Tinjauan Yuridis Jual Beli Tanah Dengan
TINJAUAN YURIDIS JUAL BELI TANAH DENGAN
KUASA JUAL DIBAWAH TANGAN
JURNAL
Disusun oleh :
Muhammad Shohib
2011.06.0.0052
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2016
TINJAUAN YURIDIS JUAL BELI TANAH DENGAN
KUASA JUAL DIBAWAH TANGAN
MUHAMMAD SHOHIB
NIM : 2011.06.0.0052
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
ABSTRAK
Peneliti ini menganalisis tentang tinjauan yuridis jual beli tanah dengan
kuasa jual dibawah tangan yang terjadi dimasyarakat. Menurut ketentuan yang
berlaku jual beli hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan PPAT akan tetapi
dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak terjadi peralihan hak atas tanah
yang dilakukan dibawah tangan dalam arti tidak dilakukan sesuai ketentuan yang
berlaku. Namun kenyataannya masih ada praktek jual beli tanah yang belum
bersertifikat, biasanya praktek ini dilakukan atas dasar saling percaya yang disebut
jual beli tanah di bawah tangan. Asal sudah ada kata sepakat, maka tanah sudah
beralih kepemilikannya. Demikian tentulah akan sangat merugikan pihak pembeli,
karena dia hanya dapat menguasai hak atas tanah secara fisik saja secara hukum
kepemilikan atas tanah tersebut adalah tetap pada penjual. Apabila terjadi peralihan
hak atas tanah seperti jual beli, maka tanah harus didaftarkan dan yang wajib
mendaftarkan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pelaksanaan
pendaftaran dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini dilakukan agar
seseorang memperoleh sertifikat tanah sebagai alat bukti.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu: dengan mengkaji pada norma-norma
hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan
yurisprudensi yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui status jual beli tanah yang dilakukan tanpa
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dikaitkan dalam Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mengacu pada Pasal 37 Ayat
(1) dan konsekuensi yuridis dalam jual beli tanah dibawah tangan.
Kata kunci : Jual Beli Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan
Pemerintah, Kuasa Jual Dibawah Tangan
ABSTRACT
The researcher analyzed the judicial review land purchase by the power of
sale under the hand that occurred in the community. Under the terms of the
applicable purchase land rights must be done before PPAT but in real life was still
a lot going on transfer of rights to land made under the hand in a sense is not done
according to applicable regulations. However in reality there is no practice of
buying and selling land that has not certified, usually this practice is done on the
basis of mutual trust, called land sales under the hand. Origin has been no
agreement, then the ground has shifted ownership. Thus surely be very detrimental
to the buyer, since he was only able to control the rights to land just physically legal
ownership of the land is fixed on the seller. In case of transfer of rights on the
ground such as trade, the land must be registered and mandatory register is the Land
Deed Official (PPAT). The registration is done by the Head of the Land Office.
This is done so that a person acquires a land certificate as evidence.
The method used in this research using normative juridical approach,
namely: to assess the legal norms that exist in legislation, legal theories and
jurisprudence related to the issues discussed. The purpose of this study was to
determine the status of the sale and purchase of land in which no deed Land Deed
Official (PPAT). Attributed in Government Regulation No. 24 of 1997 on land
registration which refers to Article 37 Paragraph (1) and the juridical consequences
of the sale and purchase of the ground below the hand.
Keywords: Sale and Purchase of Land, Land Deed Official, Government
Regulations, Power of Sale Under Hands
PENDAHULUAN
Tanah sangat erat sekali hubunganya dengan kehidupan manusia. Setiap
orang tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupanya, untuk
matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah. Tanah mempunyai peranan
yang penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu
sebagai social asset dan capital asset.
Saat ini, untuk memperoleh tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara,
yaitu: dengan permohonan hak, pemindahan/peraliahan hak. Dalam masyarakat
dapat diperolehan hak atas tanah dengan pemindahan/peralihan hak, yaitu: Dengan
melalui jual beli. Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan,
di mana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki
secara sukarela. Kemudian menurut Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek yang
selanjutnya disebut B.W., disebutkan bahwa jual beli tanah adalah suatu perjanjian
dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan
hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk
membayar kepada penjual dengan harga yang telah disepakatinya.
Semenjak diundangkanya UUPA, maka pengertian jual beli tanah bukan lagi
suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo 1458 B.W., melainkan perbuatan
hukum pemindahan hak untuk selama–lamanya yang bersifat tunai. Jual beli tanah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yang telah diperbaruhi
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang selanjutnya disebut PPAT, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1)
PP No. 24/1997 yang berbunyi:
”Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar–menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang– undangan yang berlaku”
Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi sebagai berikut:
”PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”
Jadi jual beli Hak atas Tanah harus dilakukan dihadapan PPAT. Hal demikian
sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah. Selanjutnya,
PPAT membuat Akta Jual Belinya (AJB) yang kemudian diikuti dengan
pendaftarannya pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan lokasi tanah.
Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam kehidupan masyarakat seharihari masih banyak jual beli tanah yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa
campur tangan PPAT. Perbuatan ”Jual Beli di bawah tangan” terkadang hanya
dibuktikan dengan surat perjanjian sebagai bukti telah terjadi jual beli. Jual-beli
yang dilakukan di bawah tangan, dengan dasar kepercayaan pada saat hendak untuk
melakukan jual beli kembali atau dilakukan balik nama, dengan berdasarkan
perjanjian tersebut apakah sudah terjadi peralihan hak atau dapat dikatakan hak
milik atas tanah tersebut ?
Melihat kenyataan yang terjadi, maka penulis mencoba mencari penyelesaian
atau solusi hukum dari permasalahan jual beli tanah yang dilakukan di bawah
tangan (tanpa akta PPAT) yang sejauh ini masih sering dilakukan oleh masyarakat
dan juga upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh surat
tanda bukti kepemilikan yang sah.
a. Prinsip hukum jual beli tanah ?
b. Konsekuensi yuridis jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah tangan?
METODE PENELITIAN
Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian dalam bentuk
hukum untuk mencari pemecahan isu hukum (rumusan masalah), tipe yang
digunakan adalah yuridis normative yaitu penelitian dengan mengingat bahwa
permasalahan yang diteliti berkisar pada Peraturan Perundang Undangan, yaitu
hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta kaitannya
dengan implementasi dalam praktik.
Pendekatan berkaitan dengan penelitian dalam skripsi tentang “Tinjauan
yuridis jual beli tanah dengan kuasa pembelian dibawah tangan” ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan peraturan perudang-undangan. Dalam skripsi ini
menggunakan dua cara pendekatan, yaitu Statute Approach adalah pendekatan yang
dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan membahas peraturan perundangundangan yang berlaku, berkaitan dengan materi yang dibahas guna mengakaji
dasar yuridis dan teoritik dalam jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah tangan.
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal
ini peraturan perundang-undangan dan pendapat sarjana.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta
memahaminya yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana.
