replicate jurnal meta analisis kampanye

Efek dari kampanye politik negatif : Pengkajian ulang meta-analisis
Richard R Lau, Lee Sigelman, Ivy Brown Rovner

Abstrak
Pemikiran konvensional tentang kampanye politik negatif selalu menganggap bahwa
kampanye ini dapat bekerja, yang dimaksud adalah bahwa kampanye politik negatif memiliki
dampak dari segi perilaku yang berubah sesuai tujuan kampanye. Banyak pemerhati khawatir
bahwa kampanye politik negatif akan memiliki efek yang tidak diinginkan tetapi signifikan
terhadap sistem politik suatu negara. Pengkajian meta-analisis pada literatur yang sama
menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut, tetapi sejak penelitian
sebelumnya, literatur telah berkembang lebih dari dua kali lipat (baik secara kuantitas
maupun kualitas). Jurnal ini berusaha mengkaji ulang literatur ini dan mencari tahu apakah
konklusi dari meta-analisis sebelumna masih relevan. Singkatnya, penelitian mengenai
literatur ini tidak memberi tahu apakah kampanye politik negatif adalah cara yang efektif
untuk memenangkan pemilu, meskipun kampanye politik negatif akan lebih mudah diingat
dan memicu pengetahuan tentang kampanye. Penelitian ini juga tidak membuktikan bahwa
ada kampane politik negatif mengurangi pemilihan suara, meskipun mengurangi keefektifan
politik, kepercayaan pada pemerintahan, dan mood politik publik secaram umum.

Introduction
Pemikiran konvensional para kandidat dan konsultan politik pada era 80 sampai 90-an

menganggap bahawa kampanye politik sudah tidak bebas nilai dan kampanyenya berisi
kampanye negatif persasif yang merusak nilai-nilai demokrasi di Amerika, secara khusus hal
ini merusak citra positif masyarakat mengenai pemilu, dan secara umum menurunkan
kredibilias pemerintahan yang selanjutnya mengurangi partisipasi pemilih-pemilih potensial.
Kampanye politik negatif sudah menguasai politik Amerika, kampanye politik negatif
dipercayai dapat menaikkan suara seacra signifikan, dan anggapan umum berkata bahwa
kandidat yang menyerang dan agresif akan memiliki rating yang lebih tinggi dan

mendapatkan dukungan lebih banyak pada saat pemilu, daripada hanya diam dan bersikap
positif.
Pada kampanye presiden 1998, ketika George H.W Bush menang dari defisit 10 poin
dalam jajak pendapat setelah iklan Willie Horton, Boston Harbor dan Dukakis-in-a-tank
mulai bermunculan,kampanye ini adalah salah satuh contoh yang memperlihatkan serangan
politis berhasil.
Lau et al (1999) melakukan riset meta-analisis terhadap efek dari kampanye politik
negatif tetapi hanya menemukan sedikit bukti nyata mengenai klaim bahwa kampanye politik
negatif memengaruhi hasil pemilu, meskipun penemuan Lau et al disebarluaskan ke publik,
akan sangat naif bila kita menganggap bahwa satu penelitian dapat merubah strategi politis,
apa yang dilakukan oleh kandidat politik, dan apa yang dipercayai oleh para komentator
politik. Tetap saja, secara perlahan-perlahan harapan akan perubahan ke arah politik yang

