Konstruksi realitas pada media cetak: analisis framing pemberitaan insiden Monas di Koran Tempo dan Republika edisi Juni 2008

(1)

KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN

MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI

JUNI 2008

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh

Febyanti Junaedi

NIM 105051102006

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M


(2)

KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN

MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI

JUNI 2008

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh

Febyanti Junaedi

NIM 105051102006

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M


(3)

KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK :

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN

MONAS DI KORAN TEMPO DAN REPUBLIKA EDISI

JUNI 2008

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos.I)

Oleh

Febyanti Junaedi

NIM 105051102006

Di Bawah Bimbingan

Dra. Armawati Arbi, M.Si

NIP 19650207 199103 2 002

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/ 2009 M


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Juni 2009


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di saat seluruh bangsa Indonesia tengah memperingati Hari Lahirnya Pancasila, 1 Juni 2008, terjadi insiden yang melibatkan dua organisasi massa, yaitu Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di Lapangan Silang Monas. Berbagai spekulasi mengenai penyebab terjadinya insiden yang dikalangan media lebih dikenal dengan nama insiden Monas ini, sempat dilontarkan oleh beberapa pihak.

“Ada yang mengatakan, massa AKKBB yang merupakan organisasi massa pro-Ahmadiyah menjelek-jelekkan FPI yang sangat keras menentang dan meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, ada yang mengatakan, kerusuhan itu dipicu oleh sebuah tembakan yang membuat laskar FPI marah.”1

Terjadinya insiden Monas ini sempat menjadi headline di beberapa media massa di Indonesia. Selama sepekan baik itu media elektronik maupun media cetak menayangkan dan menampilkan berita mengenai insiden Monas. Berita mengenai insiden Monas ini adalah salah satu berita dengan sensitifitas yang cukup tinggi. Banyak redaksi baik media cetak ataupun elektronik yang menyatakan bahwa insiden Monas merupakan salah satu isu paling sensitif ketika masuk sidang redaksi. Sensitif dikarenakan berita ini berkaitan dengan persoalan agama, yaitu persoalan yang menyangkut banyak pihak. Sikap masing-masing redaksi dan institusi media terhadap persoalan tersebut pastilah

1


(6)

berbeda. Peristiwa boleh saja sama, tetapi sudut pandang pastilah berbeda. Pernyataan tersebut dapat digambarkan secara jelas pada dua surat kabar nasional, yaitu Koran Tempo dan Republika. Koran Tempo dan Republika

mengambil sudut pandang yang berbeda dalam setiap penulisan berita mengenai insiden Monas. Koran Tempo menyatakan bahwa insiden Monas merupakan peristiwa penyerangan atau aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI kepada AKKBB, sedangkan Republika menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan bentrokan antara FPI dan AKKBB yang terjadi karena persoalan Ahmadiyah.

Koran Tempo (Senin, 2 Juni 2008) menempatkan kasus tersebut pada halaman pertama sebagai Top Headline dengan mengetengahkan judul

“Bubarkan FPI”, sedangkan Republika pada hari yang sama menempatkan kasus tersebut juga pada halaman utama dengan mengetengahkan judul

“Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban”. Pada hari berikutnya, Koran Tempo

(Selasa, 3 Juni 2008) menjadikan kasus ini sebagai Top Headline dengan menampilkan foto Panglima Komando Laskar Islam Munarman sedang mencekik salah seorang anggota yang diduga berasal dari AKKBB, judul yang diambil ialah “Pemerintah Kaji Pembekuan FPI”. Di hari yang sama,

Republika kembali menempatkan kasus tersebut pada halaman utama dengan judul “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi”. Selama bulan Juni 2008,

Koran Tempo empat kali menjadikan kasus insiden Monas sebagai Top Headline ditempatkan pada halaman depan, sebelas kali menjadikan kasus tersebut sebagai Headline ditempatkan pada halaman kedua dan juga diberitakan pada rubrik Metro, serta rubrik Nasional. Sedangkan Republika,


(7)

tercatat enam kali menempatkan kasus insiden Monas sebagai Headline di halaman depan dan tiga kali menempatkan kasus tersebut bukan di halaman depan.

Beberapa judul berita di atas dan juga judul-judul lainnya serta pandangan kedua media cetak tersebut mengenai insiden Monas tampak menarik untuk diteliti. Salah satu fungsi utama dari media massa sendiri adalah memberikan informasi kepada khalayak. Berbagai media massa yang telah ada, dimanfaatkan oleh khalayak untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi yang secara otomatis akan lebih mengembangkan wawasan intelektual mereka. Menyampaikan berita secara obyektif adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh institusi media dan wartawan. Meskipun mereka telah menyampaikan informasi secara akurat dan aktual namun, pada kenyataannya tetap saja berita yang disampaikan masih jauh dari obyektifitas. Di media massa seperti surat kabar misalnya, pemberitaan yang ada selalu saja dikaitkan dengan beberapa kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun organisasi. Banyak berita di surat kabar tidak dinyatakan secara eksplisit tetapi implisit.

“Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia : siapa pahlawan dan siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan) dan pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa yang masuk akal dan tidak; dan solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan.” 2

Konstruksi berita pada dasarnya merupakan sebuah informasi yang disampaikan secara kuantitatif dan kualitatif. Sisi kuantitatif dapat dilihat dari seberapa sering berita tersebut muncul dan jumlah pemakaian istilah dalam

2

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS, 2002), h. x .


(8)

berita. Sedangkan sisi kualitatif dapat dilihat berdasarkan unsur objektivitas dan faktualitas. Media memiliki ideologi yang ingin mereka refleksikan melalui berita-berita yang disampaikan, baik ditujukan dalam cara penulisan berita, bentuk penceritaan suatu peristiwa atau penentuan fakta mana yang harus ditekankan atau justru dihilangkan.

Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh media dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, di antaranya analisis wacana, analisis framing dan analisis semiotika. Analisis framing merupakan metode yang sesuai digunakan pada penelitian ini, karena dalam perspektif komunikasi analisis ini dipakai untuk mengetahui bagaimana cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana suatu peristiwa atau realitas dibingkai oleh media.3 Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu, peristiwa dipahami dengan bentukan tertentu. Melalui penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut karakter pemberitaan Koran Tempo dan Republika mengenai penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008, dilihat dari proses pembingkaian masalah pada berita-berita yang disampaikan.

Dengan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, peneliti merasa tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang berjudul KONSTRUKSI REALITAS PADA MEDIA CETAK : Analisis Framing Pemberitaan Insiden Monas di Koran Tempo dan Republika Edisi Juni 2008.

3


(9)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih mudah dan terarah, maka penulisan skripsi ini dibatasi pada analisis tekstual (message) pemberitaan insiden Monas oleh tim redaksi Koran Tempo dan Republika. Khususnya dalam

headline berita mengenai penyebab terjadinya insiden Monas yang melibatkan antara FPI dan AKKBB pada kedua harian tersebut. Sedangkan untuk batasan waktu terbitnya, peneliti mengambil berita-berita selama satu bulan yaitu, Juni 2008. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis framing model Robert N. Entman.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas antara lain :

1. Bagaimana struktur define problems (pendefinisian masalah) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo

dan Republika ?

2. Bagaimana struktur diagnose causes (penyebab masalah) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan

Republika ?

3. Bagaimana struktur make moral judgement (membuat pilihan moral) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan Republika ?

4. Bagaimana struktur treatment recommendation (menekankan penyelesaian) pada berita-berita terkait penyebab terjadinya insiden Monas di Koran Tempo dan Republika ?


