KEGAGALAN INSTANSI PEMADAM KEBAKARAN DAL

1

KEGAGALAN INSTANSI PEMADAM KEBAKARAN
DALAM PENANGGULANGAN KABUT ASAP
(Permasalahan dan Solusi Yang ditwarkan)
Purwo Subekti/ F361150141, Universitas Pasir Pengaraian
Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Oktober 2015
1. KONDISI PERMASALAHAN
Instansi Pemadam Kebakaran (IPK) adalah organisasi yangt mempunyai tupoksi
dalam bidang pencegahan bahaya kebakaran dan penanggulangan kebakaran termasuk
penyelamatan jiwa dari ancaman bahaya kebakaran serta bencana lainnya. IPK adalah
sebuah profesi yang penuh dengan risiko bahaya sehingga sangat menekankan arti
penting ‘bugar’ dan ‘terlatih baik’ bagi personilnya. Dari sudut pandang manajemen
risiko, IPK secara relative selalu mempunyai ‘andil’ dalam pengendalian risiko.
Dalam penanganan insiden kebakaran sedikitnya terdapat 15 (lima belas) taktik
pemadaman kebakaran yang mengandung risiko bahaya (Safety And Survival On The
Fireground oleh Vincent Dunn, terbitan Fire Engineering Books & Videos th. 1992)
yaitu;
a. Operasi rescue bangunan runtuh.
b. Dalam perjalanan merespon panggilan dan kembali ke pangkalan.

c. Mencari titik api kebakaran.
d. Memperpanjang gelar slang pada strategi ofensif.
e. Beroperasi di atap bangunan.
f. Beroperasi di atas api kebakaran.
g. Kebakaran gudang bawah tanah.
h. Kebakaran gas propane
i. Kebakaran yang menjalar dengan cepat.
j. Operasi dengan aerial ladder.
k. Mendobrak masuk (forcible entry).
l. Operasi dengan pancaran air besar.
m. Operasi mengeluarkan asap (outside venting).
n. Operasi meninggalkan bangunan (fire escape operations)
o. Pemeriksaan seksama bangunan setelah pemadaman (overhauling).
Di negeri maju pemadam kebakaran merupakan sebuah profesi yang
membanggakan. Di Indonesia sebaliknya, bahkan istilah ‘pemadam kebakaran’ telah
menjadi sebuah sebutan berkonotasi negatif terhadap instansi atau personil yang
bekerjanya hanya bila sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi.
Meski telah mendapat sebutan dengan konotasi yang tidak positif , profesional
yang ada di dalam IPK (fire fighter, rescuer, fire inspector) masih belum tertantang
untuk membuktikan bahwa organisasinya penuh dengan kegiatan (edukasi publik,


2

inspeksi dan penegakan hukum, membuat ‘pre-fire plan’ dan berlatih) yang tidak melulu
hanya memadamkan kebakaran.
Pada warga masyarakat sendiri kesadaran mengenai proteksi kebakaran relatif
tidak tinggi bahkan sangat kental dengan hambatan kulturalnya yang memandang
bencana kebakaran sebagai musibah, bukan risiko.
Kondisi psikologis warga masyarakat tersebut berjalan beriringan dengan kekurang
mampuan IPK dalam mengimbangi perkembangan masyarakat (waktu tanggap yang
panjang dan tumpulnya efektivitas pemadaman kebakaran, terbatasnya peraturan dan
standar teknis kebakaran yang dimiliki). Kecendrungan yang terjadi dari kondisi ini
adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas kebakaran. Beberapa diantaranya berakibat
fatal.
Tantangan dari perkembangan masyarakat perkotaan dengan berbagai tingkatan
bahaya kebakaran sesuai tipologinya, belum dapat dilayani oleh IPK dengan perlawanan
yang sistematis secara menyeluruh. Tantangan tersebut antara lain berupa kawasan
hunian, industri, perdagangan dan lingkungan gedung tinggi, hutan dan lahan,
lingkungan hunian padat tidak tertata (kumuh), bangunan bersejarah, bangunan vital,
tangki –tangki timbun bahan bakar, dan bahan-bahan berbahaya (hazardous material).

