Pemikiran Ali Syariati Tentang Konsep Im
Pemikiran Ali Syariati Tentang Konsep Imamah
A. Latar Belakang Keluarga
Ali Syari’ati berasal dari keluarga religi-profesional di Iran. Keluarga ini terkenal saleh, zuhud
dan suka membantu masyarakat. Akhund Mulla Qurban‘Ali yang lebih dikenal dengan sebutan
Akhund-e Hakim, datuk Ali Syari’ati semula diundang untuk tinggal di Mazinan sebagai otoriti
keagamaan di sana. Mazinan masa itu merupakan sebuah desa yang kecil, terletak di pinggir
kurun Provinsi Khurasan.
Ayah Syari’ati bernama Muhammad Taqi Mazinani. Dia datang ke kota suci Masyhad antara
tahun 1927 dan 1928 untuk belajar agama di Hawzah ‘Ilmiyyah Masyhad. Setelah
menyelesaikan studi teologi dasarnya (muqaddamat) dan memulai studi menengahnya (sath),
Muhammad Taqi meninggalkan perguruan agama dan menjadi guru dalam sistem pendidikan
nasional. Ia percaya bahawa kaum muda terpelajar yang akan menjadi warga Negara
bertanggung jawab di masa hadapan harus diperkenalkan dengan ajaran Islam yang sesuai
dengan zaman moden.
Dengan demikian, Muhammad Taqi mematahkan dua tradisi yang sudah lama. Pertama, setelah
menyelesaikan belajarnya, ia tidak kembali ke Mazinan, tempat tinggal tadisional keluarganya.
Kedua, sekalipun ia memiliki syarat untuk menjadi ulama’, seperti para datuknya, dia
melepaskan pakaian keagamaannya dan menggantinya dengan Barat.
Dia bertekad untuk mendidik generasi yang diyakininya sebagai agen-agen perubahan di masa
hadapan.
B. Situasi Sosial Politik.
Seperti diketahui, pada saat itu, Iran dipimpin oleh Reza Syah yang diktator. Semua aktiviti
sosial, politik dan keagamaan dihadkan. Ruang kebebasan tidak ada, sehingga ia dipaksa
berhenti menjadi Perdana Menteri pada tahun 1941. Setelah itu, aktiviti keagamaan dan politik
publik yang sepenuhnya terbelenggu itu, kembali berghairah. Bahkan, parti Tudeh (parti yang
sebenar berideologi komunis) tidak menyebut dirinya Parti Komunis Iran agar tidak
menyinggung sensitiviti keagamaan luas, juga berkembang luas.
Dalam keadaan seperti itu, Muhammad Taqi Syari’ati memulai dakwah persendirian untuk
menyampaikan dan menyebarkan apa yang diyakininya sebagai semangat Islam yang progresif.
Tahun 1944, Pusat Dakwah Kebenaran Islam (Kanoun-e Nashr-e Haqayeq e Islami/KNHI) resmi
dibuka di Masyhad.
Tujuan utama dari organisasi ini adalah membendung dan menolak pengaruh ateisme yang
1
dipropagandakan oleh kaum komunis dan untuk mengajak kembali intelektual muslim yang
jatuh ke tangan kaum Kasravi.
Namun, kerana kecenderungan organisasi Islam tersebut yang lebih beraliran modernis, akhirnya
membawa konflik dengan kelompok syi’ah yang kuat di Masyhad. Sebab, setelah tahun 1941
(setelah jatuhnya Reza Syah) terjadi ketidakstabilan kondisi sosial, di mana kaum intelektual
memiliki kecenderungan Marxis, sedangkan kelompok agamawan cenderung reaksioner.
Setelah Reza Syah turun, Iran dipimpin oleh Mosaddeq. Tahun 1953, Amerika mendalangi untuk
menjatuhkan kerajaan nasionalis pimpinan Mosaddeq tersebut. Pada masa itu, organisasi KNHI
resmi menjadi pusat akiviti pro-Mosaddeq di Masyhad. Namun pada tahun itu pula, berdiri
Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) yang didedikasikan untuk kesinambungan kebijakan
Mosaddeq. Akhirnya, anggota pusat organisasi KNHI bergabung dengan NRM.
Organisasi yang bergabung dengan NRM pula ialah Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan atau
Nehzat-e Khoda Parastan-e Sosialis (MGWS) yang didirikan oleh Muhammad Nakhshab.
C. Masa Remaja Ali Syari’ati.
Ali Syari’ati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra lahir pada 24 November 1933. Ali lahir
dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini, aktiviti keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Islam dipandang oleh keluarga ini lebih sebagai doktrin sosial dan falsafah yang sesuai dengan
zaman moden dari pada keyakinan masa lalu yang bersifat peribadi dan hanya memikirkan
sendiri.
Tahun 1941, Ali masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolah inilah ayahnya
bekerja.
Di sekolah, Ali mempunyai dua perilaku yang berbeza dengan kawan-kawannya. Dia pendiam,
tak mahu di atur dan rajin. Dia dipandang sebagai penyendiri, tidak mempunyai hubungan
dengan dunia luar. Kerana itu, dia tampak tidak bermasyarakat.
Menurut teman sekelasnya, dia tidak banyak berkawan dan tidak bermain bola sepak – olahraga
yang lazim untuk anak seusianya. Di kelas, dia selalu memandang ke luar jendela dan tidak
memperhatikan dunia sekelilingnya.
Di rumah, Ali biasa bersama ayahnya yang membaca hingga waktu malam, bahkan sampai
menjelang pagi. Dia tidak pernah membaca bacaan yang diwajibkan sekolahnya dan tidak pernah
mengerjakan homework.
Ali meminati bacaan falsafah dan mistisisme. Ia mulai menyenangi kedua-duanya sejak tahuntahun pertamanya di sekolah menengah atas. Selama tahun-tahun ini, dia lebih suka belajar di
rumah. Dia menikmati ketika berada di perpustakaan ayahnya yang mempunyai koleksi 2000
buku.
Menurutnya, ayahnya yang membentuk jiwa dan semangatnya. Adalah sang ayah jugalah yang
2
mengajarinya seni berfikir dan ‘teknik’ untuk menjadi manusia. Sang ayah jugalah yang pertama
kali mengenalkannya rasa kebebasan, kemerdekaan, harga diri, keluhuran budi dan iman.
Dengan keadaan seperti itu, Ali dengan agak berbangga pernah mengatakan bahawa selama
periode ini, dia seratus langkah lebih maju dibanding teman sekelasnya dan sembilan puluh
sembilan langkah dihadapan guru-gurunya.
Pada periode ini pula, Ali berminat kepada sastera, syair dan kemanusiaan dari pada ilmu sosial
atau studi keagamaan. Meskipun di rumah ia belajar bahasa arab kepada ayahnya, fokus
utamanya ialah studi falsafah dan karya-karya penyair serta penulis moden Iran dan Barat.
Konon, ia mempelajari dan mendapat inspirasi dari karya-karya Saddeq-e Hedayat, novelis
ternama Iran yang beraliran nihilistis, Nima Yousheej, bapak syair moden Iran, Akhavan-e
Saless, penyair kontemporeri Iran terkenal dan Maurice Maeterlinck, penulis Belgium yang
karya-karyanya memadukan mistisisme dengan simbolisme. Syari’ati ingat bahawa perhatiannya
kepada falsafah timbul kerana sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi: “Bila kita meniup
mati sebatang lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?
Namun, Ali bukan tipikal anak pintar yang tidak suka bermasyarakat, yang menghindari
masyarakat kerana tidak menghargai mereka juga bukan kerana tidak sependapat dengan mereka.
Bila suasana hatinya sedang baik, Syari’ati menjadi baik, ramah dan akrab serta memperhatikan
kepentingan orang lain.
Dikalangan teman-temannya, dia terkenal sifat humor, cerdas, suka melawak dan bergurau. Sifatsifat inilah yang kemudian menjadi senjata penting dan ampuh dalam menghadapi lawan dan
musuh intelektualnya kemudian hari.
Menurut penuturannya sendiri, Syari’ati mengalami krisis keperibadian pertamanya yang serius
antara tahun 1946 dan 1950. Masa itu, dalam usia belasan tahun ia sudah membaca karya
Maurice Mauterlinck, Arthur Scopenhuer, Franz Kafka, dan Saddeq-e Hedayat.
Kerana pengaruh tulisan merekalah, Syari’ati merasakan fondasi keagamaannya tergoncang.
Kesejukan, ketenangan dan keyakinan akan eksistensi Tuhan berubah menjadi kegelisahan dan
keraguan.
Baginya, eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, asing dan sepi, membuat kehidupan itu
sendiri menjadi suram dan hampa. Keterlenaan dalam belajar dan berfikir membuat Syari’ati
mengalami krisis keimanan yang serius. Dia merasa berada di jalan buntu filosofis, yang
akibatnya, menurutnya hanya bisa berupa bunuh diri atau gila.
Pada suatu malam musim dingin, dia berfikir untuk bunuh diri di Eskhtar-e Koohsangi yang
romantis di Masyhad. Namun itu tidak sempat terjadi sampai akhirnya ia menemukan kesejukan
dalam karya Masnawi-nya Maulawi, gudang spiritual falsafah timur. Pada malam itu, kata-kata
dan pemikiran Maulawi yang menyelamatkan Syari’ati dari kehancuran diri. Mistisisme
Maulawi meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada diri Syari’ati muda.
3
Setelah itu, Syari’ati menyebutkan bahawa mistisisme bersama kemerdekaan dan persamaan
sebagai tiga tamu historis utama dan dimensi fundamental manusia ideal.
