Menyikapi Segmentasi Pasar guna Gula

Menyikapi Segmentasi Pasar Gula
Wayan R. Susila

Periode akhir 1990-an boleh dibilang merupakan masa suram industri gula nasional. Di
tengah pasar gula internasional yang sangat distortif yaitu nomor 2 setelah beras (Kennedy,
2001; Groombridge, 2001), pemerintah dengan terpaksa harus melepaskan semua kebijakan
protektif terhadap industri gula nasional sebagai konsekuensi ditandatanganinya Letter of
Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF. LoI tersebut “memaksa” pemerintah
mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menperindag No.25/MPP/Kep/1/1998 yang praktis
membuat pasar gula masuk ke era liberalisasi. Konsekuensi SK tersebut antara lain impor
gula bisa dilakukan oleh importir umum dengan tarif nol persen. Hal ini membuat industri
gula domestik berada di titik nadir, dengan ditutupnya 6 pabrik gula dan produksi mencapai
titik terendah sekitar 1,6 juta ton per tahun, dari sebelumnya diatas dua juta ton (Asosiasi
Gula Indonesia, 2014).
Agar industri gula nasional tidak semakin terpuruk, maka pada tahun 2004 pemerintah
mengeluarkan SK Kepmenperindag

No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor

Gula. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membatasi akses gula impor dengan mengatur
pelaku impor (hanya importir terdaftar dan importir produsen), volume impor, waktu impor,

pelabuhan impor, harga patokan gula petani, dan segmentasi pasar antara pasar Gula Kristal
Putih (GKP) dengan pasar Gula Kristal Rafinasi (GKR). Kebijakan tersebut secara umum telah
memberi dampak positif terhadap kinerja industri gula nasional, seperti ditunjukkan oleh
kenaikan produksi dari sekitar 2,05 juta ton pada tahun 2004 menjadi sekitar 2,60-2,82 juta
ton semenjak tahun 2005 (Asosiasi Gula Indonesia, 2014).
Salah satu esensi dari SK tersebut yang sampai sekarang masih memicu perdebatan dan
saling curiga antara produsen GKP dan GKR adalah segmentasi pasar GKP dengan GKR.
Dengan SK tersebut, pasar gula untuk konsumsi langsung atau dikonsumsi oleh rumah tangga
hanya boleh diisi oleh GKP yang diproduksi oleh Pabrik Gula (PG) di Indonesia. Sebaliknya,
GKR yang diproduksi oleh PG rafinasi hanya boleh memasarkan produknya untuk industri
1

seperti industri makanan dan minuman. Pada kenyataannya, hampir setiap tahun, GKR
masuk ke pasar gula konsumsi langsung sehingga membuat harga GKP menurun. Situasi ini
menyulut ketegangan antara produsen GKP dengan produsen GKR.
Segmentasi Pasar Kurang Efektif
Segmentasi pasar GKP dan GKR yang diamanatkan oleh Kepmenperindag tersebut
kurang efektif. Hasil monitoring yang dilakukan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia
(APTRI) menemukan adanya rembesan GKR yang masuk ke pasar GKP. Hasil survei yang
dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2008-2011, memberi

indikasi kuat terjadinya rembesan tersebut. Di wilayah seperti Serang, Gorontalo, Makasar,
Manado, dan Pontianak, dan Lampung, rembesan GKR ke pasar GKP berkisar antara 3% 30%, tergantung tingkat harga GKP. Sementara itu, volume produk GKP di pasaran mencapai
sekitar 2.68 juta ton dan GKR mencapai sekitar 3.04 juta ton per tahun selama tiga tahun
terakhir (AGI, 2015). Hasil survei yang dilakukan oleh Kemendag bekerja sama dengan
Sucofindo pada tahun 2013 juga menemukan adanya rembesan GKR ke pasar GKP sekitar 190
ribu ton.
Rembesan terjadi karena konsumen, pedagang, dan beberapa pemerintah daerah
mendukung atau paling tidak membiarkan terjadinya rembesan tersebut. Hasil survei
Kemendag sepanjang periode 2008-2011 mengidentifikasi alasan atau motif terjadinya
rembesan tersebut. Dari sisi konsumen, beberapa alasan utama adalah (i) GKR lebih murah
dibandingkan harga GKP; (ii) GKR lebih mudah diperoleh terutama ketika harga GKP relatif
tinggi; (iii) Bagi konsumen kelas menengah ke atas, GKR dinilai lebih sehat dari pada GKP
seperti yang terjadi di Jakarta, Serang dan Manado.
Selanjutnya, banyak pedagang sengaja melakukan rembesan tersebut dengan berbagai
alasan seperti (i) Lebih mudah mendapatkan GKR terutama untuk wilayah yang dekat dengan
produsen GKR (Banten, Makasar, dan Gorontalo); (ii) Pasokan GKR lebih dapat dihandalkan;
dan (iii) Margin keuntungan GKR lebih tinggi. Di sisi lain, pemerintah daerah tidak mampu
mengawasi atau bahkan secara “sengaja” membiarkan terjadinya rembesan tersebut,
terutama di wilayah yang tidak ada PG GKP. Hal ini disebabakan (i) Harga gula GKP sering
2