Tentu ke depan diharapkan IPK sebuah kabupaten/kota mampu melayani tantangan
yang ada.
Tipologi kebakaran yang sering terjadi di Indonesia adalah:
1) Kebakaran bangunan (cellulosic/compartment fire)
2) Kebakaran gedung bertingkat/tinggi (high-rise fire)
3) Kebakaran di lingkungan padat penduduk (conflagration)
4) Kebakaran sampah (garbage fire)
5) Kebakaran hutan (forest fire)
6) Kebakaran gambut (pest fires)
7) Kebakaran di lingkungan industri (hydrocarbon fires) dan
8) Kebakaran alat transportasi.
Meski perkotaan mempunyai kerentanan yang relative tinggi terhadap bahaya
kebakaran kinerja IPK lebih banyak mengandalkan kepada strategi ‘reactionary’
pemadaman kebakaran. Strategi ‘aggressive prevention’ (edukasi publik, inspeksi dan
penegakkan hukum) untuk menurunkan dan mengendalikan risiko kebaran masih belum
berarti pelaksanaannya
Penting untuk dinyatakan bahwa IPK di beberapa kabupaten/kota ‘tidak
berdaya’ dalam mengatasi kebakaran hutan/lahan yang terjadi dalam wilayahnya.
Kebakaran hutan/lahan hingga saat ini masih terus berlangsung dan berulang setiap
tahun, terutama di musim kemarau. Kebakaran hutan terbesar terjadi di tahun 1997

melanda kawasan hutan secara keseluruhan seluas 263.991 hektar dan tahun 1998 seluas
515.026 hektar. International Development Research Center & Institute of SEA Studies
Singapore (1999) menghitung total kerugian ekonomis dan ekologis yaitu US$ 4.07
miliar, dimana kerugian terbesar pada ekosistem hutan berupa kayu dan manfaat lain
baik langsung maupun tak langsung (US$ 2,2280 juta) serta kesehatan (US$ 929 juta).
Besarnya kerugian tersebut masih jauh lebih kecil dari kerugian sesungguhnya karena

3

masih ada kerugian secara ekologis yang belum dapat dikuantifikasikan. Kebakaran
hutan ini juga telah menjadi sumber polemik yang berkepanjangan tanpa ada solusi yang
konhkrit, baik di dalam maupun di luar negeri.

Gambar 1. Kondisi lahan yang di bakar
(sumber: www.citraislam.com, 2015)

Penyebab kebakaran hutan di Indonesia (dari makalah Tri Wibowo, Direktur
Penanggulangan Kebakaran Hutan Dir.Jen. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Dep Hut.Jakarta 2002) hampir 99 % diakibatkan oleh manusia baik disengaja maupun
karena kelalaian (kegiatan konversi lahan menyumbang 34 %, peladang liar 25 %,

pertanian 17 %, kecemburuan social 14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang
disebabkan oleh alam. Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Riau yang menyebabkan
kabut asap setiap tahun, sudah berlangsung kurang lebih 17 tahun. Di awali tahun 1997.
(GORIAU.COM 2014)

4

Gambar 2. Asap terlihat menutupi pandangan pengguna jalan di Pekanbaru
(Sumber: news.liputan6.com, 2015)

Siklus kabut asap yg melanda Riau, Jambi, Sumsel dan beberapa propinsi di
Kalimantan dan sekitarnya sudah menjadi rutinitas tahunan yg selalu berulang, hal ini
bukan sebuah cobaan Allah kepada masyarakat, tetapi merupakan prilaku sebagian kecil
masyarakat yg tahu aturan dan tidak mau peduli terhadap orang lain. Prilaku tersebut bisa
pada masyarakat biasa maupun pejabat terkait, tergantung dari kondisi tempat timbulnya
asap.
Apa akbita dari asap yang ada pada kota/perkampungan, akan menyebabkan
gangguan pernafasan bagi manusia (sudah merasakan) bahkan (mungkin) binatang dan
mahluk lain, luar biasa kerugian dari adanya asap tahun 2015 ini yang mewabah
tersebutb, diantaranya yang disampaikan Wakil ketua Umum Bidang Ekonomi dan Kerja