Tahun 1950, setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, Syari’ati masuk Kolose Pendidikan
Guru Masyhad. Dia tinggal di Asrama. Pada saat itu, dia berada di antara pertentangan konsepsikonsepsi makna dan tujuan hidup, cara mencapai tujuan itu dan peranan serta tanggung jawab
manusia di dunia.
Pada tahun 1952 dia lulus dari Kolose Pendidikan Guru Masyhad. Pada masa ini, tampak seolaholah dia telah menyelesaikan sejumlah isu teologis yang menghantui pikirannya selama
bertahun-tahun. Ledakan agnotisme kognitif, keyakinan yang berubah-rubah, dilema filosofis,
keyakinan yang setengah-setengah yang mewarnai masa remajanya mulai hilang. Ketidakpastian
dan kegelisahan digantikan oleh keyakinan kukuh kepada fakta bahawa dia telah mencapai
puncak kepastian pertama.
Dia telah menemukan Islam sebagai medium epistimologis untuk mengetahui dan
mendefinisikan kehidupan dan masyarakat yang ideal. Selanjutnya, dia menyebut model peran
ideal atau agen untuk mencapai masyarakat Islam ideal ada pada watak Abu Dzar.
Kedamaian dan keseimbangan yang baru ditemukan Syari’ati tercermin dengan sangat baik
dalam karya-karya seriusnya yang pertama, Tarikh-e Takamol-e Falsafe (Sejarah Perkembangan
falsafah), yang pada umumnya dikenal dengan nama Maktab-e Vaseteh-e Islam (Jalan Tengah
Islam) dan Abu Zar-e Ghifari.
Dalam Abu Zar-e Ghifari, Syari’ati menciptakan pahlawan, model dan simbol yang tegar
menghadapi kekayaan, kekuasaan bahkan otoriti keagamaan untuk menyelamatkan Islam
‘otentik’ kaum miskin, tertindas dan kaum yang sedar sosial.
Abu Dzar bagi Syari’ati adalah tanda mengenai Islam yang taat, tegar, revolusioner yang
berbicara tentang persamaan, persaudaraan, keadilan dan pembebasan.
Lebih jauh lagi, dengan watak Abu Dzar yang seperti itu, membuat Syari’ati yakin bahawa
konsep-konsep seperti keadilan sosial, persamaan, kebebasan dan sosialisme yang sampai ke Iran
melalui intelektual Barat merupakan bagian integral warisan Islam.
Kerana itu, Syari’ati dengan bangga mengatakan: ‘Abu Dzar adalah leluhur segenap mazhab
egaliter pasca-Revolusi Perancis’.
Ali Rahnema menulis:
“Adalah tepat kiranya kalau dikatakan bahawa sejak usia dua puluh tahun sampai meninggal,
semangat memuja hero Abu Dzar dalam diri Syari’ati berkembang menjadi rasa takzim yang
begitu mendalam”.
4
D. Masa di Universiti
Tahun 1955, Syari’ati masuk Fakulti Sastera Universiti Masyhad yang baru sahaja dirasmikan.
Selama di Universiti, sekalipun menghadapi persoalan administrasi akibat pekerjaan rasminya
sebagai guru full-time, Syari’ati adalah yang paling tinggi rankingnya di kelas.
Bakat dan kesukaannya kepada sastera menjadikannya popular dikalangan mahasiswa.
Tahun 1957, di seluruh Iran, cabang-cabang NRM mendapat serangan. Empat belas anggota
penting NRM cabang Masyhad ditahan dan diterbangkan ke Teheran dengan pesawat udara
tentara dan dipenjarakan di Qezel Qal’eh. Muhammad Taqi dan Ali Syari’ati termasuk di
antaranya. Ali adalah yang termuda dalam kelompok ini.
Kelompok ini dituduh mengikuti doktrin Mosaddeq. Satu bulan kemudian, Ali Syari’ati
dibebaskan.
Di Universiti, Ali bertemu Pouran. Mereka menikah di Masyhad pada 15 Juli 1958. Lima bulan
setelah menikah, Ali mendapat gelar BA dibidang sastera Persia.
Kerana prestasi akademiknya baik, ia mendapat beasiswa melanjutkan studi ke luar negeri. Pada
April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Isteri dan puteranya yang baru lahir, bernama
Ehsan mengikuti setahun kemudian.
E. Kehidupan di Paris
Pengalaman Syari’ati di Paris mencerahkan sekaligus menyedihkan. Perasaannya sangat campur
aduk. Dia membenci aspek tertentu dan memuji aspek lainnya. Dia menghina keburukan sosial,
degenerasi moral Paris yang tercermin pada wanita di jalan-jalan, rumah judi dan club malam.
Di sisi ain, dia sangat takzim kepada kesedaran sosial dan pencerahan intelektual Paris yang
tercermin pada orang-orang rendah hati dari berbagai lembaga pendidikannya.
Dia menuturkan, bagaimana gurunya membimbingnya ke puncak perenungan manusia,
pencerahan spiritual dan pemikiran sosial.
Ketika belajar di Barat itu pula, Syari’ati dapat mengetahui perspektif yang sangat kritis terhadap
masyarakat Barat sendiri dan mengetahui metodologi yang tepat untuk mengemukakan dan
mempertahankan teori mereka.
Pendidikan Barat Syari’ati membuatnya dapat melihat karya-karya ilmiah dan interpretasi nonSyi’ah mengenai Syi’ah. Akibatnya, Syi’ah Syari’ati sangat berbeza dengan Syi’ah rasmi di Iran.
Dia lebih memperhatikan kandungan sosio-politik, pesan dan implikasi dari apa yang sedang
ditulis mengenai isu-isu Islam, daripada ajaran dasar Syi’ah.
5
Syari’ati pula memuji gurunya di Barat, Louis Massignon, Islamolog Katholik Perancis terkenal.
Dia menyebut Massignon seorang manusia jenius, sempurna, figur spiritual, jiwa yang benarbenar baik dan murni.
Menurutnya, antara tahun 1960 dan 1962 dia bekerja sebagai asisten riset Massignon. Bersama
Massignon, Syari’ati mengalami perubahan ruhani yang penting.
Kalau Matsnawinya Maulana mengubah pandangan dan visinya pada awal dewasanya,
Massignonlah yang merubah pandangan Syari’ati pada awal kematangannya.
Di Paris, Syari’ati mulai menerjemahkan buku Massignon mengenai Salman Al-Farisi.
Selain Massignon, sarjana Barat yang juga membentuk intelektualiti Syari’ati ialah sosiolog
ternama, George Gurvitch, yang kuliah-kuliahnya diikuti Syari’ati dengan seksama dan rutin
selama lima tahun tinggal di Paris.
Syari’ati menyukai gaya hidup dan teori sosiologi imigran Rusia ini, yang berselisih dengan
Stalin dan menyelamatkan diri dari kaum Fasis dan Stalinis. Pada sosok George, Syari’ati merasa
menemukan Abu Dzar versi Barat.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan baru yang mencerahkan,
yang mempengeruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia.
Di masa itu, subjek yang paling diminati ialah sosiologi, falsafah dan teologi.
Salah seorang diantaranya, Frantz Fanon. Ia banyak mengajar Syari’ati tentang solidariti dunia
ketiga, internasionalisme dan penolakan terhadap pembangunan Eropa. Pada tahun-tahun
berikutnya, Syari’ati menerjemahkan A Dying Colonialism karya Fanon.
Dalam tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya kemudian, Syari’ati banyak mengutip kesimpulan
buku Wretched of the Earth karya Fanon, yang diterjemahkannya di Paris.
Gurunya yang lain adalah Jacques Berque. Darinya Syari’ati mendapatkan pandangan sosiologi
tentang agama.
Selain mengikuti kelas yang diajar oleh para intelektual di atas, Syari’ati juga banyak membaca
karya-karya yang banyak memberinya perubahan diri.
Sartre (m. 1960) ialah diantaranya. Dari karyanya, Syari’ati mendapatkan prinsip kebebasan
manusia dan sebagai akibatnya tanggung jawab manusia untuk bangkit melawan segala bentuk
penindasan. Syari’ati juga bertemu dengan Albert Camus (m. 1980) di Paris.
Ia juga membaca karya Jean Cocteau yang menunjukinya, bagaimana jiwa manusia dapat
berkembang.
6
Karya Alexis Carrel memperlihatkan kepada Syari’ati keselarasan ilmu pengetahuan dan agama.
Tahun 1963, Syari’ati mempertahankan tesis doktoralnya, ‘Les Merites de Balkh’ (Segi Positif
Balkh). Tesisnya berupa terjemahan 155 halaman ke bahasa Perancis atas bab ketiga dari sebuah
dokumen abad ketiga belas tulisan Saifuddin Balkhi.
Tesis Doktoral Syari’ati ditulisnya atas arahan Profesor Gilbert Lazard untuk Faculte des Lettres
Universiti Paris di Sorbonne.
Disertasi Syari’ati diterima dengan predikat passable, predikat kelulusan yang paling rendah.
Pada September 1964, Syari’ati dan keluarga kembali ke Iran melalui jalan darat. Ia berada di
Iran kira-kira 13 tahun. Kemudian dia meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977 menuju Belgium
lalu ke British. Dia tak pernah kembali ke Iran dan meninggal pada 19 Juni 1977.
Begitulah kehidupan ringkas Ali Syari’ati selama keberadaannya di Iran. Ia telah diagungagungkan sebagai tokoh revolusioner moden hebat diantara tokoh-tokoh yang lain.
