D ADP 1201639 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Permasalahan utama kegiatan riset di Indonesia meliputi tiga aspek, yaitu alokasi biaya riset yang kurang memadai, produktivitas riset yang rendah, dan pemanfaatan hasil riset dalam pembangunan Indonesia yang kurang maksimal. Ketiga masalah tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga dibutuhkan pemecahan secara sistematis dan menyeluruh terhadap ketiga masalah tersebut.

Kegiatan riset berkorelasi erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan diyakini bahwa penguasaan iptek oleh suatu bangsa berperan penting dalam menunjang kemajuan pembangunan dan pembentukan peradaban bangsa dan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat penguasaan iptek oleh masyarakat, maka semakin tinggi pula kualitas kehidupan masyarakat yang pada akhirnya mampu berkontribusi maksimal dalam pendayagunaan potensi sumber daya yang dimilikinya. Kemajuan iptek juga mendorong terjadinya globalisasi kehidupan manusia karena manusia semakin mampu memberikan solusi tanpa terikat oleh dimensi jarak dan waktusehingga manusia semakin produktif. Perbedaan lokasi geografis dan batas-batas negara bukan lagi menjadi hambatan utama. Keadaan tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi negara untuk mampu menguasai, memanfaatkan, dan memajukan iptek dan memperkuat posisinya dalam persaingan antarbangsa di dunia. Kondisi tersebut dapat mamacu Indonesia dan mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi bagi kesejahteraan bangsa.

Temuan riset diperhitungkan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan. Masukan-masukan dari hasil riset ini dapat berupa alternatif dalam menyusun program-program pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilaksanakan melalui aktivitas pembangunan. Ketika


(2)

program pembangunan berjalan, riset menjadi bagian penting untuk terus dilakukan dalam upaya menganalisis kelebihan dan kelemahan yang


(3)

berhubungan dengan faktor-faktor sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik dan berbagai hal lain dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Jika kemudian ditemukan ada hambatan terdapat selama program pembangunan, maka melalui aktivitas riset dapat diketahui berbagai faktor penyebab secara empirik akademik dan segera ditemukan solusi penyelesaian masalahnya yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kultur akademik yang berlaku.

Kebijakan riset dan pembangunan berbasis teknologi (Kemristek, 2012) adalah riset harus menjadi upaya efektif dan produktif dalam memacu perkembangan iptek dengan mengacu pada amanah konstitusi, yakni untuk memajukan peradaban dan menyejahterakan umat manusia Indonesia. Oleh sebab itu, aktivitas riset yang diniatkan untuk pembangunan berbasis iptek tersebut tidak boleh hanya untuk memenuhi hasrat individu atau kelompok tertentu secara terbatas saja. Dengan kata lain, aktivitas riset juga harus dipertanggungjawabkan kepada publik untuk kepentingan pembangunan.

Terkait dengan kebijakan riset, Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang (UU) No.18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek). Di samping itu, guna melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual. Selanjutnya, pemerintah telah mengatur kebijakan tentang insentif bagi dunia industri melalui PP No. 35 tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Seluruh perangkat perundang-undangan tersebut ternyata belum mampu memberi insentif positif dalam bentuk finansial kepada inventor teknologi atau prototipe hasil riset karena terbentur oleh kebijakan pembiayaan riset dalam aturan keuangan negara dan sistem akuntansi keuangan pemerintah. Di samping itu, insentif riset yang belum diperoleh oleh lembaga riset adalah pengurangan atau bahkan penghapusan pajak


(4)

terhadap bahan dan alat-alat riset yang diimpor dari luar negeri. Kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan biaya nonteknis riset yang dapat menghambat produktivitas riset atau pengembangan prototipe hasil riset, dan akhirnya berdampak pada upaya hilirisasi hasil riset oleh industri.

Terkait dengan kebijakan kelembagaan riset di Indonesia, terdapat tiga lembaga yang fungsi sebagai advokasi yaitu Komite Inovasi Nasional (KIN) yang dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 32/2010, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang dibentuk melalui Undang-undang Nomor 8/1990, dan Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai amanat Undang- undang Nomor 18/2002. Sementara lembaga yang berfungsi sebagai penyusun kebijakan adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti) beserta kementerian sektoral yang lain. Lembaga penyelenggara riset dan penyedia layanan teknologi ada 8 (delapan) lembaga penelitian non-kementerian (LPNK), lembaga penelitian di kementerian, dan perguruan tinggi sebagai amanat tridharma perguruan tinggi. Di samping pembiayaan dari APBN di masing-masing lembaga penelitian tersebut, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga menyediakan bantuan biaya riset yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hasil pendapatan dari pengelolaan dana abadi pendidikan (endowment fund).

Pada saat ini iptek tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Para penghasil teknologi dituntut untuk mampu menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi para pengguna teknologi melalui kajian-kajian ilmu pengetahuan yang semakin terbuka secara luas. Mereka yang disebut penghasil teknologi dituntut untuk terus berpikir kreatif dan mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui kegiatan riset yang bermanfaat. Berbagai strategipun dilakukan oleh masing-masing negara dalam rangka pengembangan teknologi dan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kolaborasi riset, pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi menjadi salah satu strategi yang dilakukan dalam kebijakan pembangunan di banyak negara. Upaya tersebut dilakukan karena kemajuan iptek akan berdampak positif tidak hanya dari sisi


(5)

luaran ilmiah tetapi juga dalam hal peningkatan sumber daya dan inovasi untuk perubahan melalui aktivitas pembangunan yang terencana, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Negara-negaraseperti Jepang, India dan Tiongkok (lihat grafik 1.1), merupakan sebagian dari contoh negara-negara di kawasan Asia yang memiliki fokus pembangunan/kebijakan riset berbasis perencanaan dan dukungan aspek political will yang sangat baik. Bahkan pada saat ini, kemajuan riset dan teknologi yang dilakukan pemerintah Tiongkok telah membawa negara ini sebagai new emerging power di kawasan Asia yang sangat diperhitungkan negara-negara Barat.