terlalu tinggi karena terbatasnya pasokan (Gorontalo, Serang, Manado) sehingga pasokan
GKR dapat berfungsi menurunkan harga untuk menekan inflasi; (ii) Keterbatasan sumberdaya
relatif terhadap cakupan wilayah yang harus diawasi (Pontianak, Gorontalo, Makasar,
Manado, Pontianak) ; (iii) GKR diangkut dengan truk-truk kecil/pick up, sehingga kesulitan
untuk melakukan pengawasan (Manado, Gorontalo, Makasar), dan (iv) GKR kemasannya
diganti dengan kemasan GKP (Pontianak dan Gorontalo) sehingga kesulitan untuk
mendeteksi.
Jangka Pendek: Tingkatkan Efektifitas Segmentasi Pasar
Menyikapi segmentasi pasar gula yang pada kenyataannya kurang efektif, pemerintah
perlu bertindak dengan tegas. Penggabungan pasar dengan tiba-tiba akan menimbulkan
“shock” bagi PG GKP karena harga GKP akan turun tajam sehingga dapat mengancam
keberlangsungan 63 PG GKP yang melibatkan sekitar 900 ribu petani. Di sisi lain, membiarkan
terus segmentasi pasar juga bukan pilihan, karena segmentasi pasar membuat PG GKP sangat
lamban untuk berbenah, kebijakan pergulaan menjadi kompleks dan tidak efektif. Solusi
paling logis adalah, untuk jangka pendek, meningkatkan efektivitas segmentasi pasar GKP dan
GKR. Sementara untuk jangka panjang, sembari PG GKP berbenah, segmentasi pasar harus
dihapuskan.
Untuk jangka pendek (3-5 tahun ke depan) stakeholder utama terutama pemerintah
perlu menerapkan kebijakan dan upaya yang lebih efektif untuk mencegah atau

meminimalkan terjadinya rembesan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan
kepada pelaku industri gula bahwa pemerintah melakukan penegakan hukum secara
konsisten. Selama ini ada kesan bahwa aturan segmentasi pasar hanya sekedar aturan tanpa
perlu dilaksanakan seperti terjadi di Banten dan Gorontalo. Pembiaran rembesan tersebut
kini juga telah menurunkan minat petani menanam tebu sehingga menyebabkan terjadinya
stagnasi bahkan kecenderungan penurunan produksi yang dapat mengancan keberadaan
industri gula dan pencapaian swasembada gula.
Rembesan tersebut secara umum dapat dicegah atau diminimalkan melalui empat cara
yaitu (i) Pengendalian volume impor raw sugar; (ii) Pembatasan kualitas GKR sesuai dengan
3

standar internasional; (iii) Monitoring yang ketat dalam distribusi GKR dari ke industri
pengguna; (iii) Monitoring yang efektif di pasar kosumen. Pengendalian volume impor raw
sugar membutuhkan adanya neraca GKR yang akurat dengan mekanisme pengumpulan data
yang valid dan transparan baik itu data produksi, stok, dan kebutuhan industri (konsumsi).
Untuk itu, pemerintah perlu memiliki tim yang melibatkan stakeholder utama untuk
membangun prosedur pembuatan neraca GKR yang akurat berdasarkan prosedur yang valid
dan transparan. Berdasarkan neraca GKR tersebut, pemerintah menetukan kuota impor raw
sugar untuk PG GKR.
Rembesan dapat lebih mudah dicegah atau diminimalkan apabila PG GKR dibatasi