lebih sehat dapat terjadi. Peraturan perlahan-lahan berusaha mengurangi kampanye politik
negatif, misalnya perubahan aturan tentang sumber dana kampanye, tetapi tetap saja
kampanye negatif ini terus dilakukan, contohnya adalah pemilu tahun 2006 yang
menunjukkan bahwa kampanye negatif dari parai demokrat dan republik memiliki angka
sampai 83 % dan 89 % (CQ Weekly, October 16,2006)
Ditambah lagi dengan ekspos kampanye negatif yang besar-besaran oleh media dan
para pemerhati politik yang terus menganggap bahwa kampanye negatif yang berupa
serangan-serangan akan memicu naiknya atau turunnya suara dari salah satu pihak dalam
pemilu. Padahal, kampanye negatif yang berupa serangan ini mengurangi partisipasi politik,
Brooks (2006), membuat studi sistematis mengenai 186 koran dan artikel majalah yang
menghubungkan iklan di koran dan artikel di majalah dengan partisipasi politik pada tahun
2000-2005, studi ini menunjukkan bahwa ada 65 % artikel yang mengangdung kampanye
negatif ternyata mengurangi partisipasi politik, dan hanya 6 % dari kampanye negatif yang
menaikkan partisipasi politik.
Seorang kolumnis di Washington Post secara tidak sadar mengutip bahwa kampanye
negatif dapat mengurangi partisipasi pemilu. “Partai Deokrat berharap bahwa panasnya
skandal mengenai irak dan kebijakan partai Republik untuk tetap di Irak akan membuat para
pendukung konserfatif untuk diam dirumah saat 7 november”. Menurut ilmuwan politik
Thomas Patterson “ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kampanye negatif


merusak kepercayaan pada demokrasi” (Dikutip oleh Christopher Shea, “The Boston Globe”,
21 mei 2006).
Hasil penelitian dan meta analisis sebelumnya menunjukkan bahwa tidak ada bukti
bahwa kampanye politik negatif memiliki dampak pada partisipasi pemilu (Lau et al,1999).
Tetapi hasil penelitian ternyata tidak sejalan dengan bukti dan praktik di lapangan, baik yang
dilakukan oleh kandidat, konsultan, dan para pemerhati politik. Salah satu kemungkinan
bahwa penelitian terdahulu salah, karena politikus yang memakai kampanye negatif dan
konsultan yang merekomendasikannya telah memakai uang yang sangat banyak sehingga
akan aneh bila ternyata mereka salah. Secara lebih lanjut, literatur penelitian pun sudah
memiliki dua perubahan pertama. Selama jangka waktu kurang dari 8 tahun, jumlah
penelitian telah membengkak dari 52 penelitian yang menemukan 123 penemuan pada akhir
1998 menjadi 111 penleitian yang menemukan 294 penemuan pada pertengahan tahun 2006.
Pertumbuhan ini sejalan dengan perkembangan pada ketelitian metodologi, terutama di
bidang analisis. Pertanyaanya adalah apakah metode kualitatif atau kuantitatif terdahulu telah
membuat hasil terdahulu menjadi tidak valid, atau apakah hasilnya terbatas oleh waktu dan
sudah tidak relevan lagi, dan apakah hasil terdahulu pernah relevan pada zamannya ?.
Untungnya perkembangan dan kualitas riset telah berkembang sangat jauh, yang
memungkinkan kita untuk membuat penelitian yang lebih komprehensif dan lebih dipercaya.

Metode

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita telah memakai meta analisis baru,
sebuah sintesis kuantitatif dari penemuan-penemuan independen, mengenai riset tentang
kampanye negatif. Memakai data berdasarkan penemuan (bukan data mentah yang menjadi
dasar penemuan) adalah data dasar untuk analisis . Ada 4 langkah yang dipakai untuk
penelitian 1) mendefinisikan penemuan apa yang akan dianalisis 2) mencari penelitian
mengenani efek dari kampanye negatif, baik yang sudah dipublish maupun belum 3)
Menerjemahkan penemuan dari penelitian-penelitian menjadi ukuran yang sama agar dapat
membandingkan setiap penelitian 4) melakukan sintesis pada penemuan-penemuan.