Bahan yang telah terkumpul, kemudian di analisis dahulu agar dapat ditemukan
hal-hal apa saja yang akan berguna sebagai acuan dan untuk memperoleh
pengkajian terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Statute approach
digunakan untuk mengkaji tentang penelitian ini terhadap jual beli tanah dengan
kuasa pembelian dibawah tangan yang dilakukan pembeli terhadap penjual dan
untuk dijual kembali oleh pembeli tanpa adanya peralihan hak tanah tersebut serta
belum adanya pelunasan. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis
dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada
serta pendapat para sarjana, dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami
masalahan yang berhubungan dengan materi yang dibahas.
PEMBAHASAN
Prinsip hukum jual beli tanah
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Sedangkan pengertian perjanjian dalam B.W., diatur dalam Pasal 1313, berbunyi
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian jual beli
menurut kitab undang-undang hukum perdata diatur dalam Pasal 1457 B.W.,
perjanjian jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual, berjanji
menyerahkan sesuatu barang atau benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai
pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457 B.W., persetujuan jual beli
sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :
a. kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli;
b. kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Perjanjian jual beli berdasrkan pasal diatas adalah Suatu Perjanjian yang dibuat
antara pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana dalam perjanjian itu antara pihak
penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli. Serta
pihak penjual berhak menerima atas harga tersebut dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Unsur yang terkandung
dalam defenisi tersebut adalah :
a. adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
b. adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga;
c. adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
Dalam perjanjian jual beli tanah yang sah artinya dimana perjanjian yang
memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga diakui oleh
hukum. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 B.W.
menurut Pasal 1321-1328 B.W., mengenai tiga hal yang mengakibatkan suatu
perizinan tidak sempurna dan atau kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan
bebas/tidak sempurna apabila didasarkan :
a. kekhilafan harus pantas (verschoonbare dwaling)
diadakan bagi kekhilafan untuk dapat menjadi alasan pembatalan
persetujuan,oleh ilmu pengetahuan hukum dari jurisprudensi masih
diadakan syarat lagi, yaitu kepantasan dari kekhilafan, artinya kekhilafan
ini harus dapat dimengerti, harus tidak aneh, harus dapat dimaafkan.
Khilaf sendiri berarti mengira ada suatu keadaan yang sebetulnya tidak
ada, Ada hubungan pertama-tama dengan penerangan yang dia dapat dari
pihak lain sebelum persetujuan diadakan
b. paksaan (geveld)
dalam Pasal 1324 B.W., yang mengatakan paksaan ini harus sepantasnya
menakutkan suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa apabila dia
tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka dia akan menderita
suatu kerugian yang nyata;
c. penipuan (bedrog )
Pasal 1328 B.W., yang mengatakan penipuan merupakan alasan untuk
pembatalan persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah
satu pihak, adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata, bahwa
pihak lain tidak akan menyetujui perjanjiannya andai kata tidak
dilakukan tipu muslihat itu.
Berakhirnya perikatan atau perjanjian jual beli yang diatur dalam pasal 1381
B.W., yang diartikan dengan berakhirnya perikatan adalah selesainya atau
hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor
tentang sesuatu hal. Pihak kreditor dalam perjanjian jual beli tanah yaitu sebagai
pihak penjual dimana pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi. Dan pihak
pembeli adalah sebagai debitor, pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
Pemenuhan prestasi disebutkan dalam B.W., itu adalah berupa tentang berakhirnya
perikatan diantaranya yaitu :
a. karena Pembayaran
b. karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
c. karena pembaharuan utang (Novasi)
d. karena perjumpaan utang atau kompensasi
e. karena percampuran utang (Konfusio)
f. karena pembebasan utang
g. karena musnahnya barang yang terutang
h. karena batal atau pembatalan
i. karena berlakunya suatu syarat batal
j. karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)
Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah
yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya
semula dan menjadi hak pihak lain.Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari penjelasan diatas dalam peralihan hak atas tanah harus menggunakan
akta yang dibuat PPAT serta Pasal 38 Ayat (1) yaitu: pembuatan akta sebagaimana
dimaksud, haruslah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi
yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
Akta notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut
B.W., Pasal 1870 dan HIR Pasal 165 (Rgb 285) yang mempunyai kekuatan
pembuktian mutlak dan mengikat. Akta notaris merupakan bukti yang sempurna
sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Namun seiring dengan pemenuhan segala syarat administrasi dalam
pembuatan suatu akta peralihan hak dihadapan PPAT, sering terkendala berbagai
macam hal. Sehingga dibuatlah suatu terobosan oleh Notaris untuk menyikapi hal
tersebut, dengan dibuatkan suatu perjanjian pendahuluan, yang lebih dikenal
dengan sebutan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual. Kuasa
yang diberikan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli biasanya bersifat kuasa
yang tidak dapat dicabut kembali dimana kuasa tersebut baru berlaku apabila semua
persyaratan yang disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli yang ditetapkan
oleh penjual telah dipenuhi oleh pembeli. Keadaan inilah yang kemudian oleh
banyak kalangan disebut sebagai kuasa mutlak karena kuasa tersebut tidak dapat
dicabut kembali.
Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan
kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada
saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Jual beli menurut hukum adat bukan
hanya persetujuan belaka antara kedua belah pihak melainkan merupakan suatu
penyerahan hak atas barang atau benda dengan syarat membayar harga. Dan pada
saat diadakan persetujuan diantara kedua belah pihak biasanya menurut hukum adat
akan diberikan panjer yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual dan panjer
tersebut dipergunakan sebagai tanda terima jadi atas perjanjian jual beli tanah.
Ada dua macam jual beli tanah dalam hukum adat yaitu:
a. perbuatan hukum bersifat sepihak yaitu suatu kelompok orang mendiami
tempat dan membuat rumah diatas tanah itu, membuka tanah pertanian,
menggubur orang di tempat itu dan lain-lain. Perbuatan hukum ini adalah
hanya dari satu pihak;
b. perbuatan hukum bersifat dua pihak. Intinya adalah peralihan hak atau
penyerahan hak dengan pembayaran kontan.Untuk menjalankan jual beli
dibutuhkan bantuan kepala persekutuan yang bertanggung jawab atas
sahnya perbuatan hukum itu, maka perbuatan tersebut harus terang dan
tunai.
Kemudian jual beli tanah menurut hukum adat dibedakan lagi dengan istilah
jual yaitu antara lain:
a. menjual gadai artinya mereka yang menerima tanah mempunyai hak untuk
mengerjakan tanah itu dan mempunyai hak penuh untuk memungut
penghasilan dari tanah. Ia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah itu hanya
dapat ditebus oleh yang menjual gade. Pada umumnya tanah dikembalikan
dalam keadaan pada waktu tanah itu diserahkan;
b. menjual lepas artinya pembeli mendapat hak milik atas tanah yang
dibelinya. Pembayaran dilakukan dihadapan kepada persekutuan;
c. menjual tahunan adalah suatu bentuk menyewakan tanah yang terdapat di
Jawa yang lamanya tidak dapat ditentukan;
d. pemberian tanah (secara hibah atau warisan) Memberikan tanah dimana hak
milik segera dialihkan baik kepada ahli warisnya maupun pada orang lain
dan baik yang memiliki tanah masih hidup maupun pemilik tanah sudah
meninggal dunia.