Secara singkat ada beberapa tokoh revolusi yang dapat disebut di sini, yaitu Ayatullah Khomeini
(m. 1989), Murtadha Muthahhari (m. 1979), Ali Hashemi Rafsanjani, Bani Sadr dan Ali
Syari’ati.
Menurut sejumlah pengamat revolusi Iran, nama Ali Syari’ati harus diletakkan pada senarai
pertama dari kelompok intelektual penting yang melawan rezim Syah.
F. Karya-karya Ali Syari’ati
Berikut ini beberapa buku Syari’ati yang ditulis Saifullah dalam tesisnya, diantaranya:
1. On The Sociology of Islam, buku ini telah diterjemahkan oleh Hamid Alghar dalam bahasa
Inggris. Ia mengandungi idea-idea Ali Syari’ati tentang cara memahami Islam, insan kamil dan
tauhid.
2. The Vissage of Muhammad, karya ini merupakan refleksi historis dari pada diutusnya Nabi.
3. What is’t be Done; The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissence, berisi huraian Ali
tentang tanggung jawab intelektual muslim.
4. Man and Islam, buku yang menjelaskan tentang konsep manusia, penciptaan, eksistensinya
dalam pandangan Tuhan dan tugas yang harus diemban intelektual muslim.
5. Hajj, sebuah buku tentang interpretasi simbolik mengenai ritual-ritual haji.
7
6. Marxism and Other Western Fallacies, buku yang menggugat secara tajam terhadap Marxisme
dan
falsafah
Barat
yang
mewakili
ideologi
humanisme.
7. Al-ummah wa al-Imamah, koleksi lengkap tentang pemikiran Syari’ati tentang ummah dan
imamah dilihat dari aspek sosiologis.
8. Martyrdom; Ariise and Bear Witness, huraian Syari’ati yang mendalam tentang perjuangan
Imam Husayn di Karbala.
Kerana sikapnya yang keras terhadap Marxisme ini dan semangat pembebasannya yang
revolusioner, Haidar Baqir, salah seorang intelektual Indonesia menggambarkan Syari’ati sebagai
“Seorang yang ‘Marxis’ yang anti Marxisme dan seorang syii yang ‘sunni’.
Haidar menulis:
"Mungkin peribadi revolusionernya, penentangannya terhadap kapitalisme dan kolonialisme,
permusuhannya terhadap penindasan manusia oleh manusia telah menggiringnya kepada
kemiripan dengan beberapa gagasan kaum Marxis, yang memang berbagi isu yang sama.
Mungkin juga pengaruh Jala-i Ahmad dan Frantz Fanon turut berperan di sini".
G. Pengertian dan konsep Imamah
Konsep Imamah bermula dari kata umat, jamaknya umam yang artinya umat, rakyat atau bangsa.
Dalam bahasa inggrisnya disebut nation, people. Dalam kamus Munawwir, ia bermakna; imam
atau pemimpin. Dari akar kata itulah muncul perkataan imamah.
Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepimpinan politik dan spiritual dalam khilafah
yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali.
Setelah Nabi Muhammad meninggal, siapakah yang seharusnya memegang kepemimpinan
khilafah? Keluarga Nabi menghendaki dari keluarganya iaitu Ali bin Abi Thalib. Namun di saat
mereka sibuk mengurus jenazah Nabi, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah, sehingga
mereka tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.
Kerana itu, keluarga Nabi tersebut tidak segera berbaiat kepada Abu Bakar. Sungguhpun begitu,
pada akhirnya mereka tidak boleh tidak membai’atnya juga.
Di sinilah awal munculnya benih-benih perbezaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni
dan Syi’ah.
Kelompok sunni percaya bahawa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih.
Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah.
8
Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah sekitar 17 Mac 599 M - 28 Februari 661 H adalah
khalifah yang keempat dan terakhir bagi kelompok sunni, tapi yang pertama bagi Syi’ah.
Syi’ah sekarang ini, khususnya aliran istnaa-asyariyyah banyak berkembang di Iran, Iraq dan
Lubnan.
Setelah Imam yang kedua belas, konsep kepimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi,
sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga
menghasilkan revolusi 1979 di Iran.
Syi’ah 12 berpendapat bahawa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan
dilanjutkan oleh para sarjana, mujtahid, dan ayatullah sehingga sang imam muncul kembali.
H. Ummah dan Imamah Dalam Pemikiran Ali Syar’ati
Istilah ummah adalah konsep khas yang ada pada Islam. Ia menggantikan beberapa istilah yang
oleh Montgomery Watt mempunyai kemiripan erti sebelumnya, seperti nation, qabilah, qaum,
sya’b, thabaqah, tha’ifah, ras, massa, people.
Syari’ati mengatakan bahawa ummah dan imamah merupakan prinsip akidah islamiah yang
paling penting dan terkenal, khususnya dikalangan mazhab Syi’ah. Tidak menghairankan, bila
konsep kepimpinan Islam mendapat perhatian lebih banyak pada kelompok Syi’ah dibandingkan
kelompok Sunni.
Tajuk inilah yang paling banyak dibicarakan dari dahulu hingga sekarang.
Kerana itu, ia ingin melihat kajian ini dipandang secara sosiologis dan konteksnya dengan
keidupan manusia, kerana ia lebih dinamis dan moden.
Menurut Syari’ati, kata ummah berasal dari kata ‘amma artinya bermaksud (qashada) dan
berazam (‘azima). Pengertian ini mencakupi tiga makna yaitu ‘gerakan’, tujuan dan ‘ketetapan
hati yang sedar’.
Kata amma pula pada awalanya, menurut Syari’ati berarti kemajuan. Dengan demikian secara
luas mencakup empat erti: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan.
Secara prinsip, kata ummah berarti jalan yang terang. Ertinya, suatu kelompok manusia yang
menuju ke jalan tertentu. Dengan demikian, kepimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang
dilalui terangkumi dalam istilah ummah.
Itu berarti ia menolak pengertian lain, seperti keturunan (ras), tanah air (people), perkumpulan
(tha’ifah), kebersamaan (jama’ah), baik dalam tujuan, profesi dalam pelbagai perangkatnya
(thabaqah), ras, status sosial, dan gaya kehidupan yang dipandang sebagai pengikat dasar dan
sakral antar pelbagai individu, tidak termasuk pengertian ummah.
9
Jadi apakah yang paling dasar dalam Islam yang menjadi pengikat paling penting untuk
mempersatukan
individu-individu?
“Jalan
yang
dilalui”
jawab
Syari’ati.
Kelebihan lain yang ada pada konsep ummah ialah menempatkan kebersamaan dalam arah
tertentu dan pembentukan kekerabatan lahir-batin sebagai ciri dasar yang mengikat manusia. Ini
berbeza, dalam pemikiran Syari’ati dengan istilah qabilah – konsep terbaik menurut Syari’ati yang hanya menempatkan ‘tujuan yang sama’ sebagai pengikat individu tersebut.
Syari’ati menulis:
"Dalam istilah qabilah, memang terdapat kebersamaan tujuan, tapi tidak ditemukan adanya
gerakan yang menuju tujuan tersebut. Sebab, sangat mungkin ada sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan yang sama, tapi tidak memiliki ikatan atau keharusan apapun berkaitan
dengan jalan yang dilalui untuk menuju tujuan tersebut. Mereka memang memiliki kesamaan
dalam keyakinan dan tujuan (konsep dan emosional) sebagaimana halnya dengan kaum muslim
sekarang ini. Tetapi mereka tidak melangkah dengan langkah yang sama menuju ke arah yang
sama. Tujuan yang ingin dicapai terletak pada titik tertentu, dan gerakan mereka menuju ke arah
yang lain. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justeru merupakan
landasan ideologis".
Istilah qaum (berdiri), mungkin memiliki makna yang dinamis pula. Tapi, gerak di sana dalam
pemikiran Syari’ati tetap tidak dinamis. Istilah qaum mengandung bergerak di tempat. Sebab,
orang yang tergabung di sana memang bergerak, tapi tidak pernah beranjak dari tempatnya
berdiri. Jadi, berdiri bukanlah bergerak.
Gerakan adalah perpindahan dari satu titik ke titik lain atau perubahan dari kualiti menuju kualiti
dan bentuk lain. Sedangkan qiyam hanya berupa perubahan wujud, bukan perubahan kualiti.
Jadi, ia tidak disebut hijrah, baik secara fisikal atau psikologi.
Sedang ummah adalah kumpulan orang yang berpindah dan bergerak dan mengandung konsep:
1. Kebersamaan dalam arah dan tujuan.
2. Gerakan menuju arah dan tujuan tersebut.
3. Keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif.
Secara ringkas, ummah ialah sekumpulan manusia, di mana para anggotanya memiliki tujuan
yang sama, dan satu sama lain tolong-menolong agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka
cita-citakan berdasar kepemimpinan kolektif.
Mereka memiliki kesatuan pemikiran, keyakinan, mazhab, dan metodologi yang tidak sahaja
tergambarkan
dalam
idea,
tetapi
terbukti
perwujudannya
secara
konkrit.
Maka, dilihat dari konteks tersebut, istilah ummah dengan sendirinya membutuhkan imamah –
10
keharusan yang sama sekali tidak dimiliki konsep lain, seperti qabilah, jama’ah, qaum, nation
dan yang lain. Dengan itu, berarti tidak ada ummah tanpa imamah.
Menurut Syari’ati, dalam sejarahnya manusia selamanya ingin mempunyai pemimpin. Kerana
itu, dalam sejarah umat manusia, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan imam baik
yang real ataupun khayal.
Hal ini dibuktikan dalam sejarah, kebudayaan dan agama-agama yang terus berlangsung dalam
bentuk mencintai pahlawan, menghamba kepada kepala suku, kultus individu dan dalam bentuk
lainnya, samada yang positif atau negatif.