Mendifinisikan penemuan yang bersangkutan

Fokus penelitian ini adalah untuk mencari efek atau konsuekensi dari politik
kampanye negatif, kita berfokus pada riset mengenani keadaan politik yang aktual maupun
hipotesis, dimana kandidat atau parpol bersaing untuk mendapatkan dukungan elektoral.
Kondisi semacam ini membuat penelitian ini memasukkan bagian spesifik dari kampanye
negatif (misalnya, iklan televisi) juga karakteristik-karakteristik dari keseluruhan kampanye.
Ini membuat kita menghilangkan penelitian mengenai kampanye negatif dalam ranah nonpolitik (iklan produk barang/jasa), penelitian negatif yang berhubungan dengan stimuli/indera
(perilaku fisik masyarakat/figur politis) dan penelitian mengenai kegiatan politis diluar
kampanye dan pemilu (berita tentang perilaku figur politik yang tidak mencalonkan diri).
Riset berdasarkan penelitian mengenai efek kampanye politik negatif juga

memperhitungkan memoriability, perhatian, dan pengetahuan yang menimbulkan fokus
utama kita dalam meta-analisis ini. Tiga hal diatas adalah efek samping yang dapat
membantu untuk menjelaskan inti permasalahan, yaitu efek utama dari kampanye politik
negatif yaitu partisipasi politik.
Ada dua bagian lagi yaitu Efek kandidat dan efek khalayak. Efek kandidat berisi
afeksi dari target kampanye politik negatif (kandidat yang diserang), afeksi dari pemakai
kandidat negatif (kandidat yang menyerang) dan niat yang ingin dicapai oleh penyerang. Efek
kandidat berisi hasil pemilu, keberhasilan politik, kepercayaan di pemerintahan dan mood
politik publik.

Mencari penelitian
Ada banyak sekali penelitian yang membahas masalah tentang kampanye politik
negatif dan lebih banyak lagi penelitian yang membahas mengenai partisipasi politik (baik
yang sudah dipublish maupun belum). Merujuk pada penelitian yang dibuat oleh Lau et al
(1999), kita mencari penelitian yang berisi variabel yang sama tetapi yang paling akurat dan
paling coock dengan keadaan masyarakat saat ini, setelah bertemu dengan 275 peneliti
akhirnya ditemukan 111 penelitian yang relevan dan aktual. Kami mengganti variabelvariabel yang digunakan oleh Lau et al dengan variabel yang lebih relevan dan aktual, dan
juga memasukkan variabel-variabel dari penelitian independen yang mungkin saja berbeda
dari penelitian normal.


Hasil
Efek langsung
Penelitian meta-analisis ini adalah berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu,
dimana dari 15 penelitian yang mehbungkan antara kampanye politik negatif dengan
partisipasi politik, hanya dua yang berkata bahwa kampanye politik negatif memiliki efek
yang positif terhadap partisipasi politik, empat berkata bahwa kampanye politik negatif
memiliki efek yang negatif tehradap partisipasi politik, sisanya berkata bahwa kampanye
politik negatif tidak memiliki efek apapun terhadap partisipasi politik.
Penelitian meta-analisis secara umum menyimpulkan bahwa variabel-variabel
kampanye politik negatif pasti mempengaruhi partisipasi politik, tetapi tidak pernah
signifikan.
„Apakah kampanye negatif bekerja?
Kampanye negatif tentu saja ditujukan agar dapat menghilangkan nilai-nilai positif
dari kandidat lawan, dan pada akhirnya membuat pemegang hak suara memilih kandidat lain,
atau setidaknya tidak memilih kandidat tersebut.
Dalam penelitian meta-analisis ini ditemkan dua hasil, hasil pertama adalah bahwa
menyerang kandidat lain/lawan tidak efektif untuk mendongkrak popularitas dan citra diri
kandidat. Bahkan beberapa variabel penelitian didalam penelitian meta-analisis ini berkata
bahwa menyerang kandidat lawan bisa menjadi bumerang dan membuat citra diri kandidat
menurun, karena kandidat dianggap memakai cara-cara curang untuk mendapatkan

popularitas.
Hasil kedua didalam penelitian meta-analisis ini adalah bahwa kampanye politik
negatif tidak berpengaruh pada perubahan suara dan beralihnya pilihan dari satu kandidat ke
kandidat lainnya. Meskipun ini mendorong pada abstainnya sedikit populasi yang menjadi
tidak memilih siapapun, tetapi tidak signifikan dan tidak dapat membuat hasil pemilu berubah
seara drastis.
Kesimpulannya adalah bahwa kampanye politik negatif tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap keputusan pemilih, dan tidak lebih efektif dari kampanye politik positif.
Tetapi penelitian juga membuktikan bahwa kampanye negatif cukup mudah diingat dan akan
lebih lama diingat oleh publik daripada kampanye politik positif.