Konsekuensi Yuridis Jual Beli Tanah Dengan Kuasa Jual Dibawah Tangan
Pengecualian jual beli tanah dengan akta dibawah tangan ini karena terjadi
karena dalam suatu daerah atau kabupaten tersebut tidak terdapat Pejabat Umum
yang telah di tunjuk oleh kepala BPN untuk membantu dalam jual beli tanah dan
untuk menerbitkan/mengeluarkan akta autentik dalam perjanjian jual beli tanah
sesuai dengan PMA No. 10 Tahun 1961 Tentang Penunjukan pejabat yang
dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah serta Hak dan Kewajibannya yaitu PPAT dan NOTARIS. Serta
masyarakat didaerah tersebut cenderung masih menggunakan sistem jual beli
hukum adat.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal
24 September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia,
pengertian jual beli tanah dapat diartikan sebagai jual beli tanah dalam pengertian
Hukum Adat, mengingat Hukum Agraria yang berlaku adalah Hukum Adat
sebagaimana termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :
“Hukum Agraria yang berlaku atas, bumi, air dan ruang angkasa adalah
Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum Agama.”
Diperbolehkannya pengecualian jual beli tanah dibawah tangan tersebut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat jual beli tanah menurut UUPA
yaitu syarat materiil dan syarat formal :
a. syarat Materiil:
pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah
pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah
yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli
memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang
ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak bangunan, atau hak pakai.
Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga
negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh
Pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan
asing di samping kewarganegaraan Indonesia maka jual beli tersebut batal
karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA);
penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan Yang berhak menjual
suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah
tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu
orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila
pemilik tanah adalah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang
saja yang bertindak sebagai penjual;
tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak sedang
dalam sengketa Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan
telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha
(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41).
b. Syarat Formil:
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat
akta /jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah No
24 Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa di
hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat
(Pasal 5 UUPA), sedangkan Hukum Adat sistem yang dipakai adalah sistem
yang konkret/kontan/nyata/riil.
Selanjutnya pelaksanaan jual beli tanah dengan calon pembeli dan calon
penjual yang dilakukan dihadapan kepala desa/adat serta sebagai saksi dalam jual
beli tanah tersebut dan kemudian oleh penjual dibuat suatu surat perjanjian jual beli
disertai materai yang mana menyatakan bahwa benar pembeli telah menyerahkan
tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar pembeli
telah menerima harga secara penuh. Surat tersebut ditandatangani oleh pembeli,
penjual dan kepala desa/adat sebagai saksi dengan demikian perbuatan jual beli
tersebut bisa dikatagorikan dalam jual beli tanah dengan akta otentik karena dalam
hukum adat kepala desa/adat mempunyai kewenangan sebagai pengesahan jual beli
tanah dengan melampirkan berkas surat tersebut sebagai arsip dikantornya bahwa
telah terjadi peralihan hak atas tanah dari penjual ke pembeli.
Jika ditinjau dalam prespektif hukum bahwa tentang keabsahan jual beli
tanah dengan kuasa jual dibawah tangan tidak lah sah atau batal demi hukum
meskipun dalam perjanjian tersebut telah memenuhi unsur dari Pasal 1320 B.W.,
akan tetapi dalam jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah tangan yang menganut
sistem hukum adat serta sudah terpenuhinya syarat materiil dan syarat formil dan
jual beli tersebut dilakukan dengan prosedur adat sesuai uraian diatas maka
keabsahan yang diperoleh bukan lagi jual beli dibawah tangan tetapi sudah sah
secara hukum adat hal tersebut diperjelas dengan Pasal 5 UUPA No 5 Tahun 1960
yang pada prinsipnya adalah sama dengan pengertian jual beli tanah menurut
hukum adat, yaitu perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah untuk selama-
lamanya yang bersifat tunai dan terang.yaitu syarat materiil dan formil yang bersifat
tunai, terang dan riil.
Kemungkinan Permasalahan Yang Terjadi
Penjual atau pembeli tanah tersebut meninggal bagaimana manakah
penyelesaiaannya ? apakah jual beli tersebut behenti atau masih berlanjut ?. Kalau
konteks jual beli dengan kuasa jual dibawah tangan jika pada awalnya sebuah
perjanjian jual beli tanah tersebut didasarkan pada sudah memenuhi Pasal 1320
B.W., maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena dalam penjelasan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Pasal 37 menerangkan perjanjian jual beli
harus dilakukan dihadapan PPAT.
Akan tetapi jika penjanjian jual beli dibawah tangan yang berdasarkan
prosedur dan pemenuhan syarat jual beli tanah berdasarkan hukum adat maka status
jual beli tersebut masih melekat pada penjual. Karena penjual masih memiliki ahli
waris hal ini juga dijelaskan bahwa sebuah perjanjian Pasal 1338 ayat (1) B.W.,
yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Secara implikasinya mensyaratkan bahwa
penjual haruslah pemilik dari barang yang akan dijual : “Jual beli atas barang orang
lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut
penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu
kepunyaan orang lain.”
Hal ini terjadi apabila tanah yang dijual tersebut telah menjadi tanah
warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut sepenuhnya beralih pada
para ahli waris dimana tentang peraturan tentang hak milik yang jatuh pada ahli
waris tersebut diatur dalam Pasal 832 ayat (1); Pasal 833 ayat (1) dan Pasal 1382 Jo
Pasal 1384 B.W.
Upaya Yang Dapat Dilakukan
Selanjutnya upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi perselisihan antar
ahli waris dari jual beli tanah dari uaraian diatas terdapat 2 kemungkinan yaitu :
1) jika Para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik
mereka dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan
perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1365 B.W., yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut.”
Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa
persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli
waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan
hukum, harus dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi
semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Hal ini didukung juga dengan
adanya Pasal 834 B.W., yang memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan
gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang
menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, baik orang tersebut menguasai
atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun atas harta peniggalan
tersebut, ini disebut dengan hereditas petitio.
Pasal 1365 B.W., jo. Pasal 834 B.W., telah memberikan para ahli waris dasar
untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan
gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta
peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan anti rugi.
2)
upaya hukum ini dilakukan jika ahli waris penjual dan
pembeli jika mengakui perjanjian jual beli tanah dibawah tangan tersebut
tetapi tidak melakukan hak dan kewajiban atau memenuhi apa yang telah
disepakati dalam perjanjian jual beli tersebut antara penjual dan pembeli
maka bisa dengan upaya hukum wanprestasi, secara hukum wanprestasi
sendiri adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Hal ini
tercantum dalam Pasal 1239 B.W.