Tabel 1.1. World of Research and Development

FORECAST GROSS EXPENDITURE ON R&D

2012 2013 2014

No Country GDP PPP BillUSD R&D %of GDP GERD* BillUSD GDP PPP BilUSD R&D %of GDP GERD* BillUSD GDP PPP BilUSD R&D %of GDP GERD* BillUSD

1 USA 15,940 2.8 447 16.195 2.8 450 16.616 2.8 465 2. Tiongkok 12.610 1.8 232 13.568 1.9 258 14.559 2.0 284 3. Japan 4.704 3.4 160 4.798 3.4 163 4.856 3.4 165 4. Germany 3.250 2.8 92 3.266 2.8 92 3.312 2.9 92 5. South

Korea

1.640 3.6 59 1.686 3.6 61 1.748 3.6 63 6. France 2.291 2.3 52 2.296 2.3 52 2.319 2.3 52 7. United

Kingdom

2.375 1.8 4.3 2.408 1.8 44 2.454 1.8 44 8. India 4.761 0.9 40 4.942 0.85 42 5.194 0.9 44 9. Russia 2.555 1.5 38 2.593 1.5 38 2.671 1.5 40 10. Brazil 2.394 1.3 30 2.454 1.3 31 2.515 1.3 33

40 Indonesia 1.237 0.1 2 1.303 0.2 2 1.374 0.2 3 Subtotal

(Top 40)

73.362 2.0 1.478 75.338 2.0 1.518 77.896 2.0 1.576 Rest of

world

10.071 0.4 39 10.413 0.4 40 10.837 0.4 42 Global

Spending


(6)

*GERD = Gross Expenditure on Research and Development PPP = Purchasing Power parity (used to normalize)

(Sumber:Diolah dari Dokumen Laporan UNESCO, 2014)

Grafik tersebut menggambarkan bahwa posisi Indonesia berada di urutan terakhir dalam pengalokasian dana riset dan pengembangan (R&D).

Perjalanan pembangunan di Indonesia, secara empirik ditemukan program-program pembangunan yang salah arah dan salah tujuan. Misalnya pembangunan sejuta hektar lahan sawah di Kalimantan Tengah, penanggulangan kemiskinan melalui Bantuan Tunai Langsung ke masyarakat dan sebagainya, setelah ditelisik dari beberapa penyebab kegagalan tersebut, salah satunya karena tidak didukung data hasil riset yang valid secara holistik dari berbagai aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Dengan kata lain, ditemukan beberapa program pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan dari masyarakat. Asumsi yang muncul dari kelemahan ini antara lain disebabkan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia lebih terfokus pada pemanfaatan teori dengan mengesampingkan kebutuhan dasar serta nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia yang dapat digambarkan secara utuh melalui proses riset yang berkualitas.

Hasil kajian awal tentang analisis riset dan hasil riset di Indonesia dihadapkan pada persoalan pembiayaan riset yang akan mempengaruhi hasil riset dan berbuntut panjang pada pemanfaatan hasil riset dalam kebijakan pembangunan. Pada persoalan pembiayaan riset di Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan, ketiga negara tersebut memiliki investasi di bidang penelitian dan pengembangan lebih dari 1 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Hal tersebut dipertegas dengan investasi riset di Jepang berada pada posisi di atas 2 persen dari GDP sejak tahun 1980an, dan sekarang telah mencapai 3,4 persen dari GDP. Korea Selatan telah menginvestasikan 3,6 persen dari GDP untuk Litbang sejak tahun 2012. Selain itu, kemajuan riset di Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok juga didukung oleh optimalisasi pengelolaan biaya riset dalam bentuk grant. Korea Selatan memiliki lembaga pendanaan riset yang dikenal dengan National Research Foundation yang menghimpun


(7)

pendanaan untuk riset dan dialokasikan pada berbagai institusi riset, perguruan tinggi dan lainnya melalui mekanisme seleksi kompetitif dan efektif. Sementara itu Amerika Serikat memiliki National Science Foundation untuk melakukan pengelolaan pembiayaan riset.

Dalam peta global, dalam tiga tahun terakhir (2012 s.d. 2014), pendanaan riset dunia didominasi oleh negara-negara Asia (dengan kontribusi sebesar 39,1%) dipimpin oleh Tiongkok dengan kontribusi sebesar 17,5%. Kemudian disusul oleh negara-negara Amerika (dengan kontribusi sebesar 33,9%) dipimpin oleh Amerika Serikat dengan kontribusi sebesar 31,3%, dan selanjutnya negara-negara Eropa (dengan kontribusi sebesar 21,7%) dipimpin oleh Jerman dengan kontribusi sebesar 5,7%. Selengkapnya dapat dilihat pada Bagan Tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2 Share of Total Global R&D Spending

Country 2012 2013 2014

Americas (21) 34.5% 34.0% 33.9%

USA 32.0% 31.4% 31.1%

Asia (20) 37.0% 38.3% 39.1%

Tingkok 15.3% 16.5% 17.5%

Japan 10.5% 10.5% 10.2%

India 2.7% 2.7% 2.7%

Europe (34) 23.1% 22.4% 21.7%

Germany 6.1% 5.9% 5.7%

Rest of World (36) 5.4% 5.3% 5.3%

Diolah dari sumber, Battele, R&D Magazine

Sebagaimana diutarakan di depan bahwa permasalahan riset yang dihadapi oleh Indonesia terutama berkaitan dengan alokasi biaya riset, produktivitas riset, dan pemanfaatan hasil riset dalam pembangunan Indonesia.

Terkait dengan alokasi biaya riset, pembiayan riset Indonesia belum memadai dibanding dengan alokasi pembiayaan riset di negara-negara lain, baik di tingkat Asia maupun dunia (lihat gambar 1.1).