Apakah kampanye politik negatif merusak sistem politik ?
Salah satu asumsi dasar adalah bahwa kampanye politik negatif mencederai nilai-nilai
demokrasi, dan sistem politik yang berdasarkan asas kebebasan pemilih untuk menentukan
pilihan. Penelitian meta-analisis ini berusaha mencari hubungan antara keduanya dan juga
menganalisis setiap variabel yang berhubungan.
Hasil pertama adalah bahwa kampanye politik negatif tidak memiliki pengaruh
negatif terhadap berkurangnya jumlah pemilih, hal ini menunjukkan bahwa kampanye politik
negatif memang tidak memiliki pengaruh langsung, tetapi ada variabel-variabel yang
terpengaruh, yaitu keefektifan politik, kepercayaan pada pemerintahan, dan mood politik

publik secaram umum.,

Diskusi
Pemikiran bahwa kampanye politik negatif efektif selalu menghantui pikiran kita,
karena kita sendiri akan ingat akan kampanye negatif yang dilakukan kedua calon dalam
masa hidup kita, baik kita berumur 50 tahun maupun kita baru berumur 15 tahun, kita telah
merasakan kampanye negatif yang dilakukan ketika berpolitik, dan seringkali bila ditanya
terhadap individu, mereka akan menjawab bahwa mereka masih ingat akan kampanye
negatif, tetapi tidak ingat akan kampanye positif. Hal ini membuat kampanye negatif terlihat
efektif dan efisien dalam memengnaruhi suara pemilu.
Tetapi hasil meta-analisis yang sudah mencakup 111 penelitian untuk menjadi
variabel menunjukkan bahwa kampanye politik negatif tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap hasil pemilu dan partisipasi politik masyarakat, terlebih lagi jika kita
mengatakan bahwa kampanye politik negatif mencapai tujuannya untuk merubah hasil
pemilu, yang menunjukkan hasil negatif.
Ini menunjukkan bahwa kampanye politik negatif hanya bisa menjangkau sisi kognisi,
yaitu pemikiran para pemilih mengenai suatu calon dari perspektif lain, dan terutama pemilih
dari swing voter , bukan pemilih setia maupun pemilih tetap yang sudah mendukung calon
selama puluhan tahun. Ditambah lagi dengan semakin dewasanya setiap pemilih dari satu
kampanye ke kampanye lainnya, sehingga penggunaan teknik kampanye politik negatif akan


semakin tidak terasa dan bahkan membuat pemilih bersikap apatis terhadap penggunanya,
dan sistem pemerintahan secara umum.
Tentu saja mungkin riset yang memakai data seperti polling, kepercayaan publik, dan
exit poll menunjukkan bahwa kampanye politik negatif mempunyai efek yang sangat hebat

terhadap pemilih, tetapi ketika kita menghubungkan dengan hasil pemilu, tidak ada hasil yang
signifikan terhadap hasil pemilu, apalagi sampai bisa merubah jalannya pemilu dan
memenangkan salah satu kandidat. Faktor-faktor lain seperti debat, kampanye positif,
roadshow ke negara-negara bagian dan bentuk kampanye lain lebih efektif daripada