Bahkan, dikalangan intelektual pun. Orang-orang seperti Nietzsche, Hegel, Crlyle adalah orangorang yang percaya kepada adanya pahlawan (hero), dan berpendapat bahawa manusia agar bisa
hidup dalam kehidupan yang lebih baik dan paling tinggi serta dapat bergerak kepada kehidupan
dunia yang lebih tinggi dan agung, ia mesti berlindung kepada “manusia super” .
Syari’ati mencatat pula kalau kekacauan di zaman moden ini, kerana tidak adanya idola.
Mengutip seorang pemikir Perancis, Caneon mengatakan “Kemelut manusia moden telah
mencapai tingkat hingga lenyapnya hero”. Namun, tentu kepahlawanan di sini, menurutnya tidak
sama seperti yang ada pada fasisme dan militerisme.
Konsekuensi logik pula bahawa setiap anggota ummah itu harus mematuhi pemimpin komuniti
tersebut dengan ketaatan tanpa paksaan.
Kemudian apa fungsi imamah sendiri? “Ia dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan
pendinamisan massa”, tulis Syari’ati.
Dalam konsep pertama, ialah bagaimana menguasai massa sehingga berada dalam stabiliti dan
ketenangan, kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya.
Dalam konsep kedua, ialah berkaitan dengan asas kemajuan dan perubahan sosiologis, sosial dan
keyakinan serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.
Di antara dua fungsi imamah di atas, yang kedua lebih ditekankan.
Dengan demikian, tulis Syari’ati: Imamah bukanlah lembaga yang anggota-anggotanya
menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang baik, dan bukan pula melepaskan diri dari
kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan kesejahteraan umat serta bukan kehidupan
tanpa tujuan.
Secara singkat tugas imam ialah mewujudkan asas kerajaan kepada kemajuan, perubahan,
transformasi dalam wujudnya yang paling cepat, melakukan akselerasi dan menggiring umat
menuju kesempurnaan.
Kita bandingkan dengan pernyataan Sayyid Muzhaffar, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat. Ia
menulis:
"Kami percaya bahawa para imam adalah ulul amr yang diperintahkan oleh Allah untuk ditaati.
11
Sebab, mereka adalah saksi bagi manusia, pintu-pintu Allah, dan jalan menuju-Nya. Mereka
adalah penunjuk jalan, wadah ilmu Allah, penerjemah wahyu-Nya, tonggak-tonggak tauhid-Nya,
lemari makrifat-Nya. Kerana itulah, mereka menjadi pembawa keamana di bumi, seperti bintang
membawa keamanan bagi ahli langit”.
Namun, Syari’ati secara tegas menolak kalau imam adalah “supra manusia”. Sebab, bila imam
terdiri dari supramanusia, ia tidak mungkin memiliki hal-hal yang dapat dijadikan teladan yang
baik bagi manusia.
Syari’ati mengatakan, kalau imam itu malaikat, pasti kita tidak mungkin meneladaninya. Dengan
mengabaikan hal itu, maka manusia dapat mencapai darjat yang dinyatakan dalan al-Qur’an
sebagai lebih tinggi dibanding derajat yang dimiliki oleh semua malaikat yang muqarribin.
Lebih tepat ia disebut “manusia super” yang selaras dengan tuntunan manusia akan moral bagi
kehidupan individu mahupun masyarakat, serta selari dengan kebutuhan intelektual dan
psikologi. Ia akan selalu membimbing individu dalam kelompok umat dan melembutkan
spritualiti dan menajamkan pikiran manusia.
Maka, jelas dalam pemikiran Syari’ati, imam bukanlah non-manusia. Sebab, jika kita
menganggap dzat imam lebih tinggi dibanding manusia lainnya dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya kecuali Tuhan, maka kita akan jatuh kepada syirik.
Imam hanya manusia biasa yang telah mencapai tingkat semestinya dicapai oleh manusia, dan
orang-orang lain belum mencapai tingkat tersebut. Imam itu akan terus-menerus berusaha
mencapai kemanusiaan dengan makrifat.
Ertinya, secara umum dalam pemikiran Syari’ati, imam lebih umum dibanding pengertian
pemimpin politik, ketua parti, pahlawan atau superman. Imam adalah “perwujudan manusiawi
yang membentuk roh, moral dan cara hidupnya sebagai petunjuk bagi umat manusia tentang
bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu”.
Syari’ati menulis:
"Tugas seorang imam tidak hanya terbatas pada memimpin dalam salah satu aspek politik, sosial,
ekonomi, dan tidak terbatas sebagai panglima, amir atau khalifah, tapi tugasnya adalah
menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek pelbagai kemanusiaan. Imam seperti
ini, tidak terbatas kepada hidupnya sahaja, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup
selamanya”.
Sementara individu sendiri dalam umat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai
pertubuhan organisme umat. Mereka harus mengetahui imam mereka, mengakui dan
mempercayainya.
Dan apabila dijumpai individu yang lebih mementingkan kehidupan yang mewah, tidak mahu
12
bergerak dan menuju kesempurnaan, maka yang demikian tidak patut berada ditengah-tengah
atau kelompok umat. Umat mesti begerak cepat dan tidak berdiam diri.
Namun tujuan umat sendiri pada akhirnya, seperti ditulis Syari’ati terbahagi menjadi dua:
1. Suatu transformasi terus-menerus menuju tercapainya kesempurnaan yang mutlak, dan
2. Perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi.
Dua konsep di atas, ternyata berkesesuaian dengan ayat-ayat al-Qur’an, seperti ditulis Syari’ati
sendiri, iaitu ayat “Ingatlah bahawasanya kepada Allah jualah kembalinya semua urusan”. (AlSyura: 53); “Kepada Allah-lah tempat kembali”. (Ali Imran: 28); “Sesungguhnya kita milik
Allah, dan kepada-Nyalah kita kembali”. (Fathir: 18).
Allah dalam ayat al-Qur’an di atas ialah bermakna Kesempurnaan Mutlak, Keabadian,
Kekekalan, ilmu, penemuan, kesadaran, keindahan, kemampuan, kewujudan, kebaikan,
kemamfaatan, kelembutan, keadilan dan keagungan dalam pengertian yang mutlak dan tanpa
batas.
Dan kita pun kembali ‘kepada Allah’. Di sini Syari’ati menolak idea kaum wihdat al-wujud,
bahawa kita perlu ‘ke dalam Allah’. Menurutnya, yang benar ialah kembali “kepada-Nya”.
I. Pemilihan Imam
Dalam sejarah kebudayaan manusia, pemilihan pemimpin selalu didasarkan atas faktor-faktor
berikut ini: kudeta, intervensi, penunjukan, pewarisan, pemilihan, dominasi majoriti, revolusi dan
pencalonan.
Bagi Syari’ati, imam tidaklah dipilih sebagaimana pengangkatan atau pemilihan. Ia adalah suatu
hak yang bersifat esensi yang muncul pada diri seseorang. Sumbernya ialah imam itu sendiri. Ia
menjadi imam, kerana memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang dijelaskan.
Posisi masyarakat tidak menunjuk untuk menjadi imam. Tetapi mereka mengakui atas
kelayakannya sebagai orang imam. Kerana itu, dalam Syi’ah dikatakan “Jabatan imamah sama
dengan kenabian”. Ertinya, posisi imam atau Nabi adalah masalah pengakuan yang timbul dalam
masyarakat. Mungkin ada yang tidak mengakui atas tersebut. Dan ini bisa diterima secara logik.
Pada sisi lain, imamah berbeza dengan khilafah. Imamah adalah kepemimpinan spiritual dan
warisan suci Nabi. Sedang khilafah, ialah pengganti Nabi dalam urusan politik, dan ia
merupakan kepemimpinan sosial dan pemerintahan duniawi.
Maka dengan adanya pemisahan ini, Syari’ati berupaya meredakan ketegangan antara Sunnah
dan Syi’ah selama ini. Baginya, tidak ada perbezaan antara kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan
Utsman dengan imamah Ali. Para khalifah itu tidak akan mengingkari imamah yang dimiliki Ali
dan mereka pula tidak akan merampasnya. Khilafah yang ada pada mereka bukan sebagai hasil
13
rampasan atas hak ahlu al-bait. Demikian sebaliknya, perlunya kesediaan pada kelompok Sunnah
untuk menerima imamah para imam Syi’ah.
Pada saat yang sama, ketika ada imam dan khalifah di sisi lain, lalu masyarakat memilih khalifah
sebagai pemimpin mereka untuk menangani masalah sosial, politik, militer, dan menempatkan
imam sebagai hanya pemimpin spiritual, maka yang demikian, bagi Syari’ati tidak menjadi
problem. Hal ini menurutnya pernah terjadi kepada Ghandi dan Nehru di India.
Bahkan yang demikian, dapat membebaskan posisi imam sendiri dari kekotoran politik dan
keburukan pemerintahan.
Dan dalam posisi itu, keagungan dan kehormatan, bahkan ke-ismahan imam tetap terpelihara.
Fungsi imam yang seperti lebih bersifat pemikiran, keilmuan dan spiritual.
Sebab, imam – dalam konsepnya yang benar – tidak berdiri dibelakang kekuatan eksekutif,
dibelakang Negara, dan tidak pula bergandengan dengan politik penguasa. Para imam dalam
pandangan Syi’ah ialah pemimpin para penguasa, junjungan orang-orang yang taat beribadah,
pilar negara dan pemimpin umat.