(10)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Teoritis

Dengan menggunakan analisis framing model Entman, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur define problems (pendefinisian masalah), diagnose causes (penyebab masalah), make moral judgement

(membuat pilihan moral) dan treatment recommendation (menekankan penyelesaian) antara Koran Tempo dan Republika dalam pemberitaan insiden Monas yang melibatkan FPI dan AKKBB.

b. Tujuan Praktis

Mencari hubungan / perbedaan proses framing Koran Tempo dan

Republika mengenai insiden Monas. 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Sebagai upaya mengembangkan khazanah keilmuan tentang jurnalistik dan memberikan gambaran karakter pemberitaan surat kabar, dalam hal ini Koran Tempo dan Republika mengenai insiden Monas.

b. Manfaat Praktis

Memberikan kontribusi tentang bagaimana sebuah berita diperoleh, diolah dan disampaikan pihak institusi media kepada khalayak pembaca surat kabar, dalam hal ini Koran Tempo dan Republika terkait dengan insiden Monas. Mengetahui bagaimana Koran Tempo dan Republika


(11)

kepada khalayak umum tentang proses framing yang dilakukan oleh kedua surat kabar nasional tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi dengan judul Konstruksi Realitas Pada Media Cetak : Analisis Framing Pemberitaan Insiden Monas di Koran Tempo dan Republika Edisi Juni 2008 ini terinspirasi dari beberapa penulisan skripsi yang pernah peneliti lihat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Di antara penulisan skripsi tersebut, menggunakan teknik analisis framing yaitu untuk mengetahui konstruksi realitas pemberitaan pada media cetak.

Skripsi tersebut antara lain : Skripsi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Andrizal yang berjudul Konstruksi Berita Kontroversi Jamaah Ahmadiyah Indonesia dalam Majalah Forum Keadilan dan Majalah Sabili (Analisis Framing Model William A. Gamson dan Andre Modigliani, dengan pisau analisis model Gamson dan Modigliani. Skripsi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Eri Suhasni Wulandari yang berjudul Analisis Framing Pemberitaan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah di Harian Media Indonesia, dengan menggunakan pisau analisis model Pan dan Kosicki. Skripsi mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, Doni yang berjudul Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika), dengan pisau analisis model Pan dan Kosicki. Beberapa skripsi tersebut menjelaskan bagaimana media cetak, baik itu majalah ataupun surat kabar dalam mengkonstruksikan suatu realitas kepada


(12)

khalayak melalui teks-teks berita yang berkaitan dengan kasus Ahmadiyah Indonesia, Al Qiyadah Al Islamiyah dan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.

Perbandingan skripsi-skripsi di atas dengan skripsi yang penulis susun, ialah terletak pada berita yang diteliti serta pisau analisis yang digunakan. Peneliti menggunakan pisau analisis framing model Robert N. Entman yang membagi analisisnya terhadap empat elemen, yaitu pendefinisian masalah, sumber masalah, membuat pilihan moral dan menekankan penyelesaian.

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian ini adalah paradigma konstruksionis yang sering disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Dengan konsentrasi analisis yaitu menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi dibentuk.4 Paradigma konstruksionis memperhatikan interaksi antara komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana seorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi memproduksi dan mempertukarkan makna.

4


(13)

Dalam buku “Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media”, Eriyanto menyebutkan bahwa, penelitian dengan paradigma konstruksionis memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

1) Memiliki tujuan untuk menentukan realitas yang terjadi sebagai hasil interaksi antara peneliti dengan objek penelitian

2) Peneliti melibatkan dirinya dengan realitas yang diteliti

3) Makna yang dihasilkan dari suatu teks merupakan hasil negosiasi antara teks dengan peneliti

4) Hasil penelitian merupakan interaksi antara peneliti dan objek penelitian

5) Subjektivitas peneliti menjadi dasar dari proses analisis

6) Empati dan interaksi dialektis antara peneliti dan teks sangat ditekankan dalam rekonstruksi realitas yang diteliti

7) Kualitas dilihat dari sejauh mana peneliti mampu menyerap dan mengerti bagaimana individu mengkonstruksikan realitas

2. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif karena dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan kategori. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Penelitian ini lebih menekankan pada kualitas data bukan kuantitas data.5

5

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 58.


(14)

3. Subjek dan Obyek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Koran Tempo dan Republika, sedangkan yang menjadi objek pada penelitian ini adalah berita utama atau headline terkait dengan penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding.

1) Data Primer (Primary-Sources)

Ialah data tekstual yang diperoleh dari pemberitaan di Koran Tempo

dan Republika. Penulis memilih berita yang hanya menyangkut penyebab terjadinya insiden Monas, 1 Juni 2008.

2) Data Sekunder (Secondary-Sources)

Yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku, tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini dan wawancara dengan pihak dari

Koran Tempo dan Republika. 5. Teknik Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis framing. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Data yang ada dikumpulkan, kemudian diolah menggunakan analisis framing dengan merujuk pada model atau kerangka Robert N. Entman, sehingga akan terlihat bagaimana Koran Tempo dan


(15)

Berdasarkan pada rumusan masalah, kerangka Entman tersebut terdiri dari struktur problem identification / define problemmenekankan pada bagaimana suatu peristiwa dipahami oleh wartawan, causal interpretation / diagnose causes menekankan pada apa dan siapa yang menjadi sumber dari suatu peristiwa, moral evaluation / make moral judgement dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumen pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat dan treatment recommendation / suggest remedis dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan.

6. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah meneliti teks berita, yaitu berita utama / headline yang terdapat pada Koran Tempo dan Republika mengenai penyebab terjadinya insiden Monas, antara lain berita pada Koran Tempo :

Bubarkan FPI (2 Juni 2008), Pemerintah Kaji Pembekuan FPI (3 Juni 2008),

Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif (3 Juni 2008), Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI (3 Juni 2008), Polisi Ultimatum FPI (4 Juni 2008), Koran Tempo Akan Diserbu (4 Juni 2008), Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah (4 Juni 2008). Berita pada Harian Republika : Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban (2 Juni 2008), Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi

(3 Juni 2008), Akar Masalahnya Ahmadiyah (4 Juni 2008), Umat Islam Diminta Bersatu (5 Juni 2008), 14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi (6 Juni 2008),


(16)

7. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini adalah kantor redaksional Koran Tempo yang beralamat di Kebayoran Center Blok A11-A15 Jl. Kebayoran Baru – Mayestik, Jakarta 12240 dan kantor redaksional Republika Jl. Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta Selatan 12510. Serta perpustakaan sebagai tempat pengumpulan dokumen, arsip dan data-data kepustakaan lainnya. Dengan segala pertimbangan dan persiapan yang harus dilakukan untuk penelitian ini maka waktu pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan selama enam bulan, terhitung mulai bulan 31 Desember 2008 sampai dengan 12 Juni 2009.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini bersifat sistematis maka dalam penulisannya, penulis berpedoman pada buku yang berjudul Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), karya Hamid Nasuhi, dkk, terbitan Ceqda, Jakarta, 2007. Penulis membagi skripsi ini menjadi (5) lima bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN membahas Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II KERANGKA TEORI membahas Konstruksi Sosial atas Realitas, Media Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas, Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas, Berita Sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial atas Realitas, Analisis Framing Model Robert N. Entman dan Kerangka Pemikiran.


(17)

BAB III PROFIL KORAN TEMPO dan REPUBLIKA membahas Sejarah dan Perkembangan Koran Tempo dan Republika, serta Struktur Organisasi Koran Tempo dan Republika

BAB IV ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN INSIDEN MONAS

membahas Frame Koran Tempo dan Frame Republika, serta Temuan dan Analisis Perangkat Framing Robert N. Entman

BAB V PENUTUP membahas kesimpulan dan saran, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan penulisan dan saran dari penulis sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.


(18)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Konstruksi Sosial atas Realitas

Istilah konstruksi sosial atas realitas pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger bersama Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”

(1966). Berger dan Luckmann menjelaskan tentang proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger mengutarakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural.6 Proses dialektis ini, menurut Berger dan Luckmann mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.

Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia, hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirnya. Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan dunia sosial.

Di dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.7 Alasan untuk memberikan perhatian pada berita yang begitu besar dalam kajian media adalah berita

6

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta : LKiS, 2002), h. 13-19.

7

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 188.