kampanye politik negatif.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kampanye politik negatif terus digunakan
bahkan meningkat meskipun sudah ada banyak penelitian sosial yang menunjukkan bahwa
efeknya tidak signifikan. Bahkan 30 – 40% isi pesan kampanye berupa serangan-serangan
terhadap lawan politik atau berupa kampanye politik negatif. Tentu saja kandidat maupun
partai politik mengeluarkan uang sampai ratusan juta dollar untuk membuat kampanye politik
negatif dengan memakai konsultan – konsultan dan ahli periklanan untuk membuat iklan
unntuk mereka.
Jurnal ini sudah mencari tahu berbagai aspek yang memungkinkan kampanye politik

negatif untuk memiliki pengaruh terhadap partisipasi politik dan hasil pemilu, tetapi tidak
menemukan hubungan langsung dan signifikan, hanya sebatas pada segi pemikiran
masyarakat Mungkin dibutuhkan studi lebih lanjut terhadap pengaruh kampanye politik
terhadap pemilih yang sudah terpapar atau terkena kampanye politik negatif, siapa tahu
bahwa kampanye politik negatif hanyalah stimuli yang dibuat oleh kandidat sendiri yang
selanjutnya akan ditolak oleh kandidat sendiri dan memunculkan image bersih dan pencitraan
yang baik untuk kandidat. Karena kampanye politik negatif terus dilakukan secara pervasif
dan seperti yang dikatakan oleh Manserus “The people who produce these ads and the
consultants who hire them know that negative campaigning works. These people are paid
way too muchto be mistaken about whether poison is effective”(Mansnerus 2005)

Aplikasi di Indonesia
Indonesia tentu saja baru mengalami apa yang dinamakan demokrasi langsung
sebanyak 4 kali (tentu saja dengan menganggap pemilu di zaman orde baru bukanlah pemilu
yang bersih dan diatur oleh pemerintah), maka pengalaman kita akan kampanye negatif baru
terjadi sebanyak 4 kali, atau 8 kali maksimal (menghitung pemilihan presiden). Tidak akan
sebanyak di Amerika yang telah mengalami kampanye politik negatif selama 50 tahun,
seperti dijelaskan di jurnal ini.
Bila kita tilik kembali ke kampanye 1999 dimana rezim orde baru baru saja jatuh dan
terjadi reformasi di segala bidang, yang tentu saja diiringi dengan banyaknya kerusuhan dan

instabilitas politik di Indonesia, ditambah dengan munculnya 48 partai yang berusaha untuk
merebut suara pemilih yang tidak stabil, yang mungkin sebelumnya tidak pernah memilih
ataupun tidak mengikuti pemilu pada saat masa orde baru. Kampanye politik negatif sangat
terasa pada 1999, dimana semua pihak menyerang dan menuding satu sama lain, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menuding golkar sebagai partai KKN (korupsi
kolusi dan nepotisme), partai Golkar juga melawan dengan berkata bahwa kericuhan selama
reformasi didalangi oleh (PDI-P), belum lagi sengketa antara partai Islam seperti PPP,PKB,
PBB, PAN, dan lain lain sebagainya yang menuding satu sama lain hanya membawa-bawa
nama agama demi kekuasaan, hal ini diperparah dengan adanya 48 partai yang membuat
masyarakat mendapatkan banyak terpaan kampanye politik negatif dari berbagai pihak. Hasil
pemilu 1999 menunjukkan bahwa PDI memenangkan pemilu dengan suara sebesar 33%,
diikuti oleh Golkar sebesar 25 %, dan PPP sebesar 12 %, tiga pemenang terbesar tetap saja
dengan 72 % pemilih hanya memilih tiga partai yang sudah ada sebelumnya, sedangkan 28 %
lagi diperebutkan oleh partai-partai baru.
Hal ini menunjukkan bahwa kampanye politik negatif, terutama di saat media massa
belum seluas sekarang, tidak mampu memengaruhi masyarakat secara luas, mungkin saja
hanya mempengaruhi sebagian orang (terutama di kota-kota besar) untuk memilih partai lain
selain Golkar, karena basis-basis pendukung partai besar tetap setia memilih partai yang
sudah dia pilih selama 30 tahun (dengan pengecualian bahwa pemilu pada masa orde baru
diatur dan pendukung PDI ataupun PPP cenderung diam dan tidak memilih),
Kemenangan partai Demokrat pada tahun 2004 dan 2009 juga lebih karena basis
pendukung ataupun persaingan politik pada saat itu lemah, partai politik lain tidak memiliki
sosok sekuat sosok SBY dan tidak memiliki mesin politik yang cukup besar untuk
mendapatkan basis pemilih, ini dibuktikan karena PDI selama 2 periode menjadi oposisi dan