14
A. Latar Belakang Keluarga
Ali Syari’ati berasal dari keluarga religi-profesional di Iran. Keluarga ini terkenal saleh, zuhud
dan suka membantu masyarakat. Akhund Mulla Qurban‘Ali yang lebih dikenal dengan sebutan
Akhund-e Hakim, datuk Ali Syari’ati semula diundang untuk tinggal di Mazinan sebagai otoriti
keagamaan di sana. Mazinan masa itu merupakan sebuah desa yang kecil, terletak di pinggir
kurun Provinsi Khurasan.
Ayah Syari’ati bernama Muhammad Taqi Mazinani. Dia datang ke kota suci Masyhad antara
tahun 1927 dan 1928 untuk belajar agama di Hawzah ‘Ilmiyyah Masyhad. Setelah
menyelesaikan studi teologi dasarnya (muqaddamat) dan memulai studi menengahnya (sath),
Muhammad Taqi meninggalkan perguruan agama dan menjadi guru dalam sistem pendidikan
nasional. Ia percaya bahawa kaum muda terpelajar yang akan menjadi warga Negara
bertanggung jawab di masa hadapan harus diperkenalkan dengan ajaran Islam yang sesuai
dengan zaman moden.
Dengan demikian, Muhammad Taqi mematahkan dua tradisi yang sudah lama. Pertama, setelah
menyelesaikan belajarnya, ia tidak kembali ke Mazinan, tempat tinggal tadisional keluarganya.
Kedua, sekalipun ia memiliki syarat untuk menjadi ulama’, seperti para datuknya, dia
melepaskan pakaian keagamaannya dan menggantinya dengan Barat.
Dia bertekad untuk mendidik generasi yang diyakininya sebagai agen-agen perubahan di masa
hadapan.
B. Situasi Sosial Politik.
Seperti diketahui, pada saat itu, Iran dipimpin oleh Reza Syah yang diktator. Semua aktiviti
sosial, politik dan keagamaan dihadkan. Ruang kebebasan tidak ada, sehingga ia dipaksa
berhenti menjadi Perdana Menteri pada tahun 1941. Setelah itu, aktiviti keagamaan dan politik
publik yang sepenuhnya terbelenggu itu, kembali berghairah. Bahkan, parti Tudeh (parti yang
sebenar berideologi komunis) tidak menyebut dirinya Parti Komunis Iran agar tidak
menyinggung sensitiviti keagamaan luas, juga berkembang luas.
Dalam keadaan seperti itu, Muhammad Taqi Syari’ati memulai dakwah persendirian untuk
menyampaikan dan menyebarkan apa yang diyakininya sebagai semangat Islam yang progresif.
Tahun 1944, Pusat Dakwah Kebenaran Islam (Kanoun-e Nashr-e Haqayeq e Islami/KNHI) resmi
dibuka di Masyhad.
Tujuan utama dari organisasi ini adalah membendung dan menolak pengaruh ateisme yang
1
dipropagandakan oleh kaum komunis dan untuk mengajak kembali intelektual muslim yang
jatuh ke tangan kaum Kasravi.
Namun, kerana kecenderungan organisasi Islam tersebut yang lebih beraliran modernis, akhirnya
membawa konflik dengan kelompok syi’ah yang kuat di Masyhad. Sebab, setelah tahun 1941
(setelah jatuhnya Reza Syah) terjadi ketidakstabilan kondisi sosial, di mana kaum intelektual
memiliki kecenderungan Marxis, sedangkan kelompok agamawan cenderung reaksioner.
Setelah Reza Syah turun, Iran dipimpin oleh Mosaddeq. Tahun 1953, Amerika mendalangi untuk
menjatuhkan kerajaan nasionalis pimpinan Mosaddeq tersebut. Pada masa itu, organisasi KNHI
resmi menjadi pusat akiviti pro-Mosaddeq di Masyhad. Namun pada tahun itu pula, berdiri
Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) yang didedikasikan untuk kesinambungan kebijakan
Mosaddeq. Akhirnya, anggota pusat organisasi KNHI bergabung dengan NRM.
Organisasi yang bergabung dengan NRM pula ialah Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan atau
Nehzat-e Khoda Parastan-e Sosialis (MGWS) yang didirikan oleh Muhammad Nakhshab.
C. Masa Remaja Ali Syari’ati.
Ali Syari’ati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra lahir pada 24 November 1933. Ali lahir
dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini, aktiviti keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Islam dipandang oleh keluarga ini lebih sebagai doktrin sosial dan falsafah yang sesuai dengan
zaman moden dari pada keyakinan masa lalu yang bersifat peribadi dan hanya memikirkan
sendiri.
Tahun 1941, Ali masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolah inilah ayahnya
bekerja.
Di sekolah, Ali mempunyai dua perilaku yang berbeza dengan kawan-kawannya. Dia pendiam,
tak mahu di atur dan rajin. Dia dipandang sebagai penyendiri, tidak mempunyai hubungan
dengan dunia luar. Kerana itu, dia tampak tidak bermasyarakat.
Menurut teman sekelasnya, dia tidak banyak berkawan dan tidak bermain bola sepak – olahraga
yang lazim untuk anak seusianya. Di kelas, dia selalu memandang ke luar jendela dan tidak
memperhatikan dunia sekelilingnya.
Di rumah, Ali biasa bersama ayahnya yang membaca hingga waktu malam, bahkan sampai
menjelang pagi. Dia tidak pernah membaca bacaan yang diwajibkan sekolahnya dan tidak pernah
mengerjakan homework.
Ali meminati bacaan falsafah dan mistisisme. Ia mulai menyenangi kedua-duanya sejak tahuntahun pertamanya di sekolah menengah atas. Selama tahun-tahun ini, dia lebih suka belajar di
rumah. Dia menikmati ketika berada di perpustakaan ayahnya yang mempunyai koleksi 2000
buku.
Menurutnya, ayahnya yang membentuk jiwa dan semangatnya. Adalah sang ayah jugalah yang
2
mengajarinya seni berfikir dan ‘teknik’ untuk menjadi manusia. Sang ayah jugalah yang pertama
kali mengenalkannya rasa kebebasan, kemerdekaan, harga diri, keluhuran budi dan iman.
Dengan keadaan seperti itu, Ali dengan agak berbangga pernah mengatakan bahawa selama
periode ini, dia seratus langkah lebih maju dibanding teman sekelasnya dan sembilan puluh
sembilan langkah dihadapan guru-gurunya.
Pada periode ini pula, Ali berminat kepada sastera, syair dan kemanusiaan dari pada ilmu sosial
atau studi keagamaan. Meskipun di rumah ia belajar bahasa arab kepada ayahnya, fokus
utamanya ialah studi falsafah dan karya-karya penyair serta penulis moden Iran dan Barat.
Konon, ia mempelajari dan mendapat inspirasi dari karya-karya Saddeq-e Hedayat, novelis
ternama Iran yang beraliran nihilistis, Nima Yousheej, bapak syair moden Iran, Akhavan-e
Saless, penyair kontemporeri Iran terkenal dan Maurice Maeterlinck, penulis Belgium yang
karya-karyanya memadukan mistisisme dengan simbolisme. Syari’ati ingat bahawa perhatiannya
kepada falsafah timbul kerana sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi: “Bila kita meniup
mati sebatang lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?
Namun, Ali bukan tipikal anak pintar yang tidak suka bermasyarakat, yang menghindari
masyarakat kerana tidak menghargai mereka juga bukan kerana tidak sependapat dengan mereka.
Bila suasana hatinya sedang baik, Syari’ati menjadi baik, ramah dan akrab serta memperhatikan
kepentingan orang lain.
Dikalangan teman-temannya, dia terkenal sifat humor, cerdas, suka melawak dan bergurau. Sifatsifat inilah yang kemudian menjadi senjata penting dan ampuh dalam menghadapi lawan dan
musuh intelektualnya kemudian hari.
Menurut penuturannya sendiri, Syari’ati mengalami krisis keperibadian pertamanya yang serius
antara tahun 1946 dan 1950. Masa itu, dalam usia belasan tahun ia sudah membaca karya
Maurice Mauterlinck, Arthur Scopenhuer, Franz Kafka, dan Saddeq-e Hedayat.
Kerana pengaruh tulisan merekalah, Syari’ati merasakan fondasi keagamaannya tergoncang.
Kesejukan, ketenangan dan keyakinan akan eksistensi Tuhan berubah menjadi kegelisahan dan
keraguan.
Baginya, eksistensi tanpa Tuhan begitu menakjubkan, asing dan sepi, membuat kehidupan itu
sendiri menjadi suram dan hampa. Keterlenaan dalam belajar dan berfikir membuat Syari’ati
mengalami krisis keimanan yang serius. Dia merasa berada di jalan buntu filosofis, yang
akibatnya, menurutnya hanya bisa berupa bunuh diri atau gila.
Pada suatu malam musim dingin, dia berfikir untuk bunuh diri di Eskhtar-e Koohsangi yang
romantis di Masyhad. Namun itu tidak sempat terjadi sampai akhirnya ia menemukan kesejukan
dalam karya Masnawi-nya Maulawi, gudang spiritual falsafah timur. Pada malam itu, kata-kata
dan pemikiran Maulawi yang menyelamatkan Syari’ati dari kehancuran diri. Mistisisme
Maulawi meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada diri Syari’ati muda.
3
Setelah itu, Syari’ati menyebutkan bahawa mistisisme bersama kemerdekaan dan persamaan
sebagai tiga tamu historis utama dan dimensi fundamental manusia ideal.