(8)

Gambar 1.1. Amount of R&D Spending

Peta global riset dan pembangunan memperlihatkan bahwa Indonesia masih belum mampu menempatkan eksistensi dan urgensi riset dan pengembangan sebagai skala prioritas utama dalam alokasi sumber pendanaan negara. Data World of Research and Development (2014) menunjukkan bahwa produk domestik bruto atau Gross Domestic Product (GDP) Indonesia sebesar 1.374 milyar USD atau setara dengan Rp.17.862 trilyun dengan alokasi 3 milyar USD untuk pengeluaran pada aktivitas riset dan pengembangan (Gross Expenditure on Research and Development) atau sebesar 0,2% dari GDP. Data terakhir tentang pembiayaan riset Indonesia disampaikan oleh Menristek Dikti pada Forum Nasional: Inventor-Inovator-Investor 2015 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Banten, pada tanggal 5 Agustus 2015 yang menyatakan bahwa saat ini alokasi biaya riset baru mencapai 0,09% dari GDP (Merdeka.com, 5 Agustus 2015). Alokasi biaya riset dan aktivitas riset dan pengembangan tersebut tersebar pada instansi pemerintah, perguruan tinggi, dan industri, dengan alokasi terbesar pada pemerintah sebesar 74% dan swasta sebesar 26%.

Berpijak pada sumber Menristek Dikti tersebut, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6% di tahun 2015, data Kementerian Keuangan dalam Pengantar Nota Keuangan 2015 menyatakan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2015 sebesar Rp 11.098,352 trilyun. Dengan demikian, alokasi biaya riset dan pengembangan tersebut sebesar 0,09% dari PDB atau setara dengan Rp.9,9trilyun. Menurut rekomendasi United Nations

Educational, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO), rasio

anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen dari PDB yang berarti alokasi ideal dana riset Indonesia sekitar Rp220 trilyun. Dengan demikian, Indonesia baru mampu mengalokasikan 1/22 dari kebutuhan dana riset dan pengembangan yang ideal sebuah negara.


(9)

Laporan-laporan World Economic Forum mencatat bahwa indeks daya saing global Indonesia sempat berada di peringkat 54 pada tahun 2009, lalu naik ke peringkat 44 pada tahun 2010. Namun, peringkat Indonesia kembali turun ke peringkat 46 pada tahun 2011 dan peringkat 50 pada tahun 2012, selanjutnya kembali naik ke peringkat 38 pada tahun 2013, lalu naik lagi ke peringkat 34 pada tahun 2014.

Naiknya peringkat daya saing global tidak lepas dari optimalisasi riset dari meningkatnya kemampuan sumber daya Indonesia dalam pilar-pilar tersebut. Perubahan sangat tampak pada dua pilar, yaitu a) kesiapan teknologi, yang dalam hal ini Indonesia berada di posisi 85 pada tahun 2012-2013 menjadi posisi 75 pada tahun 2012-2013-2014, dan b) pilar inovasi, yang semula berada di posisi 39 pada tahun 2012-2013 menjadi posisi 33 di tahun 2013-2014 (Adawiyah, Aji, dan Edi, 2014: 2). Meskipun peringkat daya saing global Indonesia meningkat ternyata belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan publikasi internasional yang tinggi. Berdasarkan data publikasi internasional, Indonesia selama kurun waktu 2001-2010 hanya menghasilkan 7.843 publikasi ilmiah, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia yang telah menghasilkan lebih dari 30.000 publikasi ilmiah internasional. Menurut data yang diperoleh dari SCImago sejak 1996-2013, Indonesia menduduki posisi 61 dari 239 negara, dengan jumlah dokumen sebanyak 25.481 (lihat tabel 1.3). Kondisi ini mengindikasikan bahwa tradisi riset masih sangat rendah di kalangan akademisi. Berdasarkan survei SCImago (SCImago Journal & Country Rank, 2013), publikasi berdasarkan hasil penelitian selama 16 tahun (1996-2013) hanya mencapai 25.481 tulisan, padahal jumlah dosen/peneliti di Perguruan Tinggi saja sekitar 120.492 orang. Belum lagi peneliti dan perekayasa, sebanyak 11.234 orang (Kementerian Riset dan Teknologi, 2014).

Tabel 1.3, Peringkat Output Riset Indonesia Berdasarkan Jumlah Dokumen Penelitian yang Terindeks Scopus


(10)

Rank Country Docs Citable

Docs Citations Self-Citations

Citations per Doc

H index

1 USA 7.846.972 7.281.575 152.984.430 72.993.120 22.02 1.518

2. Tiongkok 3.129.719 3.095.159 14.752.062 8.022.637 6.81 436

3. United

Kingdom 2.141/375 1.932.907 37.450.384 8.829.739 19.82 934

4. Germany 1.9983.270 1.876.342 30.644.118 7.966.777 17.39 815

5. Japan 1.929.402 1.874.277 23.632.173 6.832.173 13.01 694

59. Cuba 27.139 26.186 147.685 31.514 6.35 106

60. Belarus 26.920 26.525 148.685 28.24 11.86 114

61. Indonesia 25.481 24.461 185.695 20.75 11.86 126

62. Bangladesh 23.028 22.286 147.791 28.986 9.26 112

63. UEA 22.874 21.785 131.259 14.245 8.42 100

239. Tokelau 1 1 36 0 36.0 1

Riset yang berkualitas ditentukan oleh sumber daya iptek, bukan saja sumber daya manusia (SDM), tetapi juga pembiayaan iptek, sarana/prasarana iptek, data dan informasi iptek serta kekayaan intelelektual. Di bidang SDM, perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia tahun 2013, berkisar 529,38 peneliti dari setiap 1 juta jiwa, dan jumlah peneliti saat ini hanya sekitar 8.912 orang dan perekayasa 2.322 orang, sedangkan pengajar di Perguruan Tinggi (PT) Negeri dan Swasta tahun 2013 sekitar 120.492 ribu orang.

Data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, pada tahun 2015 implikasi yang diharapkan dari pengalokasian biaya riset adalah 1) peningkatan jumlah paten terdaftar dalam skala internasional pada kurun waktu lima tahun ke depan, yaitu pada 2015 menargetkan 1,580 paten, pada 2016 menargetkan 1.735 paten, pada 2017 menargetkan 1.910 paten, pada 2018 menargetkan 2.100 paten, dan pada akhir 2019 menargetkan 2.305 paten. 2) peningkatan jumlah publikasi internasional dalam lima tahun ke depan, yaitu pada 2015 menargetkan 5.008 judul, pada 2016 menargetkan 6.229 judul, pada 2017 menargetkan 7.769 judul, pada 2018 menargetkan 9.689 judul, dan pada akhir 2019 menargetkan 12.089 judul. 3) peningkatan jumlah prototipe dan teknologi tepat guna lima tahun ke depan, yaitu pada


(11)

2015 menargetkan 530 prototipe, pada 2016 menargetkan 632 prototipe, pada 2017 menargetkan 783 prototipe, pada 2018 menargetkan 930 prototipe, dan pada akhir 2019 menargetkan 1.081 prototipe (sumber: Rencana Strategis Kemristek, 2014—2019).

