BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Remaja 1.2 Definisi Remaja - Pengalaman Remaja Dalam Menerima Pendidikan Seks : Studi Fenomenologi

TINJAUAN PUSTAKA

1. Remaja

1.2 Definisi Remaja

  Masa remaja dianggap sebagai masa topan, badai dan stress (strom and

  

stress ) karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri

  sendiri (Dalyono, 2009). Masa remaja menurut Gunarsa (1991) antara lain: (a)

  

puberteit, puberty dan (b) adolescentia. Istilah puberty ( bahasa Inggris) berasal

  dari kata latin, pubertas yang berarti laki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat-sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian. Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada kemaluan (genital), maka pubescence berarti perubahan yang dibarengi dengan tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan. Jadi, remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju kemasa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (gunarsa, 1991).

  Menurut (Darajat, 1994) remaja adalah usia transisi dimana seorang individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia kuat dan penuh tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat, adapun masa usia remaja dimulai pada usia 13 sampai 21 tahun. Sedangkan menurut Dariyo (2004) remaja adalah masa perahlihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar antara usia 12 -13 sampai 21 tahun.

1.2 Ciri-ciri Remaja

  Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya, Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1992), antara lain : a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan- perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.

  b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

  c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.

  d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.

  e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik.

  f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita. kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra.

  Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.

1.3 Klasifikasi Remaja

  Sarwono (2000) mengatakan ada tiga tahap perkembangan remaja yaitu remaja awal (usia 11-14 tahun) sedangkan pertengahan (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (usia 18-20 tahun). Menurut Sarwono (2000) ada tiga tahap perkembangan remaja dalam rangka penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir.

  Remaja Awal (Early Adolescence) yaitu remaja yang berusia berkisar 11-13 tahun, dimana pada masa adalah masa yang paling penting untuk mengetahui pendidikan seks, karena masa ini remaja cepat tertarik dengan lawan jenis dan mudah teransang secara erotis. Oleh karena itu, anak remaja penting untuk mengetahui pendidikan seks sejak dini (Soetjiningsih, 2004)

  Remaja Madya (Middle Adolescence) yaitu remaja yang berusia berkisar 14-16 tahun, masa ini adalah masa mengenal diri sendiri, menjauhkan diri dari keluarga dan lebih senang bergaul dengan teman-temannya. Remaja mungkin tidak mau berbagi perasaan mereka dengan orangtuanya, jika tidak ditangani secara percaya terhadap orang lain. Pada masa ini remaja memerlukan informasi tentang penularan penyakit menular seksual (Soetjiningsih, 2004) Remaja Akhir (Late Adolescence) yaitu remaja yang berusia berkisar 17-20 tahun. Masa yang sudah lebih terkontrol oleh karena masa ini merupakan masa menuju periode dewasa. Pada masa ini remaja mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang menjadi minatnya, mau bersosialisasi dengan orang lain, tidak terlalu egois terhadap keinginannya sendiri, dan dapat membedakan antara hal yang pribadi dengan hal yang umum (Soetjiningsih, 2004)

  1.4 Tugas dan Perkembangan Seks Remaja

  Tugas-tugas perkembangan masa remaja merupakan suatu peralihan dari masaa kanak- kanak menuju dewasa. Adapun ciri-ciri dari masa remaja antara lain pertumbuhan fisik yang cepat, emosi yang tidak stabil, perkembangan seksual sangat menonjol, cara berpikir kausalitas ( hukum sebab akibat) dan terikat pada kelompoknya (Kriswandaru, 2003).

  Adapun tugas perkembangan yang harus dilalui para remaja, antara lain mampu menerima keadaan fisiknya, mencapai kemandirian secara emosi, memperluas hubungan dengan tingkah laku sosial yang lebih dewasa, mengetahui serta menerima kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki, membentuk nilai moral sebagai dasar untuk berperilaku (Soetjiningsih, 2004)

  1.5 Perilaku Seksual Remaja

  Ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan aspek sosial, emosional, maupun kesehatan (Turner & Feldman, 1995). Alasan yang perkembangan indentitas diri, belajar menyelami anatomi lawan jenis, menyenangkan pasangan dan mengatasi rasa kesepian (Soetjiningsih, 2004). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pemahaman remaja mengenai dampak personal dan interpersonal dari perilaku seksual yang dilakukan tidak menjadi bahan pertimbangan.

1.6 Tempat Remaja Berdiskusi Masalah Seks dan Kesehatan Reproduksi

  Pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orangtua sendiri. Diwujudkan melalui cara hidup orangtua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan yang diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara orangtua dan anak (Howard, 1990). Kesulitan yang timbul adalah apabila pengetahuan orangtua kurang memadai (secara teoritis dan objektif) menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat. Tentang hal ini Davis (1957) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa informasi seks yang tidak sehat pada usia remaja mengakibatkan remaja terlihat dalam kasus-kasus berupa konflik-konfilk dan gangguan mental, ide-ide yang salah dan ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks.

  Pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di rumah (Kilander, 1997). Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai pelengkap pengetahuan sari rumah dan institusi lainnya yang berupaya keras untuk mendidik remaja tentang seksualitas dan tidak berarti bahwa sekolah mengambil porsi orangtua (Yeni, 1992).

2.1 Definisi

  Adanya anggapan keliru mengenai pendidikan seks, menurut Dr. Boyke (1999) dalam http//www.Pikiran-Rakyat.com konsultan masalah seks, pendidikan seks sering disalah artikan sebagai proses mempelajari berbagai macam gaya dalam berhubungan seks. “ padahal.” Ungkapnya, “ pengertian semacam ini keliru sama sekali.” Ia pun mengatakan keprihatinan sehubungan dengan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat Indonesia tentang pendidikan seks.

  Tito (1999) dari pusat Studi Seksualitas- PKBI DIY, yang mengutip sebuah penelitian bahwa 94% remaja mengatakan butuh nasihat mengenai seks dan kesehatan reproduksi. Namun, kenyataannya, sebagian besar remaja tidak dapat mengakses informasi yang tepat. Mereka kesulitan mendapatkan infprmasi dari jalur formal seperti sekolah dan petugas kesehatan, bahkan orangtua sendiri.

  Nugraha (2002), mengatakan bahwa masih banyak orangtua yang merasa rikuh dan tidak mengerti kapan dan bagaimana harus memulai membicarakan pada anak” bahkan membicarakan seks pada anak remaja merupakan sesuatu yang kotor dan tidak pantas,” ujarnya.

  Padahal sebenarnya membicarakan seksualitas bisa dilakukan bertahap sesuai usia anak dan yang perlu di ingat bahwa masa remaja berawal pada usia yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan seksual sejak usia delapan tahun, sementara yang lain terjadi sekitar usia 13-18 tahun (Soetjiningsih, 2004).

  Sebenarnya seksualitas adalah integrasi dan perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengukapkan kecenderungan didefinisikan sebagai jenis kelamin (pria atau wanita), atas kegiatan atau aktivitas dari hubungan fisik seks itu sendiri ( Ratna, 2001).

2.2 Tujuan Pendidikan Seks

  Tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksualitas dalam membimbing anak remaja kearah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Juga dapat membantu anak menjadi dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat, untuk dapat mampu belajar tersier (Husodo, 1987)

  Pendidikan seks itu perlu, tetapi tidak semata-mata berupa informasi mengenai pertumbuhan seksualitas dalam hal-hal terkait lainnya. Seperti pentingnya bagaimana seks di lihat dalam kerangka pemahaman yang sejalan dengan nilai-nilai masyarakat umum. Misalnya di kaitkan dengn norma- norma agama, aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Tujuan idealnya adalah agar remaja dapat membangun sikap seksual yang sehat (Kartono, 1991).

  Pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga menjadi orangtua yang bertanggung jawab. Bebedrapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesame manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja mengetahui tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak remaja agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Kartono, 1991).

2.3 Isi Pendidikan Seks

  Setelah memahami perubahan fisik, emosi dan tingkah laku, orangtua perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertumbuhan seksualitas. Hal ini sangat penting karena orangtua biasanya tidak siap membicarakan masalah sekitar seksual dengn remaja mereka padahal hal tersebut penting sekali (Resminawati, 2006). Ada dua jenis pengarahan yang di perlukan anak remaja, yaitu:

  

Pertama, anak harus tahu hal-hal yang boleh atau tidak boleh dari perilakunya.

  Misalnya, tidak boleh membuka baju di depan orang lain, bagian tubuh mana dari orang lain yang masih pantas untuk disentuh dan tidak boleh disentuh, atu bagaimana cara menjaga kebersihan tubuh.

  

Kedua , anak remaja harus diajarkan dasar-dasar ketrampilan sosial. Tanpa dasar ini,

  anak akan sulit memasuki tahapan yang lebih rumit dari hubungan antar manusia seperti persahabatan,cinta,perkawinan, sampai pada hubungan seks.

  Puspita (1998), mengatakan penting juga mengintegrasikan aspek fisik, emosi dan sosial pada dasar mengajarkan hal di atas. Remaja harus mengerti sikap, nilai dan keterampilan dasr tertentu untuk dapat merespon pada situasi yang berbeda-beda.