Tahun 1950, setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, Syari’ati masuk Kolose Pendidikan
Guru Masyhad. Dia tinggal di Asrama. Pada saat itu, dia berada di antara pertentangan konsepsikonsepsi makna dan tujuan hidup, cara mencapai tujuan itu dan peranan serta tanggung jawab
manusia di dunia.
Pada tahun 1952 dia lulus dari Kolose Pendidikan Guru Masyhad. Pada masa ini, tampak seolaholah dia telah menyelesaikan sejumlah isu teologis yang menghantui pikirannya selama
bertahun-tahun. Ledakan agnotisme kognitif, keyakinan yang berubah-rubah, dilema filosofis,
keyakinan yang setengah-setengah yang mewarnai masa remajanya mulai hilang. Ketidakpastian
dan kegelisahan digantikan oleh keyakinan kukuh kepada fakta bahawa dia telah mencapai
puncak kepastian pertama.
Dia telah menemukan Islam sebagai medium epistimologis untuk mengetahui dan
mendefinisikan kehidupan dan masyarakat yang ideal. Selanjutnya, dia menyebut model peran
ideal atau agen untuk mencapai masyarakat Islam ideal ada pada watak Abu Dzar.
Kedamaian dan keseimbangan yang baru ditemukan Syari’ati tercermin dengan sangat baik
dalam karya-karya seriusnya yang pertama, Tarikh-e Takamol-e Falsafe (Sejarah Perkembangan
falsafah), yang pada umumnya dikenal dengan nama Maktab-e Vaseteh-e Islam (Jalan Tengah
Islam) dan Abu Zar-e Ghifari.
Dalam Abu Zar-e Ghifari, Syari’ati menciptakan pahlawan, model dan simbol yang tegar
menghadapi kekayaan, kekuasaan bahkan otoriti keagamaan untuk menyelamatkan Islam
‘otentik’ kaum miskin, tertindas dan kaum yang sedar sosial.
Abu Dzar bagi Syari’ati adalah tanda mengenai Islam yang taat, tegar, revolusioner yang
berbicara tentang persamaan, persaudaraan, keadilan dan pembebasan.
Lebih jauh lagi, dengan watak Abu Dzar yang seperti itu, membuat Syari’ati yakin bahawa
konsep-konsep seperti keadilan sosial, persamaan, kebebasan dan sosialisme yang sampai ke Iran
melalui intelektual Barat merupakan bagian integral warisan Islam.
Kerana itu, Syari’ati dengan bangga mengatakan: ‘Abu Dzar adalah leluhur segenap mazhab
egaliter pasca-Revolusi Perancis’.
Ali Rahnema menulis:
“Adalah tepat kiranya kalau dikatakan bahawa sejak usia dua puluh tahun sampai meninggal,
semangat memuja hero Abu Dzar dalam diri Syari’ati berkembang menjadi rasa takzim yang
begitu mendalam”.
4
D. Masa di Universiti
Tahun 1955, Syari’ati masuk Fakulti Sastera Universiti Masyhad yang baru sahaja dirasmikan.
Selama di Universiti, sekalipun menghadapi persoalan administrasi akibat pekerjaan rasminya
sebagai guru full-time, Syari’ati adalah yang paling tinggi rankingnya di kelas.
Bakat dan kesukaannya kepada sastera menjadikannya popular dikalangan mahasiswa.
Tahun 1957, di seluruh Iran, cabang-cabang NRM mendapat serangan. Empat belas anggota
penting NRM cabang Masyhad ditahan dan diterbangkan ke Teheran dengan pesawat udara
tentara dan dipenjarakan di Qezel Qal’eh. Muhammad Taqi dan Ali Syari’ati termasuk di
antaranya. Ali adalah yang termuda dalam kelompok ini.
Kelompok ini dituduh mengikuti doktrin Mosaddeq. Satu bulan kemudian, Ali Syari’ati
dibebaskan.
Di Universiti, Ali bertemu Pouran. Mereka menikah di Masyhad pada 15 Juli 1958. Lima bulan
setelah menikah, Ali mendapat gelar BA dibidang sastera Persia.
Kerana prestasi akademiknya baik, ia mendapat beasiswa melanjutkan studi ke luar negeri. Pada
April 1959, Syari’ati pergi ke Paris sendirian. Isteri dan puteranya yang baru lahir, bernama
Ehsan mengikuti setahun kemudian.
E. Kehidupan di Paris
Pengalaman Syari’ati di Paris mencerahkan sekaligus menyedihkan. Perasaannya sangat campur
aduk. Dia membenci aspek tertentu dan memuji aspek lainnya. Dia menghina keburukan sosial,
degenerasi moral Paris yang tercermin pada wanita di jalan-jalan, rumah judi dan club malam.
Di sisi ain, dia sangat takzim kepada kesedaran sosial dan pencerahan intelektual Paris yang
tercermin pada orang-orang rendah hati dari berbagai lembaga pendidikannya.
Dia menuturkan, bagaimana gurunya membimbingnya ke puncak perenungan manusia,
pencerahan spiritual dan pemikiran sosial.
Ketika belajar di Barat itu pula, Syari’ati dapat mengetahui perspektif yang sangat kritis terhadap
masyarakat Barat sendiri dan mengetahui metodologi yang tepat untuk mengemukakan dan
mempertahankan teori mereka.
Pendidikan Barat Syari’ati membuatnya dapat melihat karya-karya ilmiah dan interpretasi nonSyi’ah mengenai Syi’ah. Akibatnya, Syi’ah Syari’ati sangat berbeza dengan Syi’ah rasmi di Iran.
Dia lebih memperhatikan kandungan sosio-politik, pesan dan implikasi dari apa yang sedang
ditulis mengenai isu-isu Islam, daripada ajaran dasar Syi’ah.
5
Syari’ati pula memuji gurunya di Barat, Louis Massignon, Islamolog Katholik Perancis terkenal.
Dia menyebut Massignon seorang manusia jenius, sempurna, figur spiritual, jiwa yang benarbenar baik dan murni.
Menurutnya, antara tahun 1960 dan 1962 dia bekerja sebagai asisten riset Massignon. Bersama
Massignon, Syari’ati mengalami perubahan ruhani yang penting.
Kalau Matsnawinya Maulana mengubah pandangan dan visinya pada awal dewasanya,
Massignonlah yang merubah pandangan Syari’ati pada awal kematangannya.
Di Paris, Syari’ati mulai menerjemahkan buku Massignon mengenai Salman Al-Farisi.
Selain Massignon, sarjana Barat yang juga membentuk intelektualiti Syari’ati ialah sosiolog
ternama, George Gurvitch, yang kuliah-kuliahnya diikuti Syari’ati dengan seksama dan rutin
selama lima tahun tinggal di Paris.
Syari’ati menyukai gaya hidup dan teori sosiologi imigran Rusia ini, yang berselisih dengan
Stalin dan menyelamatkan diri dari kaum Fasis dan Stalinis. Pada sosok George, Syari’ati merasa
menemukan Abu Dzar versi Barat.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan baru yang mencerahkan,
yang mempengeruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia.
Di masa itu, subjek yang paling diminati ialah sosiologi, falsafah dan teologi.
Salah seorang diantaranya, Frantz Fanon. Ia banyak mengajar Syari’ati tentang solidariti dunia
ketiga, internasionalisme dan penolakan terhadap pembangunan Eropa. Pada tahun-tahun
berikutnya, Syari’ati menerjemahkan A Dying Colonialism karya Fanon.
Dalam tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya kemudian, Syari’ati banyak mengutip kesimpulan
buku Wretched of the Earth karya Fanon, yang diterjemahkannya di Paris.
Gurunya yang lain adalah Jacques Berque. Darinya Syari’ati mendapatkan pandangan sosiologi
tentang agama.
Selain mengikuti kelas yang diajar oleh para intelektual di atas, Syari’ati juga banyak membaca
karya-karya yang banyak memberinya perubahan diri.
Sartre (m. 1960) ialah diantaranya. Dari karyanya, Syari’ati mendapatkan prinsip kebebasan
manusia dan sebagai akibatnya tanggung jawab manusia untuk bangkit melawan segala bentuk
penindasan. Syari’ati juga bertemu dengan Albert Camus (m. 1980) di Paris.
Ia juga membaca karya Jean Cocteau yang menunjukinya, bagaimana jiwa manusia dapat
berkembang.
6
Karya Alexis Carrel memperlihatkan kepada Syari’ati keselarasan ilmu pengetahuan dan agama.
Tahun 1963, Syari’ati mempertahankan tesis doktoralnya, ‘Les Merites de Balkh’ (Segi Positif
Balkh). Tesisnya berupa terjemahan 155 halaman ke bahasa Perancis atas bab ketiga dari sebuah
dokumen abad ketiga belas tulisan Saifuddin Balkhi.
Tesis Doktoral Syari’ati ditulisnya atas arahan Profesor Gilbert Lazard untuk Faculte des Lettres
Universiti Paris di Sorbonne.
Disertasi Syari’ati diterima dengan predikat passable, predikat kelulusan yang paling rendah.
Pada September 1964, Syari’ati dan keluarga kembali ke Iran melalui jalan darat. Ia berada di
Iran kira-kira 13 tahun. Kemudian dia meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977 menuju Belgium
lalu ke British. Dia tak pernah kembali ke Iran dan meninggal pada 19 Juni 1977.
Begitulah kehidupan ringkas Ali Syari’ati selama keberadaannya di Iran. Ia telah diagungagungkan sebagai tokoh revolusioner moden hebat diantara tokoh-tokoh yang lain.
Secara singkat ada beberapa tokoh revolusi yang dapat disebut di sini, yaitu Ayatullah Khomeini
(m. 1989), Murtadha Muthahhari (m. 1979), Ali Hashemi Rafsanjani, Bani Sadr dan Ali
Syari’ati.
