Ciu Bekonang Antara Budaya Dan Dosa

2

Ciu Bekonang
Antara Budaya dan Dosa
1920-2013

Ryantino Paundra Nagari
12/335129/SA/16605
Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jogjakarta
2013

3

A. Latar Belakang
Indonesia memang negara yang sangat kaya budaya dan tradisi. Dari
pakaian, rumah adat, upacara tradisional, sampai ke urusan makan dan minum.
Banyak daerah di Indonesia yang mempunyai minuman tradisional dengan ciri khas
masing-masing yang sangat lekat dengan budaya setempat, baik itu yang

mangandung alkohol maupun non alkohol. Dan salah satu yang cukup dikenal oleh
masyarakat luas adalah minuman beralkohol jenis ciu, dan ciu yang terkenal adalah
“Ciu Bekonang”. Bisa dikatakan meminum ciu sudah membudaya di beberapa kotakota di Pulau Jawa karena ciu sudah ada sejak lama dan turun temurun pembuatnya.
Dari Bekonang, sebuah desa yang terletak di sebelah timur laut Kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah, disana budaya mabuk-mabukan nampaknya sudah
mengakar di desa itu dan Kota Solo pada umumnya, dan disanalah terdapat sentra
industri alkohol yang dikerjakan secara rumahan oleh warga Bekonang. Jelas home
industry ini mampu mengangkat pendapatan untuk warga perajin alkohol ini, namun
disisi lain home industry ini membawa pro kontra. Mulai dari meningkatnya tingkat
kriminalitas, pemberian izin usaha oleh pemerintah daerah setempat hingga limbah
sisa pengolahan alkohol yang mencemari sawah disekitar lokasi industry alkohol ini.
Ciu mulai dikenal semenjak abad 17-an. Minuman yang pada awalnya ini di
sebut dengan Batavia Arrack van Oosten pernah populer di Eropa, terutama di
Negara Swedia. Pada abad ke 17 adalah abad dimana kerajaan mulai
mengembangkan budidaya seperti gula dan tebu sebagai bisnis keraton mataram
waktu itu. Dari kedua tanaman itulah Ciu atau Arrack van Oosten di buat.1
Ciu sendiri merupakan minuman hasil olahan sampingan dalam proses
produksi alkohol dengan kadar 30% – 35% yang terbuat dari tetes tebu. 2 Berada
dibalik alibi industri rumah tangga tersebutlah, Ciu Bekonang mampu bertahan dan
beredar di kalangan masyarakat. Padahal ciu sendiri termasuk kedalam industri yang

ilegal karena merupakan minuman yang dilarang sebab mengandung kadar alkohol.

1 Faisal Arifin, Cerita Alcohol, http://ceritalcohol.blogspot.com/2012/07/sejarah-ciu-dari-masa-ke-masa.html,
diakses 15 November 2013, jam 21.31 WIB.
2 Menurut Bpk. Wiyono, perajin alkohol di Bekonang.

4

Untuk menutupi usaha ilegal tersebut, para produsen ciu ini memanfaatkan
izin usaha secara resmi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag),
yang pernah diberikan pada tahun 1981. Sesuai Peraturan Daerah (Perda) No.4
tahun 1994 yang berisi: Barang siapa menjadi atau mendistribusikan minuman yang
berkadar alkohol berapa pun kadarnya dengan tidak memberi pajak kepada
Pemerintah Daerah akan dikenakan sanksi maksimal 6 bulan kurungan atau denda
Rp. 50.000,. Sehingga ciu sebenarnya juga tidak boleh beredar di masyarakat. 3
Ciu Bekonang bukanlah sebuah jualan satu arah. Dari sekian banyak industri
ciu rumahan yang ada di sana, beberapa memang menjualnya kepada industri yang
lebih besar, tapi ada juga yang menjualnya secara eceran kepada para pelanggan.
Sejarah munculnya industri ciu Bekonang ini tidak lepas dari budaya mabuk dalam
kehidupan masyarakat Jawa, terutama Surakarta. Sungguh sayang, sejarah

mengenai ciu kurang banyak diulas, mungkin lantaran minimnya ketersediaan data
historis. Padahal penting menggali akar sejarah munculnya ciu dan memahami
budaya mabuk dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Industri ciu di Bekonang dan budaya masyarakat Surakarta bukan muncul
kemarin sore, melainkan sudah ada sejak era kerajaan. Karena itulah, di sini saya
akan memberikan ulasan sejarah tersebut agar problematika ciu dapat dipahami
dalam perspektif yang lebih luas, tidak melulu dari sudut pandang sosial dan agama.