Menurut ilmu hukum perdata, Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak
tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa
berupa empat kategori, yakni : :
1. tidak melakukan yang disangupi akan dilakukan;
2. terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukan;
3. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang
dijanjikan;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh.
maka upaya hukum yang dapat dilakukan apabila ahli waris menyutujui
akan tetapi para ahli waris penjual maupun pembeli tidak melakukan apa yang harus
dilakukan atau memberikan hak dan kewajiban sesuai dalam perjanjian jual beli apa
yang telah disepakati tersebut maka upaya hukumnya adalah gugatan wanprestasi
dari pihak mana yang melanggar unsur-unsur wanprestasi tersebut Pasal 1239
B.W..
Manakala seseorang dari ahli waris melakukan jual beli atau meneruskan
jual beli tersebut tanpa izin dari ahli waris lainnya (dari pihak penjual tidak
melakukan musyawarah atau meminta persetujuan dari ahli waris lainnya) maka
jual beli tersebut melanggar Pasal 1365 B.W. karena adanya unsur merugikan para
ahli waris lainnya. Dimana hal ini juga berlaku pada para ahli waris pembeli jika
jual beli tersebut terus berlangsung akan tetapi seseorang ahli waris yang
mengetahui tidak mememinta izin dari ahli waris lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. sebuah perjanjian jual beli tanah dibawah tangan jika dikaitkan
keabsahannya dengan Pasal 1320 B.W., itu sah secara hukum. Apabila
pihak penjual dan pembeli tersebut memenuhi syarat-syarat dan unsur-unsur
dari Pasal 1320 B.W. Maka peralihan hak atas tanah yang diperjual belikan
belum beralih secara hukum dari penjual ke pembeli. Mengingat dalam
Pasal 37 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 dimana jual beli tanah beserta hak peralihan tanahnya harus dilakukan
dihadapan, disaksikan 2 orang saksi dan disahkan oleh PPAT selaku pihak
yang mempunyai wewenang khusus dari Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Tetapi jika perjanjian jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah
tangan dilakukan secara hukum adat, keabsahan dan peralihan hak atas
tanah akan beralih dari penjual ke pembeli. Karena jual beli tanah tersebut
dilakukan berdasarkan sistem tunai/konkrit/terang/nyata serta memenuhi
dari syarat materiil dan formil dari hukum adat.
2. pengecualian dari jual beli tanah dapat diberika jika dalam suatu lingkup
masyarakat desa yang jauh dari PPAT atau NOTARIS serta yang masih
menggunakan sistem hukum adat otomatis jual beli dengan kuasa jual
dibawah tangan diperbolehkan selaku harus memenuhi syarat materiil
maupun formil dari perjanjian tersebut. Jika syarat tersebut terpenuhi
keabsahan atas jual beli tanah dibawah tangan tersebut adalah sah secara
hukum, akan tetapi jika timbul permasalahan akibat dari perjanjian jual beli
manakala penjual atau pembeli meninggal dunia dan hak atas tanahnya
beralih kepada ahli waris maka upaya hukum yang dapat di tempuh adalah
gugatan kepengadilan negeri.
Saran Agar bisa dicegah banyaknya praktek jual beli tanah di bawah tangan,
maka dibutuhkan upaya :
1. Penyuluhan-penyuluhan secara intensif dari Kantor Kepala Desa kepada
masyarakat akan cara-cara mendaftarkan tanah dan pentingnya pendaftaran
tanah;
2. Diharapkan adanya kesadaran dari para masyarakat, untuk tidak melakukan
jual beli di bawah tangan, karena pada akhirnya hal itu akan merugikan para
pihak;
3. Bagi masyarakat yang belum memiliki sertipikat tanah, jika sudah memiliki
biaya segera mendaftarkan tanahnya untuk memperoleh sertipikat. Dimana
sertipikat sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah. Hal ini berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
DAFTAR BACAAN
Aturan Hukum :
-
-
-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Lembaran Negara Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043 (UUPA);
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
yang kemudian diganti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997;
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT);
Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 tentang Penunjukan Pejabat
yang Dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
19961 Tentang Pendaftaran Tanah Serta Hak dan Kewajibannya;
Surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tentang penggolongan
perempuan;
-
-
-
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan dalam
rangka Penanaman Modal;
Permenag/Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 7 Tahun 2007 tentang pemeriksaan Tanah;
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris;
RIB/HIR Bab 9 Perihal Mengadili Perkara Perdata yang Harus Diperiksa
Oleh PN Bagian Kedua Tentang Bukti;
Permenag/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998;
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
Undang-Undang No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah
Negara;
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup;
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 25 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Permohonan Pengesahan Tanah Negara Menjadi
Objek Pengaturan Penguasaan Tanah/Lamdrerom;
Peraturan Kementrian Nasional Agraria No. 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah Negara.
Buku :
-
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan
Agraria Indonesia , Akademika Presindo, Jakarta, 1994.
Al-Rashid, Harun, Sekilas Tentang Jual–Beli Tanah (Berikut Peraturan–
Peraturanya ), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Cahyo, Tri, Bambang, Ekonomi Pertanahan, Liberty, Yogyakarta,1983.
Dijk, Van, diterjemahkan oleh Soehadi, A, Pengantar hukum adat
Indonesia , Sumur, Bandung, 1979.
Naja, Daeng, H.R., Contract Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006.
Harahap, Yahya, M, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,1986.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia , Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah , Djambatan, Jakarta, 2002.
Harsono, Boedi, Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , Djambatan, Jakarta, 2003.
H.S., Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, 2003.
H.S., Salim, Pengantar Hukum Perdata , Cetakan Keempat, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.
Isnur, Yulian, Eko, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah,
Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008.
Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta :
Pascasarjana UI, 2004.
-
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,
2005.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum dan Politik Agraria , Karunika, Universitas
Terbuka, Jakarta, 1988.
Miru, Ahmadi dan Patti, Sakka, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta,
2012.
Muhammad, AbdulKadir, Hukum Perdata Indonesia , PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.
Muhammad, AbdulKadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Perangin, Effendi, Praktek Jual Beli Tanah, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.
Perangin, Effendi, Hukum Agrarian Indonesia Suatu Telaah dari Sudut
pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989.
Prodjodikoro, Wirjono, R, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju,
Bandung, 2011.
Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia , Pustaka Yustisia, Jakarta,
2009.
Rubaie, Achmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Bayumedia Publishing, Malang, 2007.
Satrio, J., Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995.
Santoso, Urip, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak atas Tanah ,
Kencana, Jakarta, 2010.
Saleh, Wantjik, K., Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977.
Soemitro, Hanitijo, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetr ,
Ghalia Indonesia, Semarang, 1990.
Soeroso, R, Perjanjian Dibawah Tangan,Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990.
Subekti, R, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya , Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Jurnal :
-
Made Dwi Yoga Prasantha, Kepastian Hukum Pemindahan Hak atas Tanah
Melalui Jual Beli Dibawah Tangan.
Sumaryono, Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa PPAT.