menentang kebijakan pemerintah tidak berhasil merebut pemilih Demokrat yang tetap saja
memilih Demokrat dan SBY meskipun memiliki koalisi yang lebih kuat pada saat pemilu
presiden.
Pada pemilu terakhir yang baru terjadi akhir-akhir ini terjadi apa yang disebut dengan
black campaign atau juga ssalah satu bentuk kampanye politik negatif, keduanya menyerang,

Jokowi dengan menyebut Prabowo penjahat HAM dan tidak bermoral, dan Prabowo dengan
menyebut Jokowi antek luar negeri terutama Cina. Hal ini dilakukan secara intens pada saat
pemillihan presiden. Bila kita ingat majalah seperti Obor rakyat, ataupun melalui dua stasiun
televisi swasta yang saling menyerang (Metro TV dan TV One), maupun melalui mediamedia lain, baik konvensional maupun kontemporer yang terus membuat isu-isu negatif.
Tetapi yang jadi pertanyaan adalah apakah kampanye politik negatif mempunyai efek
langsung terhadap hasil pemilu, bukan hasil pemilu lebih dipengaruhi pada pendukung sosok
Jokowi melawan koalisi besar dari Prabowo ? Saya sendiri cenderung bahwa pemilih
Prabowo cenderung berasal dari basis pendukung setia partai seperti Golkar, Gerindra, PAN,
PKS, PPP yang cenderung memilih Prabowo ketika partainya masuk ke Koalisi Merah Putih.
Menurut saya kampanye politik negatif tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemilih
Jokowi yang berpindah untuk memilih Prabowo ataupun sebaliknya, buktinya tetap saja
pemenangnya sesuai dengan polling ataupun quick count yang dilakukan sebelum hari
pemilu.
Tetapi di Indonesia ada hal yang menarik, ternyata setelah Jokowi menang, banyak
terjadi insiden dan para pendukung Prabowo tidak langsung untuk mengalah dan mendukung
pemerintah baru, tetapi tetap menjadi oposisi dengan membawa kampanye politik negatif
yang terus dipakai bahkan pada saat pemilu sudah selesai, ini menunjukkan bahwa meskipun
dari segi perilaku masyarakat Indonesia tidak berubah, tetapi dari segi pemikiran (setidaknya)
masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh kampanye politik negatif.
Indonesia tentu saja masih sangat hijau dan baru dalam demokrasi langsung seperti
ini, sehingga kampanye politik negatif (apalagi yang memakai SARA) akan memiliki dampak
yang sangat tinggi terhadap masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Indonesia sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, ras dan budaya, berbeda dengan di Amerika Serikat
yang cenderung egaliter. Tetapi ini hanya sebatas memperkuat pemilih tetap dan setia, dan
membuat swing voter berubah pemikirannya, tidak sampai merubah hasil pemilu. Tetapi efek
pemikiran terhadap masyarakat sangat luas, tidak seperti yang dikatakan oleh jurnal ini.
Tentu saja dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kampanye politik
negatif terhadap partisipasi politik dan pilihan masyarakat di Indonesia, ini hanyalah

pandangan simpel dan tidak cukup untuk menjelaskan pengaruh kampanye politik negatif di
Indonesia, yang tentu saja memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda, sistem
komunikasi yang berbeda, dan hegemoni politik yang berbeda pula dengan masyarakat
Amerika.