  Pembelajaran mengenai payudara sendiri, seorang anak perempuan harus tahu bahwa payudara memiliki tujuan estetika dan tujuan fungsi aspek fisik. membicarakan bagian-bagian tubuh pribadi, maka penting menemukan seseorang yang bersedia menjawab pertanyaan dan masalah aspek sosial, adanya cara menolak upaya-upaya yang tidak di ingginkan bila seseorang berusaha menyentuh payudaranya keterampilan, jika ada orang lain berusaha menyentuh payudaranya, ia mungkin akan merasa tidak nyaman aspek emosional (Soetjiningsih, 2004).

  Pendidikan seks adalah bagian dari proses pendidikan yang mempunyai tujuan untuk memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan pngembangan kepribadian.

  Dengan kata lain pendidikan seks adalah bagian integral dari usaha-usaha pendidikan pada umumnya. Melalui pendidikan seks di usahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab terhadap seks (Dalyono, 2009).

  Pendidikan seks akan menghilangkan pendapat-pendapat yang salah seperti kelemahan tubuh karena masturbasi atau karena adanya janin did lam perut dan lain-lain. Dengan menerima pendidikan seks sejak dini diharapkan akan mengurangi keingintahuan berlebih dan dengan berkurangnya keingitahuan ini maka keinginan untuk berpetualang dalam kegiatan seks diharapkan berkurang (Sarwono, 2000).

3. Studi Fenomenologi Fenomenologi merupakan salah satu penelitian kualitatif.

  Fenomenologi merupakan displin ilmu yang berakar dari fisiologi dan psikologi yang berkaitan dengan pengalaman hidup manusia (Polit & Hungler, 1999).

  Fenomenologi merupakah salah satu cabang filosofi yang menekankan pada subjektivitas pengalaman seseorang (Brockopp, 1999). dengan persepsi masing-masing manusia dari suatu fenomena tertentu. Peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2005). Tujuan dari penelitian fenomenologi adalah untuk menjelaskan secara penuh pengalaman hidup dan persepsi yang menimbulkannya.

  Pada penelitian kualitatif, yang menjadi instrument adalah peneliti sendiri. Makna dari kalimat tersebut antara lain memiliki daya responsive yang tinngi, yaitu mampu merespon sambil memberikan interprestasi terus-menerus pada gejala yang di hadapi; memiliki kemampun untuk memandang objek penelitiannya secara holistik, mengaitkan gejala dengan konteks saat itu, mengaitkan dengan masa lalu, dan dengan kondisi lain yang relevan; memiliki kemampuan untuk melakukan klasifikasi agar dengan cepat melakukan interprestasi dan selanjutnya peneliti juga diharapkan memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan yang mengarah pada perolehan hasil; memiliki kemampuan untuk mengekspor dan merumuskan informasi sehingga menjadi bahan masukkan bagi pengayaan konsep ilmu (Moleong, 2005).

  Pada Penelitian kualitatif, tingkat keabsahan data sangat penting. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi empat teknik (Moleong, 2005).

  Pertama, kredibilitas adalah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Observasi yang detail (persistent observation) maksudnya pengamatan yang terus-menerus; triangulasi (triangulation) maksudnya pemeriksaan keabsahan data; analisis kasus negatif (negative case analysis) dilakukan dengan jalan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.

  Pertama, member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan – dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikan pada data,serta dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan pendidikan seks (Moleong, 2005).

  Kedua, transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain (Moleong, 2005).

  Ketiga, dependability, yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan (Moleong, 2005).

  Keempat, konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibutikkan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hsil dapat lebih objektif (Moleong, 2005).

Dokumen yang terkait

Pengalaman Remaja Dalam Menerima Pendidikan Seks : Studi Fenomenologi

1 34 50

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Remaja 2.1.1. Definisi Remaja - Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

0 2 49

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Defenisi Remaja - Faktor- faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pranikah Remaja di SMA Negeri 5 Pematangsiantar Tahun 2015

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Remaja 2.1.1 Definisi Remaja - Hubungan Kuantitas Tidur dengan Memori Jangka Pendek Siswa Kelas VIII SMPN 2 Galang

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Remaja 1.1. Pengertian Remaja - Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Keha-milan Pranikah pada Remaja Putri di Desa Sambirejo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat tahun 2012

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dispepsia - Efikasi Famotidin Sebagai Pengobatan Dispepsia Fungsional Pada Remaja

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Studi Kualitatif Perilaku Seks Pranikah Remaja Putri Di Kota Gunungsitoli Tahun 2013

0 0 27

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dispepsia - Manfaat Amitriptilin Dalam Pengobatan Dispepsia Fungsional Pada Remaja

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Studi Kualitatif Perilaku Seksual Remaja Di Kecamatan Medan Petisah Tahun 2012

0 0 43

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja - Studi Kualitatif Perilaku Seksual Remaja di Kecamatan Medan Petisah Tahun 2012

0 0 43