Menurut sejumlah pengamat revolusi Iran, nama Ali Syari’ati harus diletakkan pada senarai
pertama dari kelompok intelektual penting yang melawan rezim Syah.
F. Karya-karya Ali Syari’ati
Berikut ini beberapa buku Syari’ati yang ditulis Saifullah dalam tesisnya, diantaranya:
1. On The Sociology of Islam, buku ini telah diterjemahkan oleh Hamid Alghar dalam bahasa
Inggris. Ia mengandungi idea-idea Ali Syari’ati tentang cara memahami Islam, insan kamil dan
tauhid.
2. The Vissage of Muhammad, karya ini merupakan refleksi historis dari pada diutusnya Nabi.
3. What is’t be Done; The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissence, berisi huraian Ali
tentang tanggung jawab intelektual muslim.
4. Man and Islam, buku yang menjelaskan tentang konsep manusia, penciptaan, eksistensinya
dalam pandangan Tuhan dan tugas yang harus diemban intelektual muslim.
5. Hajj, sebuah buku tentang interpretasi simbolik mengenai ritual-ritual haji.
7
6. Marxism and Other Western Fallacies, buku yang menggugat secara tajam terhadap Marxisme
dan
falsafah
Barat
yang
mewakili
ideologi
humanisme.
7. Al-ummah wa al-Imamah, koleksi lengkap tentang pemikiran Syari’ati tentang ummah dan
imamah dilihat dari aspek sosiologis.
8. Martyrdom; Ariise and Bear Witness, huraian Syari’ati yang mendalam tentang perjuangan
Imam Husayn di Karbala.
Kerana sikapnya yang keras terhadap Marxisme ini dan semangat pembebasannya yang
revolusioner, Haidar Baqir, salah seorang intelektual Indonesia menggambarkan Syari’ati sebagai
“Seorang yang ‘Marxis’ yang anti Marxisme dan seorang syii yang ‘sunni’.
Haidar menulis:
"Mungkin peribadi revolusionernya, penentangannya terhadap kapitalisme dan kolonialisme,
permusuhannya terhadap penindasan manusia oleh manusia telah menggiringnya kepada
kemiripan dengan beberapa gagasan kaum Marxis, yang memang berbagi isu yang sama.
Mungkin juga pengaruh Jala-i Ahmad dan Frantz Fanon turut berperan di sini".
G. Pengertian dan konsep Imamah
Konsep Imamah bermula dari kata umat, jamaknya umam yang artinya umat, rakyat atau bangsa.
Dalam bahasa inggrisnya disebut nation, people. Dalam kamus Munawwir, ia bermakna; imam
atau pemimpin. Dari akar kata itulah muncul perkataan imamah.
Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepimpinan politik dan spiritual dalam khilafah
yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali.
Setelah Nabi Muhammad meninggal, siapakah yang seharusnya memegang kepemimpinan
khilafah? Keluarga Nabi menghendaki dari keluarganya iaitu Ali bin Abi Thalib. Namun di saat
mereka sibuk mengurus jenazah Nabi, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah, sehingga
mereka tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.
Kerana itu, keluarga Nabi tersebut tidak segera berbaiat kepada Abu Bakar. Sungguhpun begitu,
pada akhirnya mereka tidak boleh tidak membai’atnya juga.
Di sinilah awal munculnya benih-benih perbezaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni
dan Syi’ah.
Kelompok sunni percaya bahawa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih.
Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah.
8
Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah sekitar 17 Mac 599 M - 28 Februari 661 H adalah
khalifah yang keempat dan terakhir bagi kelompok sunni, tapi yang pertama bagi Syi’ah.
Syi’ah sekarang ini, khususnya aliran istnaa-asyariyyah banyak berkembang di Iran, Iraq dan
Lubnan.
Setelah Imam yang kedua belas, konsep kepimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi,
sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga
menghasilkan revolusi 1979 di Iran.
Syi’ah 12 berpendapat bahawa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan
dilanjutkan oleh para sarjana, mujtahid, dan ayatullah sehingga sang imam muncul kembali.
H. Ummah dan Imamah Dalam Pemikiran Ali Syar’ati
Istilah ummah adalah konsep khas yang ada pada Islam. Ia menggantikan beberapa istilah yang
oleh Montgomery Watt mempunyai kemiripan erti sebelumnya, seperti nation, qabilah, qaum,
sya’b, thabaqah, tha’ifah, ras, massa, people.
Syari’ati mengatakan bahawa ummah dan imamah merupakan prinsip akidah islamiah yang
paling penting dan terkenal, khususnya dikalangan mazhab Syi’ah. Tidak menghairankan, bila
konsep kepimpinan Islam mendapat perhatian lebih banyak pada kelompok Syi’ah dibandingkan
kelompok Sunni.
Tajuk inilah yang paling banyak dibicarakan dari dahulu hingga sekarang.
Kerana itu, ia ingin melihat kajian ini dipandang secara sosiologis dan konteksnya dengan
keidupan manusia, kerana ia lebih dinamis dan moden.
Menurut Syari’ati, kata ummah berasal dari kata ‘amma artinya bermaksud (qashada) dan
berazam (‘azima). Pengertian ini mencakupi tiga makna yaitu ‘gerakan’, tujuan dan ‘ketetapan
hati yang sedar’.
Kata amma pula pada awalanya, menurut Syari’ati berarti kemajuan. Dengan demikian secara
luas mencakup empat erti: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan.
Secara prinsip, kata ummah berarti jalan yang terang. Ertinya, suatu kelompok manusia yang
menuju ke jalan tertentu. Dengan demikian, kepimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang
dilalui terangkumi dalam istilah ummah.
Itu berarti ia menolak pengertian lain, seperti keturunan (ras), tanah air (people), perkumpulan
(tha’ifah), kebersamaan (jama’ah), baik dalam tujuan, profesi dalam pelbagai perangkatnya
(thabaqah), ras, status sosial, dan gaya kehidupan yang dipandang sebagai pengikat dasar dan
sakral antar pelbagai individu, tidak termasuk pengertian ummah.
9
Jadi apakah yang paling dasar dalam Islam yang menjadi pengikat paling penting untuk
mempersatukan
individu-individu?
“Jalan
yang
dilalui”
jawab
Syari’ati.
Kelebihan lain yang ada pada konsep ummah ialah menempatkan kebersamaan dalam arah
tertentu dan pembentukan kekerabatan lahir-batin sebagai ciri dasar yang mengikat manusia. Ini
berbeza, dalam pemikiran Syari’ati dengan istilah qabilah – konsep terbaik menurut Syari’ati yang hanya menempatkan ‘tujuan yang sama’ sebagai pengikat individu tersebut.
Syari’ati menulis:
"Dalam istilah qabilah, memang terdapat kebersamaan tujuan, tapi tidak ditemukan adanya
gerakan yang menuju tujuan tersebut. Sebab, sangat mungkin ada sekumpulan orang yang
mempunyai tujuan yang sama, tapi tidak memiliki ikatan atau keharusan apapun berkaitan
dengan jalan yang dilalui untuk menuju tujuan tersebut. Mereka memang memiliki kesamaan
dalam keyakinan dan tujuan (konsep dan emosional) sebagaimana halnya dengan kaum muslim
sekarang ini. Tetapi mereka tidak melangkah dengan langkah yang sama menuju ke arah yang
sama. Tujuan yang ingin dicapai terletak pada titik tertentu, dan gerakan mereka menuju ke arah
yang lain. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justeru merupakan
landasan ideologis".
Istilah qaum (berdiri), mungkin memiliki makna yang dinamis pula. Tapi, gerak di sana dalam
pemikiran Syari’ati tetap tidak dinamis. Istilah qaum mengandung bergerak di tempat. Sebab,
orang yang tergabung di sana memang bergerak, tapi tidak pernah beranjak dari tempatnya
berdiri. Jadi, berdiri bukanlah bergerak.
Gerakan adalah perpindahan dari satu titik ke titik lain atau perubahan dari kualiti menuju kualiti
dan bentuk lain. Sedangkan qiyam hanya berupa perubahan wujud, bukan perubahan kualiti.
Jadi, ia tidak disebut hijrah, baik secara fisikal atau psikologi.
Sedang ummah adalah kumpulan orang yang berpindah dan bergerak dan mengandung konsep:
1. Kebersamaan dalam arah dan tujuan.
2. Gerakan menuju arah dan tujuan tersebut.
3. Keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif.
Secara ringkas, ummah ialah sekumpulan manusia, di mana para anggotanya memiliki tujuan
yang sama, dan satu sama lain tolong-menolong agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka
cita-citakan berdasar kepemimpinan kolektif.
Mereka memiliki kesatuan pemikiran, keyakinan, mazhab, dan metodologi yang tidak sahaja
tergambarkan
dalam
idea,
tetapi
terbukti
perwujudannya
secara
konkrit.
Maka, dilihat dari konteks tersebut, istilah ummah dengan sendirinya membutuhkan imamah –
10
keharusan yang sama sekali tidak dimiliki konsep lain, seperti qabilah, jama’ah, qaum, nation
dan yang lain. Dengan itu, berarti tidak ada ummah tanpa imamah.
Menurut Syari’ati, dalam sejarahnya manusia selamanya ingin mempunyai pemimpin. Kerana
itu, dalam sejarah umat manusia, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan imam baik
yang real ataupun khayal.
Hal ini dibuktikan dalam sejarah, kebudayaan dan agama-agama yang terus berlangsung dalam
bentuk mencintai pahlawan, menghamba kepada kepala suku, kultus individu dan dalam bentuk
lainnya, samada yang positif atau negatif.