Tantangan kebutuhan pembiayaan riset dan idealisme tersebut dijawab dengan optimis melalui pengalokasian dana riset dan pengembangan sektor pemerintah dituangkan dalam alokasi pembiayaan riset oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang diprioritaskan pada riset untuk peningkatan daya saing bangsa melalui peningkatan mutu pendidikan tinggi dan inovasi, publikasi internasional, dan hilirisasi hasil riset yang siap diproduksi oleh industri dan dunia usaha lainnya.

Produktivitas riset sangat terkait dengan pembiayaan riset baik mekanisme pembiayaan maupun alokasi biaya riset. Pembiayaan riset nasional menjadi variabel penting dalam meningkatkan produktivitas iptek nasional kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Permasalahan pembiayaan riset juga disebabkan karena masih rendahnya investasi riset dari lembaga-lembaga nonpemerintah termasuk dunia usaha. Kondisi tersebut menggambarkan masih rendahnya tingkat kolaborasi antar instansi dalam mendorong aktivitas riset sebagai basis pembangunan berkelanjutan untuk perubahan. Kondisi ini diperkuat dengan tersebarnya pembiayaan riset yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pembiayaan riset, topik riset serta hasil riset yang tidak dapat diimplementasikan dengan baik untuk kepentingan pembangunan. Lemahnya sistem pengelolaan pembiayaan riset menjadi perbincangan menarik dari kalangan para periset dalam melaksanakan tugas dan pengembangan kualitas diri sebagai periset profesional.

Selain pembiayaan riset dan produktivitas riset, permasalahan riset lainnya terkait dengan pemanfaatan hasil riset atau alih teknologi dalam pembangunan Indonesia. Selama ini, riset-riset yang dilakukan hanya menumpuk di gudang-gudang lembaga litbang dan perguruan tinggi atau berhenti pada tingkat prototipe atau model atau dalam terminologi ristek baru


(12)

sampai tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) 6 setara dengan tingkat kesiapan inovasi (innovation readiness level) 3. Hal ini berakibat pada kurangnya inovasi, yang kemudian berpengaruh terhadap produktivitas. Kondisi ini perlu segera dibenahi dengan mendorong kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga litbang dan industri. Penjelasan tersebut menyiratkan dua persoalan penting dalam masalah riset di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan pembiayaan baik alokasi maupun mekanismenya, kedua menyangkut masalah kapabilitas sumber daya manusia, yang masih ditambah dengan pengelolaan pembiayaan riset yang dinilai kurang efektif dan efisien (Kemristek, 2012) yang dinyatakan sebagai berikut:

“. . . .sumber pembiayaan riset yang bersifat grant tersebar di berbagai instansi pemerintah. Sebagai contoh di Kementrian Riset dan Teknologi, di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan di Kementrian KUKM. Hal ini mengakibatkan sering terjadi tumpang tindih program-program litbang pada level lembaga riset, LPNK dan perguruan tinggi. . . . Persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan pengelolaan pendanaan riset dilakukan oleh swasta maka akan sulit dalam memanfaatkan dan mengakomodir pendanaan dari sektor swasta untuk

investasi litbang”.

Pendapat tersebut menegaskan tentang simpul produktivitas riset dalam kerangka pembangunan dan pengembangan iptek. Dalam upaya menghasilkan produk riset yang berkualitas terdapat beberapa domain yang berpengaruh seperti kewenangan yang dimiliki, kapasitas pembiayaan, kapasitas sumber daya manusia, kapasitas infrastruktur dan ilmu pengetahuan yang saling mengkait satu sama lain menuju kualitas kinerja penciptaan temuan baru untuk pembangunan.

Dalam rangka menyusun struktur kerangka pikir peningkatan kinerja pembiayaan riset, Kementerian Riset dan Teknologi (sekarang Kementerian


(13)

Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengupayakan tiga jalur perbaikan dan peningkatan kapasitas yaitu: 1) optimalisasi pembiayaan Riset dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RIPTEK); 2) revitalisasi sistem pengelolaan pendanan RIPTEK; dan 3) peningkatan alokasi pendanaan RIPTEK. Ketiga jalur perbaikan tersebut dikemas dalam program Pengembangan Pendanaan RIPTEK yang diharapkan dapat mewujudkan peningkatan produktivitas RIPTEK. Hal tersebut menggambarkan bahwa pembiayaan riset menjadi problem krusial dalam mencapai produktivitas riset yang diharapkan.

Terkait denganpemanfaatan hasil riset, langkah awal pemerintah adalah kebijakan menggabungkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi. Terobosan ini walaupun menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, terutama perguruan tinggi khusunya dari aspek kultur akademik di perguruan tinggi, namun mengandung manfaat dalam penerapan kebijakan hilirisasi hasil riset oleh kalangan industri, seperti dikatakan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam Rakernas Ristek Dikti 2015, “Ujung tombak industri ada di perguruan tinggi. Maka harus ada kerja sama antara akademisi, pemerintah, dan

industri. Riset yang dihasilkan harus bisa dihilirkan pada dunia usaha”.

Sejalan dengan upaya hilirisasi hasil riset, intervensi kebijakan alokasi dana riset di setiap perguruan tinggi sebesar 30% dari Bantuan Operasional PTN (BO PTN) sehingga kolaborasi riset yang dimulai dari perguruan tinggi dapat mencapai tahap inovasi sampai tahap menghasilkan prototipe yang siap diproduksi atau diimplementasikan oleh industri. Di samping itu, di tingkat kebijakan nasional, Kemristek Dikti menempatkan pengelolaan riset oleh dua Direktorat Jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Riset dan Pengembanan yang bertanggung jawab untuk mengelola kebijakan riset dengan tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) 1 sampai dengan 6, sedangkan riset dengan TKT 7 sampai dengan 9 dikelola oleh Direkorat Jenderal Penguatan Inovasi.