sama Internasional, Kadin Provinsi Riau, Viator Butar Butar mengatakan kabut asap
akibat kebakaran lahan dan hutan telah mengakibatkan Riau rugi secara ekonomi sebesar
Rp 10 triliun lebih (REPUBLIKA.CO.ID, 2015).
Sedangkan untuk mengurangi (menghilangkan) asap dengan hujan alami/buatan,
jika hujan buatan dilakukan karena hujan alami belum musim maka menurut Mohammad
Hassan, Dirjen Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum (PU)
mengungkapkan, biaya pembuatan hujan buatan sebesar Rp 1,7 miliar untuk 15 hari dan
bisa menghasilkan 200 juta meter kubik air hujan (http://nasional.kontan.co.id, 2015).
Bandingkan dengan kerugian yg ditimbulakn dari segi ekonomi karena kegiatan
transportasi udara dan laut terhenti, sedang dari kesehatan luar biasa efekanya ISPA
sedang vaforit dan tren RS-RS di Raiu, dari sisi pendidikan seluruh sekolah dari PAUD
hingga Perguruan Tinggi sebagaian besar meliburkan anak didiknya dan kerugian bidang
lingkungan maupun pertanian, kita prihatin dengan kondisi ini.

5

Gambar 3. Gangguan transportasi udara akibat kabut asap
(sumber: yosuna.com, 2015)

Musibah kabut asap akibat kebakaran l

ahan dan hutan telah meluas di seluruh wilayah Riau, propinsi lainnya, dan
daerah sekitarnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan
kondisi kualitas udara di daerah ini sudah masuk pada level sangat berbahaya (diatas
300 psi).

Gambar 4. Kondisi Kabut Asap di Kota Palembang
(sumber: antaranews.com, 2015)

6

Selain penyebab seperti tersebut di atas, secara rinci faktor-faktor lain yang
menjadi penyebab kebakaran hutan adalah sbb.;
1) Perilaku masyarakat/pengusaha
a. penyiapan lahan dengan cara membakar dipandang sebagai cara yang
paling murah, cepat , mudah, dapat menyuburkan tanah, telah dilakukan
turun temurun
b. komitmen masyarakat dan pengusaha mengenai bahaya kebakaran dan
dampak kepada lingkungan, rendah
c. ketergantungan masyarakat terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan
hidup, sangat tinggi).

2). Sifat dan Kondisi Alam
a. pola cuaca semakin sulit diramalkan dan adanya kecendrungan terjadinya
musim kering yang panjang sebagai akibat perubahan cuaca global
b. sebagian besar kondisi hutan tropis Indonesia saat ini mengalami
degradasi struktur dan komposisi jenis, sehingga lahan lebih rentan
terhadap terjadinya kebakaran.
c. adanya lahan gambut yang cukup luas serta terdapatnya kandungan
batubara di lahan hutan mengakibatkan semakin sulitnya dilakukan
pemadaman bila terjadi kebakaran di lahan tersebut.
d. Sebagian besar kebakaran hutan terjadi di daerah yang sulit diakses
sehingga menyulitkan upaya penanggulangan.
3). Belum adanya ‘leading agency’
a. belum adanya sebuah lembaga/’lead agenccy’ yang memiliki program
terencana dan terarah yang ditunjuk menangani kebakaran hutan dengan
‘garis komando’ yang jelas, dari tingkat pusat sampai ke tingkat
operasional di lapangan
b. lembaga yang telah ada saat ini, masih bersifat forum koordinasi dan
belum memiliki kemampuan operasional di lapangan
c. sumber daya penanggulangan yaitu tenaga, peralatan dan dana, belum
memadai dan belum terorganisasi dengan baik baik di tingkat pysat

maupun di daerah
d. belum adanya prosedur operasi standar dalam penanggulangan kebakaran
hutan yang dapat diimplementasikan di semua wilayah sehingga lembaga
terkait yang ada masih bekerja dengan pola masing-masing).
4).