(19)

merupakan sumber utama informasi tentang dunia dalam hal geografi dan politiknya.8 Konstruksi realitas merupakan aktifitas manusia sehari-hari ketika menceritakan, menggambarkan, mendeskripsikan peristiwa, keadaan atau benda. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif, realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan, realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Realitas tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa. Selain sebagai alat penggerak, bahasa juga dapat mewujudkan citra mengenai suatu peristiwa.9 Dari sisi konstruksionis, media, wartawan dan berita memiliki keterkaitan antara lain :10

1) Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi karena melibatkan sudut pandang tertentu dari wartawan. Fakta dan realitas bukanlah sesuatu yang tinggal diambil, ada dan menjadi bahan dari berita. Fakta dapat dikonstruksikan.

2) Media merupakan agen konstruksi karena dia bukan saluran yang bebas. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakkannya. Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.

3) Berita bukan refleksi dari realitas, melainkan konstruksi dari realitas tersebut. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan dan media.

4) Berita bersifat subjektif, artinya bahwa opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

5) Wartawan merupakan agen konstruksi realitas karena tidak dapat menyembunyikan rasa keberpihakan, etika dan pilihan moral dalam menyusun berita. Dalam hal ini, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita.

8

Graeme Burton, Yang Tersembunyi di Balik Media Pengantar Kepada Kajian Media

(Yogyakarta : Jalasutra, 2008), h. 155.

9

http://blogaryandi.wordpress.com/2007/12/22/politisasi-bahasa-sebagai-instrument-politik-media/, diakses pada 15 Februari 2009, 21:12

10


(20)

B. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas

Penyajian informasi berupa berita kepada khalayak tidak lepas dari peran utama seorang wartawan. Ada polemik yang mempersoalkan apakah wartawan sebuah profesi atau pekerja biasa. Ada yang menganggap wartawan adalah buruh, bahkan lebih ekstrim lagi yaitu menyamakan dengan kuli. Tidak mengherankan bila kemudian muncul istilah kuli tinta atau kuli disket. Namun, sejalan dengan perkembangan dunia jurnalistik yang semakin pesat dan modern, akhirnya wartawan masuk dalam kategori kaum profesional. Wartawan sama dengan kaum profesional lainnya seperti dokter, pengacara, akuntan, dosen, dan lain-lain.11 Wartawan harus memiliki sifat dasar yang dapat memotivasinya dalam bekerja. Sikap dasar yang pertama bagi wartawan ialah rasa ingin tahu yang tinggi terhadap informasi. Sikap dasar berikutnya yang harus dimiliki oleh wartawan ialah menggali informasi seluas-luasnya mengenai kasus yang akan diberitakan.12

Di dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Fakta tidak diambil begitu saja, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif yang berada di luar diri wartawan. Realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata, melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Praktik membuat liputan berita memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu lebih

11

Zenuddin HM, The Journalist Buku Basic Wartawan, Bacaan Wajib Para Wartawan, Editor dan Mahasiswa Jurnalistik (Jakarta : Prestasi Pustakarya, 2007), h. 17.

12


(21)

penting dibandingkan pandangan kelompok lain yang oleh pendekatan positivistik dianggap tidak benar, dalam pendekatan konstruksionis dipandang sebagai praktik jurnalistik.

Ada dua kriteria atau persyaratan yang dapat dikatakan merupakan tuntutan atau panduan bagi wartawan dalam melakukan proses rekonstruksi realitas. Pertama, kriteria atau persyaratan teknis misalnya, sebuah laporan jurnalisme sebaiknya memiliki kelengkapan 5W+1H (what, who, where, when, why, dan how). Kemudian berkaitan dengan jenis berita apakah hard news, soft news, spot news, developing news atau continuing news. Konstruksi realitas yang disusun oleh wartawan untuk menjadi calon berita ini diharapkan memiliki nilai berita (news value) yang penting dan menarik. Kedua, persyaratan yang berkaitan dengan kualitas atau bobot produk berita. Kualitas atau bobot produk berita ini berarti produk jurnalisme surat kabar atau majalah hendaknya bersifat objektif.13

Wartawan dalam melakukan proses konstruksi realitas masih dipengaruhi oleh dua faktor lagi, yaitu faktor konteks eksternal dan faktor konteks internal yang terdiri dari internal institusi dan internal individu. Faktor konteks eksternal misalnya, sistem politik yang berlaku pada suatu negara dapat pula mempengaruhi institusi surat kabar, khususnya wartawan dalam mengkonstruksi realitas sehingga pada akhirnya dapat pula mempengaruhi penampilan dari isi atau perwajahan sebuah surat kabar. Faktor konteks internal, internal institusi berarti bahwa setiap institusi surat kabar memiliki motif atau kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain sedangkan internal individu berarti bahwa

13

M. Antonius Birowo, ed., Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi


(22)

individu wartawan sendiri ketika bekerja merekonstruksi realitas bukan merupakan individu yang pasif.

Peneliti memahami bahwa dalam aktifitas kreatifnya individu dalam hal ini wartawan mengkonstruksikan masyarakat dan berbagai kenyataan sosial. Aktifitas tersebut menghadapkan wartawan pada dua kenyataan yakni kenyataan subjektif dan kenyataan objektif sebagai bagian dari masyarakat yang pada akhirnya ia menginternalisasikan kenyataan tersebut sebagai bagian dari kesadarannya. Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang bersifat obyektif, benar dan seakan-akan ada sebelum diliput oleh wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya bersifat subjektif yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif wartawan.

C. Media Massa Sebagai Agen Konstruksi Sosial atas Realitas 1. Media Massa dalam Pandangan Konstruksionis

“Media berasal dari kata Latin “medium” (tunggal) “media” (jamak) yang secara harfiah berarti pertengahan, tengah, pusat.14 Cetak dalam arti harfiah bahasa Indonesia ialah cap, acuan. Dalam bahasa Inggris, cetak yang berkaitan dengan produksi media cetak ialah press.”15 Manusia membutuhkan komunikasi sebagai jembatan yang mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa dan antarras, serta membina persatuan dan kesatuan umat manusia.16 Salah satu fungsi penting dalam komunikasi bagi masyarakat yaitu,

14

Masri Sareba Putra, Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memroduksi (Graha Ilmu, 2007), h. 4.

15

Ibid. h. 5.

16

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 27.


(23)

kebutuhan untuk mendapatkan informasi. Fungsi memberikan informasi diartikan bahwa media massa menyebarkan informasi kepada khalayak. Khalayak selalu haus akan informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Semakin berkembangnya teknologi saat ini pun, telah memberikan kontribusi besar dalam penyebaran informasi. Komunikasi media massa semakin canggih dan kompleks serta memiliki kekuatan yang lebih dari masa ke masa.17

Di dalam pandangan kaum konstruksionis, media dilihat bukan sebagai saluran yang bebas seperti yang dipandang oleh kaum positivis. Media ialah subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakkannya. Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Dalam hal ini digambarkan, bagaimana media memahami dan memaknai sebuah realitas dan dengan cara apa realitas itu dibingkai oleh media.

Gitlin menyatakan bahwa bingkai media adalah pola yang selalu ada dalam bentuk kognisi, interpretasi dan presentasi dari seleksi, penekanan atau pengucilan.18 Bingkai media diperlihatkan melalui konsepsi dan skema interpretasi wartawan dalam menyusun, mengisahkan, menulis dan menekankan fakta dari suatu peristiwa tertentu. Setiap berita memiliki bingkai yang menjadi pusat ide. Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Sejumlah pakar komunikasi seperti Gans (1979) dan Gitlin (1980) mengelompokkan sejumlah pendekatan terhadap isi media, di antaranya :

17

Elvinaro Ardianto, dkk., Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 3.