Kemajuan pembangunan suatu bangsa tidak cukup bila hanya dilihat dari laju pertumbuhannya dari tahun ke tahun. Konsep pembangunan


(14)

sebagaimana dikatakan Arda (2014) menegaskan bahwa pembangunan dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional, atau lokal yang terwujud dalam kebijakan, program atau proyek yang secara terencana mengubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari suatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum pembangunan tersebut. Aktivitas pembangunan suatu bangsa menjadi instrumen penting dalam mengukur kualitas sumber daya manusia dalam melakukan perubahan demi perubahan untuk menjawab tantangan global yang dihadapi. Perubahan yang dimaksud adalah perubahanmenuju kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik pada tataran ekonomi, politik, sosial dan budaya sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan yang telah dirancang dan dilaksanakan. Geliat pembangunan dan keberhasilan yang dapat diwujudkan dapat dicermati dari seberapa besar aktivitas riset sebagai langkah inovatif yang dilakukan untuk perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Riset dilakukan dan ditujukan bukan hanya untuk kemajuan akademik di perguruan tinggi dan berkaitan dengan konteks tridarma perguruan tinggi, akan tetapi riset yang juga dapat diterapkan bagi pelaku usaha dalam dunia bisnis dalam melakukan ekspansi bisnis berbasis riset dalam konteks pembangunan secara menyeluruh (Tanjung, 2014). Salah satu kontribusi hasil riset adalah ditemukannya formula pemecahan masalah manusia dan kemanusiaan secara empirik dan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasil riset sangat baik bila digunakan oleh para stakeholder untuk mengambil keputusan seperti di lingkup perbankan, dunia usaha/industri, investor, pemerintah dan para pengambil kebijakan di berbagai bidang.

Pemanfaatan hasil riset untuk pembangunan dan pengembangan iptek perlu terus ditingkatkan agar dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan secara berkelanjutan, khususnya di negara berkembang yang sedang menuju negara maju (thedeveloping goes to the developed country) seperti Indonesia. Kedudukan riset bagi perkembangan suatu bangsa dapat dimaknai sebagai


(15)

suatu aktivitas berpikir ilmiah berdasarkan metodologi tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara empirik ilmiah. Secara historis dapat dipelajari bahwa dalam kenyataannya tidak ada satu negara majupun di dunia yang berhasil dalam pembangunan tanpa didukung oleh kegiatan riset yang berkualitas sehingga muncul anggapan bahwa riset hanya dapat dilakukan oleh negara-negara maju. Realitas anggapan ini didasarkan pada asumsi bahwa negara-negara maju yang dimaksud memiliki dukungan pendanaan dan tenaga periset yang memadai. Sehubungan dengan hal itu, Rahardjo (2010) menyatakan “besarnya biaya yang dikeluarkan untuk riset tidak hanya dapat dilihat dari jumlah uang dan tenaga yang dipergunakan tetapi yang paling penting adalah manfaat dari riset tersebut bagi pembangunan negara-negara berkembang” seperti di Indonesia.

Peranan riset dalam sejarah pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia saat ini sudah tidak diragukan lagi. Melalui berbagai bentuk riset yang pernah dilakukan maka segala masalah atau potensi yang ada selama proses pembangunan berlangsung dapat diketahui, dirancang, direncanakan solusi dan dimanfaatkan hasilnya. Berbagai bentuk pengujian-pengujian, evaluasi dan tinjauan kembali terhadap berbagai kegiatan pembangunan hanya dapat diketahui apabila riset dilaksanakan dan mendapat dukungan baik dari para pembuat kebijakan. Dengan kata lain, riset memegang peran penting dalam setiap pengambilan keputusan atau langkah-langkah dalam segala aspek pembangunan. Pembangunan dan riset memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga kehidupannya lebih baik dan lebih sejahtera. Di tingkat abstraksi, Arda (2014) menyatakan dua konsep ini tidak terdapat pertentangan. Secara teori, pembangunan harus dilakukan dengan melibatkan proses riset di dalamnya. Riset dilakukan sebagai upaya permulaan untuk mengidentifikasi adanya masalah-masalah yang berkaitan dengan pembangunan. Riset bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembuat keputusan untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengkomunikasikan kebijakan dari pembuat keputusan.


(16)

Produktivitas riset menurut Kemristek (2012) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor demografi, perkembangan karir individu, institusi, dan lingkungan. Faktor demografi berkaitan dengan karakteristik personal dan kondisi sosial ekonomi individu yang terlibat dalam proses riset. Hal ini berkaitan dengan kualitas metodologi pelaku riset dan cara pandang pelaku riset terhadap pembiayaan riset dengan kebutuhan pribadi yang melingkupi. Karakteristik ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman melakukan riset, usia, jenis kelamin dan motivasi personal dalam melakukan riset. Perkembangan karir individu dipengaruhi oleh kualifikasi akademik dan kualifikasi personal, kemampuan dan minat individu, sikap dan komitmen, pengalaman melakukan riset, pengalaman training, keahlian dan ketrampilan berkomunikasi, kepuasan kerja, kecukupan pendanaan dan kebebasan untuk berkolaborasi. Sementara itu faktor institusi yang dimaksud berkaitan dengan birokrasi dan kebijakan, kemajuan teknologi, dukungan finansial untuk pendanaan riset, gaji dan waktu yang digunakan untuk riset, termasuk masalah kepemimpinan serta struktur organisasi yang ada.

Berdasarkan arah kebijakan yang ditunjang data empirik dan landasan teori sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut.

1. Sumber pembiayaan riset di Indonesia sampai saat ini masih didominasi dari pemerintah baik melalui APBN maupun APBD, sedangkan pihak swasta belum banyak yang terlibat dalam pembiayaan riset. Sebagai pembanding, di Singapura, sekitar 80% pembiayaan riset bersumber dari pihak swasta, sedangkan dari pemerintah hanya 20%. Berbeda dengan Indonesia, data Kemristek Dikti menyatakan bahwa pembiayaan riset dari pemerintah masih mayoritas, yakni 74%, sedangkan dunia usaha dan dunia industri hanya 26%(Kemristek Dikti, 2015). Namun demikian, perbedaan data tersebut mengindikasikan kesamaan bahwa hasil riset di Indonesia belum mampu menarik pihak swasta untuk memanfaatkannya dalam bentuk skema komersialisasi hasil riset. Hal inilah yang kemudian menjadi


(17)

kendala dalam melakukan alih teknologi hasil riset dalam pengembangan dunia industri.

