
3.

Nasabah

2.bayar

negosiasi pemesanan

5.

kirim barang

4.bayar

Produsen

Gambar 1.Skema Salam (Rifqi:2008, Yahya:2009)
Berdasarkan tabel 1 pembiayaan skema salam di bank syariah mulai tahun 2009 sd
2015 sebesar Rp.0 (tidak ada) sedangkan menurut tabel 2 pembiayaan skema salam di BPR
syariah mulai tahun 2009 sd 2015 ada dengan jumlah sangat kecil dan mengalami
penurunan. Keadaan ini perlu dikaji, mengapa pembiayaan salam tidak berjalan di
perbankan syariah. Jika berdasarkan gambar 1 skema salam diatas tentang alur/tahapan
salam pararel yang telah dijelaskan dalam fatwa DSN NO: 05/DSN-MUI/IV/2000 dan
PSAK 103 tentang pembiayaan salam, maka skema ini sulit untuk dijalankan terutama bagi
pihak nasabah yang memesan barang ke bank syariah dan disertai pembayaran secara tunai.
Hasl penelitian Roziq dkk (2014) menemuan bahwa permasalahan yang akan dihadapi
dalam pelaksanaan operasionalisasi pembiayaan sistem salam oleh petani singkong
rendahnya kualitas ketela singkong, gagal panen, serangan hama penyakit, waktu stock dan
naik turunnya harga serta lamanya periode produksi mulai tanam sampai dengan panen
membutuhkan waktu 1 tahun. Permasalahan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan
operasionalisasi pembiayaan sistem salam pada industri/usaha tape, keripik singkong

maupun tepung singkong tidak adanya modal yang digunakan untuk membayar uang tunai
dimuka sebagaimana dipersyaratkan dalam akad salam, adanya ketakutan jika uang yang
telah dibayar kepada petani tidak diberikan kepada pemesan (industri/usaha tape, keripik
singkong maupun tepung singkong) bisa disebabkan karena petani berkarakter tidak baik
atau hasil panen di jual ke pihak lain karena adanya kenaikan harga. Permasalahan yang
akan dihadapi dalam pelaksanaan operasionalisasi pembiayaan sistem salam pada
industri/usaha tape, keripik singkong maupun tepung singkong tidak adanya modal yang
digunakan untuk membayar uang tunai dimuka sebagaimana dipersyaratkan dalam akad
salam, adanya ketakutan jika uang yang telah dibayar kepada petani tidak diberikan kepada
pemesan (industri/usaha tape, keripik singkong maupun tepung singkong) bisa disebabkan
karena petani berkarakter tidak baik atau hasil panen di jual ke pihak lain karena adanya
kenaikan harga.
Permasalahan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan operasionalisasi pembiayaan
sistem salam pada lembaga keuangan syariah seperti Bank Syariah Mandiri, Bank
Muamalat, BNI Syariah, BRI Syariah, BPR Syariah ASRI Madani Nusantara maupun BMT
Sidogiri adalah skema yang akan digunakan dalam pembiayaan salam kepada petani
singkong adalah dengan akad/skema salam pararel artinya bahwa lembaga lembaga
keuangan syariah seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat, BNI Syariah, BRI
Syariah, BPR Syariah ASRI Madani Nusantara maupun BMT Sidogiri membutuhkan
akad/skema salam yang kedua antara lembaga keuangan syariah tersebut dengan industri
berbahan singkong disamping akad/skema salam pertama antara lembaga keuangan syariah
tersebut dengan petani singkong.
Model pembiayaan sistem salam pada petani singkong, lembaga keuangan syariah
(Bank Syariah, BPR Syariah dan Koperasi Syariah) dan usaha kecil berbahan singkong
yang mungkin bisa dilakukan adalah pembiayaan salam pararel karena dengan salam
pararel maka lembaga keuangan syariah (Bank Syariah, BPR Syariah dan Koperasi
Syariah) akan memperoleh keuntungan dari margin/mark up harga. Model pembiayaan
salam pararel bisa dimodifikasi dengan sistem pembayaran seperti istisna yaitu dengan cara
diangsur atau dengan cara murabahah.
D. Akuntansi Zakat Infaq dan Sadaqah (PSAK 109)
Akuntansi zakat merupakan akuntansi yang digunakan oleh lembaga pengelola zakat
yang telah disahkan oleh pemerintah baik berbentuk Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun
berbentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Komponen laporan keuangan lengkap organisasi
pengelola zakat berdasarkan pada PSAK Nomor 109 sebagai berikut.
1. Laporan posisi keuangan
2. Laporan perubahan dana
3. Laporan perubahan aset kelolaan
4. Laporan arus kas
5. Catatan atas laporan keuangan
Hasil penelitian Roziq dkk (2013) menemukan bahwa organisasi pengelola zakat di
Kabupaten Jember yaitu Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF), Lembaga Amil Zakat
Kementrian Agama, Rumah Itqon Zakat Infak (Rizki), Azka Al Baitul Amil, Baitul Maal
Hidayatullah (BMH), Yatim Mandiri dan Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah
Muhammadiyah (LAZISMU) belum membuat laporan keuangan berdasarkan pada PSAK