B. Permasalahan
3 Andri Saptono, Kronik Ciu Bekonang, Joglosemar, 15 September 2012, h. 17.

5

Di Indonesia miras kerap kali dijadikan tolak ukur dalam turunnya moral
bangsa Negara ini mulai dari pemerintah, ormas, hingga pihak berwajib kerap kali
mengelu-elukan pemberantasan miras. Namun apa daya jika para perajin miras ini
berlindung di balik payung hukum Peraturan Daerah ?
Lemahnya Perda yang dapat menjerat oknum penyalahgunaan ciu juga
menjadi kendala. Perda yang dapat menjerat tersangka hanya Perda No. 4 tahun
1994 dimana sanksi yang ada sangat ringan yaitu dengan denda sebesar Rp 50.000.

Aparat sendiri merasa dirugikan, karena biaya yang dikeluarkan dalam proses
penindakan tersangka lebih besar dari denda yang dikenakan terhadap
tersangkanya. Hal ini dikarenakan kasus ciu harus dirujuk ke Laboratorium Forensik
di Semarang untuk memastikan kadar alkohol yang terkandung di dalamnya.
Dalam kasus ciu ini aparat justru menyalahkan pemerintah. Pemberian izin
usaha alkohol serta Perda yang sangat lemah menjadikan usaha pemberantasan
minuman keras ciu tidak optimal. Selain itu, setiap operasi yang diadakan di sentra
industri harus sesuai perintah dari Disperindag. Otomatis, aparat tidak dapat
melakukan operasi secara mendadak dan atas inisiatif sendiri. Dalam hal ini aparat
tidak bisa membuat taktik atau strategi operasi tertentu untuk memberantas
peredaran ciu. Upaya yang dilakukan sendiri hanya sebatas operasi penyakit
masyarakat dikalangan penjual dan pembeli (konsumen).
Namun di sisi lain ciu merupakan suatu budaya yang tumbuh mengakar di
masyarakat Bekonang. Lantas apakah ciu harus dipertahankan sebagai budaya
lokal?. Bukankah kewajiban kita sebagai penerus bangsa untuk meneruskan dan
mewarisi budaya peninggalan leluhur?. Atau ciu harus diberantas habis tak tersisa,
padahal banyak orang yang bergantung hidupnya dari ciu, mulai dari pemasok bahan
baku, perajin alkohol, hingga distributor/pengecer ciu itu sendiri.Inilah yang
menimbulkan polemik antara perajin alkohol, pemerintah, pihak berwajib, dan
masyarakat pada umumnya.


C. Metode Penelitian

6

Penelitian mengenai “Ciu Bekonang” termasuk dalam penelitian sejarah lokal
yang bersifat sosial budaya karena dalam penelitian ini membahas tentang
masyarakat perajin alkohol serta hubungannya dengan hukum, moral, dan budaya
yang harus serta merta dijaga dan dilestarikan.
Menurut kuntowijoyo, penelitian sejarah memiliki lima tahap, yaitu:






Pemilihan Topik.
Pengumpulan Sumber.
Verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber).
Interpretrasi: analisis dan sintesis.

Penulisan.4
Lebih lanjut, Kuntowijoyo menyatakan bahwa penelitian sejarah sebaiknya
didasarkan pada dua hal, kedekatan emosional dan kedekatan intelektual. 5
Lalu menurut Nugroho Notosusanto metode penelitian sejarah sebagi berikut:






Heuristik, jakni menghimpun djejak-djejak masa lampau.
Kritik (sedjarah), jakni menjelediki apakah djejak itu sedjati baik bentuk maupun
isinja.
Interpretasi, jakni menetapkan makna dan saling berhubungan dari fakta jang
diperoleh sedjarah itu.
Penjadjian, jakni menjampaikan sintesa jang diperoleh dalam bentuk sebuah kisah. 6
Penelitian ini akan mengabungkan cara meneiliti dari kedua teori diatas
dengan acuan metode Kuntowijoyo sebagai yang utama. Penulisan topik ini
dikarenakan topik ini jarang dibahas dan ditulis oleh orang, dan kedekatan intelektual
penulis dengan topik ini diharapkan akan mampu membawa kemudahan dalam

penelitian ini.
Pengumpulan sumber berupa buku, majalah, koran, jurnal, internet, dan
sebagai sumber utama adalah sumber lisan dimana penulis melakukan wawancara
langsung dengan narasumber dan dijadikan acuan dalam penelitian ini, serta penulis
melihat realita sosial yang terjadi pada masyarakat untuk memperkuat data pada
penelitian ini. Tahap verifikasi dilakukan setelah sumber-sumber didapatkan.
Verifikasi dilakukan dengan menguji otentisitas yang dilakukan melalui kritik ekstern
dan kredibilitas yang ditelusuri melalui kritik intern.

4 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 90
5 Ibid, hlm. 91
6 Nugroho Notosusanto, Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, Dephankam Pusdjarah ABRI,
Jakarta, 1971, hlm.16

7

Tahap selanjutnya adalah interpretasi dan pembuatan catatan, kedua tahapan
ini adalah tahap dimana semua data dan fakta dianalisis dan dikaji. Analisis sejarah
bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta dari sumber-sumber. Dalam
tahapan ini diharapkan penulis dapat menjelaskan tentang budaya mabuk-mabukan

di Bekonang dan Surakarta pada umumnya dan pro kontra atas dilegalkannya
industri ciu yang berkedok industri alkohol untuk obat oleh Pemerintah Daerah
Sukoharjo, serta keterkaitan mempertahankan budaya ataukah memberantas
penyakit masyarakat yang banyak terjadi di desa Bekonang.
Tahap yang terakhir adalah historiografi, di tahapan ini semua data, fakta,
serta interpretasi penulis akan dimasukkan dalam sistematika yang telah penulis
susun, sehingga penulis dapat menjelaskan tentang budaya mabuk-mabukan di
Bekonang dan Surakarta pada umumnya dan pro kontra atas dilegalkannya industri
ciu yang berkedok industri alkohol untuk obat oleh Pemerintah Daerah Sukoharjo,
serta keterkaitan mempertahankan budaya ataukah memberantas penyakit
masyarakat yang banyak terjadi di desa Bekonang. Dan semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi khalayak umum.

D. Tinjauan Pustaka

8

Topik ini memang mengalami masalah dalam pengumpulan sumber tertulis,
mungkin dikarenakan minimnya minat seseorang untuk menulis topik yang dianggap
tabu ini.

Sumber yang kebanyakan penulis peroleh adalah jurnal dari media cetak,
diantaranya Kronik Ciu Bekonang yang ditulis oleh Andri Saptono yang dimuat oleh
harian Joglosemar pada 15 September 2013, dan Mabuk-mabukan Dalam Sejarah
yang ditulis oleh Kasijanto Sastrodinomo yang dimuat oleh Kompas pada 18 Maret
2006.
Selain artikel tersebut ada juga artikel kuno yang menjadi rujukan penulis,
yaitu artikel yang berjudul Roemah Perempoean Djalang yang termuat dalam Darmo
Kondo, 9 Desember 1925, artikel ini cukup nakal, isi artikel ini mengisahkan jika
orang China sudah memperoleh lisensi dari pemerintah kolonial. Mereka akhirnya
mengembangkan untuk menjual candu dan ciu. Kemudian, muncullah istilah “ciu
wewe”. Artinya, ciu yen ora payu, diombe dewe (ciu kalau tidak laku dijual, diminum
sendiri). Mereka kulakan ciu itu dari Bekonang.
Dikarenakan sulitnya mencari sumber tertulis untuk itu penulis lebih banyak
mengumpulkan data dengan cara melakukan wawancara terhadap narasumber.

E. Sistematika Penulisan

9

BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah yang mendasari tentang
pentingnya diadakan penelitian ini, rumusan masalah penelitian, metode penelitian,
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mencakup tinjauan teori, kerangka teori, kerangka konsep, dan hipotesis.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang desain penelitian, tenik pengumpulan data, teknik analisis
data yang digunakan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuaraikan tentang pembahasan secara menyeluruh dan terperinci dari
topik yang penulis pilih, mulai dari awal munculnya kebiasaan mabuk-mabukan. Pro
kontro masyarakat hingga efek dari beradanya industry alkohol.
BAB V
KESIMPULAN/SARAN
Berisi uraian tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang perlu disampaikan
kepada pembaca penelitian ini.


10

Daftar Pustaka
Wiyono. Interview. 2013, Wawancara “Ciu Bekonang”. (Bekonang, Mojolaban,
Sukoharjo). Rabu, 13 November 2013.
Kuntowijoyo. 2005, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Pustaka, Yogayakarta.
Notosusanto, Nugroho. (1971) Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan
Sejarah,Djakarta: Dephankam Pusdjarah ABRI.
Saptono, Andri. (15 September, 2012), Kronik Ciu Bekonang. Joglosemar, h.17.
CeritaAlcohol, sejarah Ciu: Dari Masa ke Masa,
http://ceritalcohol.blogspot.com/2012/07/sejarah-ciu-dari-masa-ke-masa.html, (diakses
16 November 2013, 01.38 WIB).