2. Pengelolaan biaya riset di Indonesia memiliki dua tipe sistem pembiayaan, yaitu sistem pembiayaan riset langsung (direct budgetting) dan pembiayaan riset tidak langsung(indirect budgetting). Pembiayaan riset langsung (direct budgetting) meliputi dua skema yaitu: a) Project Research (Konsorsium berdasarkan Kebijakan Nasional) yang dikelola oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menggunakan sumber dana dari APBN; b) Nonproject Research (Afirmasi Nasional), yang dikelola oleh instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU yang menggunakan sumber dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sistem pembiayaan riset tidak langsung (indirect budgetting) jugamemiliki dua skema yaitu: a) skema hibah kompetisi, yang dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BPPT, Litbang K/L, dan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Sumber pembiayaan riset untuk perguruan tinggi, LIPI, dan Litbang K/L adalah APBN, sedangkan sumber pembiayaan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU berasal dari PNBP. b) skema kuota, yang dikelola oleh perguruan tinggi sesuai dengan klaster yang ditetapkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari APBN.

3. Mekanisme pembiayaan riset masih terbagi ke dalam mekanisme APBN dan mekanisme PK-BLU. Mencermati sifat kegiatan riset, maka mekanisme PK-BLU dinilai lebih tepat karena tidak terganggu dengan siklus APBN dan mempunyai fleksibilitas yang memadai dalam pengelolaan dana dan penetapan standar biaya riset. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2005, salah satu manfaat BLU yang mempunyai standar biaya berdasarkan perhitungan akuntansi biaya adalah dapat menggunakan standar biaya tersebut untuk menyusun rencana bisnis dan anggaran (RBA). Penggunaan standar biaya berdasarkan perhitungan akuntansi biaya yang disusun sendiri oleh


(18)

lembaga BLU tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan layanan BLU. Berdasarkan uraian tersebut, lembaga BLU perlu memiliki standar biaya yang jelas agar setiap layanan yang diberikan dapat secara efektif dan efisien serta memberikan value yang dapat dipertanggungjawabkan. Standar biaya dapat disajikan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Untuk itu, lembaga BLU membutuhkan informasi yang jelas mengenai satuan tarif biaya layanan yang berkaitan mencakup harga pokok produksi/biaya pelayanan, biaya satuan (unit cost) per unit layanan, maupun analisis varian antara biaya standar dan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan.

4. Terkait dengan mekanisme pembiayaan riset yang selama ini dilaksanakan melalui dua jalur kelembagaan. Pertama, kelembagaan satuan kerja yang mengacu pada siklus APBN. Kedua,kelembagaan yang menerapkan PK-BLU dengan fleksibilitas pengeloaan keuangan karena tidak terikat dengan mekanisme dan siklus APBN. PK-BLU terdapat dibeberapa instansi pemerintah sesuai dengan visi dan misi intansi masing-masing. Instansi Pemerintah yang menerapkan PK-BLU memiliki karakteristik tertentu dan membedakan dengan instansi pemerintah lainnya. BLU dibentuk untuk memberikan penyediaan layanan barang maupun jasa kepada masyarakat dengan tidak mengutamakan mencari keuntungan dan dalam memberikan layanan kepada masyarakat, BLU dimungkinkan untuk mengenakan tarif layanan untuk setiap layanan yang diberikan, namun tarif layanan yang ditetapkan harus dalam besaran yang wajar dan tidak dimaksudkan mencari keuntungan.

5. Instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU dalam menghitung tarif layanan untuk setiap layanan yang diberikan, membutuhkan besaran standar biaya tertentu untuk setiap satuan aktivitas yang dilakukan. Metode yang digunakan untuk menentukan standar biaya yaitu dengan menggunakan perhitungan akuntansi biaya. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, yang


(19)

disempurnakan dengan peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2012, pemanfaatan konsep perhitungan akuntansi biaya dalam instansi BLU sangat berperan penting dalam pelaksanaan aktivitas perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Secara umum tujuan pengaplikasian konsep perhitungan akuntansi biaya dalam instansi pemerintahan adalah untuk menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan, pertanggungjawaban kinerja, dan juga sebagai bahan informasi lain bagi kepentingan manajerial. Perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya paling kurang menyajikan perhitungan biaya langsung dan biaya tidak langsung.

6. Produktivitas riset merupakan capaian kinerja periset atau lembaga riset dalam memanfaatkan potensi biaya dan sumber daya yang ada. Produktivitas riset secara tidak langsung akan berdampak pada tingkat produktivitas nasional yang ditandai dengan indeks daya saing global (Global Competiiveness Index/GCI). Pada tahun 2014, Indeks Daya Saing Global Indonesia naik ke peringkat 34 dari 144 negara. Penilaian peringkat daya saing global didasarkan pada 12 pilar daya saing, yaitu: (a) pengelolaan institusi yang baik; (b) infrastruktur; (c) kondisi dan situasi ekonomi makro; (d) kesehatan dan pendidikan dasar; (e) pendidikan tingkat atas dan pelatihan; (f) efisiensi pasar; (g) efisiensi tenaga kerja; (h) pengembangan pasar finansial; (i) kesiapan teknologi; (j) ukuran pasar; (k) lingkungan bisnis; dan (l) inovasi.