18


(24)

“Isi merupakan refleksi dari kenyataan sosial dengan sedikit bahkan dengan tidak adanya distorsi, isi media dipengaruhi oleh pengalaman dan wawasan sosial para pekerja media dan sikap-sikap mereka, isi media sangat dipengaruhi oleh kebiasaan wartawan dalam menulis berita atau cara kerja organisasi media, isi media dipengaruhi oleh institusi sosial yang lain dan kekuatan di luar media, isi media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh media tersebut.”19

Realitas pada media tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita (wartawan) dengan fakta. Terjadi proses dialektika antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat oleh wartawan sehingga isi berita merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi kembali. Pembuatan berita pada dasarnya merupakan proses penyusunan atau konstruksi kumpulan realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakna. Media massa sudah menyelimuti setiap aspek kehidupan manusia hingga saat ini. Dapat dikatakan, tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari terpaan berita yang disajikan media massa. Karena sifat dan faktanya, pekerjaan media massa yaitu menceritakan peristiwa sehingga kesibukan utama media massa ialah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disampaikan kepada khalayak.20

Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Wacana yang bermakna itulah, pada akhirnya mampu menentukan citra yang ditampilkan media atas suatu persitiwa. Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang

19

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Dasar-Dasar Jurnalistik Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) (Jakarta : LPJA Press, 2006), h. 115-117.

20

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Jakarta : Granit, 2004), h. 11


(25)

beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi.21

1) Level Individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individu melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media.

2) Level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. 3) Level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur

organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, sebaliknya ia hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.

4) Level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Level ini terdiri dari :

a. Sumber berita. Dijelaskan bahwa sumber berita dalam hal ini bukanlah suatu yang netral dan hanya memberikan informasi apa adanya. Dia mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak.

b. Sumber penghasilan seperti iklan, pelanggan / pembeli media. Sebuah media itu harus survive dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga memiliki strategi untuk memaksakan versinya kepada media.

c. Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Dalam sebuah negera otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan tersebut jelas bertolak belakang dengan media yang berada di bawah sistem negara demokrasi yang lebih menganut paham liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

d. Level ideologi. Diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.

21

Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta : LKiS, 2001), h. 7-13


(26)

2. Ideologi Media

Sebelum membahas lebih jauh mengenai ideologi media, alangkah lebih baik jika peneliti menjabarkan dahulu beberapa pengertian ideologi. Pemahaman mengenai ideologi pastilah berbeda menurut para ahli, artinya penggunaan kata ideologi memiliki arti yang berbeda dan tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi.

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata

idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan

logia berarti pengetahuan atau teori. Ideologi menurut arti kata ialah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Menurut Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. James Lull berpendapat, ideologi merupakan ungkapan yang paling tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama, kandidat dan pergerakan politik, dll.22 Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia, arti dari ideologi ialah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup atau cara berpikir seseorang atau suatu golongan.

Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi kedalam tiga penggunaan utama : 23

1) Ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok atau kelas tertentu.

2) Ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu.

22 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotika

dan Framing (Bandung : Rosdakarya, 2004) h. 64-65.

23

Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika),” (Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).


(27)

3) Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.

Penggunaan pertama lebih pada aspek psikologis. Penggunaan kedua, bisa mencakup media ideologis, yakni mencakup sistem-sistem pendidikan, politik, hukum dan media massa. Aspek penggunaan ketiga, lebih menekankan pada istilah yang digunakan untuk melukiskan produk sosial atas makna.

Gambar 1

Peta Ideologi Pamela J. Shoemaker

Peta ideologi Pamela J. Shoemaker, membagi jurnalistik ke dalam tiga bidang, yakni bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus). Bidang terluar, yakni bidang penyimpangan, di mana dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan atau perilaku (realitas) tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Berisi nilai yang dipahami bersama oleh komunitas. Bidang yang paling tengah, yakni bidang kontroversi, di mana dalam wilayah kontroversi, suatu peristiwa, perilaku, atau gagasan (realitas)

Sphere of Deviance

Sphere of

legitimate controversy Sphere of consensus


(28)

dipandang menyimpang dan buruk. Dalam bidang ini, realitas masih diperdebatkan atau dipandang kontroversi. Sedangkan bidang yang paling luar, yakni bidang konsensus, di mana dalam wilayah konsensus menunjukkan bagaimana realitas tersebut dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.24 Teori ini menjelaskan bagaimana sebuah ideologi yang ada dalam sebuah media massa dapat mempengaruhi bagaimana sebuah peristiwa dibingkai oleh media tersebut. Ideologi sebuah media massa berupa citra ideal yang dikemas oleh media massa seperti fakta dan dipahami sebagai realitas kongkrit. Ideologi media massa menghasilkan wacana media massa berupa konstruk kultural, termasuk berita surat kabar. Ideologi media dapat tercermin dari isis media massa berupak produk dari media massa tersebut.

Media massa mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah-milah serta menentukan isu apa saja yang akan ditampilkan dan isu apa saja yang harus disembunyikan. Selain itu juga menentukan isu apa yang harus ditonjolkan, sehingga isu tersebut dipandang penting oleh khalayak. Kemampuan media massa yang seperti itulah yang dikenal sebagai kemampuan media massa menjalankan fungsi agenda setting.

Teori agenda setting ialah teori yang membahas mengenai dampak media / efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Teori ini dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dengan publikasi pertamanya “The Agenda Setting Function of The Mass Media”. Model agenda setting

mengasumsikan adanya hubungan yang positif antara penilaian yang diberikan

24


(29)

media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak terhadap suatu persoalan. Agenda setting menonjolkan isu apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput dari perhatian masyarakat.25 Ada tiga proses agenda setting26:

1) Media agenda di mana isu didiskusikan dalam media

2) Public agenda ketika isu didiskusikan dan secara pribadi sesuai dengan khalayak

3) Policy agenda pada saat para pembuat kebijakan menyadari pentingnya isu tersebut

Realitas yang dihadirkan media massa, harusnya dilihat oleh khalayak sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). Realitas yang diterima khalayak ini bukan realitas yang sesungguhnya, melainkan sesuatu yang dianggap sebagai realitas semu. Fakta semu inilah yang dianggap sebagai fakta oleh publik, sebab publik tidak mungkin melihat langsung fakta sesungguhnya selain yang disajikan oleh media massa.

“Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang adalah representasi dari budaya masyarakatnya, maka representasi media massa adalah representasi budaya para redaktur dan desk sebuah media massa dipengaruhi juga oleh kekuasaan kapitalisme termasuk budayanya, sehingga secara langsung nilai kapitalisme ikut mendominasi nilai-nilai yang ada dalam pemberitaan media massa.”27

3. Visi Misi Organisasi Media Massa

Thomas S. Bateman dan Scott A Snell mendefinisikan visi sebagai

strategic vision yang bergerak melampaui pernyataann misi untuk menunjukkan suatu perspektif tentang arah perusahaan dan ingin menjadi seperti apa perusahaan tersebut. Sedangkan misi didefinisikan sebagai tujuan dasar dan nilai

25

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung : Rosda Karya, 2004), h. 68.

26

http://en.wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting theory diakses pada 9 Mei 2009

27


(30)

suatu organisasi, sesuai dengan lingkup operasinya.28 Sementara itu, visi dan misi media secara khusus, harus mencakup tiga hal penting, yaitu :

1) Visi Ekonomi

Visi ekonomi, yaitu tujuan yang berkaitan dengan posisi keuangan sebuah organisasi media massa dan terfokus pada penerimaan, pengeluaran dan keuntungan

2) Visi Service

Visi service, yaitu tujuan yang berhubungan dengan produk jurnalistik yang dapat menarik pembaca dan dapat direspon sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Tujuan ini merupakan bentuk kontribusi dari organisasi media massa tersebut bagi kehidupan masyarakat

3) Visi Personal

Visi Personal, yaitu tujuan yang berhubungan dengan individu yang dipekerjakan oleh organisasi media massa tersebut

D. Teks Berita Sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial atas Realitas

Istilah / kata berita berasal dari bahasa Sansekerta, yakni vrit yang kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi write, arti sebenarnya ialah “ada” atau “terjadi”. Sebagian ada yang menyebutnya vritta, artinya “kejadian” atau “yang telah terjadi”. Vritta masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi “berita” atau “warta”.29 Secara sosiologis, berita adalah semua hal yang terjadi di dunia.30 Berita menampilkan fakta, tetapi tidak setiap fakta merupakan berita. Berita biasanya menyangkut orang-orang, tetapi tidak setiap orang bisa dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan. Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks dengan menyortir (memilah-milah) dan menentukan peristiwa

28

http://digilib.petra.ac.id/viewer, diakses pada 24 Juni 2009

29

Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004), h. 46.