Lemahnya Pengawasan/Penegakan Hukum
e. belum tersosialisasinya peraturan per-undang-undangan di bidang
kebakaran hutan secara luas sehingga sistim pengawasan oleh lembaga
terkait dan masyarakat belum berjalan baik
f. masih lemahnya pemahaman dan kepedulian aparat dalam menegakan
peraturan di bidang keabakaran hutan sehingga penerapan hokum masih
belum konsisten dan konsekuen

7

g. belum adanya penerapan sanksi yang menimbulkan efek jera terhadap
pelaku pelanggaran di bidang kebakaran hutan
h. adanya peraturan di bidang kebakaran hutan yang kurang sesuai dengan
perkembangan keadaan terutama dengan diberlakukannya otonomi

daerah).
5). Lambatnya Penindakan Dini
i. informasi peringatan dini belum ditindaklanjuti secara cepat dan tepat oleh
lembaga terkait yang berwenang di tingkat lapangan,
j. bahaya kebakaran hutan belum dianggap sebagai suatu ancaman yang
serius terhadap kerusakan sumber daya hutan dan lingkungan
k. masih terbatasnya SDM, peralatan dan dana dengan karakteristik
mobilitas tinggi dalam merespon informasi awal pengendalian kebakaran
hutan secara dini,
l. teknologi pembakaran terencana lading lahan gambut yang ramah
lingkungan belum dikuasai
Menanggapi musibah ini, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan, Prof Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Jumat
(14/3/2014), mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan dan waspada terhadap
8 masalah kesehatan akibat kabut asap.
Pertama, kabut asap dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan
tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungkin juga
infeksi.
Kedua, kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain,
seperti bronkitis kronik, dan penyakit paru kronik.

Ketiga, kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan orang
mudah lelah serta mengalami kesulitan bernapas.
Keempat, bagi yang berusia lanjut dan anak-anak, yang punya penyakir kronik
dengan daya tahan tubuh rendah serta wanita yang sedang hamil, akan lebih
rentan untuk mendapat gangguan kesehatan.
Kelima, kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang,
sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi.
Keenam, secara umum berbagai penyakit kronik juga dapat memburuk.
Ketujuh, bahan polutan di asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan bumi
juga mungkin dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan makanan
yang tidak terlindungi.
Kedelapan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) lebih mudah terjadi.
''Terutama karena ketidakseimbangan daya tahan tubuh, pola bakteri atau virus
penyebab penyakit dan buruknya lingkungan,'' kata Tjandra.
Untuk melindungi diri dari risiko gangguan kesehatan akibat kabut asap
tersebut, menurut Tjandra, masyarakat perlu melakukan 8 langkah berikut:

8

Pertama, masyarakat perlu menghindari atau kurangi aktivitas di luar
rumah/gedung, terutama bagi mereka yang menderita penyakit jantung dan
gangguan pernafasan.
Kedua, jika terpaksa pergi ke luar rumah/gedung maka sebaiknya menggunakan
masker.
Ketiga, minumlah air putih lebih banyak dan lebih sering.
Keempat, bagi yang telah mempunyai gangguan paru dan jantung sebelumnya,
mintalah nasehat kepada dokter untuk perlindungan tambahan sesuai kondisi.
''Segera berobat ke dokter atau sarana pelayanan kesehatan terdekat bila
mengalami kesulitan bernapas atau gangguan kesehatan lain,'' kata Tjandra.
Kelima, selalu lakukan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS), seperti makan
bergizi, jangan merokok, dan istirahat yang cukup.
Keenam, upayakan agar polusi di luar tidak masuk ke dalam rumah / sekolah /
kantor dan ruang tertutup lainnya.
Ketujuh, penampungan air minum dan makanan harus terlindung baik.
Kedelapan, buah-buahan dicuci sebelum dikonsumsi. Di samping bahan
makanan dan minuman yang dimasak perlu di masak dengan baik.
Secara institusional, kewenangan pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan
berdasarkan PP No.4/2001 adalah berjenjang. Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai
instansi terdepan yang langsung berhubungan dengan kawasan hutan dan lahan
mempunyai wewenang dan tanggung jawab operasional pengendalian kebakaran,
sedangkan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat
lebih bersifat koordinatif. (Pasal 30 dan 31 secara jelas menguraikan tanggung jawab
Bupati/Walikota dalam pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan. Pasal 27 dan 28
menjelaskan tentang tanggung jawab Gubernur dalam hal koordinasi pengendalian
kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten. Pasal 23 menjelaskan tanggung jawab
Menteri dalam hal ini Menteri Kehutanan yaitu dalam koordinasi pengendalian
kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan lintas batas Negara).
Sementara itu, berdasarkan Undang –Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 1, ayat (1) dan (15) serta Pasal 47, huruf (a) dipahami bahwa Menteri
Kehutanan hanya bertugas dan bertanggung jawab atas kebakaran hutan di kawasan
hutan saja. Sesuai dengan PP No.4 Tahun 2001, Menteri Kehutanan
mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan
atau lintas batas negara. Dengan demikian penanggung jawab kebakaran hutan/lahan
tetap menjadi tanggung jawab dari pemegang hak atau ijin atau pemilik lahan. Bagi
pemegang hak/ijin apabila terjadi kebakaran hutan di wilayah kerjanya akan
memperoleh sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Pelaksanaan tugas penanggulangan kebakaran tanpa persiapan yang cukup dapat
disamakan dengan masuk ring tinju mengahadapi musuh lebih kuat tanpa berlatih,
sedangkan yang diinginkan adalah menang dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Persiapan untuk pelaksanaan tugas penanggulangan kebakaran mencakup; rencana
operasi/pre-fire planning (mengetahui lebih dahulu situasi medan tempat kejadian dan