Sehubungan dengan identifikasi permasalahan tersebut, penelitian ini menganalisis kebijakan pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan riset di berbagai instansi pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan badan layanan umum (PK-BLU). Terdapat dua alasan penting kenapa penelitian ini mengarah pada mekanisme pembiayaan riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Pertama, Indonesia belum terbangun sinkronisasi dan integrasi landasan hukum tentang mekanisme pembiayaan riset di lingkungan instansi pemerintah (badan penelitian dan pengembangan kementerian/lembaga riset nonkementerian dan perguruan tinggi). Selama imi


(20)

meknisme pembiayaan riset mengacu pada mekanisme anggaran tahunan dalam siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara reguler, sehingga terkendala dari segi efektivitas pemanfaatan waktu pelaksanaan riset dan mekanisme pertanggungjawaban pembiayaan riset yang lebih mengedepankan aspek administrasi keuangan daripada aspek substansi riset itu sendiri. Kedua, pembatasan sasaran penelitian pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU didasarkan pada karakteristik organisasi BLU yang mempunyai fleksibilitas dalam manajemen pembiayaan intenal organisasi sehingga dapat menerapkan model pembiayaan yang dikembangkan dalam penelitian ini. Mengacu pada kedua alasan tersebut, penelitian ini mengembangkan model manajemen pembiayaan riset yang dapat diterapkan di seluruh instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan,penelitian ini mengembangkan model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset pada satuan kerja instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset tersebut mencakup dua submodel. Pertama submodel terkait masalah manajemen pembiayaan riset di tingkat lembaga pengelola dana riset dan lembaga riset. Kedua, submodel terkait masalah mekanisme kerja sama antara lembaga riset dan mitra riset dalam rangka alih teknologi dan komersialisasi dan/atau implmentasi hasil riset.

Berdasarkan hasil tersebut, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah kriteria seleksi proposal riset sudah ditetapkan dan diimplementasikan pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU? 2. Apakah standar biaya dan komponen pembiayaan riset sudah ditetapkan

dan dijadikan acuan dalam pembiayaan riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?


(21)

3. Apakah pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU sudah mempunyai dan menerapkan pola kerjasama dalam perencanaan kebutuhan riset, pengelolaan alih teknologi hasil riset, komersialaisasi hasil risetdan pengelolaan dampak komersialisasihasil riset?

4. Bagaimana penerapan mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan penggunaan biaya risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

5. Bagaimana alih teknologi hasil riset dikelola pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

6. Apakah pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU sudah mempunyai dan menerapkan standar komersialisasi hasil riset?

7. Bagaimana dampak komersialisasi hasil riset dikelola pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah tersusunnya model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset yang dapat digunakan oleh seluruh satuan kerja instansi pemerintah yang menerapkan PK BLU, sehingga tersusun mekanisme pembiayaan riset dan mekanisme kerja sama alih teknologi dan komersialaisasi hasil riset di lingkungan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait kriteria seleksi proposal riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

b. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait standar biaya dan komponen pembiayaan riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.


(22)

c. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU terkait pola kerjasama dalam perencanaan kebutuhan riset, pengelolaan alih teknologi hasil riset, komersialisasi hasil riset dan pengelolaan dampak komersialisasihasil riset.

d. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan penggunaan biaya risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

e. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait alih teknologi hasil riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

f. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait standar komersialisasi hasil risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

g. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait dampak komersialisasi hasil risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut: a. memberikan informasi sebagai khazanah ilmu pengetahuan dan

wawasan tentang manajemen pembiayaan riset.

b. dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti lainnya dalam melakukan kajian tentang manajemen pembiayaan riset di Indonesia, khususnya di instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut a. dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk

nenerapkan model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset di instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU, baik dalam


(23)

lingkungan lembaga pemberi dana riset, lembaga riset, maupun perguruan tinggi.

b. dapat menjadi acuan dalam mengembangkan model kerja sama antara lembaga periset dan mitra riset terkait alih teknologi dan komersialisasi hasil riset baik di lingkungan lembaga pemberi dana riset, lembaga riset, maupun perguruan tinggi.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini akan disusun dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan, yang mencakup tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi disertasi. Bab II adalah kajian pustaka, memuat tentang kajian teoritis terkait manajemen pembiayaan riset dan pelaksanaan riset dalam rangka alih teknologi dan komersialisasi riset, serta kerangka pemikiran dari penelitian ini. Bab III adalah metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bab IV adalah temuan dan pembahasan, yang berisi temuan penelitian dan pembahasan temuan penelitian. Dalam subbab pembahasan, disajikan model hipotetik manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Terakhir pada Bab V disajikan simpulan, implikasi, dan rekomendasi.


(1)

lembaga BLU tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan layanan BLU. Berdasarkan uraian tersebut, lembaga BLU perlu memiliki standar biaya yang jelas agar setiap layanan yang diberikan dapat secara efektif dan efisien serta memberikan value yang dapat dipertanggungjawabkan. Standar biaya dapat disajikan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Untuk itu, lembaga BLU membutuhkan informasi yang jelas mengenai satuan tarif biaya layanan yang berkaitan mencakup harga pokok produksi/biaya pelayanan, biaya satuan (unit cost) per unit layanan, maupun analisis varian antara biaya standar dan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan.

4. Terkait dengan mekanisme pembiayaan riset yang selama ini dilaksanakan melalui dua jalur kelembagaan. Pertama, kelembagaan satuan kerja yang mengacu pada siklus APBN. Kedua,kelembagaan yang menerapkan PK-BLU dengan fleksibilitas pengeloaan keuangan karena tidak terikat dengan mekanisme dan siklus APBN. PK-BLU terdapat dibeberapa instansi pemerintah sesuai dengan visi dan misi intansi masing-masing. Instansi Pemerintah yang menerapkan PK-BLU memiliki karakteristik tertentu dan membedakan dengan instansi pemerintah lainnya. BLU dibentuk untuk memberikan penyediaan layanan barang maupun jasa kepada masyarakat dengan tidak mengutamakan mencari keuntungan dan dalam memberikan layanan kepada masyarakat, BLU dimungkinkan untuk mengenakan tarif layanan untuk setiap layanan yang diberikan, namun tarif layanan yang ditetapkan harus dalam besaran yang wajar dan tidak dimaksudkan mencari keuntungan.

5. Instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU dalam menghitung tarif layanan untuk setiap layanan yang diberikan, membutuhkan besaran standar biaya tertentu untuk setiap satuan aktivitas yang dilakukan. Metode yang digunakan untuk menentukan standar biaya yaitu dengan menggunakan perhitungan akuntansi biaya. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, yang


(2)

disempurnakan dengan peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2012, pemanfaatan konsep perhitungan akuntansi biaya dalam instansi BLU sangat berperan penting dalam pelaksanaan aktivitas perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Secara umum tujuan pengaplikasian konsep perhitungan akuntansi biaya dalam instansi pemerintahan adalah untuk menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan, pertanggungjawaban kinerja, dan juga sebagai bahan informasi lain bagi kepentingan manajerial. Perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya paling kurang menyajikan perhitungan biaya langsung dan biaya tidak langsung.

6. Produktivitas riset merupakan capaian kinerja periset atau lembaga riset dalam memanfaatkan potensi biaya dan sumber daya yang ada. Produktivitas riset secara tidak langsung akan berdampak pada tingkat produktivitas nasional yang ditandai dengan indeks daya saing global (Global Competiiveness Index/GCI). Pada tahun 2014, Indeks Daya Saing Global Indonesia naik ke peringkat 34 dari 144 negara. Penilaian peringkat daya saing global didasarkan pada 12 pilar daya saing, yaitu: (a) pengelolaan institusi yang baik; (b) infrastruktur; (c) kondisi dan situasi ekonomi makro; (d) kesehatan dan pendidikan dasar; (e) pendidikan tingkat atas dan pelatihan; (f) efisiensi pasar; (g) efisiensi tenaga kerja; (h) pengembangan pasar finansial; (i) kesiapan teknologi; (j) ukuran pasar; (k) lingkungan bisnis; dan (l) inovasi.

Sehubungan dengan identifikasi permasalahan tersebut, penelitian ini menganalisis kebijakan pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan riset di berbagai instansi pemerintah yang menerapkan pengelolaan keuangan badan layanan umum (PK-BLU). Terdapat dua alasan penting kenapa penelitian ini mengarah pada mekanisme pembiayaan riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Pertama, Indonesia belum terbangun sinkronisasi dan integrasi landasan hukum tentang mekanisme pembiayaan riset di lingkungan instansi pemerintah (badan penelitian dan pengembangan


(3)

meknisme pembiayaan riset mengacu pada mekanisme anggaran tahunan dalam siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara reguler, sehingga terkendala dari segi efektivitas pemanfaatan waktu pelaksanaan riset dan mekanisme pertanggungjawaban pembiayaan riset yang lebih mengedepankan aspek administrasi keuangan daripada aspek substansi riset itu sendiri. Kedua, pembatasan sasaran penelitian pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU didasarkan pada karakteristik organisasi BLU yang mempunyai fleksibilitas dalam manajemen pembiayaan intenal organisasi sehingga dapat menerapkan model pembiayaan yang dikembangkan dalam penelitian ini. Mengacu pada kedua alasan tersebut, penelitian ini mengembangkan model manajemen pembiayaan riset yang dapat diterapkan di seluruh instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan,penelitian ini mengembangkan model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset pada satuan kerja instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset tersebut mencakup dua submodel. Pertama submodel terkait masalah manajemen pembiayaan riset di tingkat lembaga pengelola dana riset dan lembaga riset. Kedua, submodel terkait masalah mekanisme kerja sama antara lembaga riset dan mitra riset dalam rangka alih teknologi dan komersialisasi dan/atau implmentasi hasil riset.

Berdasarkan hasil tersebut, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah kriteria seleksi proposal riset sudah ditetapkan dan diimplementasikan pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU? 2. Apakah standar biaya dan komponen pembiayaan riset sudah ditetapkan

dan dijadikan acuan dalam pembiayaan riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?


(4)

3. Apakah pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU sudah mempunyai dan menerapkan pola kerjasama dalam perencanaan kebutuhan riset, pengelolaan alih teknologi hasil riset, komersialaisasi hasil risetdan pengelolaan dampak komersialisasihasil riset?

4. Bagaimana penerapan mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan penggunaan biaya risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

5. Bagaimana alih teknologi hasil riset dikelola pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

6. Apakah pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU sudah mempunyai dan menerapkan standar komersialisasi hasil riset?

7. Bagaimana dampak komersialisasi hasil riset dikelola pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah tersusunnya model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset yang dapat digunakan oleh seluruh satuan kerja instansi pemerintah yang menerapkan PK BLU, sehingga tersusun mekanisme pembiayaan riset dan mekanisme kerja sama alih teknologi dan komersialaisasi hasil riset di lingkungan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait kriteria seleksi proposal riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

b. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait standar biaya dan komponen pembiayaan riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.


(5)

c. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU terkait pola kerjasama dalam perencanaan kebutuhan riset, pengelolaan alih teknologi hasil riset, komersialisasi hasil riset dan pengelolaan dampak komersialisasihasil riset.

d. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan penggunaan biaya risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

e. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait alih teknologi hasil riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

f. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait standar komersialisasi hasil risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

g. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait dampak komersialisasi hasil risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut: a. memberikan informasi sebagai khazanah ilmu pengetahuan dan

wawasan tentang manajemen pembiayaan riset.

b. dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti lainnya dalam melakukan kajian tentang manajemen pembiayaan riset di Indonesia, khususnya di instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut a. dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk

nenerapkan model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset di instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU, baik dalam


(6)

lingkungan lembaga pemberi dana riset, lembaga riset, maupun perguruan tinggi.

b. dapat menjadi acuan dalam mengembangkan model kerja sama antara lembaga periset dan mitra riset terkait alih teknologi dan komersialisasi hasil riset baik di lingkungan lembaga pemberi dana riset, lembaga riset, maupun perguruan tinggi.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini akan disusun dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan, yang mencakup tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi disertasi. Bab II adalah kajian pustaka, memuat tentang kajian teoritis terkait manajemen pembiayaan riset dan pelaksanaan riset dalam rangka alih teknologi dan komersialisasi riset, serta kerangka pemikiran dari penelitian ini. Bab III adalah metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bab IV adalah temuan dan pembahasan, yang berisi temuan penelitian dan pembahasan temuan penelitian. Dalam subbab pembahasan, disajikan model hipotetik manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Terakhir pada Bab V disajikan simpulan, implikasi, dan rekomendasi.