KUASA JUAL DIBAWAH TANGAN
JURNAL
Disusun oleh :
Muhammad Shohib
2011.06.0.0052
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2016
TINJAUAN YURIDIS JUAL BELI TANAH DENGAN
KUASA JUAL DIBAWAH TANGAN
MUHAMMAD SHOHIB
NIM : 2011.06.0.0052
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
ABSTRAK
Peneliti ini menganalisis tentang tinjauan yuridis jual beli tanah dengan
kuasa jual dibawah tangan yang terjadi dimasyarakat. Menurut ketentuan yang
berlaku jual beli hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan PPAT akan tetapi
dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak terjadi peralihan hak atas tanah
yang dilakukan dibawah tangan dalam arti tidak dilakukan sesuai ketentuan yang
berlaku. Namun kenyataannya masih ada praktek jual beli tanah yang belum
bersertifikat, biasanya praktek ini dilakukan atas dasar saling percaya yang disebut
jual beli tanah di bawah tangan. Asal sudah ada kata sepakat, maka tanah sudah
beralih kepemilikannya. Demikian tentulah akan sangat merugikan pihak pembeli,
karena dia hanya dapat menguasai hak atas tanah secara fisik saja secara hukum
kepemilikan atas tanah tersebut adalah tetap pada penjual. Apabila terjadi peralihan
hak atas tanah seperti jual beli, maka tanah harus didaftarkan dan yang wajib
mendaftarkan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pelaksanaan
pendaftaran dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini dilakukan agar
seseorang memperoleh sertifikat tanah sebagai alat bukti.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu: dengan mengkaji pada norma-norma
hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan
yurisprudensi yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui status jual beli tanah yang dilakukan tanpa
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dikaitkan dalam Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mengacu pada Pasal 37 Ayat
(1) dan konsekuensi yuridis dalam jual beli tanah dibawah tangan.
Kata kunci : Jual Beli Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan
Pemerintah, Kuasa Jual Dibawah Tangan
ABSTRACT
The researcher analyzed the judicial review land purchase by the power of
sale under the hand that occurred in the community. Under the terms of the
applicable purchase land rights must be done before PPAT but in real life was still
a lot going on transfer of rights to land made under the hand in a sense is not done
according to applicable regulations. However in reality there is no practice of
buying and selling land that has not certified, usually this practice is done on the
basis of mutual trust, called land sales under the hand. Origin has been no
agreement, then the ground has shifted ownership. Thus surely be very detrimental
to the buyer, since he was only able to control the rights to land just physically legal
ownership of the land is fixed on the seller. In case of transfer of rights on the
ground such as trade, the land must be registered and mandatory register is the Land
Deed Official (PPAT). The registration is done by the Head of the Land Office.
This is done so that a person acquires a land certificate as evidence.
The method used in this research using normative juridical approach,
namely: to assess the legal norms that exist in legislation, legal theories and
jurisprudence related to the issues discussed. The purpose of this study was to
determine the status of the sale and purchase of land in which no deed Land Deed
Official (PPAT). Attributed in Government Regulation No. 24 of 1997 on land
registration which refers to Article 37 Paragraph (1) and the juridical consequences
of the sale and purchase of the ground below the hand.
Keywords: Sale and Purchase of Land, Land Deed Official, Government
Regulations, Power of Sale Under Hands
PENDAHULUAN
Tanah sangat erat sekali hubunganya dengan kehidupan manusia. Setiap
orang tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupanya, untuk
matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah. Tanah mempunyai peranan
yang penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu
sebagai social asset dan capital asset.
Saat ini, untuk memperoleh tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara,
yaitu: dengan permohonan hak, pemindahan/peraliahan hak. Dalam masyarakat
dapat diperolehan hak atas tanah dengan pemindahan/peralihan hak, yaitu: Dengan
melalui jual beli. Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan,
di mana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki
secara sukarela. Kemudian menurut Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek yang
selanjutnya disebut B.W., disebutkan bahwa jual beli tanah adalah suatu perjanjian
dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan
hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk
membayar kepada penjual dengan harga yang telah disepakatinya.
Semenjak diundangkanya UUPA, maka pengertian jual beli tanah bukan lagi
suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo 1458 B.W., melainkan perbuatan
hukum pemindahan hak untuk selama–lamanya yang bersifat tunai. Jual beli tanah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yang telah diperbaruhi
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan
dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang selanjutnya disebut PPAT, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1)
PP No. 24/1997 yang berbunyi:
”Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar–menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang– undangan yang berlaku”
Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi sebagai berikut:
”PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”
Jadi jual beli Hak atas Tanah harus dilakukan dihadapan PPAT. Hal demikian
sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah. Selanjutnya,
PPAT membuat Akta Jual Belinya (AJB) yang kemudian diikuti dengan
pendaftarannya pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan lokasi tanah.
Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam kehidupan masyarakat seharihari masih banyak jual beli tanah yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa
campur tangan PPAT. Perbuatan ”Jual Beli di bawah tangan” terkadang hanya
dibuktikan dengan surat perjanjian sebagai bukti telah terjadi jual beli. Jual-beli
yang dilakukan di bawah tangan, dengan dasar kepercayaan pada saat hendak untuk
melakukan jual beli kembali atau dilakukan balik nama, dengan berdasarkan
perjanjian tersebut apakah sudah terjadi peralihan hak atau dapat dikatakan hak
milik atas tanah tersebut ?
Melihat kenyataan yang terjadi, maka penulis mencoba mencari penyelesaian
atau solusi hukum dari permasalahan jual beli tanah yang dilakukan di bawah
tangan (tanpa akta PPAT) yang sejauh ini masih sering dilakukan oleh masyarakat
dan juga upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh surat
tanda bukti kepemilikan yang sah.
a. Prinsip hukum jual beli tanah ?
b. Konsekuensi yuridis jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah tangan?
METODE PENELITIAN
Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian dalam bentuk
hukum untuk mencari pemecahan isu hukum (rumusan masalah), tipe yang
digunakan adalah yuridis normative yaitu penelitian dengan mengingat bahwa
permasalahan yang diteliti berkisar pada Peraturan Perundang Undangan, yaitu
hubungan peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta kaitannya
dengan implementasi dalam praktik.
Pendekatan berkaitan dengan penelitian dalam skripsi tentang “Tinjauan
yuridis jual beli tanah dengan kuasa pembelian dibawah tangan” ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan peraturan perudang-undangan. Dalam skripsi ini
menggunakan dua cara pendekatan, yaitu Statute Approach adalah pendekatan yang
dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan membahas peraturan perundangundangan yang berlaku, berkaitan dengan materi yang dibahas guna mengakaji
dasar yuridis dan teoritik dalam jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah tangan.
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal
ini peraturan perundang-undangan dan pendapat sarjana.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta
memahaminya yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana.