Bahkan, dikalangan intelektual pun. Orang-orang seperti Nietzsche, Hegel, Crlyle adalah orangorang yang percaya kepada adanya pahlawan (hero), dan berpendapat bahawa manusia agar bisa
hidup dalam kehidupan yang lebih baik dan paling tinggi serta dapat bergerak kepada kehidupan
dunia yang lebih tinggi dan agung, ia mesti berlindung kepada “manusia super” .
Syari’ati mencatat pula kalau kekacauan di zaman moden ini, kerana tidak adanya idola.
Mengutip seorang pemikir Perancis, Caneon mengatakan “Kemelut manusia moden telah
mencapai tingkat hingga lenyapnya hero”. Namun, tentu kepahlawanan di sini, menurutnya tidak
sama seperti yang ada pada fasisme dan militerisme.
Konsekuensi logik pula bahawa setiap anggota ummah itu harus mematuhi pemimpin komuniti
tersebut dengan ketaatan tanpa paksaan.
Kemudian apa fungsi imamah sendiri? “Ia dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan
pendinamisan massa”, tulis Syari’ati.
Dalam konsep pertama, ialah bagaimana menguasai massa sehingga berada dalam stabiliti dan
ketenangan, kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya.
Dalam konsep kedua, ialah berkaitan dengan asas kemajuan dan perubahan sosiologis, sosial dan
keyakinan serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.
Di antara dua fungsi imamah di atas, yang kedua lebih ditekankan.
Dengan demikian, tulis Syari’ati: Imamah bukanlah lembaga yang anggota-anggotanya
menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang baik, dan bukan pula melepaskan diri dari
kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan kesejahteraan umat serta bukan kehidupan
tanpa tujuan.
Secara singkat tugas imam ialah mewujudkan asas kerajaan kepada kemajuan, perubahan,
transformasi dalam wujudnya yang paling cepat, melakukan akselerasi dan menggiring umat
menuju kesempurnaan.
Kita bandingkan dengan pernyataan Sayyid Muzhaffar, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat. Ia
menulis:
"Kami percaya bahawa para imam adalah ulul amr yang diperintahkan oleh Allah untuk ditaati.
11
Sebab, mereka adalah saksi bagi manusia, pintu-pintu Allah, dan jalan menuju-Nya. Mereka
adalah penunjuk jalan, wadah ilmu Allah, penerjemah wahyu-Nya, tonggak-tonggak tauhid-Nya,
lemari makrifat-Nya. Kerana itulah, mereka menjadi pembawa keamana di bumi, seperti bintang
membawa keamanan bagi ahli langit”.
Namun, Syari’ati secara tegas menolak kalau imam adalah “supra manusia”. Sebab, bila imam
terdiri dari supramanusia, ia tidak mungkin memiliki hal-hal yang dapat dijadikan teladan yang
baik bagi manusia.
Syari’ati mengatakan, kalau imam itu malaikat, pasti kita tidak mungkin meneladaninya. Dengan
mengabaikan hal itu, maka manusia dapat mencapai darjat yang dinyatakan dalan al-Qur’an
sebagai lebih tinggi dibanding derajat yang dimiliki oleh semua malaikat yang muqarribin.
Lebih tepat ia disebut “manusia super” yang selaras dengan tuntunan manusia akan moral bagi
kehidupan individu mahupun masyarakat, serta selari dengan kebutuhan intelektual dan
psikologi. Ia akan selalu membimbing individu dalam kelompok umat dan melembutkan
spritualiti dan menajamkan pikiran manusia.
Maka, jelas dalam pemikiran Syari’ati, imam bukanlah non-manusia. Sebab, jika kita
menganggap dzat imam lebih tinggi dibanding manusia lainnya dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya kecuali Tuhan, maka kita akan jatuh kepada syirik.
Imam hanya manusia biasa yang telah mencapai tingkat semestinya dicapai oleh manusia, dan
orang-orang lain belum mencapai tingkat tersebut. Imam itu akan terus-menerus berusaha
mencapai kemanusiaan dengan makrifat.
Ertinya, secara umum dalam pemikiran Syari’ati, imam lebih umum dibanding pengertian
pemimpin politik, ketua parti, pahlawan atau superman. Imam adalah “perwujudan manusiawi
yang membentuk roh, moral dan cara hidupnya sebagai petunjuk bagi umat manusia tentang
bagaimana seharusnya menjadi manusia dan bagaimana seharusnya hidup itu”.
Syari’ati menulis:
"Tugas seorang imam tidak hanya terbatas pada memimpin dalam salah satu aspek politik, sosial,
ekonomi, dan tidak terbatas sebagai panglima, amir atau khalifah, tapi tugasnya adalah
menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek pelbagai kemanusiaan. Imam seperti
ini, tidak terbatas kepada hidupnya sahaja, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup
selamanya”.
Sementara individu sendiri dalam umat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai
pertubuhan organisme umat. Mereka harus mengetahui imam mereka, mengakui dan
mempercayainya.
Dan apabila dijumpai individu yang lebih mementingkan kehidupan yang mewah, tidak mahu
12
bergerak dan menuju kesempurnaan, maka yang demikian tidak patut berada ditengah-tengah
atau kelompok umat. Umat mesti begerak cepat dan tidak berdiam diri.
Namun tujuan umat sendiri pada akhirnya, seperti ditulis Syari’ati terbahagi menjadi dua:
1. Suatu transformasi terus-menerus menuju tercapainya kesempurnaan yang mutlak, dan
2. Perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi.
Dua konsep di atas, ternyata berkesesuaian dengan ayat-ayat al-Qur’an, seperti ditulis Syari’ati
sendiri, iaitu ayat “Ingatlah bahawasanya kepada Allah jualah kembalinya semua urusan”. (AlSyura: 53); “Kepada Allah-lah tempat kembali”. (Ali Imran: 28); “Sesungguhnya kita milik
Allah, dan kepada-Nyalah kita kembali”. (Fathir: 18).
Allah dalam ayat al-Qur’an di atas ialah bermakna Kesempurnaan Mutlak, Keabadian,
Kekekalan, ilmu, penemuan, kesadaran, keindahan, kemampuan, kewujudan, kebaikan,
kemamfaatan, kelembutan, keadilan dan keagungan dalam pengertian yang mutlak dan tanpa
batas.
Dan kita pun kembali ‘kepada Allah’. Di sini Syari’ati menolak idea kaum wihdat al-wujud,
bahawa kita perlu ‘ke dalam Allah’. Menurutnya, yang benar ialah kembali “kepada-Nya”.
I. Pemilihan Imam
Dalam sejarah kebudayaan manusia, pemilihan pemimpin selalu didasarkan atas faktor-faktor
berikut ini: kudeta, intervensi, penunjukan, pewarisan, pemilihan, dominasi majoriti, revolusi dan
pencalonan.
Bagi Syari’ati, imam tidaklah dipilih sebagaimana pengangkatan atau pemilihan. Ia adalah suatu
hak yang bersifat esensi yang muncul pada diri seseorang. Sumbernya ialah imam itu sendiri. Ia
menjadi imam, kerana memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang dijelaskan.
Posisi masyarakat tidak menunjuk untuk menjadi imam. Tetapi mereka mengakui atas
kelayakannya sebagai orang imam. Kerana itu, dalam Syi’ah dikatakan “Jabatan imamah sama
dengan kenabian”. Ertinya, posisi imam atau Nabi adalah masalah pengakuan yang timbul dalam
masyarakat. Mungkin ada yang tidak mengakui atas tersebut. Dan ini bisa diterima secara logik.
Pada sisi lain, imamah berbeza dengan khilafah. Imamah adalah kepemimpinan spiritual dan
warisan suci Nabi. Sedang khilafah, ialah pengganti Nabi dalam urusan politik, dan ia
merupakan kepemimpinan sosial dan pemerintahan duniawi.
Maka dengan adanya pemisahan ini, Syari’ati berupaya meredakan ketegangan antara Sunnah
dan Syi’ah selama ini. Baginya, tidak ada perbezaan antara kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan
Utsman dengan imamah Ali. Para khalifah itu tidak akan mengingkari imamah yang dimiliki Ali
dan mereka pula tidak akan merampasnya. Khilafah yang ada pada mereka bukan sebagai hasil
13
rampasan atas hak ahlu al-bait. Demikian sebaliknya, perlunya kesediaan pada kelompok Sunnah
untuk menerima imamah para imam Syi’ah.
Pada saat yang sama, ketika ada imam dan khalifah di sisi lain, lalu masyarakat memilih khalifah
sebagai pemimpin mereka untuk menangani masalah sosial, politik, militer, dan menempatkan
imam sebagai hanya pemimpin spiritual, maka yang demikian, bagi Syari’ati tidak menjadi
problem. Hal ini menurutnya pernah terjadi kepada Ghandi dan Nehru di India.
Bahkan yang demikian, dapat membebaskan posisi imam sendiri dari kekotoran politik dan
keburukan pemerintahan.
Dan dalam posisi itu, keagungan dan kehormatan, bahkan ke-ismahan imam tetap terpelihara.
Fungsi imam yang seperti lebih bersifat pemikiran, keilmuan dan spiritual.
Sebab, imam – dalam konsepnya yang benar – tidak berdiri dibelakang kekuatan eksekutif,
dibelakang Negara, dan tidak pula bergandengan dengan politik penguasa. Para imam dalam
pandangan Syi’ah ialah pemimpin para penguasa, junjungan orang-orang yang taat beribadah,
pilar negara dan pemimpin umat.
14