hanya memproduksi GKR sesuai dengan standar internasional, yaitu ICUMSA maksimum 40.
Di samping memudahkan pengawasan, gula dengan ICUMSA maksimum 40 akan lebih sulit
masuk ke pasar GKP karena konsumen rumah tangga diperkirakan tidak akan berminat
menggunakan gula tersebut karena sangat putih dengan kristal yang kecil. Cara ini juga
memastikan bahwa GKR Indonesia sesuai dengan standar yang berlaku di pasar internasional.
Monitoring yang ketat untuk distribusi GKR dari PG ke industri pengguna dapat
dilakukan dengan membangun mekanisme penyaluran langsung dari PG ke industri pengguna
dengan mekanisme yang transparan dan dapat dilacak (traceable). Hal ini sudah mulai
dilakukan pemerintah sejalan dengan surat Menteri Perdagangan Nomor 1.300/MDAG/SD/12/2014 tentang instruksi pendistribusian GKR. Esensi dari surat tersebut adalah
membatasi distribusi GKR yaitu langsung dari produsen ke industri pengguna (industri
makanan dan minuman serta farmasi) dan berdasarkan kontrak sehingga lebih mudah
dimonitor. Selanjutnya, basis impor raw sugar oleh GKR juga didasarkan kontrak antara
produsen GKR dengan industri pengguna sesuai rekomendasi Kementerian Perindustrian dan
Kementerian Perdagangan.
Monitoring yang efektif di pasar konsumen dapat dilakukan dengan kemasan dengan
tanda yang berbeda antara GKP dan GKR. Salah satu pembeda yang dapat digunakan adalah
berupa ukuran kemasan (karung). Sebagai contoh, untuk GKP ditentukan memakai kemasan
50 kg sementara GKR 100 kg.

4


Jangka Panjang: Penggabungan Pasar GKP dan GKR
Untuk jangka panjang, penggabungan pasar GKP dengan GKR adalah pilihan yang
rasional. Di samping mampu meniadakan ketegangan dan kompleksitas kebijakan pergulaan,
penggabungan pasar tersebut dalam jangka panjang diyakini akan memberi dampak positif
sebagai berikut:
a.

Pasar/harga gula akan menjadi lebih stabil karena penawaran dan permintaan
gula menjadi lebih elastis; GKP bisa masuk ke pasar industri dan sebaliknya GKR bisa juga
masuk pasar konsumsi langsung.

b.

Konsumen/industri punya lebih banyak pilihan terhadap gula yang akan di
konsumsi/digunakan;

c.

Dapat dijadikan sebagai instrumen yang “memaksa”


PG-PG GKP untuk

meningkatkan mutu gula dan efisiensi;
d.

Pemerintah lebih mudah/sederhana dalam melakukan pengawasan pasar gula;
Penggabungan pasar tersebut akan menekan PG GKP untuk lebih serius dan sistematis

melakukan upaya peningkatan kualitas gula dan efisiensi, minimal untuk jangka pendek. Oleh
karena itu PG GKP perlu diberikan dukungan dan bantuan untuk melakukan beberapa langkah
antisipasi. Pertama, pemerintah perlu memberikan dukungan yang memadai untuk
mengkompensasi dampak negatif (sementara) dari penggabungan pasar tersebut.
Kompensasi tersebut dapat berupa dukungan pendanaan untuk meningkatkan efisiensi
seperti model penyertaan modal negara (PMN) yang kini tengah dijalankan pemerintah,
alokasi impor raw sugar untuk idle capacity, dan bea masuk raw sugar yang lebih tinggi
untuk gula yang diimpor dari luar ASEAN.
Di samping itu, pemerintah perlu memberi jeda waktu 3-5 tahun ke PG GKP untuk
melakukan persiapan peningkatan efisiensi dan kualitas, sebelum pasar GKP dan GKR di
gabung. Rentang waktu tersebut perlu dihitung dengan cermat sehingga ketika pasar GKP dan

GKR digabung, dampak negatif yang diterima oleh petani dan PG menjadi minimal. Jika hal ini

5

bisa terwujud, salah satu masalah kronis dalam industri dan perdagangan gula sudah dapat
disembuhkan. Semoga!

Nama
Email
Pekerjaan

: Wayan R. Susila
: wr_susila@yahoo.com
: Peneliti Senior di Center for Agriculture and People Support/CAPS

6