Bahan yang telah terkumpul, kemudian di analisis dahulu agar dapat ditemukan
hal-hal apa saja yang akan berguna sebagai acuan dan untuk memperoleh
pengkajian terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Statute approach
digunakan untuk mengkaji tentang penelitian ini terhadap jual beli tanah dengan
kuasa pembelian dibawah tangan yang dilakukan pembeli terhadap penjual dan
untuk dijual kembali oleh pembeli tanpa adanya peralihan hak tanah tersebut serta
belum adanya pelunasan. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis
dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada
serta pendapat para sarjana, dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami
masalahan yang berhubungan dengan materi yang dibahas.
PEMBAHASAN
Prinsip hukum jual beli tanah
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Sedangkan pengertian perjanjian dalam B.W., diatur dalam Pasal 1313, berbunyi
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian jual beli
menurut kitab undang-undang hukum perdata diatur dalam Pasal 1457 B.W.,
perjanjian jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual, berjanji
menyerahkan sesuatu barang atau benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai
pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457 B.W., persetujuan jual beli
sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :
a. kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli;
b. kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Perjanjian jual beli berdasrkan pasal diatas adalah Suatu Perjanjian yang dibuat
antara pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana dalam perjanjian itu antara pihak
penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli. Serta
pihak penjual berhak menerima atas harga tersebut dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Unsur yang terkandung
dalam defenisi tersebut adalah :
a. adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
b. adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga;
c. adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
Dalam perjanjian jual beli tanah yang sah artinya dimana perjanjian yang
memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga diakui oleh
hukum. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 B.W.
menurut Pasal 1321-1328 B.W., mengenai tiga hal yang mengakibatkan suatu
perizinan tidak sempurna dan atau kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan
bebas/tidak sempurna apabila didasarkan :
a. kekhilafan harus pantas (verschoonbare dwaling)
diadakan bagi kekhilafan untuk dapat menjadi alasan pembatalan
persetujuan,oleh ilmu pengetahuan hukum dari jurisprudensi masih
diadakan syarat lagi, yaitu kepantasan dari kekhilafan, artinya kekhilafan
ini harus dapat dimengerti, harus tidak aneh, harus dapat dimaafkan.
Khilaf sendiri berarti mengira ada suatu keadaan yang sebetulnya tidak
ada, Ada hubungan pertama-tama dengan penerangan yang dia dapat dari
pihak lain sebelum persetujuan diadakan
b. paksaan (geveld)
dalam Pasal 1324 B.W., yang mengatakan paksaan ini harus sepantasnya
menakutkan suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa apabila dia
tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka dia akan menderita
suatu kerugian yang nyata;
c. penipuan (bedrog )
Pasal 1328 B.W., yang mengatakan penipuan merupakan alasan untuk
pembatalan persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah
satu pihak, adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata, bahwa
pihak lain tidak akan menyetujui perjanjiannya andai kata tidak
dilakukan tipu muslihat itu.
Berakhirnya perikatan atau perjanjian jual beli yang diatur dalam pasal 1381
B.W., yang diartikan dengan berakhirnya perikatan adalah selesainya atau
hapusnya sebuah perikatan yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditor dan debitor
tentang sesuatu hal. Pihak kreditor dalam perjanjian jual beli tanah yaitu sebagai
pihak penjual dimana pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi. Dan pihak
pembeli adalah sebagai debitor, pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
Pemenuhan prestasi disebutkan dalam B.W., itu adalah berupa tentang berakhirnya
perikatan diantaranya yaitu :
a. karena Pembayaran
b. karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
c. karena pembaharuan utang (Novasi)
d. karena perjumpaan utang atau kompensasi
e. karena percampuran utang (Konfusio)
f. karena pembebasan utang
g. karena musnahnya barang yang terutang
h. karena batal atau pembatalan
i. karena berlakunya suatu syarat batal
j. karena lewatnya waktu (Kedaluwarsa)
Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah
yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya
semula dan menjadi hak pihak lain.Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari penjelasan diatas dalam peralihan hak atas tanah harus menggunakan
akta yang dibuat PPAT serta Pasal 38 Ayat (1) yaitu: pembuatan akta sebagaimana
dimaksud, haruslah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi
yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
Akta notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut
B.W., Pasal 1870 dan HIR Pasal 165 (Rgb 285) yang mempunyai kekuatan
pembuktian mutlak dan mengikat. Akta notaris merupakan bukti yang sempurna
sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Namun seiring dengan pemenuhan segala syarat administrasi dalam
pembuatan suatu akta peralihan hak dihadapan PPAT, sering terkendala berbagai
macam hal. Sehingga dibuatlah suatu terobosan oleh Notaris untuk menyikapi hal
tersebut, dengan dibuatkan suatu perjanjian pendahuluan, yang lebih dikenal
dengan sebutan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual. Kuasa
yang diberikan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli biasanya bersifat kuasa
yang tidak dapat dicabut kembali dimana kuasa tersebut baru berlaku apabila semua
persyaratan yang disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli yang ditetapkan
oleh penjual telah dipenuhi oleh pembeli. Keadaan inilah yang kemudian oleh
banyak kalangan disebut sebagai kuasa mutlak karena kuasa tersebut tidak dapat
dicabut kembali.
Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan
kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada
saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Jual beli menurut hukum adat bukan
hanya persetujuan belaka antara kedua belah pihak melainkan merupakan suatu
penyerahan hak atas barang atau benda dengan syarat membayar harga. Dan pada
saat diadakan persetujuan diantara kedua belah pihak biasanya menurut hukum adat
akan diberikan panjer yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual dan panjer
tersebut dipergunakan sebagai tanda terima jadi atas perjanjian jual beli tanah.
Ada dua macam jual beli tanah dalam hukum adat yaitu:
a. perbuatan hukum bersifat sepihak yaitu suatu kelompok orang mendiami
tempat dan membuat rumah diatas tanah itu, membuka tanah pertanian,
menggubur orang di tempat itu dan lain-lain. Perbuatan hukum ini adalah
hanya dari satu pihak;
b. perbuatan hukum bersifat dua pihak. Intinya adalah peralihan hak atau
penyerahan hak dengan pembayaran kontan.Untuk menjalankan jual beli
dibutuhkan bantuan kepala persekutuan yang bertanggung jawab atas
sahnya perbuatan hukum itu, maka perbuatan tersebut harus terang dan
tunai.
Kemudian jual beli tanah menurut hukum adat dibedakan lagi dengan istilah
jual yaitu antara lain:
a. menjual gadai artinya mereka yang menerima tanah mempunyai hak untuk
mengerjakan tanah itu dan mempunyai hak penuh untuk memungut
penghasilan dari tanah. Ia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah itu hanya
dapat ditebus oleh yang menjual gade. Pada umumnya tanah dikembalikan
dalam keadaan pada waktu tanah itu diserahkan;
b. menjual lepas artinya pembeli mendapat hak milik atas tanah yang
dibelinya. Pembayaran dilakukan dihadapan kepada persekutuan;
c. menjual tahunan adalah suatu bentuk menyewakan tanah yang terdapat di
Jawa yang lamanya tidak dapat ditentukan;
d. pemberian tanah (secara hibah atau warisan) Memberikan tanah dimana hak
milik segera dialihkan baik kepada ahli warisnya maupun pada orang lain
dan baik yang memiliki tanah masih hidup maupun pemilik tanah sudah
meninggal dunia.