9

mensimulasikan tindakan antisipasinya dengan peralatan kerja yang dibutuhkan
termasuk sumber air), SDM terlatih berikut perwira yang berkualitas, kendaraan
pemadam kebakaran dan peralatan kerja yang selalu dalam keadaan baik/’ready for
use’.
Dapat dirumuskan dengan bahasa sederhana bahwa warga masyarakat
menginginkan IPKnya cepat tanggap dan mampu mengatasi situasi secepat dan setepat
mungkin. Dengan tekad yang kuat dan perkembangan teknologi, tuntutan tersebut
bukan sesuatu yang mengada-ada (masyarakat selalu menuntut layanan prima IPK.
Para pemangku kepentingan seharusnya telah mengetahui bahwa IPK bukan
organisasi yang berorientasi pada profit, dan pola produktivitasnya tidak jelas.
Organisasi ini pemakai besar hasil pajak, menggunakan perlengkapan mahal, sangat
bergantung pada tenaga kerja, dan sekarang ini tidak mempunyai cara yang memuaskan
untuk mengukur efektivitas operasinya jika dikaitkan dengan biaya yang dihabiskan.
Dengan harapan di tahun depan dan seterusnya tidak ada lagi asap sebagaiman 18
tahun yang lalu, sehingga tidak ada lagi sekolah diliburkan bukan di hari libur, rumah
sakit penuh sesak karena kebanyakan kena ISPA, pembatalan kegiatan akibat
berhentinya operasional transportasi udara dan laut, terhambatnya masyarakat untuk
beraktifitas di luar rumah, gangguan kinerja pemerintah dengan kegiatan yang sudah di
rencanakan, dan yang paling menyenangkan adalah bebasnya anak-anak bermain di
luar rumah dengan penuh ceria dan bahagia.
2. SOLUSI YANG DITAWARKAN
Gambaran kinerja IPK masih diwakili oleh panjangnya waktu tanggap (response
time) dan tumpulnya efektivitas pemadaman kebakaran. Gambaran pelaksanaan
pencegahan kebakaran lebih banyak bertumpu pada penyuluhan yang menyuarakan
bahwa kebakaran itu merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Gambaran kinerja IPK ini, menyimpulkan bahwa IPK belum efektif
dalam pengendalian bahaya kebakaran di wilayahnya. Sebagaiman tujuan IPK.
Tujuan IPK sebagai organisasi modern tidak berbeda dengan IPK tradisional
yaitu;
a. Mencegah terjadinya kebakaran.
b. Mencegah kerugian jiwa dan harta benda karena kebakaran.
c. Membatasi penjalaran kebakaran.
d. Memadamkan kebakaran.
Pertanggung-jawaban kurang efektifnya kinerja IPK tidak dapat dipikul oleh IPK
sendiri melainkan oleh seluruh jajaran pemerintahan terkait, baik yang mempunyai
kewenangan dalam pencapaian visi dan misi kabupaten/kota maupun pemerintah pusat
yang mempunyai kewenangan pengaturan teknis teknologis.
Tidak dipacunya peningkatan kinerja IPK akan berakibat pada semakin jauhnya
keadilan bagi warga masyarakat miskin khususnya dalam pemberian layanan prima di
bidang penanggulangan kebakaran dan semakin meningkatnya risiko bahaya kebakaran
dalam wilayah kabupaten/kota secara keseluruhan yaitu pada semua kawasan berikut
kawasan hutan dan lahan.