30

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature (Bandung : Siombiosa Rekatama Media, 2006), h. 63.


(31)

dan tema-tema tertentu dalam suatu kategori tertentu.31 Menurut Hikmat dan Purnama Kusumaningrat, “...Berita tidak mudah untuk didefinisikan, namun lebih mudah untuk diketahui...”32.

“Berita bukanlah cermin kondisi sosial, tetapi laporan tentang salah satu aspek yang telah menonjolkannya sendiri. Dengan demikian perhatian kita diarahkan pada hal-hal yang menonjol (dan bernilai diperhatikan) sebagai laporan berita dalam bentuk yang sesuai bagi pemuatan terencana dan rutin.”33

Di dalam pandangan konstruksionis, berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Berita bukan menggambarkan realitas, tetapi arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas tersebut dijadikan berita, bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan cerminan dari realitas. Berita itu bersifat subjektif, di mana opini itu dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif pertimbangan subjektif.34 Peristiwa lantas tidak dapat disebut sebagai berita, tetapi harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut memenuhi kriteria nilai berita. Peristiwa itu baru disebut memiliki nilai berita dan layak untuk diberitakan kalau peristiwa tersebut memiliki sisi :

31

Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 102.

32

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori & Praktik (Bandung : Rosda Karya, 2005), h. 31.

33

Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Jakarta :Erlangga, 1987), h. 190.

34


(32)

Tabel 01 Nilai Berita35

Nilai Berita Penjelasan

Keluarbiasaan (Unusualiness) News is unusualiness. Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Semakin besar suatu peristiwa, semakin besar pula nilai berita yang ditimbulkannya. Nilai berita peristiwa luar biasa, dapat dilihat dari lima aspek, yaitu lokasi peristiwa, waktu peristiwa, jumlah korban, daya kejut peristiwa dan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut.

Kebaruan (Newness) News is new. Berita adalah semua yang terbaru.

Akibat (Impact) News has impact. Berita adalah segala sesuatu yang berdampak. Semakin besar dampak sosial budaya ekonomi atau politik yang ditimbulkannya, maka semakin besar nilai berita yang dikandungnya.

Aktual (Timeless) News is timeless. Secara sederhana aktual berarti menunjuk pada peristiwa yang baru atau yang sedang terjadi.

Kedekatan (Proximity) News is nearby. Berita adalah kedekatan. Kedekatan mengandung dua arti, yaitu kedekatan geografis dan kedekatan psikologis. Kedekatan geografis menunjuk pada suatu peristiwa atau berita yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedekatan psikologis lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterikatan pikiran, perasaan atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek berita.

Informasi (Information) News is information. Menurut Wilbur Schramm, informasi adalah segala yang bisa menghilangkan ketidakpastian. Hanya informasi tertentu yang memiliki berita atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.

35


(33)

Konflik (Conflict) News is conflict. Berita adalah konflik atau segala sesuatu yang mengandung unsur atau sarat dengan dimensi pertentangan.

Orang Penting (Public Figure, News Maker)

News is about people. Berita adalah tentang orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Orang-orang penting, orang terkemuka, di mana pun selalu membuat berita. Nama menciptakan berita (names makes news)

Kejutan (Surprising) News is surprising. Berita adalah sesuatu yang datangnya tiba-tiba, di luar dugaan, tidak direncanakan, di luar perhitungan, tidak diketahui sebelumnya.

Ketertarikan Manusiawi (Human Interest)

News is interesting. Apa saja yang dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan naluri ingin tahu, dapat digolongkan ke dalam cerita human interest.

Seks (Sex) News is sex. Berita adalah seks. Seks adalah berita. Sepanjang sejarah peradaban manusia, segala hal yang berkaitan dengan perempuan, pasti menarik dan menjadi sumber berita.

Proses kerja dan produksi berita adalah sebuah konstruksi. Sebagai sebuah konstruksi, ia menentukan mana yang dianggap berita dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak. Terdapat standarisasi nilai yang dipakai oleh wartawan dan media untuk melihat realitas. Selain nilai berita, prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa yang disebut sebagai kategori berita. Terdapat lima kategori berita seperti yang diungkapkan oleh Tuchman, antara lain:


(34)

Tabel 02 Kategori Berita36

Kategori Berita Penjelasan

Hard News Berita mengenai suatu peristiwa

tertentu. Kategori berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat diberitakan semakin baik. Bahkan ukuran keberhasilan dari kategori berita ini adalah dari sudut kecepatan diberitakan.

Soft News Kategori berita ini berhubungan

dengan kisah manusiawi. Yang menjadi ukuran dalam kategori berita ini bukanlah informasi dan kecepatan ketika diterima oleh khalayak, melainkan apakah informasi yang disajikan kepada khalayak tersebut menyentuh emosi dan perasaan khalayak.

Spot News Spot news adalah subklasifikasi dari

berita yang berkategori hard news. Dalam spot news, peristiwa yang akan diliput tidak bisa direncanakan. Peristiwa kebakaran, kecelakaan, pembunuhan, gempa bumi adalah jenis-jenis peristiwa yang tidak bisa diprediksi.

Developing News Developing news adalah subklasifikasi

lain dari hard news. Baik spot news

maupun developing news berkaitan dengan peristiwa yang tidak terduga. Tetapi, dalam developing news

dimasukkan elemen lain, peristiwa yang diberitakan adalah bagian dari rangkaian berita yang akan diteruskan ke esokan atau dalam berita selanjutnya.

Continuing News Continuing news adalah subklasifikasi

lain dari hard news. Dalam continuing news peristiwa-peristiwa bisa diprediksikan dan direncanakan. Satu peristiwa bisa terjadi kompleks dan tidak terduga tetapi mengarah pada satu tema tertentu.

36


(35)

Ilmu komunikasi sebagai payung jurnalisme memahami ada dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama, berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu manajemen produksi institusi media cetak surat kabar ataupun majalah. Berita merupakan hasil dari suatu proses kerja manajemen redaksional dengan sejumlah panduan atau kriteria, mulai dari pencarian dan peliputan peristiwa di lapangan oleh reporter, proses editing redaktur dan redaktur pelaksana, kemudian sampai pada proses seleksi layak muat pada sidang meja redaksi. Kedua, berita sebagai hasil konstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna. Bahwa berita yang merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajemen redaksional ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan oleh wartawan dalam diri khalayak pembacanya. Berita tidaklah mencerminkan realitas sosial yang direkamnya. Berita yang ada di media dapat memberikan realitas yang sama sekali baru dan berbeda dengan realitas sosialnya.

Berita yang memiliki nilai berita paling banyak dan paling tinggi, semakin besar kemungkinannya menjadi headline, sebaliknya berita yang sedikit atau rendah nilai beritanya, semakin kecil kemungkinannya untuk menjadi headline. Pada akhirnya nilai berita menjadi landasan atau pijakan berpikir bagi wartawan untuk memberikan keputusan realitas mana yang diliput dan mana yang tidak, begitu juga berita seperti apa yang layak muat dan seperti apa pula yang tidak layak muat. Penyampaian sebuah berita menyimpan subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda


(36)

dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers, mereka menilai setiap penulisan berita menyimpan latar belakang seorang penulis.