Konsekuensi Yuridis Jual Beli Tanah Dengan Kuasa Jual Dibawah Tangan
Pengecualian jual beli tanah dengan akta dibawah tangan ini karena terjadi
karena dalam suatu daerah atau kabupaten tersebut tidak terdapat Pejabat Umum
yang telah di tunjuk oleh kepala BPN untuk membantu dalam jual beli tanah dan
untuk menerbitkan/mengeluarkan akta autentik dalam perjanjian jual beli tanah
sesuai dengan PMA No. 10 Tahun 1961 Tentang Penunjukan pejabat yang
dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah serta Hak dan Kewajibannya yaitu PPAT dan NOTARIS. Serta
masyarakat didaerah tersebut cenderung masih menggunakan sistem jual beli
hukum adat.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal
24 September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia,
pengertian jual beli tanah dapat diartikan sebagai jual beli tanah dalam pengertian
Hukum Adat, mengingat Hukum Agraria yang berlaku adalah Hukum Adat
sebagaimana termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi :
“Hukum Agraria yang berlaku atas, bumi, air dan ruang angkasa adalah
Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum Agama.”
Diperbolehkannya pengecualian jual beli tanah dibawah tangan tersebut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat jual beli tanah menurut UUPA
yaitu syarat materiil dan syarat formal :
a. syarat Materiil:
pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah
pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah
yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli
memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang
ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak bangunan, atau hak pakai.
Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga
negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh
Pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan
asing di samping kewarganegaraan Indonesia maka jual beli tersebut batal
karena hukum dan tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA);
penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan Yang berhak menjual
suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah
tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu
orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila
pemilik tanah adalah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang
saja yang bertindak sebagai penjual;
tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak sedang
dalam sengketa Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan
telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha
(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41).
b. Syarat Formil:
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat
akta /jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah No
24 Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa di
hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat
(Pasal 5 UUPA), sedangkan Hukum Adat sistem yang dipakai adalah sistem
yang konkret/kontan/nyata/riil.
Selanjutnya pelaksanaan jual beli tanah dengan calon pembeli dan calon
penjual yang dilakukan dihadapan kepala desa/adat serta sebagai saksi dalam jual
beli tanah tersebut dan kemudian oleh penjual dibuat suatu surat perjanjian jual beli
disertai materai yang mana menyatakan bahwa benar pembeli telah menyerahkan
tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar pembeli
telah menerima harga secara penuh. Surat tersebut ditandatangani oleh pembeli,
penjual dan kepala desa/adat sebagai saksi dengan demikian perbuatan jual beli
tersebut bisa dikatagorikan dalam jual beli tanah dengan akta otentik karena dalam
hukum adat kepala desa/adat mempunyai kewenangan sebagai pengesahan jual beli
tanah dengan melampirkan berkas surat tersebut sebagai arsip dikantornya bahwa
telah terjadi peralihan hak atas tanah dari penjual ke pembeli.
Jika ditinjau dalam prespektif hukum bahwa tentang keabsahan jual beli
tanah dengan kuasa jual dibawah tangan tidak lah sah atau batal demi hukum
meskipun dalam perjanjian tersebut telah memenuhi unsur dari Pasal 1320 B.W.,
akan tetapi dalam jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah tangan yang menganut
sistem hukum adat serta sudah terpenuhinya syarat materiil dan syarat formil dan
jual beli tersebut dilakukan dengan prosedur adat sesuai uraian diatas maka
keabsahan yang diperoleh bukan lagi jual beli dibawah tangan tetapi sudah sah
secara hukum adat hal tersebut diperjelas dengan Pasal 5 UUPA No 5 Tahun 1960
yang pada prinsipnya adalah sama dengan pengertian jual beli tanah menurut
hukum adat, yaitu perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah untuk selama-
lamanya yang bersifat tunai dan terang.yaitu syarat materiil dan formil yang bersifat
tunai, terang dan riil.
Kemungkinan Permasalahan Yang Terjadi
Penjual atau pembeli tanah tersebut meninggal bagaimana manakah
penyelesaiaannya ? apakah jual beli tersebut behenti atau masih berlanjut ?. Kalau
konteks jual beli dengan kuasa jual dibawah tangan jika pada awalnya sebuah
perjanjian jual beli tanah tersebut didasarkan pada sudah memenuhi Pasal 1320
B.W., maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena dalam penjelasan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Pasal 37 menerangkan perjanjian jual beli
harus dilakukan dihadapan PPAT.
Akan tetapi jika penjanjian jual beli dibawah tangan yang berdasarkan
prosedur dan pemenuhan syarat jual beli tanah berdasarkan hukum adat maka status
jual beli tersebut masih melekat pada penjual. Karena penjual masih memiliki ahli
waris hal ini juga dijelaskan bahwa sebuah perjanjian Pasal 1338 ayat (1) B.W.,
yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Secara implikasinya mensyaratkan bahwa
penjual haruslah pemilik dari barang yang akan dijual : “Jual beli atas barang orang
lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut
penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu
kepunyaan orang lain.”
Hal ini terjadi apabila tanah yang dijual tersebut telah menjadi tanah
warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut sepenuhnya beralih pada
para ahli waris dimana tentang peraturan tentang hak milik yang jatuh pada ahli
waris tersebut diatur dalam Pasal 832 ayat (1); Pasal 833 ayat (1) dan Pasal 1382 Jo
Pasal 1384 B.W.
Upaya Yang Dapat Dilakukan
Selanjutnya upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi perselisihan antar
ahli waris dari jual beli tanah dari uaraian diatas terdapat 2 kemungkinan yaitu :
1) jika Para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik
mereka dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan
perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1365 B.W., yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut.”
Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa
persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli
waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan
hukum, harus dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi
semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Hal ini didukung juga dengan
adanya Pasal 834 B.W., yang memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan
gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang
menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, baik orang tersebut menguasai
atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun atas harta peniggalan
tersebut, ini disebut dengan hereditas petitio.
Pasal 1365 B.W., jo. Pasal 834 B.W., telah memberikan para ahli waris dasar
untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan
gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta
peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan anti rugi.
2)
upaya hukum ini dilakukan jika ahli waris penjual dan
pembeli jika mengakui perjanjian jual beli tanah dibawah tangan tersebut
tetapi tidak melakukan hak dan kewajiban atau memenuhi apa yang telah
disepakati dalam perjanjian jual beli tersebut antara penjual dan pembeli
maka bisa dengan upaya hukum wanprestasi, secara hukum wanprestasi
sendiri adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Hal ini
tercantum dalam Pasal 1239 B.W.