10

Strategi ‘reactionary’ yang digunakan IPK Kabupaten/Kota dalam pengendalian
kebakaran di wilayahnya, akan tidak banyak gunanya untuk titik api aplikasi kebakaran
hutan. (a.l. karena terdapatnya banyak lokasi ‘hot spot’, memerlukan SDM dalam
jumlah besar dan kebutuhan logistiknya, ketiadaan aksesibilitas, sumber air, dll.). Hal
ini bisa di atasi karena setiap kabupaten sudah terbentuk TAGANA (Taruna Siaga
Bencana) dan tidak seluruh propinsi/kabupaten/kota terjadi kebakaran lahan dan hutan,
untuk itu daerah yang tidak terkena bisa di alihkan personil TAGANA ke daerah yang
sedang di landa kebakaran dengan pendanaan subsidi silang dengan instansi terkait baik
daerah maupun pusat.
Solusi lain yang di tawarkan adalah sosialisasi yang menyeluruh ke lapisan
masyarakat beserta pengawasanya di lapangan, baik masyarakat korporasi maupun
masyarakat biasa. Rutinitas kebakaran lahan dan hutan setiap tahun disebabkan karena
sosialisasi yang tidak menyentuh sampi level bawah dan tidak ada pengawasan dari
instansi terkait, ini di buktikan dengan adanya lahan milik korporasi dan hutan lindung
yang ikut di bakar. Pengawasan dilakukan terhadap pelaksanaan aktifitas pengelolaan
hutan lindung dan pengolahan lahan oleh masyarakat, bukan sebaliknya luas hutan
malah semakin menurun. Hal tersebut juga menandakan program reboisasi di beberapa
wilayah gagal di lakukan untuk itu biaya reboisasi alangkah lebih baik di gunakan
untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan lindung, sehingga
masyarakat terhindar dari pemanfaatan hutan untuk kebutuhan ekonomi secara
berkelanjutan.

3. POSISI KITA TERHADAP KONDISI KABUT ASAP
Untuk kondisi lingkungan yang sehat dan baik kita sebagai generasi penerus
bangsa yang punya optimisme tinggi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik,
mempunyai prinsip mulai MO-LIMO (mulai dari sekarang, mulai diri sendiri, mulai
dari yang sederhana, mulai dari tempat kita dan mulai dengan yang ada). Serta
sembari belajar tentang kodisi ekonomi, teknologi, sosial, budaya dan lingkungan
dalam rangka mempersiapkan generasi yang siap dalam menjadi tauladan yang baik
dan benar serata bertanggung jawab, baik tanggang jawab terhadap sesama manuasi
dan institusi sebagi mahluk sosial maupun tanggung jawab kepada Allah SWT sebagi
mahluk yang ber Tuhan.
Selain itu juga tiada henti dan bosan untuk senantiasa berdo’a kepada Allah
semoga seluruh pemimpin kita baik pembuat, pelaksana, maupun pengawas peraturan
di Indonesia, baik yang di pusat maupun di daerah di beri hidayah untuk selalu
bertanggung jawab terhadap apa yang di tugaskan, dijauhan dari segala perbuatan
dosa, dijauhakan dari perbuatan hina, selalu berusahan untuk meningkatkan iman dan
taqwa kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, serta selalu dilindungi dan diberkahi
dalam setiap aktifitas...AMIIN.

11

Ucapan Terimakasih disampikan kepada:
Prof. Dr. Ir. A. Aziz Darwis, MSc. Dosen Mata Kulian Falsafah Sains
Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor
Tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA
1. International Development Research Center & Institute of SEA Studies
Singapore,1999
2. Safety And Survival On The Fireground oleh Vincent Dunn, terbitan Fire Engineering
Books & Videos th. 1992
3. sumber: www.citraislam.com, 2015
4. Tri Wibowo, Direktur Penanggulangan Kebakaran Hutan Dir.Jen. Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam, Dep Hut.Jakarta 2002
5. GORIAU.COM 2014
6. Sumber: news.liputan6.com, 2015
7. REPUBLIKA.CO.ID, 2015
8. nasional.kontan.co.id, 2015
9. sumber: yosuna.com, 2015
10. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan,
Prof Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta, Jumat (14/3/2014
11. PP No.4/2001
12. Undang –Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan