JAKARTA dan MANAJEMEN URBANISASI dan

JAKARTA dan MANAJEMEN URBANISASI
Beramai-ramai pada hari Kamis 20 September 2012 masyarakat Jakarta melakukan pesta
PILKADA menuju Jakarta Satu. Namun issu yang terus bergulir sangat berorientasi
permasalahan lokal dan bukan Jakarta sebagai kota prima dilevel nasional dan bahkan kurang
melihat bahwa Jakarta merupakan kota Internasional. Sebagai kota internasional di negara
berkembang, Jakarta merupakan pusat urbanisasi di Indonesia dan bahkan merupakan salah
satu pusat urbanisasi di regional Asia Pasifik. Jumlah penduduk domestik dan asing selalu
bertambah dari tahun ke tahun di Jakarta. Dengan sistem transportasi yang kurang mapan
maka Jakarta diserbu imigran dari berbagai daerah dalam dan sebagian dari luar negeri.
Sehingga dari tahun ke tahun BEBAN Jakarta terus meningkat tanpa dibarengi oleh
manajemen perkotaan dan manajemen urbanisasi nasional yang memadai. Urbanisasi telah
menjadi beban berat Jakarta dan beban berat Indonesia.
Beban urbanisai Jakarta selain telah berdampak positif ekonomi yang kuat, namun tidak
kalah dampak negatif yang diakibatkan oleh derasnya urbanisasi di Jakarta dan sekitarnya,
seperti banjir, kemacetan lalu lintas, dan permukiman kumuh. Kerugian para pedagang kaki
lima (PKL) per hari akibat banjir diperkirakan per hari mencapai Rp 5 milyar. Kerugian
akibat banjir pada jalan tol Tangerang-Merak sekitar 1.5 milyar per-hari. Sedangkan para
pengusaha, mereka rugi ratusan miliar per hari per hari akibat para pekerja tidak bisa masuk
kerja.
Dinas perhubungan provinsi DKI Jakarta berdasar hasil studi valuasi biaya kemacetan lalu
lintas DKI tahun 2010, mencatat kerugian akibat biaya kemacetan lalu lintas di Jakarta

mencapai Rp 45.198.085.000.000 atau sekitar 45 trilyun per tahun.

KEKUASAAN DAN POLITIK EKONOMI

Daya tarik yang sangat kuat bagi urbanisasi di Jakarta tanpa dibarengi manajemen urbanisasi
nasional yang baik telah menyebabkan banyak dampak negatif yang ditimbulkan, sepeti
kemacetan, banjir dan permukiman kumuh. Untuk menata Jakarta harus ada manajemen
urbanisasi antara pusat dan daerah. Keberadaan Jakarta saat sekarang sangat kuat, Jakarta
menjadi kota raksasa karena keberadaan daya tarik ekonomi pusat yang besar dan ini ditandai
oleh besarnya anggaran dan investasi yangselalu meningkat setiap tahun berada di Jakarta,
terutama APBN, APBD DKI, yang diikuti oleh besarnya PMDN dan PMA. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih dari 60% dikelola pemerintah pusat (di
jakarta) telah menjadi magnit utama kegiatan ekonomi nasional yang tercermin pada
transaksi barang dan jasa di pusat Jakarta. Potensi tersebut diikuti oleh sekitar 50%
penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) berada di
Jakarta dan sekitarnya. Potret tersebut mencerminkan bahwa politik ekonomi di Indonesia
sangat dekat dengan politik kekuasaan, yaitu ADA KEKUASAAN ADA UANG. Kondisi
semacam ini kurang disadari oleh pemerintah dan masyarakat kita bahwa ADA GULA ADA
SEMUT yang merupakan potret urbanisasi di Indonesia.
DISTRIBUSI KEKUASAAN dan DISTRIBUSI EKONOMI

Manajemen urbanisasi di Indonesia sangat mendesak. Manajemen migrasi penduduk menjadi
sangat penting dan akan mudah diatasi jika kita memahami teori sederhana ada gula ada
semut. Jika gula atau kekuasaan tidak dibagi secara baik maka pembangunan daerah tidak
berjalan dengan baik pula. Sebagi contoh, kekuasaan pusat Jakarta didukung oleh 30 lebih
kementrian di Jakarta, di mana masing-masing kementrian sedang mengelola dana yang
sangat besar di tingkat nasional. Permasalahannya adalah, apakah keberadaan sejumlah
kementrian teknis bisa didistribusi ke luar wilayah Jakarta dan luar Jawa? Jika sejumlah
kementrian yang merepresentasi uang dan kekuasaan bisa didistribusi ke daerah maka
urbanisasi akan mengalir ke berbagai daerah potensial dan hal tersebut akan diikuti pula oleh
aliran investasi PMDN dan PMA ke berbagai daerah dan tentu saja urbanisasi akan mengikuti
daerah yang berkembang tersebut secara politik dan ekonomi. Jika hal ini terjadi maka 1)
tidak perlu ada masalah pemindahan Ibukota RI sehingga RI Satu akan tetap di Jakarta
bersama sejumlah koordinator kementrian, 2) Tekanan urbanisasi menurun sehingga
kemacetan lalu lintas, banjir dan permukiman kumuh akan mudah ditangani dan diselesaikan.
OUT OF THE BOX MINDSET

Berdasarkan uraian diatas maka calon Gubernur DKI mendatang harus orang yang mampu
melihat Jakarta dari aspek nasional dan internasional. Gubernur DKI harus mampu
berkomunikasi dengan semua kementrian, terutama sejumlah kementrian teknis yang punya
potensi dan memiliki kemampuan untuk memindah beban urbanisasi Jakarta ke berbagai

wilayah nusantara. Proses ini dilakukan secara bertahap dan mempertimbankan kecocokan
daerah dari aspek geografi sosial, politik, dan ekonomi nasional dan internasional.
Keberadaan kementrian di daerah perbatasan sangatlah dinantikan, karena jika ada salah satu
atau salah dua kementrian bisa berada di perbatasan maka lokasi tersebut akan menjadi front
atau daerah terdepan yang akan merubah paradigma bahwa perbatasan adalah daera
terbelakang dan konsep ini perlu didukung oleh kementrian transmigrasi dan daerah
tertinggal.
Sebaran kementrian nasional di berbagai daerah akan mampu mendistribusi urbanisasi yang
berikutnya akan diikuti oleh aliran investasi domestik dan asing serta akan diikuti pula oleh
pembangunan infrastruktur sosial ekonomi dan sarana prasarana wilayah dengan lebih
merata. Pembangunan perumahan, industri, perdagangan, terminal udara, dsb akan diperlukan
bagi pembangunan pusat pemerintahan baru yang didasarkan atas keberadaan kementrian.
Keberadaan kementrian di berbagai daerah akan menjadi pusat pertumbuhan baru yang
akan mendukung implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia), Insya Allah. Bagi masyarakat Jakarta, selamat berpesta PILKADA,
semoga memperoleh pemimpin yang memiliki pemikiran luas (OUT of the BOX mindset)
yang mampu memikirkan Jakarta dan urbanisasi Nusantara sekaligus.
Suparwoko, Ir. MURP. PhD Dosen Arsitektur FTSP UII
Hp. 08139226855