E. Analisis Framing Model Robert N. Entman

Analisis framing dapat diartikan secara sederhana sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Analisis framing itu sendiri merupakan metode yang sesuai dengan perspektif komunikasi, analisis ini digunakan untuk membedah ideologi media saat mengkonstruksikan fakta atau suatu peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.37

“Kenapa peristiwa ini diberitakan sementara peristiwa itu tidak diberitakan? Kenapa sisi yang ini diberitakan sementara sisi yang lain luput dalam pemberitaan? Kenapa aspek yang ini ditonjolkan oleh media, sementara aspek yang lain dihilangkan dalam pemberitaan? Kenapa bagian yang ini ditekankan oleh media, sementara bagian yang itu dikaburkan? Semua pertanyaan tersebut mengarah dalam konsep yang disebut sebagai framing.”38

Ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta. Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari bidang sosiologi dan psikologi. Pendekatan psikologi melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri atau gagasan tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dari perspektif tertentu, pesan atau realitas cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena

37

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotika dan Framing, h. 162.

38


(37)

orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda. Dalam pendekatan sosiologi, konsep framing secara aktif yaitu dengan mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup agar mempunyai makna. Pada bagian ini, frame di lihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi media dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama.

Framing menentukan apa yang perlu atau harus diperhatikan oleh khalayak, bagaimana mereka mengerti masalah sebagaimana tercermin dalam penilaian dan pilihan jawaban yang diambil. Dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai macam strategi wacana. Framing dapat menyebabkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila masing-masing wartawan memiliki frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam bentuk berita.

Robert N. Entman ialah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media, yaitu menekankan pada level makrostruktural dan mikrostruktural. Pertama, level makrostruktural yang dapat kita lihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Kedua, level mikrostruktural yang memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa tersebut yang ditonjolkan dan bagian mana yang dilupakan atau dikecilkan, pembahasannya berkaitan dengan pilihan fakta, sudut pandang dan narasumber. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas media. Entman melihat


(38)

framing dalam dua dimensi, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan isu, seperti yang dapat peneliti jelaskan pada tabel di bawah ini :

Tabel 03

Perangkat Framing Entman39

Seleksi isu Seleksi isu berkaitan dengan

pemilihan fakta. Dalam hal ini dilihat aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan ? Ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga bagian yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.

Penonjolan aspek tertentu dari isu Bagian ini berhubungan dengan penulisan fakta. Dalam hal ini, dilihat bagaimana aspek tertentu ditulis ? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Kedua faktor tersebut dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya dan dibuangnya. Pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita. Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput dan apa yang harus dibuang, apa yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan kepada khalayak.

39


(39)

Tabel 04

Konsepsi Framing Entman Define Problems

(Pendefinisian Masalah)

Ialah elemen yang pertama kali kita lihat mengenai framing. Menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bagaimana sebuah peristiwa dilihat ? Sebagai apa ? Atau sebagai masalah apa ?

Diagnose Causes (Sumber Masalah)

Ialah elemen framing yang digunakan untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what) dan bisa juga berarti siapa (who). Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa ? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah ? Siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah ?

Make Moral Judgement (Membuat Keputusan Moral)

Ialah elemen framing yang dipakai untuk memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah ? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan ?

Treatment Recommendation

(Penekanan Penyelesaian / Solusi)

Ialah elemen yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah ?


(40)

F. Kerangka Pemikiran

Tabel 05 Kerangka Pemikiran

Realitas mengenai penyebab terjadinya insiden Monas yang melibatkan dua organisasi massa, yaitu FPI dan AKKBB dijadikan headline / bahasan utama pada Koran Tempo dan Republika. Peristiwa tersebut selanjutnya diliput oleh Koran Tempo dan Republika menjadi teks berita dan disajikan kepada pembaca. Teks berita tersebut merupakan refleksi konstruksi realitas Koran Tempo dan Republika terhadap peristiwa tersebut. Konstruksi realitas tersebut mengungkapkan ideologi dan posisi Koran Tempo dan Republika terhadap realitas insiden Monas yang kemudian peneliti analisis teks berita tersebut dengan merujuk pada model analisis framing Robert N. Entman. Model tersebut

Koran Tempo dan Republika

Teks berita penyebab terjadinya insiden Monas

Konstruksi realitas Koran Tempo dan Republika terkait dengan berita penyebab terjadinya insiden Monas

Frame berita mengenai penyebab terjadinya insiden Monas dugaan :

1. Define problems 2. Diagnose causes 3. Make moral judgement 4. Treatment recommendation


(41)

akan menjelaskan bagaimana Koran Tempo dan Republika melihat realitas penyebab terjadinya insiden Monas. Siapa pelaku penyerangan, alasan atau sebab sampai terjadinya peristiwa tersebut, argumen moral yang diajukan dan jalan keluar atau solusi apa yang ditawarkan.


(42)

BAB III

PROFIL KORAN TEMPO dan REPUBLIKA

A. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo dan Republika 1. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo

Tempo lahir dan besar pada zaman Orde Baru, disokong oleh perusahaan yang juga dibesarkan pada masa Orde Baru tahun 1971, tetapi Orde Baru juga yang mematikannya.40 Tempo lahir dan mati di masa Orde Baru, beberapa pendiri Tempo adalah aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan Soekarno. Tempo luput dari pembredalan dua kali pada masa Orde Baru, tahun 1974 dan 1978. Tahun 1982, terjadi Insiden Lapangan Banteng, menjelang Pemilu 1982 dan dianggap oleh pemerintah mengganggu keamanan. Untuk itu Goenawan Mohammad harus menandatangani kesepakatan dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif, termasuk yang menyangkut keluarga Cendana.

Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, untuk itu

Tempo merupakan fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Periode ketika

Tempo berjaya ialah pada dekade 1980-an, di mana anggaran belanja iklan perusahaan banyak masuk ke media cetak. Jumlahnya mencapai 50 % dari total belanja iklan tersebut. Inilah yang pada akhirnya membuat gaji para wartawan

Tempo mencapai puncaknya. Setelah perpindahan Tempo dari kawasan Senen ke kawasan Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian terjadi eksodus puluhan wartawannya. Mereka keluar dari Tempo untuk mendirikan Majalah

40

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul

“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto,diakses pada 8 Desember 2008, 22:43


(43)

Editor, keluarnya mereka dikarenakan Tempo telah berubah menjadi institusi bisnis, bukan lagi institusi perjuangan dan manajemen sering kali membela pemilik modal dan tidak lagi menganggap wartawan sebagai aset berharga.

“Dunia media sangatlah dinamis karena ia juga mewakili dinamika dalam masyarakat secara mikro. Kantor Tempo pertama di Senen banyak menyimpan memori. Kehangatan ruang seperti bedeng justru menimbulkan suasana egaliter; pintu penghubung ruangan yang mirip pintu bar di film-film koboi; perilaku para kolumnis yang kocak-kocak, seperti misalnya: tulisan Ong Hok Ham yang sulit diedit karena satu halaman ketik ketinggalan di rumahnya, atau Abdurrachman Wahid yang bisa menghabiskan dua nasi bungkus sebelum mulai mengetik kolomnya di Kantor Tempo; dan perilaku para wartawannya sendiri yang memang jahil, menyiasati waktu-waktu krisis saat deadline. Situasi ini bergeser ketika kemudian Tempo pindah dari suasana pasar ke situasi perkantoran modern di kawasan Kuningan.”41

Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971 yang merupakan majalah pertama dan tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah. Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan 21 Juni 1994, Tempo kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga menerbitkan majalah dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang bernama Tempo Magazine dan pada 2 April 2001 Tempo juga menerbitkan

Koran Tempo. Pelarangan terbit Majalah Tempo pada 1994 bersama dengan

Editor dan Detik, tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman, laporan ini dianggap membahayakan stabilitas negara. Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan juga kecewa pada sikap Persatuan

41


(44)

Wartawan Indonesia (PWI) karena menyetujui pembredelan Tempo, Editor dan

Detik yang kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Koran Tempo adalah sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di Indonesia, pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya dikenal dengan Majalah Tempo. Dalam proses pendiriannya Koran Tempo

melakukan penjualan saham kepada publik sebanyak 17,6 persen dari dana tersebut hingga akhirnya koran ini bisa beroperasi. Koran Tempo pertama kali diterbitkan di Jakarta, 2 April 2001 dengan sirkulasi sebesar 100.000 setiap hari.42 Pertimbangan mendirikan Koran Tempo secara teknis ialah untuk mewadahi bahan-bahan berita Majalah Tempo yang terbuang percuma, secara idealis Koran Tempo mencoba memunculkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan surat kabar lainnya.

Idealisme Koran Tempo sendiri ialah menjadi media massa cetak yang mampu mendorong masyarakat menjadi kritis dalam menerima informasi.

Market reader Koran Tempo ialah masyarakat kelas menengah ke atas yang secara ekonomi berkecukupan dan memiliki pendidikan tinggi. Motto yang dianut Koran Tempo adalah “to be concise”, yaitu memberitakan sebuah peristiwa dengan ringkas padat dan jelas sesuai dengan 5 W + 1 H. Motto ini juga yang mendasari desain Koran Tempo yang pendek dan berita tidak bersambung dari satu halaman lain ke halaman lainnya. Pertimbangan lain adalah waktu pembaca surat kabar yang relatif pendek.

Saat ini Tempo memiliki labelnya sebagai koran kompak, sebuah pergeseran konsep surat kabar harian broadsheet menjadi format tabloid lima

42


(45)

kolom yang lebih mungil dan ringkas. Harus diakui bahwa Tempo adalah sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di Indonesia yang alumninya diakui di mana-mana. Sebutlah nama-nama petinggi media di Indonesia saat ini, banyak di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut majalah berita, sukar menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di dalamnya.

Visi Tempo Inti Media

Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat.43

Misi Tempo Inti Media

1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang enampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda

2. Sebuah produk multimedia yang mandir, bebas dari tekanan kekuasaan modal dan politik

3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan visual yang baik

4. Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik

5. Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai kemajuan jaman

6. Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor

7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khasanah artistik dan intelektual

2. Sejarah serta Perkembangan Republika

Republika adalah koran nasional yang dilahirkan oleh kalangan komunitas muslim di Indonesia pada 4 Januari 1993. Penerbitan tersebut sebagai upaya panjang kalangan umat Islam, khususnya wartawan profesional muda yang dipimpin oleh ex wartawan Tempo, Zaim Uchrowi. Kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dapat menembus pembatasan ketat pemerintah untuk izin penerbitan saat itu.

43


(46)

“Harian Umum Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni bangsa yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain di dunia, memegang nilai-nilai spiritualitas sebagai perwujudan Pancasila sebagai filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945.”44

Nama Republika sendiri merupakan ide dari Presiden Soeharto, pada awalnya harian ini akan diberi nama “Republik”. Penerbitan Republika menjadi berkah bagi umat. Sebelum masa itu, aspirasi umat tidak mendapat tempat dalam wacana nasional. Kehadiran media ini bukan hanya memberi saluran bagi aspirasi tersebut, namun juga menumbuhkan pluralisme informasi di masyarakat. Karena itu kalangan umat antusias memberi dukungan, antara lain dengan membeli saham sebanyak satu lembar saham per orang. PT Abdi Bangsa Tbk sebagai penerbit Republika pun menjadi perusahaan media pertama yang menjadi perusahaan publik. Mengelola usaha penerbitan koran bukan perkara sederhana. Selain sarat dengan modal dan sarat SDM, bisnis inipun sarat teknologi. Keberhasilan Republika menapaki usia 15 tahun merupakan buah upaya keras manajemen dan seluruh awak pekerja di PT Abdi Bangsa Tbk yang dilakukan oleh perusahaan yang menerbitkan koran ini sejak 1993 untuk mengelola segala kerumitan itu.

Setelah BJ Habibie tak lagi menjadi Presiden dan seiring dengan surutnya kiprah ICMI selaku pemegang saham mayoritas PT Abdi Bangsa, pada akhir 2000, mayoritas saham koran ini dimiliki oleh kelompok Mahaka Media. Walau berganti kepemilikan, Republika tak mengalami perubahan visi dan misi. Namun, harus diakui ada perbedaan gaya dibandingkan dengan sebelumnya. Sentuhan bisnis dan independensi Republika menjadi makin profesional dan

44


(47)

matang sebagai koran nasional untuk komunitas muslim. Mulai tahun 2004,

Republika dikelola oleh PT Republika Media Mandiri (RMM). Sementara PT Abdi Bangsa naik menjadi perusahaan induk (Holding Company). Di bawah PT RMM, Republika terus melakukan inovasi penyajian untuk kepuasan pelanggan.

Republika pertama kali tampil dengan “Desain Blok”, hingga berhasil memperoleh juara pertama Lomba Perwajahan Media Cetak 1993. Tahun 1995 membuka situs surat kabar pertama di Indonesia. Tahun 1997, menjadi yang pertama mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ). Republika juga sebagai koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Pada 31 Januari 2000, Republika menjadi koran pertama yang melakukan resizing. Pada umumnya koran di Indonesia menggunakan kertas ukuran sembilan kolom, hal ini terlihat tidak ergonomis. Ketika seluruh koran pada 2005 berubah ke delapan kolom, maka 2 Januari 2006 Republika berubah menjadi tujuh kolom. Tahun 2006, mulai edisi September, Republika memberikan sisipan gratis majalah olahraga “Arena”. Republika juga menjadi koran pertama yang sejak awal menjadi perusahaan terbuka dan telah listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Banyak keberhasilan yang telah diraih oleh Republika. Di antaranya melahirkan institusi sosial Dompet Dhuafa Republika, sebuah yayasan mandiri yang bergerak di bidang kemanusiaan.

Berdasarkan hasil riset AC Nielsen 2002-2003, mayoritas pembaca

Republika adalah kaum muda dan berpendidikan tinggi. Mereka umumnya berasal dari kalangan berpendidikan menengah ke atas (87%), berpenghasilan Rp.1.000.000 (69%) dengan terbanyak rentang di atas Rp.2.000.000 (45%) dengan pengeluaran umumnya di atas Rp.1.000.000. Sejak mulai terbit pada


(48)

tanggal 4 januari 1993, oplah penjualan Republika terus meningkat. Sepuluh hari sejak terbit, oplah Republika sudah mencapai 100.000 eksemplar. Padahal rencana awal terbit hanya diperkirakan sekitar 40.000 eksemplar per hari pada semester pertama tahun 1993, berarti oplah Republika meningkat 2,5 kali lipat dari rencana awal. Pada semester kedua, oplah Republika naik menjadi 130.000 eksemplar dan memasuki tahun kedua sudah meningkat menjadi 160.000 eksemplar per hari.45

Visi Harian Republika

Menjadikan harian Republika sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas dan profesional, namun mempunyai prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman

Rahmatan Lil Alamin. 46 Misi Harian Republika

Misi Republika di berbagai bidang kehidupan adalah sebagai berikut:

1. Dalam bidang politik, Republika mendorong demokratisasi dan optimalisasi lembaga-lembaga negara, partisipasi politik semua lapisan masyarakat dan pengutamaan kejujuran dan moralitas dalam politik

2. Dalam bidang ekonomi, keterbukaan dan demokratisasi ekonomi menjadi kepedulian Republika, mempromosikan profesionalisme yang mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dalam manajemen, menekankan perlunya pemerataan sumber-sumber daya ekonomi dan mempromosikan prinsip-prinsip etika dan moralitas dalam bisnis

3. Dalam bidang budaya, Republika mendukung sikap yang terbuka dan apresiatif terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dari manapun datangnya, mempromosikan bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat, mencerdasakan, menghaluskan perasaan, mempertajam kepekaan nurani, serta bersikap kritis terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang cenderung mereduksi

45

Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika),” (Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).