Menurut ilmu hukum perdata, Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak
tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa
berupa empat kategori, yakni : :
1. tidak melakukan yang disangupi akan dilakukan;
2. terlambat melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukan;
3. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang
dijanjikan;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh.
maka upaya hukum yang dapat dilakukan apabila ahli waris menyutujui
akan tetapi para ahli waris penjual maupun pembeli tidak melakukan apa yang harus
dilakukan atau memberikan hak dan kewajiban sesuai dalam perjanjian jual beli apa
yang telah disepakati tersebut maka upaya hukumnya adalah gugatan wanprestasi
dari pihak mana yang melanggar unsur-unsur wanprestasi tersebut Pasal 1239
B.W..
Manakala seseorang dari ahli waris melakukan jual beli atau meneruskan
jual beli tersebut tanpa izin dari ahli waris lainnya (dari pihak penjual tidak
melakukan musyawarah atau meminta persetujuan dari ahli waris lainnya) maka
jual beli tersebut melanggar Pasal 1365 B.W. karena adanya unsur merugikan para
ahli waris lainnya. Dimana hal ini juga berlaku pada para ahli waris pembeli jika
jual beli tersebut terus berlangsung akan tetapi seseorang ahli waris yang
mengetahui tidak mememinta izin dari ahli waris lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. sebuah perjanjian jual beli tanah dibawah tangan jika dikaitkan
keabsahannya dengan Pasal 1320 B.W., itu sah secara hukum. Apabila
pihak penjual dan pembeli tersebut memenuhi syarat-syarat dan unsur-unsur
dari Pasal 1320 B.W. Maka peralihan hak atas tanah yang diperjual belikan
belum beralih secara hukum dari penjual ke pembeli. Mengingat dalam
Pasal 37 Ayat (1) dan Pasal 38 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 dimana jual beli tanah beserta hak peralihan tanahnya harus dilakukan
dihadapan, disaksikan 2 orang saksi dan disahkan oleh PPAT selaku pihak
yang mempunyai wewenang khusus dari Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Tetapi jika perjanjian jual beli tanah dengan kuasa jual dibawah
tangan dilakukan secara hukum adat, keabsahan dan peralihan hak atas
tanah akan beralih dari penjual ke pembeli. Karena jual beli tanah tersebut
dilakukan berdasarkan sistem tunai/konkrit/terang/nyata serta memenuhi
dari syarat materiil dan formil dari hukum adat.
2. pengecualian dari jual beli tanah dapat diberika jika dalam suatu lingkup
masyarakat desa yang jauh dari PPAT atau NOTARIS serta yang masih
menggunakan sistem hukum adat otomatis jual beli dengan kuasa jual
dibawah tangan diperbolehkan selaku harus memenuhi syarat materiil
maupun formil dari perjanjian tersebut. Jika syarat tersebut terpenuhi
keabsahan atas jual beli tanah dibawah tangan tersebut adalah sah secara
hukum, akan tetapi jika timbul permasalahan akibat dari perjanjian jual beli
manakala penjual atau pembeli meninggal dunia dan hak atas tanahnya
beralih kepada ahli waris maka upaya hukum yang dapat di tempuh adalah
gugatan kepengadilan negeri.
Saran Agar bisa dicegah banyaknya praktek jual beli tanah di bawah tangan,
maka dibutuhkan upaya :
1. Penyuluhan-penyuluhan secara intensif dari Kantor Kepala Desa kepada
masyarakat akan cara-cara mendaftarkan tanah dan pentingnya pendaftaran
tanah;
2. Diharapkan adanya kesadaran dari para masyarakat, untuk tidak melakukan
jual beli di bawah tangan, karena pada akhirnya hal itu akan merugikan para
pihak;
3. Bagi masyarakat yang belum memiliki sertipikat tanah, jika sudah memiliki
biaya segera mendaftarkan tanahnya untuk memperoleh sertipikat. Dimana
sertipikat sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah. Hal ini berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
DAFTAR BACAAN
Aturan Hukum :
-
-
-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Lembaran Negara Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043 (UUPA);
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
yang kemudian diganti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997;
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT);
Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 tentang Penunjukan Pejabat
yang Dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
19961 Tentang Pendaftaran Tanah Serta Hak dan Kewajibannya;
Surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tentang penggolongan
perempuan;
-
-
-
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
21 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan dalam
rangka Penanaman Modal;
Permenag/Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No. 7 Tahun 2007 tentang pemeriksaan Tanah;
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris;
RIB/HIR Bab 9 Perihal Mengadili Perkara Perdata yang Harus Diperiksa
Oleh PN Bagian Kedua Tentang Bukti;
Permenag/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998;
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
Undang-Undang No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah
Negara;
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup;
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 25 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Permohonan Pengesahan Tanah Negara Menjadi
Objek Pengaturan Penguasaan Tanah/Lamdrerom;
Peraturan Kementrian Nasional Agraria No. 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah Negara.
Buku :
-
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan
Agraria Indonesia , Akademika Presindo, Jakarta, 1994.
Al-Rashid, Harun, Sekilas Tentang Jual–Beli Tanah (Berikut Peraturan–
Peraturanya ), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Cahyo, Tri, Bambang, Ekonomi Pertanahan, Liberty, Yogyakarta,1983.
Dijk, Van, diterjemahkan oleh Soehadi, A, Pengantar hukum adat
Indonesia , Sumur, Bandung, 1979.
Naja, Daeng, H.R., Contract Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006.
Harahap, Yahya, M, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,1986.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia , Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah , Djambatan, Jakarta, 2002.
Harsono, Boedi, Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , Djambatan, Jakarta, 2003.
H.S., Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, 2003.
H.S., Salim, Pengantar Hukum Perdata , Cetakan Keempat, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.
Isnur, Yulian, Eko, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah,
Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008.
Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta :
Pascasarjana UI, 2004.
-
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,
2005.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum dan Politik Agraria , Karunika, Universitas
Terbuka, Jakarta, 1988.
Miru, Ahmadi dan Patti, Sakka, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta,
2012.
Muhammad, AbdulKadir, Hukum Perdata Indonesia , PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.
Muhammad, AbdulKadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Perangin, Effendi, Praktek Jual Beli Tanah, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.
Perangin, Effendi, Hukum Agrarian Indonesia Suatu Telaah dari Sudut
pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989.
Prodjodikoro, Wirjono, R, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju,
Bandung, 2011.
Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia , Pustaka Yustisia, Jakarta,
2009.
Rubaie, Achmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Bayumedia Publishing, Malang, 2007.
Satrio, J., Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995.
Santoso, Urip, Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak atas Tanah ,
Kencana, Jakarta, 2010.
Saleh, Wantjik, K., Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977.
Soemitro, Hanitijo, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetr ,
Ghalia Indonesia, Semarang, 1990.
Soeroso, R, Perjanjian Dibawah Tangan,Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990.
Subekti, R, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya , Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Jurnal :
-
Made Dwi Yoga Prasantha, Kepastian Hukum Pemindahan Hak atas Tanah
Melalui Jual Beli Dibawah Tangan.
Sumaryono, Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa PPAT.