Nomor 109 secara lengkap. Hanya Yatim Mandiri telah menyusun empat (4) bentuk
laporan keuangan kecuali Catatan atas laporan keuangan
Ketentuan PSAK Nomor 109 tentang Dana Non Halal
Dalam PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat ayat 41 telah disebutkan bahwa
Lembaga Amil Zakat juga harus membuat pengungkapan keberadaan dana non halal, jika
ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan
jumlahnya. Pendapatan non halal (dana non halal) adalah bukan merupakan pendapatan
yang secara sengaja diterima oleh entitas syariah seperti hasil korupsi, pencurian,
perampokan yang diketahui sebelumnya oleh entitas syariah tersebut. Pendapatan non halal
ini diterima oleh entitas syariah karena secara sistem entitas syariah otomatis menerima
seperti bunga dari investasi konvensional (tabungan dan deposito di bank konvensional).
Entitas syariah berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional dalam rangka lalu
lintas keuangan dan pembayaran karena secara sistem keuangan belum bisa
diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah sehingga statusnya adalah darurat. Jika
dikemudian hari lembaga keuangan syariah sudah bisa melayani transaksi tersebut, maka
disarankan agar hubungan dengan lembaga keuangan konvensional segera dihentikan untuk
menghindari transaksi ribawi. (Rifqi: 2008: 137)
Berdasarkan hasl penelitian Roziq dan Yanti (2014) Pertumbuhan dana non halal pada
LAZ Yatim Mandiri dan LAZ DD Surabaya rata-rata kecenderungannya adalah naik
meskipun grafik pertumbuhannya sangat fluktuatif. Hal ini menunjukkan tingkat
ketergantungan LAZ terhadap fasilitas bank konvensional masih sangat tinggi sehingga
sulit LAZ terlepas dari penerimaan dana non halal. LAZ Rumah Yatim Mandiri, LAZ
Rumah Zakat dan LAZ DD Surabaya dalam penyusunan laporan keuangan telah mengacu
pada pedoman akuntansi zakat yakni PSAK Nomor 109. Namun dalam hal perlakuan dana
non halal, ketiga LAZ tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perlakuan
akuntansi dana non halal yang ada di PSAK 109. Pengakuan dana non halal LAZ yang
sudah sesuai dengan PSAK 109 adalah LAZ Rumah Zakat yakni dana non halal diakui
sebagai penambah akun dana non halal sedangkan LAZ Yatim Mandiri dan LAZ DD
Surabaya masih belum sesuai. Penerimaan dana non halal pada LAZ Yatim Mandiri diakui
sebagai penambah dana amil, sedangkan penerimaan dana non halal pada LAZ DD
Surabaya diakui sebagai penambah dana masyarakat.
Daftar Pustaka
Baiq, Irfan Sauqi, 2006. Bank Syari’ah dan Pengembangan Sektor Riil. Pesantren
virtual.com.
Bank Indonesia. 2015. Statistik Bank Syariah Indonesia
Muhammad, 2005. Bank Syari’ah: Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
PSAK Syariah.2008. IAI
Rifqi Muhammad.2008.Akuntansi Keuangan Syariah. P3EI Press
Rizal Yahya. 2009.Akuntansi Perbankan
Syariah (Teori dan Praktek
Kontemporer) .PT. Salemba.Jakarta
Roziq, Ahmad. 2012. Competency of Sharia Account Officer, Islamic Business Ethics,
Information Asymmetry, Risk of Mudharaba Financing And Performance of
Mudharaba Financing. On Syariah Banking in East Jawa. Prosiding. AICIS 2012
Surabaya

Roziq, Ahmad. Siti Maria Wardayati dan Achmad Iswahyudi. 2013. Kompetensi Account
Officier Syariah, Risiko Dan Kinerja Serta Kendala Pembiayaan Mudharabah Pada
BMT di Kabupaten Jember. Prosiding. AICIS 2013 Mataram
Roziq, Ahmad , Yulinartati dan Lely Ana Ferawati Ekaningsih.2013. Three Circles Model
Revitalisasi Lembaga Pengelola Zakat. Jurnal Inferensi STAIN Salatiga
Roziq, Ahmad , Yulinartati dan Norita Citra Yuliarti.2015. Model Pembiayaan Sistem Bagi
Hasil Pada UMKM Di Kabupaten Jember
Roziq, Ahmad, Nur Hisamuddin, NiningIkaWahyuni dan Indah Purnamawati.2014. Model
Pembiayaan Salam Pada Petani Singkong Dan Usaha Kecil Berbahan Singkong Di
Kabupaten Jember. Jurnal Akuntansi Universitas Jember.
Roziq Ahmad, Widya Yanti . 2014. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian Dan Pengungkapan
Dana Non Halal Pada Laporan Keuangan Lembaga Amil Zakat. Jurnal Ekonomi
Akuntansi dan Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Siddiqui, Shahid Hasan, 2005. True Modes of Financing. Kuwait: Islamic Banking htm