46


(49)

manusia dan mendangkalkan nilai-nilai kemanusiaan

4. Dalam bidang agama, Republika mendorong sikap beragama yang terbuka sekaligus kritis terhadap realitas sosial-ekonomi kontemporer

5. Memprioritaskan pengembangan pemasaran harian Republika di jabodetabek, tanpa harus mematikan di daerah yang sudah ada

6. Merajut tali persaudaraan dengan organisasi Islam di Indonesia

7. Bekerjasama dengan mitra usaha di dalam pengembangan pasar harian Republika di luar pulau Jawa

8. Mengamati peluang pengembangan “Koran Komunitas” seperti misalnya “Bintaro Pos”, “Depok Pos”, “Bekasi Pos” atau jenis koran lainnya

9. Mengelola Kantor Perwakilan sebagai “semi otonomi”

10.Menjadikan PT Republika Media Mandiri sebagai “sister company” yang sehat

11.Menjadikan harian Republika sebagai koran # ONE.

B. Struktur Redaksi Koran Tempo dan Republika 1. Struktur Redaksi Koran Tempo

Penerbit : PT Tempo Inti Media Harian

Corporate Chief Editor : Bambang Harymurti Pemimpin Redaksi : S Malela Mahargasari. PJ. Redaktur Eksekutif : Gendur Sudarsono

Redaktur Senior : Diah Purnomowati, Fikri Jufri, Goenawan Mohammad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus

Corporate Secretary : Rustam F. Mandayun

Redaktur Utama : Burhan Solihin, Purwanto Setiadi, Wicaksono

Sekretaris Redaksi : Dyah Irawati Hapsari

Direktur Utama : Bambang Harymurti

Direktur : Herry Hernawan, Toriq Hadad

Alamat Redaksi :


(1)

bagian akhir, Republika memberikan solusi kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penghentian kegiatan Ahmadiyah dan jika perlu membubarkan Ahmadiyah.

B. Saran

1. Peneliti menyadari adanya bias dalam mengkonstruksikan berita di media massa. Berita tidak terbentuk begitu saja, berita merupakan hasil konstruksi antara institusi media dan wartawan. Media dan wartawan hendaknya memiliki pegangan bagi apa yang disampaikan kepada khalayak. Antara lain bersikap akurat, tidak arogan, kecepatan dan jujur terhadap kebenaran. Akurat berarti, seorang wartawan atau sebuah institusi media haruslah mendapatkan informasi yang pasti dan tidak bisa dibantah. Harus disadari bahwa mengira dan menduga akan berakibat pada tuntutan hukum serta hilangnya kredibilitas dan prestige (nama baik / kehormatan) suatu media. Alangkah lebih baik ketika media dan wartawan berhati-hati dalam menyampaikan berita, karena bias yang ditampilkan media massa dalam mengkonstruksi realitas bisa saja berakibat pada konflik. Kecepatan dan persaingan bukanlah hal yang baru bagi sebuah media maupun wartawan. Seorang wartawan harus mampu menghasilkan tulisan yang dapat dipercaya dalam keadaan tekanan waktu, harus pandai dan tenang dalam menghadapi berbagai tekanan, wartawan harus menghasilkan berita dengan kecepatan kilat yang isinya seakan-akan tidak dibuat dengan terburu-buru. Jujur


(2)

terhadap kebenaran ialah jujur dalam mengumpulkan dan menyajikan fakta dan informasi, tidak bohong dan tidak menjiplak.

2. Kepada khalayak pembaca atau pun penikmat berita, hendaknya menerima informasi tidak hanya dari satu sumber berita saja. Tidak hanya membaca satu surat kabar saja, tidak hanya menonton atau mendengarkan berita dari satu program berita saja, tetapi mencari lebih banyak lagi sumber informasi dari surat kabar lain serta program-program berita yang ada di televisi atau radio.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ardianto, Elvinaro. dkk. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2005.

Birowo, M. Antonius, ed. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Gitanyali, 2004.

Burhan, Bungin. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006.

Burton, Graeme. Yang Tersembunyi di Balik Media. Yogyakarta : Jalasutra, 2008.

Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Eriyanto. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta : LKiS, 2002.

Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta : Granit, 2004.

HM, Zainuddin. The Journalist Buku Basic Wartawan, Bacaan Wajib Para Wartawan, Editor dan Mahasiswa Jurnalistik. Jakarta : Prestasi Pustakarya, 2007.

Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi.. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006.

Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. Jurnalistik Teori & Praktik. Bandung : Rosda Karya, 2005.

McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga, 1987.

Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta : Ceqda, 2007.


(4)

Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Rosda Karya, 2004.

Sareba Putra, Masri. Media Cetak Bagaimana Merancang dan Memproduksi. Graha Ilmu, 2007.

Setiyaji, Achmad. Tragedi Monas Berdarah. Bandung : Semesta Ide, 2008. Sobur, Alex. Analisis Teks Media : “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung : Rosda Karya, 2004. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKiS,

2001.

Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006.

Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat : Kalam Indonesia, 2005.

Wibowo, Indiwan Seto Wahju. Dasar-Dasar Jurnalistik Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara. Jakarta : LPJA Press, 2006.

Media Online :

“Agenda setting theory.” Artikel diakses pada 9 Mei 2009 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Agenda-Setting theory

“Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP”. Artikel diakses pada 21 Juni 2009, 00:562 dari www.ditpertais.net/annualconference/.../Makalah%20Rumadi.doc

Haryanto, Ignatius. “Enak dibaca Tetapi Harus dari Atas”. Artikel diakses pada 8 Desember 2008, 22:43 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm

“Isi SKB Menteri Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 18:09 dari http://id.wordpress.com/tag/menteri-agama/.

“Politisasi Bahasa.” Artikel diakses pada 15 Februari 2009, 21:12 dari http://blogaryandi.wordpress.com/2007/12/22/politisasi-bahasa-sebagai-instrument-politik-media/

Sejarah Koran Tempo. Artikel diakses pada 1 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo


(5)

“SKB Tentang Ahmadiyah.” Artikel diakses pada 23 Juni 2009, 21:24 dari http://yusril.ihzamahendra.com/2008/05/09/skb-tentang-ahmadiyah/ http://digilib.petra.ac.id/viewer, diakses pada 24 Juni 2009

Artikel Koran :

“Bubarkan FPI.” Koran Tempo, 2 Juni 2008.

“Pemerintah Kaji Pembekuan FPI.” Koran Tempo, 3 Juni 2008.

“Dua Korban Penyerangan Dirawat Intensif.” Koran Tempo, 3 Juni 2008. “Pemerintah Diminta Tegas Soal FPI.” Koran Tempo, 3 Juni 2008. “Polisi Ultimatum FPI.” Koran Tempo, 4 Juni 2008.

“Koran Tempo Akan Diserbu.” Koran Tempo, 4 Juni 2008.

“Insiden Monas Akibat Penjagaan Polisi Lemah.” Koran Tempo, 4 Juni 2008. “Goenawan Mohamad : Berbahaya Jika Pemerintah Gampang Melarang

Organisasi”, Koran Tempo, 7 Juni 2008.

“Bentrokan Akibat Pemerintah Lamban.” Republika, 2 Juni 2008. “Masyarakat Diimbau tak Lakukan Provokasi.” Republika, 3 Juni 2008. “Akar Masalahnya Ahmadiyah.” Republika, 3 Juni 2008.

“Umat Islam Diminta Bersatu.” Republika, 5 Juni 2008. “14 OKP : Jangan Ada Diskriminasi.” Republika, 6 Juni 2008. “Ustadz Jeffry : SBY Harus Adil.” Republika, 7 juni 2008.

Lain-Lain :

Doni, “Konstruksi Media Cetak Atas Realitas (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika).” Skripsi S 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Company Profile Republika. Company Profile Tempo Inti Media


(6)

Wawancara Pribadi dengan Irwan Ariefyanto. Jakarta, 23 April 2009. Wawancara Pribadi dengan Gendur Sudarsono. Jakarta, 2 Juni 2009.